Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,898
Cermin Di Kamar Kost
Horor

"Cermin di Kamar Kos"

Dina menatap pantulan dirinya di cermin besar yang mendominasi dinding kamarnya. Ia tersenyum tipis, merapikan anak rambut yang jatuh di dahi. Kamar kos ini, meskipun tua dan sedikit lembap di beberapa sudut, terasa seperti penyelamat baginya. Setelah berminggu-minggu mencari, akhirnya ia menemukan tempat yang terjangkau di pinggiran kota Yogyakarta. Sebagai mahasiswi rantau, setiap rupiah sangat berharga.

Kedatangan dan Keanehan Awal

Koper Dina tergeletak di lantai, isinya sebagian sudah dikeluarkan. Aroma kayu lapuk dan sedikit bau apek yang khas rumah tua menyambutnya. Ia membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin sore masuk dan menerbangkan sedikit debu yang menempel. Kamar itu cukup luas untuk standar kos-kosan, dengan ranjang single, meja belajar kecil, dan sebuah lemari usang. Namun, satu hal yang paling mencolok adalah cermin besar yang menempel kokoh di dinding, tepat di seberang ranjangnya. Cermin itu bukan cermin biasa. Bingkainya diukir dengan ornamen-ornamen rumit yang sudah pudar termakan usia, dan kacanya sedikit buram di beberapa bagian, seolah-olah sudah menyaksikan ribuan pantulan selama bertahun-tahun.

"Lumayan lah," gumam Dina, mencoba meyakinkan dirinya. Ia menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi. Ini adalah awal yang baru, jauh dari rumah, jauh dari segala rutinitas yang membosankan.

Malam pertama di kamar kos itu berlalu tanpa insiden berarti. Dina terlalu lelah setelah perjalanan panjang dan seharian membereskan barang. Ia tertidur pulas, mimpi-mimpi indah tentang perkuliahan baru dan teman-teman baru.

Bayangan di Tengah Malam

Keanehan dimulai pada malam kedua. Dina terbangun di tengah malam, sekitar pukul dua pagi. Ia tidak tahu mengapa, hanya saja ada perasaan aneh yang menggelitik. Matanya mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan. Rembulan bersinar terang, menyusup melalui celah gorden yang sedikit terbuka, memantulkan sinarnya di permukaan cermin.

Pandangan Dina tertuju pada cermin. Ia melihat pantulan dirinya yang samar, diselimuti bayangan malam. Namun, sekelebat, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah bayangan tipis, nyaris tak terlihat, berdiri di belakangnya. Jantung Dina berdebar. Ia tidak bergerak, hanya menahan napas. Bayangan itu terlalu cepat untuk dikenali, hanya seperti kilasan hitam yang melintas di tepi penglihatannya.

Ia menoleh cepat, memutar tubuhnya. Kamar itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada meja belajar, kursi, dan lemari yang tampak membisu dalam kegelapan. Dina menghela napas lega, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih memacu. "Mungkin cuma halusinasi karena kurang tidur," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Ia kembali berbaring, mencoba tidur lagi, meskipun perasaannya sedikit tidak nyaman.

Malam berikutnya, keanehan itu kembali. Kali ini, bayangan itu lebih jelas. Dina terbangun lagi, dan kali ini, ia melihatnya dengan lebih gamblang. Sosok hitam, tinggi, berdiri tepat di belakang pantulannya di cermin. Mata Dina membelalak. Ia menoleh, namun lagi-lagi, tidak ada siapa-siapa.

Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ini bukan lagi halusinasi. Ini nyata. Ada sesuatu di cermin itu. Dina mencoba menenangkan diri, menghitung mundur dari sepuluh. "Tenang, Dina. Pasti ada penjelasan logis," bisiknya pada diri sendiri. Ia memaksakan diri untuk tidur, namun tidurnya tidak lagi nyenyak. Ia merasa diawasi.

Sosok Berambut Panjang dan Mata Merah Darah

Minggu pertama Dina di kamar kos itu diwarnai dengan insomnia dan ketegangan. Setiap malam, tepat di antara pukul satu dan tiga pagi, ia akan terbangun. Dan setiap kali itu, sosok di cermin semakin jelas.

Awalnya hanya bayangan hitam. Lalu, perlahan-lahan, detail mulai terlihat. Sosok itu adalah seorang perempuan. Rambutnya panjang, hitam, dan terurai hingga pinggang. Wajahnya masih buram, namun ada sesuatu yang menarik perhatian Dina: matanya. Merah menyala, seperti bara api, menatap lurus ke arahnya dari dalam cermin. Tatapan itu bukan tatapan biasa. Itu adalah tatapan kosong, dingin, namun penuh dengan sebuah intensitas yang mengerikan, seolah-olah mata itu melihat jauh ke dalam jiwanya.

Dina sering mencoba memutar tubuhnya dengan cepat, berharap bisa menangkap sosok itu di dunia nyata. Namun, setiap kali ia menoleh, kamar itu tetap kosong. Hanya ada keheningan, dan sesekali, suara jangkrik di luar jendela. Rasa takut mulai merayap, mencengkeram hatinya. Ia mulai merasa paranoid. Siang hari, ia berusaha keras untuk melupakan kejadian malam, namun begitu malam tiba, kegelisahan itu kembali.

Ia mencoba menyalakan lampu kamar saat terbangun. Namun, efeknya sama saja. Sosok perempuan bermata merah itu tetap ada di cermin, terpantul di belakang bayangannya. Bahkan, terkadang, ia merasa seolah-olah perempuan itu bergerak. Bukan gerakan yang nyata, melainkan seperti bayangan yang bergeser, atau seolah-olah perempuan itu mencoba untuk mendekat.

Dina memutuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun. Ia takut dianggap gila. Lagipula, siapa yang akan percaya cerita tentang hantu di cermin? Ia mencoba mencari alasan logis. Apakah itu kelelahan? Stres karena perkuliahan baru? Atau mungkin hanya pantulan cahaya dari luar yang salah diinterpretasikan oleh otaknya?

Namun, matanya yang memerah karena kurang tidur dan lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti nyata dari apa yang ia alami setiap malam. Rasa takut itu semakin membesar, membuat tenggorokannya tercekat setiap kali ia memikirkan malam yang akan datang.

Penyelidikan dan Kisah Kelam

Dina tidak bisa lagi menahan diri. Rasa takut itu mulai mengganggu konsentrasinya di siang hari. Ia sering melamun di kelas, pikirannya melayang ke cermin di kamarnya. Ia harus mencari tahu.

Ia memulai penyelidikannya dengan bertanya kepada Ibu Kos, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah dan kerutan di sudut matanya. Dina mencoba menyampaikan pertanyaannya dengan santai, seolah-olah hanya rasa ingin tahu biasa.

"Bu, cermin di kamar saya itu sudah lama ya?" tanya Dina suatu sore, saat ia berpapasan dengan Ibu Kos di dapur umum.

Ibu Kos mengangguk. "Oh, cermin itu? Sudah ada dari dulu, Nduk. Dari zaman bapak saya dulu masih buka kos-kosan ini."

"Wah, lama sekali ya, Bu," kata Dina, mencoba menggali lebih dalam. "Kira-kira sudah berapa lama, Bu?"

"Kalau dihitung-hitung, ya, sudah puluhan tahun, Nduk. Mungkin sekitar empat puluh tahunan ada kali ya," jawab Ibu Kos sambil tersenyum. "Cermin itu memang antik, makanya saya biarkan saja di sana."

Dina merasa ada sesuatu yang janggal. "Apa ada cerita khusus tentang cermin itu, Bu? Maksud saya, apa cermin itu pernah dipindahkan atau bagaimana?"

Ibu Kos mengerutkan kening. "Dulu pernah dicoba dipindahkan, Nduk. Tapi berat sekali. Sampai tiga orang pun tidak kuat mengangkatnya. Akhirnya ya sudahlah, dibiarkan saja di sana."

Dina mengangguk, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu, cermin itu memang terasa sangat kokoh menempel di dinding. Ia pernah mencoba menggesernya sedikit, namun tidak bergerak sama sekali.

Ia beralih ke pertanyaan yang paling mengganggu pikirannya. "Bu, kamar saya itu… dulu siapa yang menempati ya? Sebelum saya?"

Senyum Ibu Kos memudar sedikit. Wajahnya tampak sedikit tegang. "Kamar itu… ya, beberapa kali memang kosong cukup lama, Nduk. Yang terakhir sebelum kamu, namanya Sinta. Sudah sekitar satu tahun lalu dia menghilang."

Dina merasakan darahnya berdesir dingin. "Menghilang? Maksudnya… tanpa kabar, Bu?"

Ibu Kos menghela napas. "Iya, Nduk. Tiba-tiba saja barang-barangnya tidak ada, dan dia tidak pernah kembali lagi. Keluarga juga sudah mencari, tapi tidak ada hasilnya. Aneh memang." Ibu Kos terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Beberapa penghuni sebelumnya juga ada yang begitu, Nduk. Meninggalkan barang-barang, lalu tidak pernah terlihat lagi. Makanya, kamar itu kadang kosong lama."

Dina tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ini bukan kebetulan. Ini bukan lagi halusinasi. Ini semua berhubungan dengan cermin itu. Ia mengucapkan terima kasih kepada Ibu Kos, pamit undur diri, dan kembali ke kamarnya dengan pikiran kalut.

Mitos dan Kutukan

Malam itu, Dina tidak bisa tidur. Ia duduk di meja belajarnya, mencari informasi di internet dengan kata kunci "cermin tua," "penghuni kos hilang," dan "roh di cermin." Ia menemukan beberapa forum supranatural dan artikel yang membahas tentang legenda dan mitos cermin sebagai portal. Ada yang menyebutkan tentang cermin yang menjadi tempat bersemayam roh, atau bahkan cermin yang menjadi pintu antara dua dunia.

Semakin banyak ia membaca, semakin yakin ia bahwa cermin di kamarnya bukanlah benda biasa. Kisah-kisah tentang cermin yang mencuri jiwa, atau cermin yang memenjarakan roh, bertebaran di internet. Ada satu cerita yang menarik perhatiannya, sebuah mitos kuno tentang cermin yang dibuat dengan ritual khusus, yang konon bisa mengikat jiwa manusia. Cermin seperti itu, jika berada di tempat yang memiliki energi tertentu, bisa menjadi portal.

Ia juga menemukan kisah-kisah urban legend tentang kamar kos angker. Beberapa di antaranya bahkan menyebutkan tentang penghuni yang menghilang secara misterius. Namun, tidak ada yang secara spesifik menyebutkan tentang cermin.

Dina mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Sinta, penghuni sebelumnya. Ia berhasil menemukan akun media sosial Sinta. Akun itu sudah tidak aktif selama setahun terakhir. Dina melihat foto-foto Sinta, seorang gadis muda dengan senyum ceria. Ia lalu mencoba mencari tahu tentang penghuni-penghuni kamar itu sebelum Sinta, namun informasi yang didapat sangat minim.

Namun, satu hal yang pasti: semua penghuni yang menghilang adalah perempuan.

Ketakutan Dina semakin menjadi-jadi. Ia mulai menyadari benang merah dari semua kejadian ini. Cermin itu. Sosok perempuan bermata merah. Penghuni yang menghilang. Semuanya terhubung.

Cermin Sebagai Portal

Malam itu, saat sosok perempuan bermata merah itu muncul lagi di cermin, Dina tidak lagi berteriak atau menoleh. Ia hanya menatapnya, mencoba memahami.

Sosok itu, kali ini, terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Wajahnya kini bisa sedikit dikenali, meskipun masih tampak seperti bayangan. Rambut hitam panjangnya menjuntai di bahu, dan mata merahnya menatap tajam ke arah Dina. Ada ekspresi kesedihan yang mendalam di wajahnya, namun juga sebuah dorongan yang kuat, seolah-olah ia ingin menyampaikan sesuatu.

Dina teringat artikel yang ia baca. Cermin sebagai portal. Ia mulai berhipotesis. Mungkin, cermin itu adalah pintu. Dan roh perempuan yang ia lihat di cermin itu adalah roh penghuni sebelumnya, yang entah bagaimana, terjebak di dalamnya.

Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa ia melihatnya? Dan mengapa sosok itu semakin jelas dari hari ke hari? Sebuah pikiran mengerikan melintas di benaknya: "Setiap perempuan yang tinggal di kamar itu perlahan akan 'ditarik' masuk ke dalamnya—menggantikan roh yang sebelumnya."

Dina merasakan dingin menusuk hingga ke tulang. Apakah ia akan menjadi korban selanjutnya? Apakah ia akan menggantikan sosok perempuan bermata merah itu, terjebak selamanya di dalam cermin, menatap keluar, mencoba memperingatkan penghuni berikutnya?

Ia bangkit dari ranjang, berjalan mendekati cermin. Sosok perempuan itu tetap ada, menatapnya tanpa berkedip. Dina mengangkat tangannya, menyentuh permukaan kaca yang dingin. Tidak ada riak, tidak ada sensasi aneh. Hanya pantulan dirinya, dan di belakangnya, sosok bermata merah itu.

Ia mencoba berbicara. "Siapa kamu?" bisiknya, suaranya tercekat.

Sosok itu tidak menjawab. Hanya tatapan mata merah yang semakin intens. Dina mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Ada keputusasaan, ada kesedihan, namun juga ada semacam desakan yang kuat.

Ia mundur beberapa langkah, perasaannya campur aduk antara takut, penasaran, dan rasa kasihan. Jika sosok itu adalah roh yang terjebak, ia pasti menderita. Namun, jika hipotesis tentang "penarikan" itu benar, maka ia harus segera bertindak.

Upaya Melawan dan Mencari Pertolongan

Dina tahu ia tidak bisa berdiam diri. Ia harus melakukan sesuatu. Pertama, ia mencoba mencari cara untuk memindahkan cermin itu. Ia sudah mencoba menggesernya sendiri, dan gagal. Kali ini, ia mencoba menggunakan linggis kecil yang ia temukan di gudang belakang. Dengan susah payah, ia mencoba mencongkel bingkai cermin dari dinding. Namun, cermin itu seolah-olah menyatu dengan tembok. Ia tidak bergeming sedikit pun. Bahkan, linggis itu justru bengkok.

Ia lalu mencoba untuk menutup cermin dengan kain hitam tebal. Ia berharap, jika cermin itu tidak terlihat, mungkin sosok itu tidak akan muncul lagi. Malam itu, ia membungkus cermin dengan selimut tebal yang ia punya. Ia mengikatnya dengan tali agar tidak bergeser.

Namun, di tengah malam, ia terbangun lagi. Selimut itu sudah melorot ke lantai. Dan di dalam cermin, sosok perempuan bermata merah itu berdiri lagi, lebih jelas dari sebelumnya, seolah-olah ia sedang tersenyum sinis. Dina terkesiap. Cermin itu tidak bisa disembunyikan.

Keputusasaan mulai menyelimutinya. Ia merasa terjebak. Sendirian. Ia tidak bisa menceritakan ini kepada orang tuanya, mereka pasti akan panik dan menyuruhnya pulang. Teman-teman barunya? Ia tidak ingin mereka menganggapnya aneh.

Namun, ia tahu ia tidak bisa menghadapi ini sendirian. Ia teringat akan Rina, sahabatnya sejak SMP yang juga berkuliah di kota yang sama, meskipun beda universitas. Rina adalah satu-satunya orang yang mungkin akan percaya padanya, atau setidaknya, akan mencoba membantunya.

Dina menelepon Rina keesokan paginya, suaranya serak dan lelah. "Rina, kamu ada waktu siang ini? Aku butuh bantuanmu. Penting sekali."

Rina, yang mengenal Dina dengan baik, langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres dari nada suaranya. "Ada apa, Din? Kamu sakit?"

"Nanti saja aku jelaskan. Kamu bisa datang ke kosku siang ini?"

"Oke, aku usahakan. Setengah jam lagi aku ke sana," jawab Rina, sedikit khawatir.

Kedatangan Rina dan Ketidakpercayaan

Ketika Rina tiba di kamar kos Dina, ia terkejut melihat kondisi sahabatnya. Wajah Dina pucat, matanya cekung, dan ada aura ketakutan yang jelas terpancar darinya.

"Ya ampun, Din, kamu kenapa? Kayak habis lihat hantu!" seru Rina, mencoba bercanda.

Dina tidak tersenyum. Ia menarik Rina masuk, menutup pintu, dan menguncinya. "Justru itu masalahnya, Rin."

Ia lalu menceritakan semuanya. Tentang cermin itu. Tentang bayangan di tengah malam. Tentang sosok perempuan bermata merah. Tentang Ibu Kos dan kisah penghuni yang menghilang. Rina mendengarkan dengan saksama, sesekali mengernyitkan dahi.

"Jadi… kamu bilang ada hantu di cermin ini?" tanya Rina, menatap cermin besar itu dengan tatapan tidak percaya. "Maaf, Din, tapi ini kedengaran agak gila."

"Aku tahu! Aku tahu ini kedengaran gila! Tapi ini nyata, Rin! Aku tidak bohong!" seru Dina, frustrasi. "Aku sudah mencoba mencari tahu, dan semua bukti mengarah ke sana!"

Rina berjalan mendekati cermin, menyentuhnya. "Ini hanya cermin biasa, Din. Mungkin kamu kurang tidur atau stres."

"Tidak, Rin! Kamu harus lihat sendiri! Nanti malam, kamu menginap di sini. Aku yakin dia akan muncul lagi."

Rina ragu-ragu. "Menginap? Aku harus minta izin dulu sama orang tuaku."

"Tolong, Rin! Aku tidak bisa sendirian. Aku takut." Dina memohon, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Melihat keputusasaan Dina, Rina akhirnya setuju. "Baiklah. Tapi kalau tidak ada apa-apa, kamu harus berjanji untuk tidur yang cukup dan jangan terlalu banyak melamun."

Malam Puncak Ketegangan

Malam itu, Rina tidur di kasur tambahan yang disiapkan Dina. Dina sendiri berbaring di ranjangnya, memejamkan mata, namun pikirannya tegang. Ia berharap sosok itu muncul, agar Rina percaya. Namun, di sisi lain, ia juga takut jika sosok itu muncul, bagaimana reaksi Rina?

Pukul dua pagi, Dina terbangun. Ia merasakan firasat yang kuat. Ia menoleh ke arah cermin. Dan di sana, sosok perempuan berambut panjang dengan mata merah darah itu sudah berdiri. Lebih jelas dari sebelumnya. Terang benderang, seolah-olah ia berada di ruangan yang sama dengan mereka, namun terperangkap di dalam cermin.

"Rin! Rin, bangun!" bisik Dina, mengguncang bahu Rina.

Rina mengerjap, terbangun dengan terpaksa. "Ada apa, Din? Sudah pagi?"

"Lihat! Lihat ke cermin!" Dina menunjuk ke arah cermin dengan tangan gemetar.

Rina mengikuti arah pandang Dina. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit terbuka. Ia melihatnya. Sosok perempuan itu. Mata merahnya menatap lurus ke arah mereka, seolah-olah tahu mereka ada di sana.

"Ya ampun," bisik Rina, suaranya bergetar. "Itu… itu apa?"

"Aku tidak tahu, Rin. Aku sudah melihatnya setiap malam. Dan semakin hari, semakin jelas."

Sosok di cermin itu mulai bergerak. Perlahan-lahan, ia mengangkat tangannya, seolah-olah ingin meraih mereka. Sebuah seringai tipis muncul di bibirnya, dan mata merahnya tampak semakin menyala.

"Dia… dia mau apa?" tanya Rina, suaranya nyaris tak terdengar.

"Aku rasa… dia ingin kita masuk," jawab Dina, dengan ketakutan yang mencengkeram. "Dia ingin menggantikan kita."

Tiba-tiba, suhu di kamar terasa menurun drastis. Sebuah aura dingin menyelimuti mereka. Sosok di cermin itu melangkah maju, seolah-olah ingin keluar dari permukaan kaca. Jarak antara mereka dan cermin terasa semakin dekat, meskipun sebenarnya tidak ada perubahan jarak fisik.

Dina dan Rina beringsut mundur, merapat ke dinding. Rasa takut yang murni menguasai mereka. Mereka melihat dengan jelas, sosok perempuan itu perlahan-lahan menembus batas cermin. Kakinya mulai terlihat di dunia nyata, lalu bagian tubuhnya yang lain.

"Kita harus melakukan sesuatu!" seru Dina. "Kita harus menghancurkan cermin ini!"

"Bagaimana caranya? Kamu sudah mencoba, kan?" Rina panik.

"Aku tidak tahu! Tapi kita harus mencobanya lagi! Bersama-sama!"

Mereka berdua mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk memecahkan cermin. Dina meraih kursi kayu dari meja belajar. Rina mengambil vas bunga yang terbuat dari keramik tebal.

Sosok perempuan itu sudah hampir sepenuhnya keluar dari cermin. Hanya bagian atas tubuhnya yang masih tertinggal di dalam. Matanya menatap mereka dengan tatapan mengancam. Sebuah suara bisikan samar terdengar di telinga mereka, "Ikutlah… ikutlah denganku…"

"Satu! Dua! Tiga!" teriak Dina.

Mereka berdua mengangkat benda di tangan masing-masing dan menghantamkannya ke permukaan cermin dengan sekuat tenaga.

PRANGGG!

Suara pecahan kaca menggema di ruangan itu. Namun, yang pecah bukanlah cermin besar itu. Melainkan kursi kayu yang dipegang Dina dan vas bunga yang dipegang Rina. Kaca cermin tetap kokoh, tak tergores sedikit pun. Malah, suara pecahan itu seolah-olah memicu sesuatu.

Sosok perempuan itu tertawa. Sebuah tawa yang hampa, namun menggema di seluruh ruangan, membuat bulu kuduk berdiri. Tawanya semakin keras, semakin mencekam.

Dan kemudian, yang terjadi selanjutnya adalah kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Cahaya itu berasal dari dalam cermin, memancar dengan sangat kuat. Dina dan Rina merasakan tarikan yang kuat, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menarik mereka ke arah cermin.

Mereka berteriak, mencoba melawan. Namun, tarikan itu terlalu kuat. Mereka merasa tubuh mereka ringan, seolah-olah mereka ditarik ke dalam sebuah pusaran air yang tidak terlihat.

"Tidaaak!" teriak Dina, namun suaranya hanya menjadi bisikan yang menghilang.

Cahaya itu semakin terang, menelan mereka berdua. Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.

Kehilangan dan Dua Bayangan

Pagi itu, Ibu Kos merasa ada yang aneh. Pintu kamar Dina terbuka sedikit. Ia mengetuk, namun tidak ada jawaban. Ia mendorong pintu itu hingga terbuka lebar.

Kamar itu kosong.

Ranjang rapi, meja belajar bersih, lemari tertutup. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Dina atau Rina. Barang-barang mereka, koper, buku-buku, semuanya tidak ada. Seolah-olah mereka tidak pernah tinggal di sana.

Ibu Kos melangkah masuk, bingung. Ia mencari-cari di setiap sudut, namun tidak ada jejak. Ia memanggil-manggil nama Dina, namun hanya keheningan yang menjawab.

Pandangannya kemudian jatuh pada cermin besar di dinding. Ia melihat pantulan dirinya sendiri, dan di belakangnya, samar-samar, ia melihat dua sosok perempuan.

Dua sosok perempuan, berambut panjang, berdiri berdampingan. Salah satunya memiliki mata merah darah yang menatap tajam. Dan yang satunya… tampak samar, namun ada sesuatu yang familiar dari bentuk tubuhnya.

Ibu Kos menggosok matanya. "Ah, mungkin aku kurang tidur," gumamnya. Ia mendekati cermin, mencoba melihat lebih jelas.

Namun, semakin ia mendekat, semakin jelas dua sosok itu terlihat. Mereka tidak bergerak. Mereka hanya berdiri di sana, di dalam cermin, menatap kosong ke depan. Mata merah itu masih menyala, dan di sampingnya, sosok yang satu lagi, terlihat buram, namun perlahan-lahan mulai membentuk detail yang lebih jelas.

Ibu Kos merasakan merinding di punggungnya. Ia mundur perlahan, ketakutan yang tak beralasan mencengkeramnya. Ia tahu ia tidak salah lihat.

Di dalam cermin itu, kini ada dua perempuan yang berdiri.

Kesimpulan yang Menggantung

Matahari bersinar cerah di luar, namun kamar kos itu terasa dingin dan sunyi. Ibu Kos menutup pintu kamar Dina perlahan, perasaannya tidak enak. Ia akan melaporkan hal ini kepada polisi, namun ia tahu, apa yang akan ia ceritakan akan terdengar sangat tidak masuk akal.

Cermin di kamar itu tetap di sana, kokoh, tak tergoyahkan. Setiap malam, jika ada yang berani menatapnya, mungkin akan melihat dua bayangan. Dua perempuan yang terjebak di dalam, menatap keluar, menunggu korban selanjutnya.

Dan di dalam cermin itu, Dina dan Rina kini berdiri berdampingan. Dina, yang perlahan-lahan mulai beradaptasi dengan keberadaan barunya, menatap keluar dengan tatapan kosong, seperti Sinta sebelumnya. Dan Sinta, roh perempuan bermata merah itu, kini tidak lagi sendirian. Ia punya teman. Dan ia tahu, suatu hari nanti, cermin itu akan menuntut tumbal lagi.

Kamar kos itu tetap disewakan. Cermin itu tetap di sana. Dan siklus penarikan jiwa itu akan terus berlanjut, selamanya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)