Masukan nama pengguna
Bab 1: Surat Tanpa Pengirim
Hujan rintik-rintik di sore hari seringkali membawa ketenangan, tapi tidak bagi Rina. Gadis SMA itu baru saja pulang dan menemukan sesuatu yang janggal di kotak surat. Sebuah amplop putih polos tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan satu baris singkat: “13 Juni 2025”. Tanggal itu, tepat seminggu dari sekarang. Ia menduga ini hanya iseng, mungkin dari teman-temannya yang suka mengerjai. Tapi saat ia membalik amplop itu, hidungnya menangkap bau aneh, seperti tanah basah sehabis hujan lebat. Dan di sudutnya, samar terlihat bercak kemerahan yang kering, mirip noda darah. Sebuah gurauan yang aneh, pikirnya, tapi tetap saja, ada rasa tak nyaman yang menyusup.
Rina mencoba mengabaikannya, meletakkan surat itu di meja belajarnya. Namun, pandangannya terus-menerus kembali ke amplop itu. Kenapa bau tanah? Dan noda darah itu… itu bukan noda cat atau lumpur. Terlalu gelap, terlalu kental. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya imajinasinya yang berlebihan, dampak dari film horor yang ditontonnya semalam. Tapi bayangan tangan tak terlihat yang meletakkan surat itu di kotak posnya terus menghantuinya.
Malam harinya, Rina tak bisa tidur. Angin berdesir di luar jendela, dan setiap bayangan di kamarnya terasa bergerak. Ia bangkit, melongok keluar. Di ujung jalan, di bawah sorot lampu jalan yang redup, berdiri siluet seseorang. Sosok itu tinggi dan kurus, mengenakan topi bundar, persis seperti tukang pos. Tapi kenapa dia berdiri diam di sana, tak bergerak sedikit pun, padahal hari sudah larut? Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Rina mengamati lebih dekat, jantungnya berdegup kencang. Sosok itu benar-benar tak bergeming, mematung seperti patung, menghadap lurus ke arah rumahnya. Kengerian merayapi Rina. Ia bergidik dan buru-buru menutup gorden, menarik napas dalam-dalam. Perasaannya semakin tidak enak, dan ia mulai menyesal telah mengambil surat itu.
Tanggal 13 Juni tiba dengan mendung tebal dan suasana yang mencekam. Sejak pagi, Rina sudah merasa gelisah. Setiap dering telepon membuatnya terlonjak, setiap bayangan yang melintas di jendela membuat matanya memicing. Sorenya, hujan lebat disertai petir mulai mengguyur Kota Makassar. Rina yang terjebak di luar saat pulang sekolah, memutuskan untuk berteduh di bawah pohon besar di pinggir jalan. Sebuah kesalahan fatal. Petir menyambar pohon itu dengan kekuatan memekakkan telinga. Rina tewas seketika, tubuhnya hangus tak berbentuk, ponsel di genggamannya ikut meleleh.
Kamera CCTV tetangga merekam semuanya. Samar terlihat, setelah petir menyambar dan kepanikan mulai muncul di jalan, sosok tukang pos misterius itu berjalan perlahan menjauh dari lokasi kejadian, seolah tak peduli dengan kekacauan yang baru saja terjadi. Langkahnya pelan, mantap, dan teratur, tidak seperti orang yang terburu-buru atau terkejut. Polisi datang, menganggap kematian Rina sebagai kecelakaan biasa, musibah akibat petir yang tak terhindarkan, sebuah takdir. Tidak ada penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan. Kasus ditutup.
Tapi Dimas, sahabat Rina, tidak bisa menerima. Ia mengenal Rina luar dalam, tahu kebiasaan Rina yang selalu menghindari berteduh di bawah pohon saat hujan petir. Kepergiannya yang mendadak terasa janggal. Apalagi ia tahu tentang surat tanpa pengirim itu, yang Rina ceritakan kepadanya beberapa hari sebelum kejadian. Dimas mulai mencari tahu, mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar kecelakaan. Ia mendapatkan izin dari orang tua Rina untuk memeriksa barang-barang pribadi Rina yang dibawa pulang dari rumah sakit. Di sana, ia menemukan surat yang sama, dengan tulisan tangan serupa, namun isinya berbeda: “Giliranmu akan tiba”. Dan di antara buku-buku Rina, terselip beberapa surat serupa lainnya, beberapa di antaranya belum terkirim, beberapa lagi sudah hangus di bagian ujungnya, seolah pernah coba dibakar. Rina sepertinya tahu sesuatu, sesuatu yang sangat ia takuti. Sebuah teka-teki yang harus Dimas pecahkan, sebelum "giliran" yang lain tiba.
Bab 2: Si Penjual Tahu
Kepergian Rina menyisakan lubang besar di hati Dimas. Ia masih menyimpan surat-surat aneh yang ditemukan di tas Rina, juga surat "Giliranmu akan tiba" yang ditujukan pada Rina. Hari-hari berikutnya terasa berat, ia tak bisa berhenti memikirkan kejanggalan itu. Hingga suatu pagi, berita mengejutkan kembali datang dari kompleks perumahan mereka.
Pak Arman, penjual tahu keliling yang sudah puluhan tahun melayani warga, ditemukan meninggal di dapurnya. Polisi menduga karena kebocoran gas, sebuah kecelakaan tragis. Namun, Dimas merasakan firasat buruk yang tajam. Ia mengenal Pak Arman. Pria tua itu ramah, selalu tersenyum, dan anehnya, Dimas ingat Rina pernah menyebut bahwa Pak Arman adalah teman lama ayahnya. Benarkah ini hanya kebetulan?
Dengan langkah berat, Dimas memberanikan diri mengunjungi rumah duka Pak Arman. Di sana, ia mendengar cerita dari tetangga bahwa Pak Arman baru saja menerima sebuah surat aneh beberapa hari lalu. "Suratnya putih, polos, sama sekali tak ada namanya," kata seorang ibu-ibu. "Pak Arman kan buta huruf, jadi dia biarkan saja surat itu tergeletak." Seketika, Dimas teringat surat Rina. Hatinya mencelos. Dua korban dalam waktu berdekatan, keduanya menerima surat serupa. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah pola.
Malam harinya, Dimas kembali melihat sosok itu. Di depan rumah Pak Arman yang kini sunyi, berdiri tukang pos misterius itu. Topi bundarnya menutupi wajah, seragamnya tampak usang, bahkan cenderung kuno. Ia berdiri tak bergerak untuk beberapa saat, seolah mengawasi, sebelum akhirnya menghilang dalam kegelapan. Dimas merasakan ketakutan yang merayap di punggungnya, lebih dingin dari embun malam.
Esok harinya, ia mencoba mencari petunjuk di rumah Pak Arman yang masih terpasang garis polisi. Dengan alasan ingin melihat kenangan terakhir, Dimas berhasil menyelinap ke dapur Pak Arman. Di sana, di antara puing-puing sisa ledakan, ia menemukan sepotong kertas yang gosong sebagian. Meski terbakar, ia masih bisa melihat beberapa angka: "19 Juni 2025" – tepat dua hari setelah surat diterima, dan hari kematian Pak Arman. Dan di sudut yang lain, ada tulisan tangan yang sama persis dengan surat Rina.
Informasi dari warga sekitar semakin memperkuat kecurigaan Dimas. Beberapa di antaranya mengaku melihat tukang pos itu, selalu mengenakan seragam jadul, wajahnya tak pernah terlihat jelas, selalu samar dalam bayangan atau terhalang topi. "Seperti bayangan," kata seorang nenek. "Muncul begitu saja, lalu lenyap."
Dimas pulang, pikirannya kacau balau. Ia membuka laci meja ayahnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan. Tangan Dimas bergetar saat ia menemukan sebuah foto lama yang sudah menguning. Dalam foto itu, terlihat ayah Rina—sosok yang ia kenal di foto lain—bersama dengan Pak Arman muda. Tapi bukan hanya mereka berdua. Ada tiga orang lain di foto itu, semuanya tampak akrab, tersenyum lebar. Lima orang remaja, anggota kelompok di era tahun 1990-an.
Seolah ditarik benang merah tak kasat mata, Dimas menyadari kebenaran yang mengerikan: semua korban, baik Rina maupun Pak Arman, adalah bagian dari kelompok itu atau anak-anak mereka. Rina adalah anak dari salah satu anggota, dan Pak Arman adalah anggota kelompok itu sendiri. "Ini bukan kutukan biasa," gumam Dimas, tenggorokannya tercekat. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih pribadi, lebih terencana. Sebuah pembalasan..
Bab 3: Kucing Hitam di Atap
Ketakutan mencekik Dimas. Dua kematian, dua surat aneh, dan satu kesamaan mengerikan: foto lama ayahnya. Ia tahu, ia harus bergerak cepat. Naluri investigasinya, yang dulunya hanya ia gunakan untuk mencari jawaban ujian, kini bekerja keras melacak setiap jejak yang samar. Ia mulai menanyai warga, mencoba menghubungkan benang merah antara ayah Rina, Pak Arman, dan ketiga orang lainnya di foto itu. Informasi yang ia kumpulkan seperti potongan puzzle yang berserakan, belum membentuk gambaran utuh.
Beberapa hari setelah kematian Pak Arman, Dimas menerima kabar dari seorang tetangga yang meneleponnya dengan suara bergetar. "Nak Dimas, Bu Yati... Bu Yati juga," ucapnya terbata-bata. Bu Yati adalah seorang wanita tua yang tinggal tak jauh dari rumah Rina, dikenal karena kebiasaannya memberi makan kucing-kucing liar di lingkungannya. Jantung Dimas berdesir. Surat ketiga telah tiba.
Dimas segera meluncur ke rumah Bu Yati yang kini sudah dipenuhi keramaian warga. Ia menembus kerumunan, mencari tahu apa yang terjadi. Polisi baru saja selesai melakukan olah TKP, dan mereka menganggapnya sebagai kecelakaan, seperti sebelumnya. Bu Yati ditemukan tewas di dasar tangga, lehernya tertekuk aneh. Warga bercerita bahwa semalam ia sempat terlihat mengejar sesuatu di loteng, mengira ada tikus.
Dimas masuk ke dalam rumah yang masih meninggalkan aroma melati dan lavender, khas Bu Yati. Ia melihat ke sekeliling, mencari petunjuk. Dan di meja kecil dekat pintu, ia menemukannya: sebuah amplop putih polos, persis sama dengan yang Rina dan Pak Arman terima. Di dalamnya, surat itu berisi tanggal kematian Bu Yati, dan di bawahnya, sebuah kalimat dingin yang menusuk: “Karena kau menertawakannya”. Tenggorokan Dimas tercekat. Menertawakan siapa?
Ia kemudian teringat cerita-cerita lama yang sering Bu Yati lontarkan saat ia masih kecil, saat Dimas sering menemaninya memberi makan kucing. Bu Yati adalah seorang pencerita ulung, dan salah satu kisah favoritnya adalah tentang seorang anak lelaki bernama Geri. Geri, menurut Bu Yati, adalah anak yang pendiam dan sering diejek oleh anak-anak lain di kampung. Suatu hari, di tahun-tahun 1990-an, Geri yang sedang dikejar oleh beberapa anak-anak—termasuk, mungkin, kelompok remaja di foto itu—berlari tanpa melihat. Ia tewas tertabrak motor saat menyeberang jalan. Cerita itu, yang dulunya hanya dongeng horor pengantar tidur, kini terasa begitu nyata dan mengerikan.
Dan ada satu detail kecil yang kembali Dimas ingat dari cerita warga: kucing hitam. “Aneh sekali, Nak Dimas. Sehari sebelum Bu Yati meninggal, ada kucing hitam besar duduk terus di atap rumahnya. Padahal Bu Yati paling benci kucing hitam,” kata seorang ibu-ibu. Rina? Dimas mencoba mengingat. Ya, ia ingat melihat kucing hitam di atap rumah Rina sehari sebelum kejadian petir itu. Dan Pak Arman? Dimas mengernyit, mencoba mengingat lagi. Ia tidak terlalu memperhatikan, tapi ia samar-samar ingat ada kucing hitam di atap rumah Pak Arman saat ia melayat. Sebuah pola lagi. Kucing hitam, pertanda kematian.
Saat polisi datang untuk membawa jenazah Bu Yati, Dimas memperhatikan sesuatu yang aneh. Surat yang ada di meja itu, yang baru saja ia lihat, perlahan-lahan mulai terbakar dari ujungnya, seolah-olah kertas itu melenyapkan dirinya sendiri. Api oranye kecil menjalar cepat, mengubah kertas menjadi abu tanpa meninggalkan jejak asap atau bau terbakar. Ini bukan sulap, ini jelas bukan hal yang normal.
Dari informasi yang lebih dalam yang ia dapat dari warga yang lebih tua, Dimas akhirnya mengetahui kebenaran yang lebih mengerikan tentang Geri. Geri adalah anak dari seorang tukang pos yang bekerja di kampung mereka dulu. Setelah Geri meninggal, tukang pos itu, ayahnya, perlahan-lahan kehilangan akal sehat. Ia sering terlihat mengantarkan surat ke rumah-rumah kosong, berbicara sendiri, dan kadang berdiri diam di tengah jalan. Warga bilang dia jadi gila karena terlalu sedih. Tak lama kemudian, tukang pos itu menghilang, tak pernah terlihat lagi.
Merasa ada benang merah, Dimas memutuskan untuk mencari tahu keberadaan tukang pos itu. Ia bertanya ke sana kemari, hingga akhirnya seorang warga tua memberinya petunjuk: ada makam tanpa nama di bukit sepi di pinggir kota, yang dulunya sering dikunjungi oleh tukang pos yang depresi itu. Dengan hati-hati, Dimas menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi semak belukar. Setelah berjam-jam mencari, ia menemukannya. Sebuah gundukan tanah tanpa nisan yang jelas, hanya sebuah batu datar dengan tulisan yang diukir kasar: “Surat-surat belum selesai dikirimkan.” Dimas terkesiap. Sebuah pikiran menakutkan mencengkeramnya: Geri mungkin sudah meninggal, tapi sosoknya masih menghantui kampung melalui ayahnya—tukang pos misterius itu, yang kini mungkin bukan lagi manusia hidup, melainkan sebuah entitas yang dikendalikan oleh arwah Geri.
Ini bukan hanya tentang kecelakaan masa lalu. Ini adalah pembalasan dendam yang dingin, terencana, dan tak terhindarkan, diantarkan oleh hantu masa lalu.
Bab 4: Pelukis Buta
Malam itu, Dimas tidak bisa tidur. Tulisan di batu nisan itu terus terngiang di benaknya: “Surat-surat belum selesai dikirimkan.” Jika tukang pos itu adalah ayahnya Geri yang sudah meninggal, bagaimana mungkin ia masih mengantarkan surat? Dan siapa yang mengendalikannya? Atau apakah arwah Geri sendiri yang menjadi pengirimnya, menggunakan ayahnya sebagai perantara? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, membangunkan ketakutan yang lebih dalam.
Dimas kembali memeriksa foto lama yang ia temukan di laci ayahnya. Lima remaja, semuanya terlihat bahagia. Ayah Rina, Pak Arman, dan tiga orang lainnya. Siapa dua orang yang tersisa? Ia harus mencari tahu. Salah satu cara adalah dengan mencari tahu tentang orang-orang yang ada di foto itu. Ia mulai bertanya kepada warga yang lebih tua, menanyakan tentang semua remaja yang sering berkumpul di era 90-an. Akhirnya, ia mendapatkan satu nama lagi: Pak Narto, seorang pelukis yang kini tinggal di pinggir kota, yang dulunya juga bagian dari kelompok tersebut.
Namun, ada satu detail yang menarik perhatian Dimas. Pak Narto kini buta, sebuah kecelakaan tragis bertahun-tahun lalu yang membuatnya kehilangan penglihatan. Ironisnya, sebelum buta, Pak Narto dikenal sering melukis potret anak-anak di kampung. Termasuk, kata beberapa warga, ia pernah melukis potret Geri kecil, beberapa bulan sebelum tragedi itu terjadi. Dimas segera merasa ada hubungan.
Ia langsung menuju ke rumah Pak Narto. Setibanya di sana, suasana sudah ramai. Ambulans dan mobil polisi terparkir di depan. Lagi-lagi, ia terlambat. Pak Narto ditemukan tewas. Kali ini, cara kematiannya jauh lebih mengerikan. Ia ditemukan tergantung di tengah ruang tamu, dengan sebuah lukisan yang belum selesai tergantung di depannya. Mata lukisan itu, mata hitam kosong, seolah menatap langsung ke pintu rumahnya, ke arah siapa pun yang masuk. Aroma cat minyak bercampur bau anyir darah memenuhi ruangan.
Polisi kembali menyatakan ini sebagai kasus bunuh diri, frustasi karena kebutaan yang dideritanya. Tapi Dimas tahu, ini bukan bunuh diri. Ini adalah surat terakhir. Ia mendekat ke jenazah Pak Narto. Di dalam saku kemejanya, ada secarik kertas yang terlipat rapi. Bukan amplop, tapi hanya selembar kertas. Di sana tertera cap pos dari tahun 1995, dan tulisan tangan yang sama dengan surat-surat sebelumnya. Tanggal kematian Pak Narto. Dan di baliknya, sebuah foto. Foto yang sama persis dengan yang Dimas temukan di laci ayahnya, tapi ini dalam keadaan robek-robek, seolah seseorang sengaja merobeknya.
Dimas mengumpulkan potongan-potongan foto itu, merekatkannya kembali dengan tangan gemetar. Ia berhasil menyatukan kembali kelima wajah remaja itu. Namun, ia terkejut melihat sebuah detail yang mengerikan: salah satu wajah di foto itu dicoret dengan tinta hitam tebal. Wajah seorang anak kecil. Dan di bawahnya, samar-samar ia bisa membaca nama: Geri kecil.
Sebuah pencerahan menerpa Dimas. Ini bukan hanya tentang kecelakaan. Dari cerita warga, ia mulai menyatukan kepingan informasi. Kelima remaja itu, termasuk ayahnya sendiri, adalah anak-anak yang sering mengerjai Geri. Merekalah yang mengejar Geri hingga anak itu berlari panik dan tertabrak motor. Dan mereka, termasuk Pak Narto, menyembunyikan kejadian sebenarnya, membuat kesaksian palsu agar tidak ada yang dipersalahkan. Mereka membiarkan tukang pos itu, ayah Geri, hancur dalam kesedihan dan kegilaan.
"Semua korban adalah bagian dari konspirasi lama," gumam Dimas. Mereka semua terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kematian Geri. Ini adalah rantai pembalasan dendam yang tak terputus. Tapi kenapa surat juga datang ke orang yang tidak membunuh langsung, seperti Rina yang hanya anak dari salah satu pelaku? Apakah dendam ini juga mencakup keturunan mereka? Pikiran itu membuat Dimas merinding, karena ia tahu, ayahnya juga ada di foto itu.
Bab 5: Kamera Polaroid
Pulang dari rumah Pak Narto, Dimas merasa seolah ada beban ribuan ton menindih dadanya. Ia tidak bisa lagi menyangkal. Ayahnya terlibat. Rina, sahabatnya, meninggal karena dosa ayahnya. Rasa bersalah dan kengerian bercampur aduk, membakar ulu hatinya. Ia kembali ke kamar ayahnya, tangannya mengobrak-abrik laci, lemari, mencari apa pun yang mungkin bisa menjelaskan. Ia butuh jawaban, dan ia butuh menghentikan ini.
Akhirnya, di sudut lemari pakaian yang tersembunyi, Dimas menemukan sebuah kotak sepatu usang. Di dalamnya, tergeletak sebuah kamera Polaroid lama, yang ia ingat pernah dilihatnya saat kecil. Sebuah peninggalan dari masa lalu. Ia mengeluarkan kamera itu, mengamatinya. Debu tebal menyelimutinya. Dengan hati-hati, ia membuka penutup tempat film.
Ajaibnya, masih ada film di dalamnya, dan beberapa foto yang belum tercetak sepenuhnya. Rasa ingin tahu mendorong Dimas untuk mengambil film-film itu dan mencoba mencetaknya. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan salah satu film ke dalam mesin cetak foto instan. Perlahan, gambar mulai muncul. Foto-foto itu menunjukkan pemandangan kampung di tahun 90-an, teman-teman ayahnya yang masih muda, dan kemudian, sebuah pemandangan yang membuat darah Dimas surut.
Muncul sebuah foto yang jelas menampilkan Geri kecil, berlari ketakutan dengan wajah penuh air mata. Di belakangnya, terlihat lima remaja – ayah Dimas, ayah Rina, Pak Arman, Pak Narto, dan satu lagi yang belum ia kenal – tengah tertawa, melempari Geri dengan batu-batu kecil. Salah satu remaja itu, Dimas bisa mengenali dari postur tubuhnya, adalah ayahnya. Kemudian, ada foto lain, yang lebih mengerikan: Geri tergeletak di jalan, motor yang menabraknya terbalik, dan di kejauhan, kelima remaja itu tampak bersembunyi di balik semak-semak, mengintip dengan wajah ketakutan dan panik. Mereka menyaksikan semuanya. Mereka bertanggung jawab.
Dimas membalik foto-foto itu, mencari petunjuk. Di balik salah satu foto, dengan tulisan tangan yang sama persis dengan surat kematian, ada tulisan yang membeku darahnya: “Kau harus menyaksikan mereka semua pergi”. Ini bukan hanya tentang pembalasan terhadap para pelaku, tapi juga terhadap keturunan mereka, para saksi bisu, atau mereka yang mewarisi dosa.
Dan kemudian, di antara film-film Polaroid yang lain, Dimas menemukan sebuah amplop putih polos. Amplop itu persis sama dengan yang Rina terima. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu. Di dalamnya, tertera sebuah tanggal: “13 Juni 2025”. Tanggal kematian Rina. Bukan, itu salah. Kemudian, ia menemukan sebuah lagi, dengan tanggal yang berbeda, seminggu ke depan, dan sebuah nama. Namanya sendiri.
Surat atas namanya sendiri.
Tubuh Dimas serasa dihantam palu godam. Ia bukan hanya seorang saksi, seorang penyelidik. Ia adalah bagian dari rantai itu. Ia adalah korban berikutnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, napasnya tercekat. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam lingkaran takdir mengerikan yang berawal puluhan tahun lalu.
Ia harus menghentikan ini. Ia harus menemukan orang terakhir yang tersisa dari masa lalu itu, orang yang mungkin memegang kunci jawaban, atau bahkan kunci untuk menghentikan kutukan ini. Ia teringat Bu Yati yang pernah menyebutkan nama seorang wanita. Sari. Ibu kandung Geri.
Dengan pikiran kalut, Dimas mulai mencari informasi tentang Sari. Ia akhirnya menemukan bahwa Sari, setelah kematian anaknya dan hilangnya suaminya, perlahan-lahan kehilangan jiwanya. Ia kini tinggal di sebuah rumah jompo di pinggir kota. Dimas segera berangkat.
Ketika ia tiba di rumah jompo, Sari sudah sangat tua dan rapuh. Matanya cekung, namun masih memancarkan kesedihan yang mendalam. Dimas menjelaskan siapa dirinya, dan perlahan, Sari mulai bercerita. Suaranya serak, penuh duka. “Mereka… mereka semua anak-anak nakal,” katanya, menatap kosong ke luar jendela. “Mereka mengganggu Geri-ku terus-menerus. Dan mereka tertawa saat dia mati.” Kemudian, dengan suara yang lebih kuat, matanya berbinar aneh, Sari mengucapkan kalimat yang membuat Dimas merinding: “Aku hanya ingin dia membalas.”
Kalimat itu terngiang di telinga Dimas. Aku hanya ingin dia membalas. Apakah ini berarti Sari, ibu Geri, adalah dalang di balik semua ini? Apakah dia yang mengendalikan arwah anaknya atau bahkan suaminya untuk mengantarkan surat kematian? Atau apakah ini adalah kutukan sejati yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun, bahkan oleh Sari sendiri? Sebuah tanda tanya besar muncul di benak Dimas. Jika Sari yang mengendalikan, maka dia bisa menghentikannya. Tapi jika bukan, maka Dimas benar-benar tak punya harapan.
Bab 6: Rumah Abu
Ucapan Sari, "Aku hanya ingin dia membalas," terus menghantui Dimas. Apakah wanita tua itu adalah dalangnya? Atau hanya sekadar menumpahkan isi hati yang terpendam, membiarkan dendam itu tumbuh liar dan melahap siapa saja yang terkait? Dimas tidak bisa memastikannya. Yang jelas, satu hal yang ia pahami adalah bahwa semua ini bermula dari masa lalu, dari tragedi seorang anak bernama Geri.
Malam itu, Dimas kembali ke rumah, pikirannya berkecamuk. Ia mencoba mengurai benang kusut yang semakin ruwet ini. Ia membuka kembali foto lama itu, memandangi wajah-wajah yang kini sebagian besar sudah mati. Ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menghubungkan mereka selain dari keterlibatan mereka dalam kematian Geri? Apakah ada tempat yang menjadi saksi bisu masa lalu mereka, sebuah lokasi yang mengikat semua kejadian itu?
Setelah berjam-jam menelusuri catatan lama ayahnya, menanyakan ke sana kemari pada tetangga yang lebih tua, dan bahkan mencari di arsip perpustakaan kota yang kumuh, Dimas akhirnya menemukan sebuah petunjuk. Semua korban, termasuk ayahnya dan ayah Rina, pernah memiliki hubungan dengan sebuah lokasi yang kini terbengkalai: Rumah Abu bekas panti asuhan. Bukan panti asuhan biasa, melainkan tempat yang dulunya menampung anak-anak yatim piatu dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Sebuah tempat yang ironisnya seharusnya menjadi tempat perlindungan, namun mungkin menyimpan kegelapan yang tak terucap.
Dengan jantung berdebar kencang, Dimas memutuskan untuk mengunjungi Rumah Abu itu pada siang hari, berharap tidak menarik perhatian. Bangunan itu menjulang angker, dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, jendela-jendela pecah, dan pintu utamanya berderit mengerikan saat ia mendorongnya. Aroma apak dan debu menyambutnya, membawa nuansa suram yang kental. Lorong-lorong gelap, kamar-kamar kosong yang dulunya mungkin dipenuhi tawa dan tangis anak-anak, kini hanya menyisakan keheningan mencekam.
Dimas menyalakan senter ponselnya, menelusuri setiap sudut. Di salah satu ruangan besar, yang dulunya mungkin ruang pertemuan atau ruang makan, ia menemukan dinding yang dipenuhi coretan nama-nama anak. Nama-nama yang diukir, ditulis dengan arang, atau bahkan dicoret dengan cat. Sebuah memorial yang menyedihkan. Matanya menyusuri daftar nama itu, satu per satu. Dan kemudian, ia menemukannya. Di tengah dinding, sebuah nama tercetak tebal, seolah ditekan dengan kemarahan: GERI. Di bawahnya, terdapat coretan lain, samar namun jelas terlihat: “Surat terakhir untuk dia yang tak pernah merasa bersalah.”
Dimas tercekat. Siapa "dia" yang tak pernah merasa bersalah? Apakah ini merujuk pada salah satu dari lima remaja itu? Atau kepada entitas yang lebih besar, yang mengendalikan semua ini? Tiba-tiba, sebuah suara derit pelan terdengar dari ujung lorong yang gelap. Dimas menoleh cepat, senternya menyapu kegelapan. Sekilas, ia melihat siluet tukang pos itu, topi bundar dan seragam jadulnya, berdiri di sana, mengawasinya. Tapi hanya sesaat. Begitu sorot senternya menimpa sosok itu, ia menghilang, seolah larut dalam bayangan, menyisakan hawa dingin yang menusuk.
Ketakutan Dimas bukan lagi karena hantu, melainkan karena kebenaran yang mulai ia pahami. Ia melanjutkan pencariannya. Di ujung lorong, ada sebuah pintu kayu yang terkunci dari luar dengan rantai berkarat. Dimas memaksa membuka pintu itu, mengoyak rantai dengan tenaganya yang tersisa. Di dalamnya, sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdebar kencang. Di atas meja kayu lapuk, berserakan puluhan surat belum terkirim. Amplop-amplop putih polos, persis sama dengan yang ia temukan. Di atasnya, tertulis nama-nama orang di kampung itu, nama-nama yang ia kenal, bahkan beberapa nama yang sangat asing baginya.
Ia mengangkat salah satu surat. Tanggal kematian yang berbeda-beda, dan kalimat-kalimat singkat yang penuh ancaman. Dimas menyadari kebenaran yang lebih besar dan lebih mengerikan: ini bukan hanya tentang satu peristiwa, bukan hanya tentang kematian Geri. Ini adalah jaringan dosa yang luas, sebuah pembalasan yang mencakup lebih dari sekadar lima remaja itu.
Melalui catatan-catatan lama yang ia temukan di Rumah Abu, Dimas belajar bahwa panti asuhan ini dulunya adalah tempat yang brutal. Anak-anak yang tinggal di sana seringkali menjadi korban kekerasan dari para pengasuh atau bahkan dari sesama anak-anak yang lebih tua dan kejam. Geri, yang digambarkan Bu Yati sebagai anak pendiam, ternyata adalah salah satu korban terparah. Ia sering menjadi sasaran ejekan, bullyan, dan bahkan kekerasan fisik dari anak-anak lain. Kematian Geri adalah klimaks dari penyiksaan mental dan fisik oleh teman-temannya sendiri, termasuk kelompok lima remaja yang kebetulan berada di sana saat itu, atau sekadar ikut menyaksikan dan menertawakan.
Kini, Dimas mengerti. Arwah Geri yang tersiksa itu, arwah seorang anak yang tak pernah mendapatkan keadilan, yang mati dalam kepanikan dan ejekan, adalah yang mengirimkan pesan-pesan ini. Dan ayahnya, si tukang pos, yang dulu gila setelah kematian anaknya, kini menjadi perantara, sebuah pembawa pesan dari dunia lain. Dendam ini tidak akan berhenti sampai semua yang terlibat, langsung maupun tidak langsung, membayar lunas semua dosa mereka.
Bab 7: Surat Balasan
Malam itu, setelah pulang dari Rumah Abu, Dimas merasa hancur. Ia membaringkan diri di tempat tidur, tapi pikiran-pikiran mengerikan itu terus berputar. Ia adalah yang berikutnya. Suratnya, bertanggal seminggu ke depan, tergeletak di meja samping tempat tidurnya, seolah mengejeknya. Ia harus melakukan sesuatu. Membakar surat-surat itu tidak berhasil. Meninggalkan kota? Mungkin itu bisa menghentikan kutukan ini?
Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di benaknya. Jika ini adalah pesan dari Geri, mungkin ia bisa membalasnya. Berkomunikasi dengannya. Mencoba memohon, atau bahkan menghadapi. Dengan tangan gemetar, Dimas mengambil selembar kertas kosong dan sebuah pena. Ia mulai menulis. Ia menulis surat permintaan maaf, permohonan ampun, dan penjelasan bahwa ia tidak terlibat dalam kejadian itu. Ia menulis bahwa ia hanya seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Ia menulis bahwa ia akan mencari keadilan untuk Geri, ia akan mengungkap kebenaran. Setelah selesai, ia melipatnya rapi dan meletakkan "surat balasan" itu di samping surat kematiannya. Kemudian, ia mengambil surat kematiannya, yang ditujukan kepadanya, dan mencoba membakarnya. Seperti di Rumah Abu, api seolah enggan membakar kertas itu. Tinta di surat itu seolah menyerap api, membuat kertasnya hanya menghitam tanpa menjadi abu.
Malam itu, Dimas terlelap dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keputusasaan. Namun, tidurnya tidak tenang. Ia terjebak dalam mimpi buruk yang mengerikan. Ia berada di sebuah tempat gelap, mirip dengan Rumah Abu, dan di sekelilingnya, puluhan sosok anak-anak gelap muncul dari bayangan. Mereka kurus, mata mereka kosong, dan dari mulut mereka terdengar suara tawa yang menyeramkan, tawa mengejek yang menggema, tawa yang mirip dengan tawa para remaja yang mengejar Geri. Mereka bergerak mendekat, tangan-tangan kecil mereka yang dingin mencakar-cakar tubuh Dimas. Ia merasakan sakit yang nyata. Ia berteriak, mencoba melarikan diri, tapi mereka terlalu banyak, terlalu cepat.
Dimas terbangun dengan terkesiap, napasnya terengah-engah, tubuhnya bersimbah keringat. Ia menekan dadanya yang berdenyut kencang. Ketika ia mengamati tubuhnya, kengerian kembali melanda. Di lengan dan lehernya, ada luka cakaran yang nyata, kemerahan dan perih, persis seperti yang ia rasakan dalam mimpi. Itu bukan hanya mimpi. Itu adalah peringatan.
Ia melihat ke meja samping tempat tidurnya. Surat balasan yang ia tulis tadi malam, sudah tidak ada. Tapi surat kematian untuknya, yang ia coba bakar, masih ada di sana, utuh, tanpa bekas terbakar sedikit pun. Dan di sampingnya, sebuah surat baru, dengan tulisan tangan yang sama persis, dan tanggal yang sama: seminggu lagi. Ia tidak bisa menghindar.
Dimas merasa putus asa. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri dari kutukan ini. Ia mencoba mengepak barang-barangnya, berencana untuk pergi dari kota, meninggalkan segalanya di belakang. Mungkin, jika ia pergi jauh, kutukan itu tidak akan mengikutinya.
Tepat saat ia akan membuka pintu, ponselnya berdering. Itu adalah nomor tak dikenal. Dimas ragu-ragu, tapi ia mengangkatnya. Suara yang sangat tua dan serak terdengar di ujung sana. Itu Sari, ibu Geri.
“Nak Dimas… kau mau pergi?” suara Sari terdengar lemah, namun mengandung kekuatan yang aneh. “Jangan… jangan coba-coba lari.”
Dimas terdiam. Bagaimana Sari tahu?
“Jika kau pergi,” lanjut Sari, suaranya kini terdengar lebih kuat, “kau akan membawa kutukannya bersamamu. Kau akan membawa Geri dan semua suratnya ke mana pun kau pergi. Mereka tidak akan pernah melepaskanmu.”
Punggung Dimas merinding. “Lalu… apa yang harus kulakukan, Nek?” tanyanya, suaranya bergetar.
“Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan ini,” jawab Sari, napasnya terengah-engah. “Satu-satunya cara adalah mengantarkan surat terakhir ke orang yang paling berdosa.”
Dimas tercengang. “Siapa? Siapa yang paling berdosa, Nek?”
Sari terdiam sejenak, suara napasnya terdengar berat. “Surat itu… belum dikirimkan. Surat itu… ada di sakuku.”
Dimas merasa dunianya runtuh. Sari? Ibu Geri?
“Surat itu untukku,” kata Sari, dengan nada pasrah. “Aku yang paling berdosa. Aku yang tidak pernah membela anakku, aku yang membiarkan mereka mengerjainya, aku yang hanya bisa berharap ada yang membalas dendam untuknya… Aku yang membiarkan dendam ini tumbuh.” Ada jeda yang panjang. “Tapi aku… aku belum siap mati.”
Dimas dihadapkan pada pilihan yang mustahil. Mengantarkan surat kematian terakhir kepada Sari, wanita tua yang rapuh yang telah kehilangan segalanya? Atau membakar surat itu, mencoba melawan kutukan yang tampaknya tak terkalahkan, dan mengambil risiko menjadi penerus si tukang pos misterius? Sari, ibu Geri, adalah kunci untuk mengakhiri atau melanjutkan siklus mengerikan ini.
Bab 8: Perjanjian di Tengah Hujan
Pikiran Dimas berputar kacau. Mengantarkan surat kematian kepada seorang wanita tua yang sudah di ambang maut, yang telah kehilangan segalanya, bahkan kehidupannya sendiri terasa tergantung pada sehelai kertas? Hatinya bergejolak. Ia tidak bisa melakukannya. Tapi, jika ia tidak melakukannya, ia tahu apa yang akan terjadi. Ia akan menjadi yang berikutnya. Tanggal di suratnya semakin dekat.
Ia kembali menelepon Sari. “Nek… aku tidak bisa. Aku tidak bisa mengantarkan surat itu padamu,” ucap Dimas, suaranya parau.
Sari hanya menghela napas panjang. “Ini bukan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa, Nak Dimas. Ini tentang takdir. Tentang lingkaran yang harus ditutup. Tapi… berikan aku waktu, Nak. Aku hanya ingin menyelesaikan doaku untuk arwah anakku. Aku ingin berpamitan dengannya dengan layak. Hanya beberapa hari.”
Dimas ragu. Beberapa hari? Mungkinkah itu akan menghentikan semuanya? Atau hanya menunda hal yang tak terhindarkan? Ia menatap surat di meja, yang tertera tanggal kematiannya sendiri. Ia tak punya banyak waktu.
“Berapa lama, Nek?” tanya Dimas, mencoba menahan diri.
“Dua hari. Hanya dua hari,” pinta Sari, suaranya penuh harapan.
Dimas menghela napas berat. “Baiklah, Nek. Dua hari.”
Namun, malam itu, pikiran Dimas terus dihantui. Ia merasa dia tidak bisa lagi menunda. Ketakutan akan menjadi korban berikutnya, ketakutan akan menjadi bagian dari rantai ini, lebih besar daripada rasa iba pada Sari. Hujan turun deras, membasahi jendela kamarnya. Tiba-tiba, ia membuat keputusan impulsif. Ini harus berakhir sekarang.
Dengan surat di tangan, Dimas keluar dari rumahnya. Ia berkendara ke rumah jompo Sari. Hujan deras mengguyur, membuat jalanan licin dan pandangannya terbatas. Sesampainya di sana, ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar Sari, tangannya gemetar. Ia menyelipkan surat itu di bawah pintu, memastikan surat itu masuk sempurna. Setelah itu, tanpa menoleh, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Sari dan surat takdirnya di tengah guyuran hujan.
Esok pagi, Dimas terbangun dengan perasaan hampa. Ia merasa lelah, tapi juga ada sedikit kelegaan yang samar. Ia telah melakukan bagiannya. Beberapa jam kemudian, telepon berdering. Pihak rumah jompo mengabarkan bahwa Sari ditemukan meninggal di kamarnya. Ia ditemukan dalam posisi sujud, seolah sedang berdoa, dengan surat terbuka di depannya. Surat kematiannya. Berarti, ia sempat membacanya. Mungkin ia memang sudah siap.
Dimas merasa campur aduk. Sedih, tapi juga ada secercah harapan. Mungkin, kutukan ini sudah berakhir. Selama tiga hari berikutnya, tidak ada surat baru. Tidak ada kucing hitam. Tidak ada penampakan tukang pos. Kutukan seolah-olah telah berhenti.
Namun, ketenangan itu hanya bersifat sementara. Pada malam ketiga, Dimas kembali dihantui mimpi buruk. Bukan lagi tawa anak-anak gelap, melainkan ratusan surat yang belum terkirim, berhamburan di sekelilingnya, menumpuk, menenggelamkannya. Ia mendengar bisikan-bisikan, nama-nama yang tidak ia kenal, tanggal-tanggal yang berbeda. Ia terbangun dengan napas memburu, tubuhnya dingin.
Firasat buruk kembali mencengkeramnya. Ia tahu, ini belum berakhir. Ada sesuatu yang salah. Ia harus kembali ke makam Geri. Mungkin ada petunjuk lain di sana.
Dengan hati-hati, Dimas kembali ke bukit sepi itu, ke makam tanpa nama yang hanya ditandai oleh batu datar. Saat ia tiba, hujan gerimis baru saja berhenti. Ia berjongkok di depan batu itu, pandangannya menyapu sekeliling. Dan di bawah batu nisan, tersembunyi dengan sengaja, Dimas menemukan sebuah amplop putih. Sebuah surat terakhir.
Ia membukanya dengan tangan bergetar. Isinya singkat, dingin, dan mengerikan: “Satu yang tersisa—pengganti pengirim.”
Dan di bawah kalimat itu, tertera sebuah nama. Namanya sendiri.
Dimas merasakan seluruh darahnya mengering. Ia bukan lagi korban yang menunggu giliran. Ia adalah "pengganti pengirim."
Sebuah kebenaran brutal menghantamnya: semua tukang pos sebelumnya—entitas yang mungkin adalah ayah Geri, atau manifestasi dendam Geri—adalah "pengganti". Mereka adalah korban terakhir, yang setelah kematiannya, berubah menjadi pembawa kutukan, pengantar surat maut selanjutnya. Mereka tidak bisa berhenti sampai semua surat dikirimkan, sampai semua dendam terbayar. Jika surat terakhir tidak dikirimkan oleh korban terakhir, maka pengganti baru akan lahir. Dan pengganti itu adalah Dimas.
Kini, surat itu atas nama Dimas, tapi isinya berbeda. Itu bukan surat kematian yang mengancam dirinya, melainkan surat yang menobatkannya sebagai pengirim berikutnya. Ia telah menutup lingkaran itu, bukan sebagai korban, melainkan sebagai penerus dendam. Ia telah mengantarkan surat terakhir kepada Sari, dan dengan melakukannya, ia telah menandatangani takdirnya sendiri.
Bab 9: Tukang Pos Baru
Kebenaran pahit itu menghantam Dimas seperti palu godam. Ia bukan lagi seorang penyelidik, bukan lagi calon korban. Ia adalah penerus. Tulisan "pengganti pengirim" di surat terakhir itu adalah vonis mati, bukan kematian fisik, melainkan kematian jiwanya. Ia telah mengantarkan surat terakhir kepada Sari, dan dengan demikian, ia telah memenuhi takdir yang disiapkan oleh Geri, atau oleh dendam yang tak terlihat itu. Kini, surat itu atas namanya, bukan sebagai penerima, melainkan sebagai pembawa.
Dimas kembali ke Rumah Abu, tempat ia menemukan puluhan surat belum terkirim. Ia harus menghentikan ini. Ia harus menghancurkan semua surat itu. Tangannya gemetar saat ia menyalakan korek api, api kecil menari-nari di ujung jarinya. Ia mencoba membakar tumpukan amplop putih itu. Anehnya, api itu hanya menjilat-jilat kertas, tinta pada tulisan itu seolah menyerap panas, membuat kertas hanya menghitam, menghangus, namun tidak pernah benar-benar menjadi abu. Seolah-olah surat-surat itu hidup, menolak untuk mati. Ia mencoba lagi, dan lagi, dengan korek api yang berbeda, bahkan mencoba menggunakan spiritus, tapi hasilnya sama. Surat-surat itu tidak bisa terbakar. Tinta mereka menyerap api, menolak untuk dihancurkan, seolah mereka memiliki kekuatan mistis yang melindungi keberadaan mereka.
Kepanikan melanda Dimas. Jika ia tidak bisa menghancurkannya, ia harus pergi. Melarikan diri dari kota ini, dari takdir ini. Ia mengepak tasnya dengan tergesa-gesa, meraih kunci mobilnya, dan melesat keluar. Ia mengemudi tanpa tujuan, hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari Makassar, dari kampung ini, dari bayangan Geri dan tukang pos misterius itu. Ia melewati batas kota, masuk ke jalan tol, dan terus melaju. Namun, setelah beberapa jam, ia merasa aneh. Pemandangan di luar jendela tampak familiar. Ia merasa seperti berputar-putar.
Ia meminggirkan mobilnya, memeriksa GPS. Jantungnya berdesir hebat. GPS-nya menunjukkan ia berada di jalan yang sama yang ia lewati tadi, mengarah kembali ke kampungnya. Ia mencoba jalan lain, berbelok di persimpangan yang berbeda, mengambil jalur memutar. Tapi setiap kali, entah bagaimana, ia selalu menemukan dirinya kembali ke pintu masuk kampung, seolah ada dinding tak terlihat yang memaksanya kembali. Jalan selalu kembali ke kampung. Ia terjebak.
Malam itu, setelah kembali ke rumahnya yang terasa asing, ia menemukan sesuatu yang tergeletak di depan pintu. Sebuah bungkusan kain usang. Ketika ia membukanya, sebuah seragam tukang pos tua terhampar di lantai. Seragam itu persis seperti yang dikenakan oleh tukang pos misterius yang selama ini ia lihat: jaket biru tua yang lusuh, celana panjang yang warnanya memudar, dan sebuah topi bundar yang sudah usang. Di saku jaket, ada sebuah emblem bordir yang sudah sobek sebagian, bertuliskan "PT Pos Indonesia, Cabang Makassar, 1990-an". Aroma apak dan tanah basah menyeruak dari kain itu, aroma yang persis sama dengan yang ia cium dari surat pertama Rina.
Teror mencengkeramnya. Ini bukan kebetulan. Ini adalah pesan. Sebuah penobatan.
Sepanjang malam, Dimas tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu yang gelap, memandangi seragam itu. Kemudian, ia mulai mendengar suara. Awalnya samar, lalu semakin jelas. Suara langkah sepatu pos tua yang mantap, beraturan, terdengar di luar rumahnya, seolah berjalan bolak-balik di teras. Suara itu terasa begitu nyata, begitu dekat, seolah tukang pos itu sedang menunggu di depan pintu. Dimas tahu, ini adalah suara langkah kaki yang sama yang ia dengar saat Rina meninggal, saat Pak Arman meninggal, saat Pak Narto meninggal. Itu adalah langkah kaki takdir, langkah kaki sang pengantar surat kematian.
Pada puncak keputusasaan, Dimas menyadari satu-satunya jalan bebas yang tersisa baginya: ia harus menyerahkan surat terakhir. Surat yang ada di makam Geri, surat yang menobatkannya sebagai "pengganti pengirim," surat atas namanya sendiri. Ia harus mengantarkan surat itu kepada dirinya sendiri. Sebuah ironi yang menyayat hati.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil surat itu dari dompetnya. Ia menatap tanggal yang tertulis di sana, tanggal kematiannya sebagai manusia biasa. Ia mencoba meletakkannya di meja samping tempat tidurnya, seolah ia adalah korban yang akan menerima. Tapi setiap kali ia meletakkannya, surat itu selalu kembali ke meja, menatapnya, seolah menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang lebih. Surat itu menolaknya sebagai penerima, karena ia kini adalah pengirim.
Dimas ambruk ke lantai, air mata mengalir dari matanya. Ia tidak bisa lagi lari. Ia tidak bisa lagi melawan. Ia telah menjadi bagian dari kutukan ini.
Dalam tidurnya yang gelisah, Geri muncul. Bukan Geri yang ketakutan dan disiksa, melainkan Geri kecil dengan mata hitam kosong, berdiri di tengah kegelapan Rumah Abu. Suaranya terdengar seperti bisikan angin, namun tajam dan dingin. “Kau sudah membaca semuanya. Kau sudah tahu semuanya,” kata Geri. “Kini kau harus meneruskan. Mereka harus membayar. Semua dosa harus terbayar.”
“Tidak! Aku tidak bisa!” teriak Dimas dalam mimpinya.
Geri hanya tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak kekanak-kanakan. “Kau sudah memilih. Kau telah mengantarkan surat terakhir. Kau adalah kami sekarang.”
Dimas terbangun dengan keringat dingin. Ia berlari ke cermin. Wajahnya, yang dulunya penuh ekspresi, perlahan-lahan kehilangan warnanya. Matanya menjadi lebih cekung, tatapannya kosong. Ada bayangan samar topi bundar di kepalanya. Ia perlahan kehilangan wajahnya di cermin, digantikan oleh bayangan samar, wajah yang tak terlihat, seperti yang ia lihat dari sosok tukang pos misterius itu selama ini. Ia melihat dirinya, tapi itu bukan lagi dirinya. Itu adalah bayangan tukang pos.
Di pagi hari, suasana kampung terasa sunyi. Seorang anak kecil bernama Aldi, yang sedang bermain di halaman rumahnya, terdiam. Ia melihat seorang tukang pos berjalan pelan di jalanan, langkahnya mantap, seragamnya jadul, dan topinya menutupi sebagian besar wajahnya. Anak itu mengerutkan kening. Wajah tukang pos itu tampak kabur, tidak jelas. Namun, ia melihat postur tubuhnya. Entah kenapa, postur itu terasa familiar. Itu mirip dengan postur Dimas, pemuda yang sering ia lihat berlarian di kampung.
Tukang pos baru itu berhenti di sebuah rumah, menyelipkan sebuah amplop putih polos ke dalam kotak surat, lalu melanjutkan perjalanannya, menghilang di balik tikungan.
Bab 10: Surat Pertama untuk Korban Baru
Beberapa hari kemudian, hari yang cerah di awal Agustus. Aldi, anak muda yang melihat tukang pos baru itu, pulang sekolah. Ibunya memintanya mengambil surat di kotak pos. Dengan langkah riang, Aldi membuka kotak pos dan menemukan sebuah amplop putih. Warnanya putih polos, tanpa nama pengirim, persis seperti yang ia lihat dibawa oleh tukang pos baru itu. Ia membuka amplop itu dengan rasa ingin tahu.
Di dalamnya, hanya ada selembar kertas. Di atasnya, sebuah tanggal tertera jelas: “14 Agustus 2025.” Dan di bawahnya, sebuah daftar nama. Aldi bingung. Ia tidak mengenal nama-nama itu. Sebuah daftar panjang, seolah sebuah silsilah keluarga.
"Bu, lihat ini," kata Aldi, menyodorkan surat itu kepada ibunya.
Ibunya, yang sedang memasak di dapur, mengambil surat itu. Matanya menyusuri tulisan itu. Perlahan, wajahnya yang cerah berubah menjadi pucat pasi. Tangannya mulai bergetar, dan surat itu hampir jatuh dari genggamannya. "Dari mana kau dapat ini, Di?" tanyanya, suaranya tercekat.
"Dari kotak pos, Bu. Tukang pos baru yang kasih," jawab Aldi polos.
Ibu Aldi melihat daftar nama itu lagi. Dan di antara nama-nama asing, sebuah nama mencolok, sebuah nama yang sangat ia kenal: ayah Aldi. Ayahnya, yang selama ini ia kira tidak punya kaitan dengan masa lalu yang mengerikan itu. Ayahnya, yang ternyata juga salah satu remaja dalam foto lama, remaja yang tidak pernah Dimas kenali secara spesifik dalam penelusurannya. Ayahnya adalah satu-satunya dari lima remaja dalam foto itu yang belum menjadi korban.
"Bakar! Bakar surat ini, Di!" perintah ibu Aldi, suaranya histeris, mendorong surat itu kembali ke tangan anaknya. "Jangan pernah baca lagi!"
Namun, Aldi sudah membaca nama-nama itu, dan melihat tanggalnya. Teror yang dulu dimulai dengan Rina, kini berlanjut ke generasi berikutnya.
Kamera CCTV tetangga, yang baru dipasang setelah kejadian Rina, menangkap pemandangan yang sama. Tukang pos baru berjalan pelan di jalan, langkahnya mantap, seragamnya jadul. Wajahnya kabur, tidak jelas, tertutup bayangan topi. Tapi postur tubuhnya, cara berjalannya… itu adalah Dimas.
Kutukan belum selesai. Surat terus berjalan. Dimas telah menjadi “penerus” pos, terikat selamanya pada siklus dendam ini. Ia kini tak bisa berhenti berjalan, tak bisa berhenti mengantarkan surat. Setiap langkahnya adalah keharusan, setiap amplop yang ia serahkan adalah pemenuhan dendam yang tak berujung. Surat-surat itu akan terus dikirim, satu per satu, sampai semua dosa terbayar. Bukan hanya dosa para pelaku, tapi juga dosa para saksi bisu, para pewaris, dan mungkin, bahkan anak-anak yang tak bersalah yang kini akan menjadi korban karena warisan masa lalu yang kelam.
Kisah ini berakhir dengan sebuah peringatan yang dingin, berbisik dari halaman terakhir, sebuah takdir yang menunggu siapa saja yang berani membuka amplop putih polos tanpa pengirim:
“Jika kau menerima surat itu… jangan dibuka.”