Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,108
Losmen Berdarah
Horor

Losmen Sunyi Bagian 1: Kedatangan

Kabut turun lebih cepat dari biasanya di jalur pegunungan yang sunyi, memeluk erat setiap pohon cemara dan bebatuan licin dengan sentuhan dinginnya. Mobil keluarga milik Rino, sebuah MPV tua yang setia, meraung pelan sebelum akhirnya batuk-batuk dan mati total di tikungan curam yang menanjak. Malam sudah sepenuhnya merayap, menelan sisa cahaya senja dan meninggalkan mereka dalam kegelapan pekat. Tidak ada sinyal ponsel, batang-batang sinyal di layar hanya menunjukkan "Tidak Ada Layanan", seolah mereka terputus dari dunia luar. Tidak ada lampu jalan, hanya siluet pohon-pohon raksasa yang tampak seperti penjaga diam di kedua sisi jalan. Satu-satunya suara yang mengisi kekosongan itu adalah bunyi serangga malam yang berderik tak henti, dan desir angin yang berbisik di antara dedaunan cemara yang lebat.

"Kayaknya bensinnya habis," kata Rino dengan nada menyesal, suaranya sedikit pecah karena rasa frustrasi yang mendalam. Ia menatap istrinya, Dina, yang duduk di kursi penumpang depan, wajahnya samar-samar terlihat dalam temaram. "Tadi kupikir masih cukup sampai ke kota bawah. Aku salah perhitungan."

Dina mendesah pelan, suara napasnya terdengar berat. Ia memeluk tubuh mungil Citra, putri mereka yang baru berusia delapan tahun, yang sudah mulai mengantuk di kursi belakang, bersandar di bahu ibunya. “Ini salah siapa yang ngotot ambil jalan alternatif?” tanyanya, separuh menggoda untuk meringankan suasana, separuh lagi cemas karena situasi yang tak terduga ini. Jalan ini memang pilihan Rino, katanya ingin menikmati pemandangan alam yang berbeda, menghindari keramaian jalan utama. Kini, keputusan itu terasa seperti jebakan.

Tiba-tiba, Citra mengangkat tangannya yang kecil, menunjuk ke arah bukit kecil di sisi kanan jalan. Matanya yang mengantuk sedikit terbuka, menunjukkan binar cahaya. "Itu... lampu! Aku lihat lampu, Yah!" suaranya pelan, tapi penuh keyakinan.

Rino menyipitkan mata, berusaha menembus tirai kabut yang semakin pekat. Di kejauhan, di tengah gulungan kabut putih dan jajaran pohon-pohon raksasa yang menjulang, tampak samar-samar siluet sebuah bangunan besar dengan jendela-jendela yang berpendar kuning hangat. Cahaya itu memecah kegelapan, menawarkan secercah harapan. Seperti sebuah losmen... atau mungkin rumah besar yang entah mengapa berada di tengah antah berantah.

Mereka memutuskan untuk berjalan kaki. Tidak ada pilihan lain. Mereka menembus kabut, menyusuri jalan setapak batu yang nyaris tertutup lumut dan tanah basah. Setiap langkah terasa berat, sepatu mereka licin di atas bebatuan yang lembap. Udara semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Sepuluh menit kemudian, setelah berjalan dalam keheningan yang mencekam, mereka berdirilah di depan bangunan besar bergaya kolonial, yang tampak usang namun megah dalam kegelapan. Di gerbang kayunya yang tua dan berderit, terdapat papan kayu lapuk yang sebagian catnya sudah mengelupas, bertuliskan dengan huruf kuno:

LOSMEN SUNYI – BERDIRI SEJAK 1948

“Sunyi banget tempatnya,” gumam Dina, suaranya bergetar pelan, sambil semakin merangkul Citra yang sudah sepenuhnya terjaga dan menatap bangunan itu dengan mata lebar. “Pas sama namanya.”

Pintu utama yang terbuat dari kayu jati tua berderit keras saat Rino mendorongnya. Suara derit itu memecah keheningan yang menyesakkan, seolah membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur. Aroma kayu tua bercampur dengan bau dupa yang samar namun kuat menyambut mereka, memenuhi indra penciuman mereka dengan sensasi yang aneh, menenangkan sekaligus misterius.

Di meja resepsionis, yang terbuat dari kayu ukir gelap, berdiri seorang wanita tua. Ia mengenakan kebaya putih bersih yang rapi disetrika, dengan rambut disanggul sederhana dan wajah yang tenang. Senyum tipis yang tidak pernah surut dari wajahnya membuat wanita itu tampak seperti lukisan kuno yang hidup.

“Selamat malam,” katanya dengan suara lembut, nyaris seperti bisikan, namun terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu. “Saya Ibu Aryati. Kami senang sekali menerima tamu baru malam ini.” Tatapannya ramah, namun ada sesuatu yang tak bisa Rino dan Dina definisikan, sesuatu yang terlalu tenang di matanya.

Ruangan demi ruangan di dalam losmen tampak bersih dan rapi, seolah baru saja dibersihkan, namun suasananya terlalu... diam. Tidak ada suara televisi yang mengalun, tidak ada tawa atau obrolan tamu lain yang terdengar, hanya keheningan yang mendalam. Para tamu lain hanya duduk di kursi rotan yang berjajar rapi di ruang tamu, beberapa membalik-balik koran tua yang tanggalnya sudah usang, sebagian lagi hanya menatap kosong ke jendela, seolah terpaku pada pemandangan kabut di luar. Mereka tampak seperti patung, nyaris tak bergerak.

“Losmen ini... masih beroperasi?” tanya Rino pelan, suaranya ragu-ragu. Ia merasa aneh melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan yang biasa ada di sebuah losmen.

“Tentu,” jawab Ibu Aryati, senyumnya tetap terpahat. “Kami tidak pernah tutup. Selalu terbuka bagi siapa pun yang tersesat.” Kata-katanya terdengar biasa saja, namun ada sesuatu yang mengganggu dalam intonasinya—seperti naskah yang diulang-ulang selama puluhan tahun, tanpa emosi yang berarti, namun dengan ketegasan yang aneh.

Mereka diberi kamar di lantai atas. Sepanjang lorong, lukisan-lukisan tua berjejer rapi di dinding. Semuanya adalah potret orang-orang berpakaian zaman dulu, dengan gaya yang sudah ketinggalan. Mata mereka menatap lurus ke depan, seolah mengikuti setiap gerak-gerik Rino, Dina, dan Citra. Salah satu potret bahkan tampak sangat mirip dengan pria yang sedang duduk di ruang tamu tadi, membalik koran tua dengan mata kosong.

Citra menunjuk salah satu potret, suaranya berbisik. “Bu, kenapa lukisannya kayak... ngikutin kita?”

Dina menggigil pelan, perasaan tidak nyaman mulai merayapi hatinya. “Itu cuma perasaan, Nak,” bisiknya, berusaha meyakinkan diri sendiri juga.

Malam turun sepenuhnya, melukis losmen dalam warna abu-abu yang suram. Hujan mulai mengguyur atap losmen, menciptakan irama konstan yang menenangkan sekaligus membuat suasana makin dingin dan mencekam. Rino menyalakan lampu minyak di kamar mereka, cahaya kekuningan itu memberi sedikit kehangatan, namun bayangan yang tercipta di dinding justru menambah kesan horor.

Tapi tidur tidak datang dengan mudah malam itu.

Losmen Sunyi Bagian 2: Rahasia Losmen dan Tawaran Arwah

Citra terbangun duluan, jantungnya berdegup kencang. Ia mendengar suara nyanyian… suara anak kecil. Sebuah lagu Jawa yang pelan, samar, mengalun lembut di lorong, seperti bisikan angin di antara dedaunan. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya. Dengan langkah-langkah kecil dan tak bersuara, ia keluar dari kamar tanpa membangunkan orang tuanya, mengikuti suara nyanyian yang memikat itu.

Di ujung lorong, bayangan yang samar mulai terbentuk. Citra melihat seorang anak perempuan—usia sekitar delapan tahun, sebayanya, mengenakan gaun tidur putih lusuh yang tampak kotor di beberapa bagian. Rambutnya panjang dan hitam, menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Anak itu membalik tubuh perlahan, seolah menyadari kehadiran Citra, dan menatapnya.

Wajahnya… sebagian hancur, seolah terbakar parah, dengan kulit yang mengelupas dan mata cekung. Namun, anehnya, matanya lembut, memancarkan kesedihan yang mendalam. Anak itu mengangkat jarinya yang kurus ke bibirnya, mengisyaratkan agar Citra diam. Citra mundur, ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokannya, terperangkap oleh rasa takut dan teror yang luar biasa. Lalu… anak itu menghilang begitu saja, lenyap dalam kegelapan lorong, seolah tak pernah ada.

Keesokan paginya, Citra menceritakan semuanya kepada Rino dan Dina, dengan napas tersengal dan mata berkaca-kaca. Tapi Rino dan Dina, yang berusaha keras untuk tetap rasional di tengah situasi aneh ini, menganggap itu hanya mimpi buruk, sisa dari kelelahan dan suasana yang menakutkan. "Itu cuma mimpi, Nak," kata Dina lembut, membelai rambut Citra. "Kamu pasti kecapekan."

Namun, keanehan mulai terakumulasi, semakin nyata dan tak terbantahkan. Sarapan yang disajikan—nasi goreng dengan telur mata sapi dan teh manis hangat—disiapkan oleh seorang pelayan yang tidak berbicara sepatah kata pun. Pelayan itu berjalan tanpa suara, nyaris melayang, matanya kosong dan tak berbinar, seolah tak memiliki jiwa. Dan setiap kali Rino atau Dina berkedip… rasanya pelayan itu sudah berpindah posisi, muncul di tempat yang berbeda dalam sekejap mata, seperti hantu.

Rino mencoba memanfaatkan waktu pagi untuk mencari sinyal keluar, atau setidaknya jalan menuju kota. Ia menyusuri jalan menurun di depan losmen selama hampir satu jam, melewati semak-semak lebat dan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Namun, entah bagaimana, ia kembali ke halaman depan losmen. Jalan yang ia tempuh terasa seperti lingkaran setan, selalu membawanya kembali ke titik awal.

"Aku nggak ngerti," kata Rino, wajahnya pucat pasi, menatap Dina dan Citra. "Aku jalan lurus terus... tapi malah balik ke sini lagi. Kayak jalanan ini berputar."

Ibu Aryati menatapnya dengan tenang dari beranda, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ada senyum tipis di bibirnya, nyaris tak terlihat. “Losmen ini... menjaga tamunya dengan baik,” katanya, suaranya lembut, namun dengan nada yang mengandung makna lebih dalam.

Malam kedua, kengerian itu semakin terasa. Dina, yang merasa gelisah, memutuskan untuk merapikan kamar. Saat ia menarik seprai tempat tidur, sebuah surat tua terselip di bawah kasur. Kertasnya rapuh, berwarna kuning kecoklatan dan nyaris hancur. Tulisan tangan di atasnya sudah pudar dan terbaca dengan susah payah, seolah ditulis tergesa-gesa oleh seseorang yang sedang putus asa:

“Jangan percaya pada mereka. Mereka semua mati. Dibantai. Tahun 1952. Setiap tamu baru... harus menggantikan tempat mereka. Atau... temukan pengganti. Mereka butuh darah. Butuh tubuh. Jangan tertipu wajah ramah mereka.”

Tangan Dina gemetar hebat, surat itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia menunjukkan surat itu pada Rino, dan untuk pertama kalinya… mereka berdua benar-benar mulai merasa ketakutan yang sesungguhnya. Ketakutan yang membeku, menyelimuti seluruh tubuh mereka.

Tapi sudah terlambat.

Losmen Sunyi Bagian 3: Jebakan Abadi

Pagi itu, setelah tidur yang nyaris tak menenangkan, di mana mimpi buruk dan bisikan-bisikan aneh berkelebat dalam pikiran, Rino mencoba mencari akal. Wajahnya lesu, lingkaran hitam di bawah matanya jelas menunjukkan kurang tidur. Ia turun ke ruang depan, menemui Ibu Aryati yang seperti biasa duduk di beranda, mengenakan kebaya putih dan selendang batik yang rapi disetrika. Aura ketenangan yang memancar darinya kini terasa lebih menyeramkan daripada menenangkan. Uap teh dari cangkir kecil di depannya mengepul pelan, seolah waktu bergerak sangat lambat di tempat ini.

“Ibu Aryati,” Rino membuka suara dengan sopan namun tergesa, suaranya sedikit parau. “Apa mungkin Ibu bisa bantu hubungi kendaraan untuk kami? Kami... harus turun ke kota. Ada urusan mendesak.” Ia berusaha terdengar normal, namun nada suaranya bergetar.

Wanita tua itu hanya menatapnya lembut. Tatapannya penuh pemahaman, seolah sudah mendengar permintaan yang sama ribuan kali, dari bibir-bibir yang kini telah sunyi. “Sayangnya, Nak Rino, losmen ini... tidak berada di tempat yang biasa dilalui siapa pun. Bahkan sinyal pun enggan mampir.” Ia tersenyum kecil, senyum itu semakin terasa seperti selimut tipis yang menutupi rahasia yang dalam dan membusuk, rahasia yang terukir di setiap sudut bangunan tua ini.

Rino berusaha menahan rasa kesal dan panik yang mulai melonjak dalam dirinya. “Tapi... kami tidak bisa tinggal di sini. Anak saya... dia mulai terganggu. Dia demam. Kami butuh bantuan medis.” Ia mencoba menggunakan alasan darurat medis, berharap Ibu Aryati akan menunjukkan sedikit empati.

“Banyak tamu kami awalnya begitu,” jawab Ibu Aryati dengan nada seperti nyanyian yang monoton, seperti kaset rusak yang diulang-ulang. “Namun, lama-kelamaan mereka terbiasa. Bahkan betah.” Ada nada kepuasan aneh dalam suaranya saat mengucapkan kata 'betah'. Rino memaksakan senyum, hatinya mencelos. Dalam pikirannya, satu suara saja terus bergema, berulang-ulang: Harus keluar. Sekarang. Bagaimanapun caranya.

Di kamar lantai dua, suasana semakin mencekam. Dina duduk di samping tempat tidur, menggenggam erat tangan Citra yang terbaring lemah, tubuhnya panas tinggi, keringat membasahi dahinya. Mata Citra setengah terbuka, pandangannya kosong, dan ia mulai meracau dalam igauan.

“Dia nyanyi lagu yang sama lagi,” bisik Dina pelan, suaranya bergetar. “Lagu Jawa itu... yang kita dengar waktu pertama malam.” Lagu yang sama yang pernah didengar Citra dari anak perempuan berwajah hancur itu.

Tiba-tiba, Citra bergumam, “Aku mau ikut mereka... aku bisa main di taman... jadi adik…” Suaranya melirih, seolah bicara dengan seseorang yang tidak terlihat oleh Dina. Dina menelan ludah, air mata menggenang di pelupuk matanya. Sejak malam kedua, Citra tak pernah sama. Sorot matanya… terkadang terlihat jauh dan kosong, seperti sedang melihat sesuatu yang tidak terlihat orang dewasa, atau bahkan dirinya sendiri.

Saat Rino kembali ke kamar dan mendengar cerita itu, ia tak lagi bisa menyangkal. Semua rasionalitas yang ia pertahankan runtuh. “Ini bukan cuma mimpi. Bukan halusinasi. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Mereka memutuskan untuk keluar. Apa pun yang terjadi, mereka akan menembus kabut, mencari jalan, berjalan kaki sampai dapat pertolongan. Mereka tidak bisa lagi tinggal di Losmen Sunyi yang mengerikan ini. Mereka mengumpulkan barang seadanya, menggendong Citra yang lemas, dan mencoba menemukan jalan keluar.

Namun, seperti mimpi buruk yang berulang, setiap lorong yang mereka lalui hanya membawa mereka kembali ke kamar. Setiap pintu yang mereka buka menuju ruangan yang sama, meski mereka bersumpah telah mengubah arah. Tangga tampak panjang tak berujung, setiap langkah yang mereka ambil terdengar gema langkah mereka sendiri, berganda, seperti ada yang mengikuti dari belakang, tak terlihat namun terasa kehadirannya. Dan jendela… ketika mereka coba buka, hanya memperlihatkan kabut tebal yang tak memperlihatkan apa pun, bahkan tanah di bawahnya. Seolah mereka terperangkap di dalam sebuah sangkar tanpa dinding, hanya kabut tak berujung.

Dina menangis perlahan, isakannya tertahan di tenggorokan. Rino menahan tubuhnya yang mulai gemetar, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Citra, anehnya, justru terlihat tenang. Terlalu tenang, seolah ia sudah menerima nasibnya, atau mungkin, sudah berada di alam yang berbeda.

Losmen Sunyi Bagian 4: Pengungkapan dan Pilihan Mengerikan

Malam ketiga. Hujan kembali turun, disertai petir yang menggelegar, menerangi ruangan sesaat dengan kilatan cahaya yang menakutkan. Ketukan itu datang seperti irama tetabuhan, lambat, penuh tekanan, setiap ketukan menggetarkan dinding dan jiwa mereka.

Tok... tok... tok.

Rino membuka pintu sedikit, hanya celah kecil. Apa yang dilihatnya membuat darahnya mengalir deras ke kepala, jantungnya berpacu gila-gilaan di dalam dadanya. Di lorong, berdiri barisan manusia. Tapi mereka bukan manusia biasa.

Mereka adalah arwah. Para penghuni lama Losmen Sunyi. Wajah-wajah mereka hancur oleh luka bakar yang mengerikan, daging mengelupas dan tulang terlihat. Mata mereka kosong, hitam legam, tanpa pupil, tanpa cahaya. Mulut mereka menganga dalam senyuman ganjil yang menyeramkan, seperti topeng kematian. Beberapa mengenakan pakaian ala tahun 1950-an yang lusuh dan sobek, basah oleh darah kering yang membatu, kotoran, dan debu. Aura dingin memancar dari mereka, menembus dinding dan merayapi kulit Rino.

Dan di tengah-tengah mereka… Ibu Aryati. Kali ini, wajahnya tidak lagi bersahabat. Senyum tipisnya telah lenyap, digantikan oleh ekspresi kesedihan yang mendalam, namun juga kekosongan yang tak terbatas. Ada kedalaman di matanya yang memancarkan usia dan penderitaan yang tak terukur, seolah ia telah menyaksikan ribuan tragedi.

“Kalian sudah melihat... sudah merasakan…” katanya dengan nada pelan, namun suaranya menggema di lorong, terdengar jelas di telinga Rino dan Dina. “Losmen ini... bukan tempat biasa.”

“Kami adalah korban,” lanjutnya, suaranya dingin dan datar, tanpa emosi. “Tahun 1952. Gerombolan bersenjata yang kejam membakar tempat ini. Mereka mengira kami menyembunyikan pemberontak. Padahal kami hanya ingin hidup damai. Kami hanya ingin memiliki tempat untuk berteduh. Mereka bunuh semua orang tanpa ampun. Anak-anak yang tak bersalah. Lansia yang renta. Pengurus losmen. Semua. Kami... mati. Tapi jiwa kami tidak pergi.”

Citra mulai gemetar hebat dalam pelukan Dina. Dina memeluknya erat-erat, menahan napas, berusaha menenangkan putrinya yang sudah ketakutan.

Ibu Aryati melanjutkan, suaranya tak berubah—tetap tenang, seakan membacakan puisi duka yang telah ia hapal seumur hidup. “Kami tertahan di sini. Jiwa kami tidak bisa tenang. Losmen ini... terkutuk. Kami hanya bisa bebas, jika ada yang mengambil tempat kami. Kami tidak jahat. Kami beri pilihan.”

Suara petir menggelegar di luar, disusul oleh deru hujan lebat yang seolah merayakan pernyataan itu. Malam yang gelap menjadi latar sempurna untuk tawaran kematian yang baru saja diungkapkan.

“Pilihan pertama, kalian bisa tinggal. Rawat tempat ini. Kalian harus menjadi penjaga baru Losmen Sunyi. Cari pengganti kami. Kalian akan tetap hidup… selama kalian memberi kami tubuh-tubuh baru, jiwa-jiwa baru untuk mengisi kekosongan ini.” Suaranya sedikit bergetar saat menyebutkan "tubuh-tubuh baru".

“Pilihan kedua... kalian menjadi pengganti kami.”

Keheningan kembali menyelimuti lorong, yang kini terasa begitu berat. Hanya suara hujan dan petir yang memecahnya, seolah alam semesta ikut berduka atas pilihan mengerikan yang harus mereka hadapi. Pilihan antara kematian atau menjadi bagian dari kutukan ini.

Losmen Sunyi Bagian 5: Keputusan yang Mengubah Segalanya

Keesokan paginya, suasana di dalam kamar terasa semakin suram. Citra demam semakin parah, tubuhnya menggigil tak terkendali. Ia terus berbicara dengan seseorang yang tak terlihat, gumamannya semakin jelas. "Iya... aku mau ikut main. Tapi Ayah belum izinkan. Nanti ya… mereka bilang ada taman yang indah. Aku ingin jadi adik perempuan…” Mendengar itu, hati Dina hancur berkeping-keping.

Rino dan Dina tak tidur semalaman. Mereka duduk di lantai, bersandar di dinding yang dingin, saling menatap. Terdiam. Tidak ada lagi perdebatan, tidak ada lagi bantahan. Ketakutan telah berubah menjadi pertimbangan rasional yang dingin, memaksa mereka melihat kenyataan yang mengerikan ini.

“Kalau kita tetap menolak... mereka akan ambil kita semua,” ucap Rino lirih, suaranya serak dan penuh keputusasaan. “Dan mungkin… mungkin kita akan seperti mereka. Terperangkap di sini selamanya, tanpa bisa bebas.”

“Kalau kita terima... kita bisa tetap hidup,” balas Dina dengan suara serak, air mata mengalir membasahi pipinya. “Dan... Citra... mungkin dia bisa pulih. Mereka tidak akan menyentuhnya jika kita setuju.” Sebuah harapan tipis, namun itu satu-satunya yang mereka miliki.

Diam panjang menyelimuti mereka. Udara di kamar terasa sesak, berat oleh keputusan yang harus mereka ambil. Mereka berjuang dengan hati nurani mereka, antara bertahan hidup dengan mengorbankan orang lain, atau menyerahkan diri dan menjadi korban berikutnya. Pilihan yang kejam, namun itulah kenyataan yang mereka hadapi.

Lalu... keputusan dibuat. Dengan berat hati, dengan jiwa yang terkoyak, mereka memilih.

Malam keempat, kembali hujan turun, namun kali ini tanpa petir. Suasana terasa lebih sunyi, lebih kelam. Ibu Aryati menatap mereka dari ruang makan, tempat api perapian kecil membara, cahayanya memantulkan bayangan menari di dinding. Di belakangnya, sosok-sosok arwah lama berdiri dalam diam. Hening. Menunggu. Aura dingin dari mereka terasa menusuk, namun kali ini, ada nada antisipasi yang kuat.

“Kami menerima tawaran kalian,” ucap Rino akhirnya, suaranya pecah, namun ada nada pasrah di dalamnya. Air mata menetes di pipinya, mengalir tanpa bisa ia cegah. “Kami... akan tinggal. Kami akan menjadi penjaga baru Losmen Sunyi.” Ia memeluk Dina dan Citra erat-erat, seolah ini adalah pelukan perpisahan dengan kehidupan lama mereka.

Ibu Aryati menutup matanya, lalu membungkuk dalam gerakan lambat, penuh hormat, seolah beban ribuan tahun akhirnya terangkat dari pundaknya. “Terima kasih. Kini... kami bisa beristirahat.”

Seperti ditiup angin, satu per satu arwah menghilang, menyatu dengan dinding, dengan tiang-tiang kayu yang lapuk, dengan lorong-lorong losmen. Mereka lenyap, seolah keberadaan mereka hanyalah ilusi yang kini sirna. Keheningan yang ditinggalkan terasa lebih ringan, namun tetap menyisakan kekosongan yang tak bisa dijelaskan.

Namun tidak semua.

Beberapa tetap tinggal. Sebagai pengawas. Sebagai penuntun. Arwah anak perempuan yang berwajah hancur itu, dan beberapa arwah lain yang wajahnya tidak terlalu rusak, tetap berada di sana, bayangan mereka samar-samar terlihat di sudut mata. Mereka tak akan ikut pergi. Mereka menunggu... untuk membantu keluarga baru mencari pengganti. Mereka adalah bagian dari siklus abadi Losmen Sunyi.

Losmen Sunyi Bagian 6: Penjaga Baru

Tiga minggu kemudian, Losmen Sunyi tampak segar. Perubahan itu mencolok, nyaris menakutkan. Papan namanya dicat ulang, kini huruf-hurufnya terlihat jelas dan bersih. Tirai putih bersih berkibar di jendela-jendela yang baru dicuci, memantulkan cahaya matahari pagi yang cerah. Aroma melati dan kayu manis yang manis menyambut dari halaman depan, bercampur dengan aroma tanah basah setelah hujan. Angin pegunungan yang sejuk mengiringi suasana tenang yang nyaris terlalu sempurna, terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Losmen Sunyi, yang dulunya adalah tempat yang terlupakan dan menyeramkan, kini mulai muncul di situs wisata lokal. Ulasan-ulasan baru bermunculan, sebagian besar ditulis dengan nada positif:

"Tempat tenang. Nyaman. Cocok untuk keluarga. Tuan rumah sangat ramah. Makanan enak, suasana tenang. Seperti pulang ke rumah lama."

Ulasan-ulasan itu ditulis oleh para pejalan yang 'tersesat' dan akhirnya 'betah' di Losmen Sunyi.

Sebuah mobil keluarga berwarna merah tua, dengan mesin yang berderu pelan, mendaki jalur pegunungan yang sunyi itu. Di dalamnya, sepasang suami istri muda tertawa pelan, berbagi cerita dan merencanakan liburan akhir pekan mereka. Anak mereka yang masih balita, seorang bayi laki-laki dengan pipi gembil, tertidur pulas dalam gendongan ibunya.

“Sayang, kayaknya kita nyasar deh. Jalannya aneh,” kata sang suami, sedikit khawatir, sambil menunjuk ke arah kabut tipis di depan. “Tapi tuh, lihat… ada bangunan tuh. Lumayan, bisa numpang tanya atau istirahat sebentar.”

Di kejauhan, bangunan besar bergaya kolonial berdiri megah, jendelanya berpendar kuning hangat, memancarkan aura damai dan tenang. Sebuah mercusuar di tengah kabut yang mengundang.

Papan di gerbangnya jelas, bersih, dan tampak baru:

LOSMEN SUNYI – BERDIRI SEJAK 1948

Di beranda losmen, Rino berdiri mengenakan kemeja batik rapi, senyumnya lebar dan ramah, seolah tak ada beban di pundaknya. Di sampingnya, Dina memeluk Citra yang kini tampak sehat, segar, dan… hidup. Matanya bersinar, terlalu bersinar, dengan kilatan aneh yang tak pernah ada sebelumnya. Ia memegang sebuah boneka kain lusuh, boneka yang mirip dengan anak perempuan yang pernah ia temui di lorong.

“Selamat datang,” sapa Rino hangat, suaranya penuh keramahan yang tulus, namun menyimpan sebuah rahasia kelam. “Kami senang sekali menerima tamu baru malam ini.”

Dari balik jendela-jendela losmen, bayangan arwah-arwah lama mengintip, mata kosong mereka menatap tajam ke arah mobil yang baru tiba. Mereka tidak lagi melayang. Mereka kini bersemayam di dalam dinding, di dalam lantai kayu, di dalam setiap sudut Losmen Sunyi, menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur itu sendiri.

Di langit-langit ruang tengah, suara gending Jawa yang pelan dan syahdu kembali mengalun, menciptakan gema lembut yang menari bersama aroma dupa dan bunga kamboja yang memenuhi ruangan. Sebuah lagu selamat datang yang mengiringi awal dari sebuah siklus abadi.

Tirai-tirai putih itu menutup perlahan, menutupi pemandangan dari luar, menyegel takdir baru di dalam.

Gelap.

TAMAT


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)