Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,611
Email Maut
Horor

PT. Senja Merah, sebuah nama yang dulunya identik dengan inovasi dan kesuksesan di jantung Jakarta, kini diselimuti aura kelam yang tak terucapkan. Gedung megah pencakar langitnya berdiri kokoh di kawasan bisnis Sudirman, namun hanya sedikit yang tahu bahwa fondasinya dibangun di atas sejarah yang gelap. Jauh sebelum menjadi markas perusahaan teknologi yang gemilang, lokasi ini adalah bekas rumah sakit zaman kolonial, sebuah fakta yang perlahan-lahan kembali menghantui setiap sudut dan lorongnya. Arsitektur art deco yang menawan di bagian lobi menyembunyikan koridor-koridor sempit dan tangga melingkar di lantai atas, yang seolah masih menyimpan gema rintihan masa lalu. Atmosfer kantor, yang seharusnya dipenuhi semangat kerja dan ambisi, kini terasa dingin dan mencekam, terutama menjelang senja. Lampu-lampu neon yang seharusnya menerangi, justru memancarkan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di dinding, seolah mengintai. Bau disinfektan samar yang terkadang tercium di beberapa area, padahal tidak ada aktivitas medis, menambah keanehan yang makin sulit diabaikan.

Di tengah ketegangan yang merayap ini, muncullah Rafi, seorang karyawan baru di departemen riset dan pengembangan. Usianya baru 25 tahun, dengan rambut ikal acak-acakan dan kacamata bertengger di hidungnya yang mancung, memberinya kesan seorang kutu buku yang cerdas. Dia direkrut karena otaknya yang cemerlang dan kemampuannya memecahkan masalah rumit dengan cara yang tak konvensional. Rafi adalah seorang skeptis sejati. Baginya, setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis. Hantu? Omong kosong. Arwah penasaran? Hanya imajinasi orang-orang yang terlalu banyak menonton film horor. Namun, ada secercah rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya, terutama ketika mendengar bisik-bisik mengerikan di pantry kantor. Ia selalu mencatat setiap detail yang didengarnya, membandingkannya dengan fakta yang bisa ia dapatkan, seolah-olah ia sedang mengerjakan proyek terbesarnya. Dia datang ke PT. Senja Merah dengan impian besar untuk kariernya, bukan untuk menjadi detektif paranormal.

Di sisi lain, ada Dian, kepala departemen HRD yang jauh lebih senior dan bijaksana. Wanita berusia awal 40-an dengan gaya rambut bob rapi dan tatapan mata yang tajam namun penuh pengertian ini, adalah antitesis Rafi. Dian adalah penganut kuat hal-hal mistis. Sejak kecil, ia telah diajari oleh neneknya tentang kekuatan dunia lain dan pentingnya menghormati roh-roh tak kasat mata. Ia sering kali membawa jimat kecil di dalam tasnya, dan sesekali terlihat menyiramkan air kembang di sudut-sudut kantor yang sepi, yang membuat sebagian karyawan menganggapnya eksentrik. Namun, di balik keyakinannya, Dian adalah seorang profesional yang sangat peduli dengan kesejahteraan karyawannya. Hatinya hancur setiap kali mendengar kabar duka, dan ia adalah orang pertama yang merasakan aura kegelapan yang semakin pekat menyelimuti kantor. Instingnya mengatakan bahwa ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih jahat.

Kemudian, ada Bima, atasan Rafi di departemen riset dan pengembangan. Pria paruh baya bertubuh tegap dengan rambut klimis dan kacamata berlensa tebal ini adalah gambaran sempurna seorang eksekutif sukses. Bima adalah seorang yang sangat skeptis, bahkan cenderung meremehkan. Baginya, semua cerita tentang hantu dan teror di kantor hanyalah gosip tidak berdasar yang mengganggu produktivitas. "Fokus pada pekerjaan, bukan pada takhayul!" adalah mantra favoritnya. Ia percaya bahwa semua kematian yang terjadi adalah murni kecelakaan, mungkin karena kelalaian korban atau faktor eksternal lainnya. Ia adalah tipikal bos yang hanya percaya pada data dan angka, menertawakan setiap cerita seram yang muncul di grup chat kantor. Namun, di balik sikapnya yang keras, tersimpan sebuah rahasia yang belum terungkap, sebuah koneksi yang akan mengubah segalanya.

Dan yang tak kalah penting adalah Nadia, seorang staf marketing muda yang ceria dan penuh semangat. Rambutnya dicat pirang cerah, dan tawanya selalu menjadi penyejuk suasana di lantai tiga. Nadia adalah salah satu orang pertama yang menyambut Rafi dengan ramah, memberinya tips tentang kopi terenak di sekitar kantor dan rute tercepat pulang. Ia adalah gambaran ideal karyawan muda yang bersemangat, penuh impian dan harapan akan masa depan cerah di PT. Senja Merah. Nadia adalah salah satu dari sekian banyak korban yang akan mengubah skeptisisme Rafi menjadi keyakinan, dan menjadi korban pertama yang kematiannya akan mengguncang pondasi PT. Senja Merah hingga ke akarnya.

Awal Konflik: Selama sebulan terakhir, ketenangan di PT. Senja Merah telah terkoyak oleh serangkaian peristiwa mengerikan. Sejak bulan lalu, sebuah pola menakutkan mulai terbentuk: setiap Malam Jumat, satu karyawan tewas mengenaskan dalam perjalanan pulang. Berita kematian ini selalu menyebar seperti api, mengubah suasana ceria di kantor menjadi ketakutan yang mencekam. Bisik-bisik dan tatapan curiga mulai mengisi setiap sudut. Ada yang bilang itu kutukan. Ada yang menyalahkan feng shui gedung. Tapi yang pasti, tidak ada yang berani pulang sendirian di Malam Jumat. Setiap hari Kamis malam, suasana di kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Setiap orang buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, menghindari tatapan mata koleganya, dan berharap mereka bukan target selanjutnya. Pertanyaan yang sama terus menghantui pikiran semua orang: siapa yang akan menjadi korban berikutnya? Dan apa sebenarnya yang menyebabkan semua ini? Ketegangan ini menjadi pemicu bagi Rafi untuk mulai mencari tahu, sebuah perjalanan yang akan membawanya ke dalam kegelapan masa lalu yang mengerikan, jauh di bawah fondasi gedung yang kini menjadi tempat kerjanya. Konflik ini, yang awalnya hanya rumor kantor, kini menjadi kenyataan yang tak terhindarkan, merayap dan mengancam setiap nyawa di PT. Senja Merah.

Teror di PT. Senja Merah bukanlah sekadar serangkaian kecelakaan aneh atau kebetulan tragis. Kematian yang terjadi setiap Malam Jumat itu memiliki pola yang mengerikan, sebuah ritual yang diatur dengan presisi mematikan. Sumber dari semua kepanikan ini adalah sebuah email anonim yang misterius. Email itu selalu datang pada hari Senin pagi, seolah sengaja memberi waktu seminggu penuh bagi calon korban untuk merasakan kengerian yang akan datang.

Setiap penerima, yang kemudian akan menjadi korban berikutnya, menemukan email itu di kotak masuk mereka. Judulnya polos, seringkali hanya berupa nama penerima itu sendiri, tanpa subjek yang mencolok. Namun, isinya jauh dari kata polos. Email itu selalu menampilkan informasi yang sangat personal, detail yang seharusnya hanya diketahui oleh orang terdekat atau oleh catatan resmi perusahaan.

Baris pertama selalu diawali dengan nama lengkap sang penerima. Bukan nama panggilan, bukan nama populer di kantor, melainkan nama lengkap sesuai KTP, seolah entitas pengirim tahu persis siapa mereka. Kemudian, di baris berikutnya, tertera tanggal lahir mereka, lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahun. Ini adalah detail yang jarang diketahui oleh rekan kerja biasa, menambah lapisan keanehan dan rasa ngeri.

Namun, yang paling mengerikan adalah baris ketiga: tanggal kematian. Tanggal itu selalu jatuh pada Jumat minggu itu. Tidak pernah meleset. Selalu Jumat di pekan yang sama saat email diterima. Formatnya selalu sama, sebuah tanggal pasti yang mengikat takdir. Awalnya, para penerima menganggapnya lelucon. Sebuah prank kejam dari seorang rekan kerja yang iseng, mungkin berniat mengganggu suasana kerja. Mereka menertawakannya di pantry, membagikan screenshot email itu di grup chat kantor, mencoba mencari tahu siapa pelakunya.

Tapi tawa itu cepat berganti menjadi ketakutan yang mencekam ketika satu per satu, para korban tewas persis seperti prediksi email tersebut. Tidak ada yang selamat. Tidak ada yang bisa menghindari takdir yang telah tertulis. Kematian mereka pun bukan kematian biasa. Masing-masing tragis, mengerikan, dan seringkali di luar nalar. Ini bukan lagi lelucon. Ini adalah sebuah kutukan yang nyata.

Bagian bawah email selalu ditandai dengan tulisan "From: The Forgotten One". Tidak ada alamat email pengirim yang terlihat. Hanya nama misterius itu. Ketika Rafi dan Dian mencoba melacak alamat IP atau header email, mereka selalu menemui jalan buntu. Server menunjukkan bahwa email itu seolah-olah "terkirim sendiri," tanpa jejak pengirim fisik. Itu seperti muncul dari kehampaan, atau dari dimensi lain. Beberapa teknisi IT yang menyelidiki bahkan mengeluh tentang "gangguan aneh" pada sistem, error yang tidak pernah mereka temui sebelumnya, seolah ada entitas tak kasat mata yang merusak jejak digitalnya.

Kehadiran email ini menciptakan atmosfer paranoia di seluruh PT. Senja Merah. Setiap Senin pagi, suasana di kantor menjadi tegang. Setiap orang memeriksa kotak masuk mereka dengan jantung berdebar. Bisik-bisik ketakutan mengisi lorong-loridor. "Apakah aku yang berikutnya?" menjadi pertanyaan tak terucap yang memenuhi pikiran semua orang. Orang-orang mulai mencurigai satu sama lain. Siapa yang punya akses ke data pribadi semua karyawan? Siapa yang cukup jahat untuk melakukan prank mengerikan seperti ini?

Para karyawan mulai berspekulasi tentang arti "The Forgotten One." Apakah itu nama samaran seseorang? Atau sebuah identitas yang lebih abstrak, merujuk pada seseorang yang terlupakan dan kini kembali untuk membalas dendam? Ada yang bilang itu adalah arwah mantan karyawan yang diberhentikan secara tidak adil. Ada juga yang mengaitkannya dengan cerita-cerita seram tentang sejarah gedung.

Email ini tidak hanya berfungsi sebagai alat prediksi kematian, tetapi juga sebagai penyebar teror psikologis. Seminggu penuh sebelum kematian tiba, korban akan hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Mereka tahu kapan akhir mereka akan datang, tetapi tidak bagaimana. Ini adalah siksaan mental yang luar biasa, mengubah hari-hari terakhir mereka menjadi neraka yang sesungguhnya. Beberapa korban bahkan terlihat mengalami penurunan kesehatan mental yang drastis di minggu terakhir mereka, menjadi linglung, insomnia, dan terus-menerus melihat ke sekeliling seolah ada yang mengintai.

Rafi, dengan segala skeptisisme awalnya, mulai merasa gelisah. Ia telah melihat screenshot email-email itu. Ia telah melihat daftar korban. Ia telah menyaksikan bagaimana orang-orang yang awalnya menertawakan email itu, kemudian tewas dengan cara yang mengerikan. Ada pola yang tidak terbantahkan, sebuah benang merah yang mengikat setiap tragedi. Ini bukan kebetulan. Ini adalah sesuatu yang terorganisir, sesuatu yang memiliki tujuan, dan yang paling menakutkan, sesuatu yang supernatural.

Dian, di sisi lain, tidak terkejut sama sekali. "Aku sudah menduga ini," katanya kepada Rafi suatu sore, wajahnya muram. "Ini bukan pekerjaan manusia. Ini adalah peringatan. Sebuah pesan dari dunia lain." Ia percaya bahwa email itu adalah jembatan antara dua dunia, sebuah cara bagi entitas tak terlihat untuk berkomunikasi, untuk mengumumkan niat jahatnya. Bagi Dian, email itu adalah bukti nyata bahwa ada sesuatu yang sangat salah di PT. Senja Merah, sesuatu yang jauh melampaui kemampuan manusia biasa untuk memecahkannya.

Ketegangan mencapai puncaknya setiap Jumat pagi. Udara di kantor terasa berat. Setiap karyawan yang belum menerima email itu di hari Senin, menarik napas lega. Tapi lega itu berumur pendek, digantikan oleh kecemasan tentang siapa yang akan menjadi korban malam nanti. Sebagian besar karyawan memilih untuk pulang cepat, menghindari jam-jam larut yang gelap dan sepi. Beberapa bahkan menolak lembur, meskipun ada tuntutan deadline yang ketat. Kematian Ari, yang akan kita bahas di bagian selanjutnya, akan memperkuat kengerian email ini, menunjukkan bahwa bahkan di dalam gedung, tidak ada yang aman dari cengkeraman "The Forgotten One." Email ini adalah benih teror, dan setiap kematian adalah bunganya yang berdarah.

Kematian pertama yang benar-benar mengguncang PT. Senja Merah hingga ke fondasinya adalah kematian Nadia. Gadis ceria yang selalu membawa kecerahan di departemen marketing itu kini hanya tinggal nama, terukir dalam lembaran duka yang tak terduga. Nadia, dengan rambut pirang cerahnya dan tawa renyahnya, adalah sosok yang jauh dari kesan tragis. Ia adalah simbol harapan, seorang karyawan muda yang bersemangat, yang baru saja menerima email kutukan pada Senin pagi sebelumnya. Ia sempat menertawakan email itu, menganggapnya lelucon buruk dari seseorang yang iri dengan prestasinya. Namun, keesokan Jumatnya, tawa itu lenyap ditelan kegelapan.

Malam itu, Jumat yang kelabu, Nadia pulang lebih awal dari biasanya. Ia sempat berpamitan dengan Rafi, mengeluh tentang deadline yang membuatnya pusing, dan berjanji akan mentraktir kopi di hari Senin. "Sampai jumpa, Rafi! Jangan lembur terus ya," katanya sambil tersenyum lebar, senyum terakhirnya. Rafi tidak tahu, itu adalah perpisahan terakhir mereka.

Kabar duka itu datang Sabtu pagi, menyebar seperti wabah di grup chat kantor. Nadia tewas tertabrak kereta api. Jantung Rafi terasa mencelos. Kereta api? Itu aneh. Nadia selalu pulang menggunakan taksi online, dan rute rumahnya tidak pernah melewati rel kereta api. Ia ingat Nadia pernah bercerita betapa ia takut pada ketinggian dan tempat-tempat bising seperti stasiun kereta. Ada yang tidak beres.

Saksi mata yang kebetulan berada di dekat lokasi kejadian memberikan kesaksian yang mengerikan, yang segera menjadi bisik-bisik horor di kantor. Seorang pedagang asongan di perlintasan kereta api mengaku melihat "seorang wanita berbaju putih" yang berdiri di belakang Nadia. Menurut kesaksiannya, wanita itu tidak bergerak, hanya berdiri mematung di tengah kegelapan malam, dengan rambut panjang terurai menutupi sebagian wajahnya. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, wanita berbaju putih itu mendorong Nadia tepat ke arah rel, sesaat sebelum kereta lewat. Pedagang itu bersumpah ia melihatnya dengan jelas, meskipun tubuh wanita itu terasa "transparan dan samar," seolah bukan bagian dari dunia nyata. Kesaksian ini membuat bulu kuduk berdiri, dan semakin menguatkan dugaan adanya elemen supranatural di balik kematian Nadia. Polisi awalnya skeptis, menganggapnya halusinasi atau kebingungan saksi. Namun, tidak ada bukti lain yang mendukung hipotesis bunuh diri atau kecelakaan murni.

Ketika polisi dan tim HRD melakukan penyelidikan di meja kerja Nadia, mereka menemukan sesuatu yang aneh. Di sudut meja, di samping layar monitor yang mati, ada bunga kering yang tergeletak begitu saja. Bunga itu bukan miliknya. Nadia adalah tipe orang yang suka dekorasi cerah dan bunga-bunga segar. Bunga kering itu terlihat sangat tua, kelopaknya keriput dan warnanya pudar, seolah sudah mati puluhan tahun. Wanginya pun aneh, seperti campuran tanah basah dan sesuatu yang busuk, meskipun samar. Rafi, yang penasaran, mengamati bunga itu lebih dekat. Ia merasa ada aura dingin yang memancar darinya. Tidak ada yang tahu dari mana bunga itu berasal. Tidak ada karyawan lain yang pernah melihat Nadia membawa bunga itu, apalagi meletakkannya di meja kerjanya. Penemuan ini menjadi petunjuk pertama yang nyata, sebuah jejak yang ditinggalkan oleh entitas tak kasat mata itu.

Kematian Nadia, ditambah dengan kesaksian saksi dan penemuan bunga kering, membuat PT. Senja Merah dicekam ketakutan. Beberapa karyawan mulai mengambil cuti, beberapa bahkan secara terang-terangan mencari pekerjaan baru. Suasana kantor berubah drastis. Yang tadinya bising oleh obrolan dan tawa, kini dipenuhi keheningan mencekam, hanya diselingi suara ketikan keyboard dan bisik-bisik ketakutan. Setiap kali ada panggilan telepon masuk, atau email baru, orang-orang akan melonjak terkejut.

Rafi, meskipun awalnya skeptis, kini mulai meragukan segala hal. Ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara logis di sini. Email itu, tanggal kematian yang tepat, saksi mata yang melihat sesuatu yang tak kasat mata, dan bunga kering misterius itu—semua itu membentuk pola yang mengerikan. Ia mulai mencari informasi tentang sejarah gedung PT. Senja Merah, mencoba mencari tahu apakah ada kejadian-kejadian aneh yang pernah terjadi di sana. Ia merasa ada dorongan kuat untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya untuk memecahkan misteri, tetapi juga untuk melindungi dirinya dan rekan-rekan kerjanya dari ancaman tak terlihat yang semakin mendekat.

Dian, kepala HRD, adalah orang pertama yang mempercayai kesaksian saksi. Ia teringat akan cerita-cerita neneknya tentang roh-roh penasaran yang meninggalkan jejak atau tanda-tanda untuk berkomunikasi. Bunga kering itu, baginya, adalah semacam tanda. Ia mulai secara diam-diam mencari tahu tentang bunga-bunga yang identik dengan kematian atau arwah di folklore lokal. Ia juga menghubungi kenalan-kenalan spiritualnya, meminta nasihat dan mencari tahu apakah ada cara untuk menghentikan teror ini. Bagi Dian, kematian Nadia adalah panggilan untuk bertindak, sebuah bukti bahwa dunia yang ia yakini selama ini, kini telah menampakkan diri dalam wujud yang paling menakutkan. Kematian Nadia bukan hanya sekadar kecelakaan; itu adalah pernyataan, sebuah penanda dimulainya teror yang lebih besar.

Kematian Nadia, dengan segala keanehannya, seharusnya menjadi peringatan bagi PT. Senja Merah untuk mengambil tindakan serius. Namun, kepanikan dan ketidakpercayaan masih mendominasi manajemen, terutama Bima. Ia bersikeras bahwa semua itu hanya kebetulan tragis, sebuah mass hysteria yang diperparah oleh gosip murahan. Ia bahkan mengeluarkan memo internal yang melarang pembahasan tentang "kejadian-kejadian tidak masuk akal" di jam kerja, mengancam akan memberikan sanksi bagi siapa pun yang melanggar.

Tapi alam semesta punya rencananya sendiri, dan teror itu tidak berhenti. Hanya berselang satu minggu setelah kematian Nadia, tepat di Malam Jumat berikutnya, giliran Ari yang menjadi korban. Ari adalah staf IT yang jenius, seorang ahli komputer yang pendiam namun ramah. Ia adalah orang yang membantu Rafi menginstal beberapa software baru di komputernya. Ari juga salah satu orang yang menerima email kutukan, yang tentu saja ia abaikan dengan senyum meremehkan. "Hacker iseng," komentarnya waktu itu.

Kematian Ari jauh lebih brutal dari Nadia. Ia ditemukan tewas di dasar tangga parkiran, tubuhnya remuk dengan posisi yang tidak wajar, seolah dilempar dari ketinggian. Yang lebih mengerikan, lehernya tertekuk patah, dan ada memar kebiruan berbentuk jari-jari tangan besar di sekitar tenggorokannya. Petugas keamanan yang menemukannya pada Sabtu pagi, bersumpah mencium bau melati yang pekat di sekitar lokasi, meskipun tidak ada bunga melati di area parkiran.

Penyelidikan polisi yang dilakukan Bima tidak menemukan adanya jejak orang lain di sekitar lokasi saat kejadian. Area tangga parkiran itu sepi, tidak ada CCTV yang mengarah langsung ke sana, hanya kamera di pintu masuk dan keluar gedung. Namun, ketika Rafi dan Dian memaksa untuk melihat rekaman CCTV dari kamera yang sedikit jauh, mereka menemukan sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri.

Rekaman itu memperlihatkan Ari berjalan sendiri di tangga, langkahnya terburu-buru seperti ingin cepat pulang. Ia terlihat gelisah, sesekali menoleh ke belakang seolah ada yang mengikutinya. Tiba-tiba, tubuhnya terhuyung, seolah didorong oleh kekuatan tak terlihat. Ia mencoba berpegangan pada pegangan tangga, namun cengkeramannya terlepas. Detik berikutnya, ia terjatuh. Tapi bukan itu yang paling mengerikan. Beberapa detik setelah tubuh Ari menghantam lantai dasar, terdengar suara tawa yang samar namun jelas terekam oleh mikrofon kamera keamanan. Tawa itu melengking, dingin, dan penuh kemenangan, seolah mengejek kematian Ari. Tawa itu bukan tawa manusia. Itu adalah tawa seorang wanita, terdengar seperti bisikan yang keluar dari kehampaan, memenuhi lorong parkiran yang sepi. Bima bahkan, sempat terlihat pucat pasi saat mendengar rekaman suara itu. Ia segera mematikan monitor, menyuruh semua orang melupakan apa yang baru saja mereka dengar.

Kematian Ari adalah paku terakhir di peti mati kepercayaan karyawan PT. Senja Merah. Kalau Nadia tewas di luar gedung, Ari tewas di dalam, di tempat yang seharusnya menjadi zona aman. Ini membuktikan bahwa tidak ada yang bisa melindungi mereka dari ancaman tak kasat mata ini. Karyawan mulai panik. Beberapa orang yang tadinya hanya bisik-bisik, kini secara terbuka mengutarakan ketakutan mereka. Banyak yang tidak masuk kantor, beralasan sakit, padahal jelas mereka takut.

Situasi di PT. Senja Merah benar-benar kacau. Produktivitas menurun drastis. Ruang kerja yang tadinya selalu ramai kini banyak yang kosong. Setiap Jumat sore, kantor menjadi sepi seperti kuburan, semua orang bergegas pulang, tidak peduli deadline atau pekerjaan yang belum selesai. Obrolan di pantry kini bukan lagi tentang gosip atau pekerjaan, melainkan tentang cerita-cerita seram, jimat, dan cara-cara untuk melindungi diri dari gangguan gaib. Bahkan ada beberapa karyawan yang nekat mencoba menghubungi "orang pintar" atau paranormal untuk meminta perlindungan.

Di tengah kekacauan ini, hanya Rafi dan Dian yang tetap teguh. Kematian Ari semakin memperkuat keyakinan Dian bahwa ini adalah ulah arwah penasaran, sebuah dendam yang belum tuntas. Ia mulai membawa lebih banyak benda-benda spiritual ke kantor, menyalakan lilin aromaterapi di ruangannya (yang segera dimatikan Bima), dan sering terlihat berkomat-kamit.

Sementara itu, skeptisisme Rafi telah benar-benar luntur. Ia tidak bisa lagi menyangkal bukti-bukti yang begitu jelas. Suara tawa itu, kematian yang persis seperti prediksi email, dan ketiadaan pelaku manusia—semua itu mengarah pada satu kesimpulan: mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang di luar nalar. Rasa takutnya kini berubah menjadi tekad yang membara untuk mencari tahu kebenarannya. Ia tahu, jika mereka tidak bertindak, PT. Senja Merah akan hancur, dan mungkin mereka berdua akan menjadi korban selanjutnya.

"Kita harus mencari tahu sejarah gedung ini, Dian," kata Rafi suatu malam, setelah jam kantor usai dan kantor sudah sepi. "Ini bukan sekadar kecelakaan. Ada sesuatu yang sangat tua, sesuatu yang terkubur di bawah sini, yang sekarang mulai bangkit."

Dian mengangguk setuju. "Nenekku pernah bilang, kalau ada arwah yang mengganggu, pasti ada sesuatu yang belum tuntas di masa lalu. Kita harus cari tahu siapa 'The Forgotten One' itu."

Dari sinilah, Rafi dan Dian memutuskan untuk secara serius menyelidiki sejarah gedung PT. Senja Merah. Mereka tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan teror yang semakin menggila ini. Mereka mulai mencari dokumen-dokumen lama, izin bangunan, berita-berita koran tempo dulu, apa pun yang bisa memberi mereka petunjuk tentang masa lalu gelap di tempat ini. Setiap jam yang mereka luangkan di luar jam kerja, setiap informasi yang mereka temukan, terasa seperti langkah maju ke dalam jurang yang semakin dalam, namun mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus menemukan kebenaran sebelum teror itu menelan semua orang.

Penyelidikan Rafi dan Dian dimulai dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tidak memiliki akses ke arsip resmi kota atau catatan properti yang lengkap, apalagi penyelidikan formal. Mereka hanya mengandalkan koneksi pribadi Dian dan keahlian Rafi dalam menggali informasi dari dunia digital. Dian menghubungi kenalan lamanya di badan arsip daerah, seorang pensiunan pegawai yang masih menyimpan ingatan tajam tentang sejarah kota. Sementara itu, Rafi menghabiskan malam-malamnya di depan komputer, menjelajahi forum-forum sejarah lokal, situs berita lama, dan bahkan peta-peta kuno Jakarta. Mereka tahu, kunci untuk menghentikan teror ini tersembunyi di masa lalu gedung tempat mereka bekerja.

Informasi pertama yang mereka temukan adalah fakta umum yang banyak orang lupakan: gedung PT. Senja Merah memang dulunya adalah rumah sakit. Tetapi bukan rumah sakit biasa. Itu adalah Rumah Sakit Batavia, sebuah institusi yang beroperasi dari era kolonial hingga pertengahan tahun 1980-an. Rumah sakit itu memiliki reputasi yang campur aduk: di satu sisi dikenal karena inovasinya, di sisi lain diselimuti rumor-rumor gelap tentang praktik-praktik yang tidak etis.

Petunjuk penting muncul ketika Dian berhasil mendapatkan salinan buram dari laporan berita lama yang tersimpan di arsip pribadi kenalannya. Berita itu, bertahun 1987, melaporkan skandal besar yang mengguncang dunia medis Jakarta. Skandal itu melibatkan seorang dokter terkenal, Dr. Wijaya, yang dulunya adalah kepala bedah di Rumah Sakit Batavia. Dr. Wijaya, seorang pria dengan reputasi cemerlang namun ambisi yang tak terbatas, dituduh melakukan eksperimen ilegal pada pasien-pasiennya. Praktik-praktik itu mencakup percobaan obat-obatan baru tanpa persetujuan, prosedur bedah yang tidak perlu, dan bahkan mengambil organ tubuh pasien yang telah meninggal untuk "penelitian" tanpa sepengetahuan keluarga.

Rafi kemudian menemukan lebih banyak detail dari forum-forum online yang membahas legenda urban Jakarta. Salah satu nama yang terus muncul adalah Siska. Siska adalah seorang pasien di Rumah Sakit Batavia pada tahun 1980-an. Ia bukan pasien biasa. Siska adalah seorang gadis muda berusia 23 tahun, lahir pada tanggal 15 April 1965. Ia masuk rumah sakit karena penyakit ginjal kronis yang parah. Namun, ia tidak pernah keluar hidup-hidup.

Menurut rumor dan beberapa artikel berita yang disensor pada masanya, Siska adalah korban paling mengerikan dari eksperimen Dr. Wijaya. Ia tewas di meja operasi karena operasi paksa yang dilakukan Dr. Wijaya dan timnya. Operasi itu bukan untuk menyelamatkan nyawanya, melainkan untuk mengambil ginjalnya, yang konon akan digunakan untuk eksperimen transplantasi ilegal pada pasien lain yang lebih "penting." Operasi itu dilakukan di lantai 3 Rumah Sakit Batavia, di sebuah ruangan yang pada saat itu adalah kamar operasi utama. Sekarang, ruangan itu telah diubah menjadi ruang server PT. Senja Merah, sebuah ironi yang mengerikan. Ruangan itu kini dipenuhi dengan rak-rak server yang berdengung, lampu-lampu indikator yang berkedip, dan hawa dingin yang tak biasa, bahkan lebih dingin dari pendingin ruangan standar.

Detail kematian Siska sangat mengerikan. Ia meninggal dalam penderitaan yang luar biasa, dengan kesadaran yang masih samar. Saat napas terakhirnya berhembus, ia dikabarkan mengucapkan sebuah sumpah balas dendam. "Aku akan kembali!" bisiknya, dengan mata melotot dan bibir bergetar. "Aku akan membalas dendam pada mereka yang bekerja di tempat penyiksaan ini! Kalian semua akan merasakannya!" Sumpah itu, yang dulunya hanya bisik-bisik perawat dan staf rumah sakit, kini terdengar begitu nyata di telinga Rafi dan Dian.

Mereka menyadari bahwa sumpah Siska tidak hanya ditujukan kepada Dr. Wijaya dan timnya, tetapi juga kepada siapa pun yang kemudian mengambil alih "tempat penyiksaan" itu. PT. Senja Merah, dengan segala kemegahannya, kini adalah rumah baru bagi arwah Siska yang penuh dendam. Ini menjelaskan mengapa teror itu terjadi di dalam gedung, mengapa karyawan yang tewas adalah karyawan PT. Senja Merah, dan mengapa "The Forgotten One" ingin membalas dendam pada "mereka yang bekerja di tempat ini."

Penemuan ini membuat seluruh kepingan teka-teki mulai menyatu. Email kutukan, tanggal lahir Siska yang cocok dengan tanggal lahir yang muncul dalam email, dan lokasi kematian Siska yang sekarang menjadi ruang server. Semua menunjuk pada Siska sebagai arwah di balik teror ini.

Rafi dan Dian merasa ngeri sekaligus lega. Ngeri karena mereka tahu mereka berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar, arwah yang penuh amarah. Lega karena akhirnya mereka memiliki nama, sebuah identitas, dan sebuah motif. Ini bukan lagi sekadar hantu acak; ini adalah Siska, sang "Forgotten One," yang kini telah kembali untuk menuntut keadilan yang tidak pernah ia dapatkan dalam hidupnya. Mereka tahu, langkah selanjutnya adalah memahami pola korban dan mencari tahu mengapa beberapa orang menjadi target sementara yang lain tidak. Dan yang lebih penting, bagaimana menghentikan lingkaran balas dendam yang mengerikan ini.

Dengan identitas "The Forgotten One" yang kini terkuak sebagai Siska, teka-teki berikutnya yang harus dipecahkan Rafi dan Dian adalah pola korban. Mengapa beberapa karyawan menjadi target, sementara yang lain tidak? Apakah ada hubungan di antara mereka, selain hanya bekerja di gedung yang sama?

Rafi dan Dian mulai membuat daftar nama-nama korban yang tewas, mulai dari Nadia, Ari, dan beberapa nama lain yang tidak disebutkan secara eksplisit di awal cerita namun adalah korban sebelumnya yang tewas mengenaskan sebelum teror ini menjadi perhatian serius. Mereka mencari foto-foto lama karyawan tersebut, bahkan meminta Dian, sebagai HRD, untuk mencari data-data personal yang mungkin tersimpan dalam arsip perusahaan.

Analisis awal Rafi mengungkapkan sesuatu yang mengerikan. "Dian, coba lihat ini," kata Rafi suatu malam, menunjuk layar komputernya yang menampilkan kolase foto para korban. "Mereka semua... ada kemiripan fisik."

Dian mendekat, mengerutkan kening. Memang benar. Nadia, dengan rambut pirang dan mata cokelatnya, memiliki kemiripan samar dengan seorang perawat muda di foto lama Rumah Sakit Batavia yang ditemukan Rafi di internet. Ari, dengan tubuh kurus dan kacamatanya, agak mirip dengan seorang teknisi laboratorium yang juga terlihat dalam foto grup staf medis lama. Bukan kemiripan yang mutlak, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Mereka semua memiliki karakteristik fisik yang mencolok: bentuk hidung, mata, atau bahkan struktur rambut yang, jika diperhatikan seksama, memiliki bayangan masa lalu.

Kemudian, mereka mencoba membandingkan para korban dengan daftar nama staf Rumah Sakit Batavia yang pernah terlibat dalam kasus Dr. Wijaya yang juga ditemukan Rafi dalam sebuah artikel investigasi jurnalistik lama. Daftar itu mencakup nama-nama dokter, perawat, asisten bedah, hingga petugas kebersihan yang bertugas di lantai 3 pada masa kematian Siska.

Dan di sinilah kengerian yang sesungguhnya terungkap. Setiap korban yang tewas ternyata secara mencolok mirip fisik dengan staf rumah sakit dulu yang terlibat dalam kematian Siska. Nadia, dengan rambut pirang dan senyum ramahnya, sangat mirip dengan Suster Ida, perawat yang dikenal sangat patuh pada Dr. Wijaya dan sering membantunya dalam eksperimen. Ari, si ahli IT yang pendiam, memiliki kemiripan yang mencolok dengan Budi, teknisi lab yang bertugas menyiapkan peralatan bedah di lantai 3 saat Siska dioperasi. Korban-korban sebelumnya, yang kematiannya dianggap "kecelakaan" oleh manajemen, juga memiliki kemiripan dengan staf lain yang disebutkan dalam artikel investigasi. Ada korban yang mirip dengan dokter anestesi, ada yang mirip dengan kepala perawat yang menekan Siska agar mau dioperasi, bahkan ada yang mirip dengan petugas kebersihan yang konon ikut menyeret Siska ke ruang operasi.

"Ini reinkarnasi?" bisik Dian, wajahnya pucat. "Atau... arwahnya tidak bisa membedakan?"

Rafi menggeleng. "Bukan reinkarnasi. Siska tidak akan menunggu mereka lahir kembali. Ini lebih seperti... dia membalas dendam pada 'mereka yang bekerja di tempat penyiksaan ini' dengan memilih orang-orang yang secara penampilan fisik paling mirip dengan para pelakunya di masa lalu." Artinya, Siska, dalam kemarahannya yang buta, menganggap siapa pun yang memiliki kemiripan dengan "mereka" sebagai target yang sah. Ini adalah balas dendam yang tidak melihat identitas, hanya melihat bayangan masa lalu.

Selain itu, mereka menemukan pola lain yang jauh lebih mengerikan. Email kutukan itu, yang selalu bertuliskan "From: The Forgotten One" tanpa alamat pengirim, ternyata memiliki trik lain. Rafi, dengan keahliannya di bidang IT, berhasil membongkar metadata tersembunyi dari beberapa email yang diterima korban. Hasilnya membuat mereka berdua merinding. Email itu dikirim dari akun email karyawan yang sudah mati!

Email Nadia dikirim dari akun seorang karyawan bernama Rudi, yang meninggal karena serangan jantung setahun lalu. Email Ari dikirim dari akun Sari, seorang staf keuangan yang meninggal dalam kecelakaan mobil dua bulan sebelumnya. Seolah-olah arwah Siska tidak hanya bisa memprediksi kematian, tapi juga bisa meretas dunia digital, menggunakan akun-akun zombie dari mereka yang telah tiada untuk menyampaikan pesannya yang mematikan. Ini adalah lapisan teror baru yang tak terduga, menunjukkan betapa kuat dan tak terjangkau arwah Siska.

Penemuan ini menambah ketakutan yang mendalam. Bagaimana mungkin sebuah arwah memiliki kemampuan seperti itu? Ini melampaui segala cerita hantu yang pernah mereka dengar. Ini juga menjelaskan mengapa Bima, si bos skeptis, selalu kesulitan melacak pengirim email. Ia mungkin mencari pelakunya di antara yang hidup, padahal pelakunya adalah bagian dari yang mati, atau setidaknya menggunakan jejak digital mereka.

Rafi dan Dian kini memiliki gambaran yang lebih jelas. Arwah Siska, dipenuhi dendam, kembali menghantui gedung bekas rumah sakit tempat ia disiksa. Ia menargetkan karyawan PT. Senja Merah yang memiliki kemiripan fisik dengan staf medis yang bertanggung jawab atas kematiannya puluhan tahun lalu. Dan ia menggunakan cara yang paling modern, namun juga paling menyeramkan, untuk mengumumkan niatnya: email kutukan yang dikirim dari akun orang mati.

Ini adalah gambaran yang mengerikan, sebuah lingkaran balas dendam yang tidak akan berhenti sampai semua "pelaku" terbalas. Tapi, apakah ada cara untuk menghentikannya? Bisakah dendam arwah yang telah berpuluh-puluh tahun ini diredakan? Pertanyaan itu terus menghantui mereka, terutama ketika mereka menyadari bahwa waktu terus berjalan, dan daftar korban bisa terus bertambah.

Kebenaran tentang Siska dan pola korban telah terkuak, namun bukannya meredakan, ketegangan di PT. Senja Merah justru mencapai puncaknya. Rafi dan Dian merasakan tekanan yang luar biasa. Mereka tahu siapa musuh mereka, tetapi belum tahu bagaimana menghentikannya. Setiap Senin pagi adalah siksaan. Setiap orang di kantor memeriksa kotak masuk mereka dengan tangan gemetar, berharap bukan nama mereka yang terpampang di sana.

Suatu Senin pagi yang cerah namun mencekam, ketakutan terburuk mereka menjadi kenyataan. Sebuah email baru muncul di inbox Rafi. Judulnya: "Bima".

Jantung Rafi serasa berhenti berdetak. Ia membuka email itu dengan tangan gemetar. Di sana tertulis:

Bima Wijaya

Lahir: 22 Agustus 1960

Meninggal: Jumat, [tanggal Jumat minggu itu]

"From: The Forgotten One"

Mata Rafi membulat. Nama Bima! Dan yang lebih mengejutkan: Wijaya. Bukan sekadar Bima, tapi Bima Wijaya. Ia langsung teringat pada Dr. Wijaya, arsitek eksperimen ilegal yang membunuh Siska. Apakah ini hanya kebetulan nama?

Rafi segera berlari ke ruangan Dian. "Dian, lihat ini!" desisnya, menunjukkan layar ponselnya.

Dian melihat email itu, lalu wajahnya berubah pasi. "Bima... Wijaya? Jangan-jangan..."

Keduanya segera pergi mencari Bima. Mereka menemukan pria paruh baya itu duduk di mejanya, terlihat frustrasi sambil memijat pelipisnya. Di layar komputernya, email kutukan itu sudah terbuka.

"Ini cuma prank sampah lainnya," kata Bima, mencoba terdengar tenang, namun suaranya bergetar. Ia berusaha keras mempertahankan sikap skeptisnya, menganggap semua ini hanyalah keisengan yang keterlaluan. Ia menolak percaya, bahkan mencerca Rafi dan Dian yang menyarankan agar ia berhati-hati. "Kalian berdua terlalu banyak menonton film horor! Ini tidak nyata! Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan!"

Rafi tak menyerah. "Pak Bima, nama belakang Anda... Wijaya. Apakah Anda punya hubungan dengan Dr. Wijaya dari Rumah Sakit Batavia?"

Mendengar nama itu, wajah Bima seketika memucat. Ia menatap Rafi dengan mata terbelalak, kaget dan marah. "Apa yang kalian bicarakan? Itu omong kosong!" bantahnya, terlalu keras. Ia berdiri, mencoba mengusir Rafi dan Dian dari ruangannya. Namun, keterkejutan dan ketakutan yang terpancar dari matanya tidak bisa ia sembunyikan.

Dian menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Bima. "Pak Bima, kami tahu tentang Siska. Kami tahu tentang apa yang terjadi di gedung ini. Jika ada hubungannya dengan Anda, Anda harus memberitahu kami. Nyawa Anda dalam bahaya!"

Bima terdiam, tubuhnya menegang. Ia menatap keduanya bergantian, sebuah pertarungan batin terlihat jelas di wajahnya. Akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar, ia mengaku. "Dr. Wijaya... dia kakekku."

Pengakuan itu seperti bom yang meledak di ruangan itu. Twist yang selama ini mereka cari akhirnya terungkap. Bima adalah cucu Dr. Wijaya, sang dokter yang bertanggung jawab atas kematian Siska. Ia adalah target utama yang sesungguhnya. Inilah mengapa ia menerima email, dan mengapa Siska begitu bersemangat untuk membalas dendam padanya. Dendam arwah itu tidak hanya menargetkan bayangan para pelaku, tetapi juga darah daging mereka.

Rafi dan Dian mencoba meyakinkan Bima untuk pulang, bersembunyi, atau setidaknya tidak berada di kantor pada Malam Jumat. Namun, Bima menolak. Mungkin rasa bersalah, mungkin keyakinan lamanya, atau mungkin ketakutan yang membuatnya lumpuh. "Aku tidak akan lari dari tanggung jawab," katanya, meskipun jelas ia ketakutan. Ia masih mencoba rasional, menganggap ini adalah ancaman psikologis yang akan lenyap jika ia tidak menanggapinya.

Malam Jumat tiba. Suasana di PT. Senja Merah terasa seperti kuburan. Hanya beberapa karyawan yang lembur, termasuk Rafi dan Dian yang sengaja bertahan untuk mengawasi Bima. Bima sendiri terlihat gelisah. Ia terus-menerus melihat jam, tangannya gemetar saat mengetik di keyboard. Sekitar pukul 22.00, Bima tiba-tiba menghilang dari mejanya. Rafi dan Dian mencari ke seluruh lantai, ke ruang pantry, ke toilet, tetapi Bima tidak ada.

"Dia pasti pulang," kata Rafi, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Namun, Dian memiliki firasat buruk. "Tidak, Rafi. Dia tidak akan pergi tanpa pamit."

Mereka mencari di setiap sudut gedung, termasuk area parkiran yang sepi dan tangga darurat yang gelap. Tiba-tiba, suara dentingan logam yang keras dari arah lift membuat mereka terkesiap. Mereka berlari menuju lobi lift. Ketika pintu salah satu lift terbuka, mereka dihadapkan pada pemandangan yang mengerikan.

Mayat Bima tergantung di dalam lift, tubuhnya tergantung kaku dari kabel lift, seolah-olah dicekik oleh sesuatu yang tidak terlihat. Matanya melotot, dan ekspresinya membeku dalam ketakutan yang luar biasa. Di lantai lift, tergeletak sebuah bunga kering yang sama persis dengan yang ditemukan di meja Nadia. Bima telah menjadi korban selanjutnya, dendam Siska telah menemukan target utamanya.

Melihat kengerian itu, Rafi dan Dian tidak bisa lagi berpikir logis. Ketakutan menyelimuti mereka. Ini bukan lagi tentang menyelidiki, ini tentang bertahan hidup. Pengorbanan Bima, cucu dari Dr. Wijaya, adalah bukti terakhir bahwa Siska tidak akan berhenti sampai dendamnya terbalaskan sepenuhnya. Mereka tahu, mereka harus menemukan cara untuk menghentikan ini, sekarang juga. Mereka tidak punya waktu lagi.

Kematian Bima yang tragis, tergantung di lift dengan ekspresi ketakutan yang abadi, adalah puncak dari semua teror. Rafi dan Dian, yang menemukan pemandangan mengerikan itu, tak lagi bisa menahan diri. Mereka tahu, tidak ada waktu lagi untuk bersembunyi atau mencari bantuan dari pihak luar yang tak akan percaya. Mereka harus bertindak.

"Ruang server," bisik Rafi, napasnya tersengal. "Bekas kamar operasi Siska. Pasti ada sesuatu di sana."

Dian mengangguk, matanya menunjukkan tekad yang membara di balik rasa takutnya. "Nenekku selalu bilang, untuk menghentikan arwah yang marah, kita harus menyelesaikan urusannya di dunia nyata. Beri dia kedamaian yang layak."

Berbekal senter dari ponsel mereka dan keberanian yang tersisa, mereka berdua menuju lantai tiga. Gedung PT. Senja Merah terasa lebih dingin dan sunyi dari biasanya. Setiap langkah mereka bergema di lorong yang gelap, seolah ada mata tak terlihat yang mengawasi. Sampai di depan pintu ruang server, Rafi mencoba membukanya. Terkunci.

"Aku punya kuncinya," kata Dian, mengeluarkan sebuah kunci kecil dari dompetnya. Sebagai HRD, ia memiliki kunci cadangan untuk semua ruangan penting.

Pintu terbuka dengan derit pelan. Ruang server itu dipenuhi dengan rak-rak besar berisi perangkat keras yang berkedip-kedip, mengeluarkan dengungan konstan yang memekakkan telinga. Namun, di tengah hiruk pikuk teknologi itu, ada aura dingin yang menusuk, seolah udara di sana jauh lebih padat dari biasanya. Bau disinfektan dan anyir darah samar, bau yang sama dengan yang dirasakan Rafi di awal-awal teror, kini terasa begitu pekat di ruangan itu, seolah mereka kembali ke tahun 1987.

Mereka menyinari setiap sudut ruangan dengan senter ponsel. Di balik salah satu rak server yang paling terpencil, di sebuah sudut yang jarang dijamah, mereka menemukan sesuatu. Sebuah kotak kayu tua, tersembunyi di balik tumpukan kabel dan debu tebal. Rafi meraihnya, tangannya bergetar.

Di dalamnya, mereka menemukan sebuah buku harian lusuh. Sampulnya sudah lapuk, tapi tulisan tangan di dalamnya masih terbaca dengan jelas. Itu adalah buku harian Siska.

Dengan cepat, Rafi dan Dian mulai membaca. Baris demi baris, cerita Siska terkuak dalam tulisan tangannya yang semakin lama semakin lemah. Buku harian itu berisi catatan hariannya sejak ia masuk rumah sakit, keluhannya tentang penyakit ginjalnya, dan ketakutannya terhadap Dr. Wijaya. Ia menuliskan tentang perawat-perawat yang terlihat kasihan padanya namun tak berdaya, tentang janji-janji palsu yang diberikan dokter, dan akhirnya, kengerian saat ia menyadari bahwa ia akan dioperasi bukan untuk disembuhkan, melainkan untuk dimanfaatkan.

Di halaman-halaman terakhir, tulisan Siska berubah menjadi coretan tak beraturan, mencerminkan rasa sakit dan keputusasaan yang ekstrem. Ia menulis tentang operasi paksa itu, tentang rasa dingin dari pisau bedah, tentang penderitaan yang tak tertahankan, dan bisikan terakhirnya tentang sumpah balas dendam pada "tempat ini dan orang-orangnya." Ia juga menuliskan keinginannya untuk dikuburkan di dekat pohon kamboja yang sering ia lihat dari jendela kamarnya, sebuah keinginan yang tidak pernah terpenuhi karena jenazahnya dibuang begitu saja setelah organ tubuhnya diambil.

Satu kalimat terakhir, yang ditulis dengan tinta darah atau sejenisnya, membuat air mata Dian menetes: "Mereka membuangku seperti sampah. Aku hanya ingin istirahat. Aku hanya ingin diakui."

"Ini dia," kata Dian, suaranya parau. "Dia tidak ingin balas dendam tanpa henti. Dia hanya ingin mengakui kesalahan masa lalu dan diberi penguburan yang layak. Dia ingin diakui sebagai manusia, bukan objek eksperimen."

Mereka berdua tahu apa yang harus dilakukan. Rafi menghubungi polisi, melaporkan penemuan mayat Bima dan buku harian Siska, meskipun ia tahu ceritanya akan terdengar gila. Polisi, setelah serangkaian kematian aneh, mulai sedikit lebih terbuka pada kemungkinan yang tidak biasa. Dengan bukti buku harian dan kesaksian mereka, penyelidikan kasus lama Dr. Wijaya dibuka kembali.

Bersamaan dengan proses hukum yang dimulai, Rafi dan Dian, dengan bantuan beberapa karyawan yang akhirnya percaya, mengadakan upacara kecil di halaman belakang gedung PT. Senja Merah. Sebuah lokasi yang dulunya mungkin adalah tempat pohon kamboja yang diceritakan Siska. Mereka menyiapkan sebuah nisan kecil bertuliskan "Siska, 15 April 1965 - [Tanggal Kematiannya yang tertera di buku harian]", sebagai simbol pengakuan atas keberadaan dan penderitaannya. Mereka menaburkan bunga, membacakan doa, dan Rafi bahkan membacakan beberapa kutipan dari buku harian Siska, memberikan suara pada bisikan terakhirnya yang terpendam. Bunga-bunga segar diletakkan di lokasi kematian Siska di ruang server, dan lilin dinyalakan. Ini bukan hanya upacara penguburan simbolis, tetapi juga bentuk permintaan maaf, sebuah upaya untuk memberikan kedamaian pada arwah yang telah lama menderita.

Setelah upacara kecil itu, sebuah ketenangan yang aneh menyelimuti PT. Senja Merah. Ketegangan yang selama ini mencekik berangsur-angsur menghilang. Karyawan-karyawan yang tadinya ketakutan mulai kembali bekerja, meskipun masih dengan sedikit kehati-hatian. Berita tentang terbongkarnya kasus lama Dr. Wijaya mulai beredar di media lokal, mengonfirmasi kisah yang diungkap Rafi dan Dian. Reputasi PT. Senja Merah memang sempat terpukul, tetapi manajemen berjanji akan melakukan pemulihan dan memastikan keamanan serta kenyamanan karyawan.

Beberapa hari setelah upacara, Rafi dan Dian menerima sebuah email. Email itu tidak datang pada hari Senin, melainkan di hari Kamis sore yang tenang. Judulnya kosong. Pengirimnya: "The Forgotten One".

Mereka membukanya dengan cemas, bertanya-tanya apakah teror itu akan kembali. Namun, isinya hanya dua kata: "Thank you."

Rafi dan Dian saling berpandangan. Sebuah senyum tipis terukir di wajah mereka. Mungkin Siska telah menemukan kedamaiannya. Mungkin dendamnya telah terbalaskan, dan jiwanya kini bisa beristirahat.

PT. Senja Merah perlahan-lahan kembali normal. Lampu-lampu kantor terasa lebih hangat, dan tawa karyawan kembali terdengar di koridor. Kisah teror itu menjadi legenda urban yang diceritakan turun-temurun, sebuah peringatan tentang masa lalu yang tidak boleh dilupakan.

Namun, tidak sepenuhnya semua telah berakhir. Setiap Jumat pagi, ketika Rafi tiba di kantor, ia selalu menemukan sebuah tanda kecil. Di sudut gedung, dekat area taman kecil yang baru saja direnovasi – mungkin di tempat yang dulunya adalah pohon kamboja yang diidamkan Siska – selalu ada setangkai bunga segar yang muncul begitu saja. Bukan bunga kering yang menyeramkan seperti yang ditemukan pada korban, melainkan bunga kamboja putih yang mekar sempurna, seolah baru dipetik.

Bunga itu selalu ada di sana, tanpa ada yang menanamnya atau meletakkannya. Terkadang hanya satu, terkadang dua. Sebuah tanda yang samar, sebuah bisikan dari dunia lain. Itu adalah pengingat bahwa arwah Siska, meskipun mungkin telah menemukan sebagian kedamaian, belum sepenuhnya pergi. Dia masih ada di sana, mungkin sebagai penjaga, mungkin sebagai penanda bahwa sejarah gedung itu tidak akan pernah sepenuhnya terhapus. Sebuah bayangan yang akan selalu ada, sebuah pengingat bahwa masa lalu memiliki cara sendiri untuk menghantui masa kini, dan beberapa luka tidak akan pernah benar-benar sembuh.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)