Masukan nama pengguna
Bab 1: Kedatangan di Lembah Kabut
Sofia menutup pintu mobilnya, suara klik pelan terdengar di antara keheningan yang mencekam. Udara dingin langsung menerpa wajahnya, menusuk hingga ke tulang. Tidak seperti Jakarta yang selalu gerah dan pengap, dengan hiruk pikuk klakson dan bau knalpot yang menyesakkan, Desa Gunungrejo menawarkan kesejukan yang menusuk, bahkan di siang bolong. Kabut tipis masih bergelayut manja di lereng pegunungan yang mengelilingi desa, seperti tirai misterius yang menyembunyikan sesuatu, menjanjikan keindahan sekaligus menyimpan rahasia. Sofia menarik napas dalam, aroma tanah basah, dedaunan pinus yang gugur, dan bau samar kayu bakar mengisi paru-parunya. Sebuah aroma yang asing, namun entah mengapa, terasa menenangkan sekaligus mencurigakan.
Ini bukan kepindahan yang direncanakan Sofia dalam peta kariernya. Lulus dari fakultas kebidanan dengan predikat cum laude, ia selalu membayangkan praktik di rumah sakit modern, dengan peralatan serba canggih, tim medis yang kompeten, dan jadwal yang teratur. Namun, sebuah program pemerintah yang menjanjikan bonus besar dan pengalaman unik, ditambah lagi dengan dorongan kuat dari sebuah idealisme yang ia genggam erat setelah kejadian setahun lalu—kematian adiknya, Luna, karena kurangnya penanganan medis di sebuah daerah terpencil—mengantarnya ke tempat antah-berantah ini. Luna, yang menderita demam berdarah parah, tak bisa diselamatkan karena keterbatasan akses dan fasilitas kesehatan di desa tempat ia KKN. Sejak saat itu, Sofia bersumpah pada dirinya sendiri, tidak akan ada lagi yang harus mengalami nasib serupa, tidak ada lagi nyawa yang terbuang sia-sia hanya karena jarak dan kemiskinan fasilitas.
"Selamat datang, Bu Bidan Sofia," suara berat menginterupsi lamunannya, membuyarkan ingatan pahitnya. Seorang pria paruh baya dengan kulit gelap terbakar matahari dan tatapan mata yang dalam, hampir terlalu dalam, berdiri di depannya. Rambutnya memutih di pelipis, dan kerutan di wajahnya menandakan usia serta kerasnya hidup. Itu Pak Kades, Bapak Kepala Desa, yang sebelumnya berkomunikasi dengannya melalui telepon. Ia mengenakan baju batik lusuh yang warnanya sudah memudar dan peci hitam yang sedikit miring.
"Terima kasih, Pak Kades. Maaf saya terlambat sedikit," jawab Sofia, senyumnya sedikit kaku, memaksakan kehangatan yang sebenarnya tidak ia rasakan sepenuhnya. Perjalanan dari kota memang jauh dan melelahkan, melewati jalanan berliku yang sesekali berbatu dan terjal, membuat perutnya mual beberapa kali.
Pak Kades hanya mengangguk, sorot matanya sulit ditebak. Lalu, gesturnya menyuruh Sofia untuk mengikuti. Mereka berjalan di jalan setapak sempit yang membelah pemukiman, diapit rumah-rumah panggung kayu yang tampak kuno, sebagian besar beratap ijuk atau genteng tanah liat yang ditumbuhi lumut. Beberapa pasang mata mengintip dari balik jendela, memandang Sofia, sang "orang baru", dengan rasa ingin tahu yang kentara, bercampur sesuatu yang lain—sesuatu yang sulit Sofia definisikan. Semacam kecurigaan? Atau mungkin… ketakutan? Firasatnya mulai berteriak.
"Ini rumah Bu Bidan yang sebelumnya, Bu," kata Pak Kades sambil menunjuk sebuah rumah kayu tua di ujung jalan, agak terpisah dari pemukiman utama, di dekat pinggir hutan yang lebat. Catnya sudah mengelupas di sana-sini, memperlihatkan warna asli kayu yang menghitam dimakan usia, dan beberapa papan kayunya tampak lapuk, rapuh. Halamannya ditumbuhi ilalang tinggi yang bergoyang-goyang ditiup angin, dan pohon beringin besar berdiri menjulang di sampingnya, dahan-dahannya menjuntai hingga hampir menyentuh tanah, menciptakan suasana yang remang-remang bahkan di tengah hari. Ada semacam aura mistis yang menguar dari pohon tua itu.
Sofia menelan ludah. Rumah itu jauh dari bayangan dan harapannya. Ia membayangkan setidaknya rumah permanen yang layak huni, mungkin dengan dinding bata dan jendela kaca, bukan gubuk tua yang tampak seperti peninggalan zaman kolonial, yang usianya mungkin lebih tua darinya. Jantungnya berdesir tak nyaman. "Ini... rumahnya?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, berusaha menahan kekecewaan dan kegelisahan yang mulai muncul.
Pak Kades membuka pintu yang berderit nyaring, seolah enggan dilewati. Bau apek langsung menyeruak keluar, bercampur aroma tanah lembab dan sesuatu yang amis, seperti darah kering yang sudah lama tidak dibersihkan. Debu tebal menyelimuti setiap sudut, melapisi perabotan usang yang masih tersisa, seperti patung-patung yang ditinggalkan zaman. "Nanti saya minta warga untuk membersihkannya, Bu Bidan. Sementara ini, Bu Bidan bisa istirahat dulu," ucapnya, nadanya datar, tanpa emosi. "Oh ya, ada beberapa pesan penting yang ingin saya sampaikan."
Sofia mengangguk, perasaannya semakin tidak enak. Keheningan desa ini, tatapan warga, rumah tua ini, dan sekarang pesan-pesan misterius.
"Pertama, jangan buka pintu setelah magrib, Bu Bidan. Warga desa ini tidur cepat. Tidak ada yang berkeliaran di luar setelah gelap." Pak Kades menatapnya lurus, tatapannya menyiratkan peringatan keras yang tak bisa dibantah. Ada semacam ancaman tersirat di matanya, atau mungkin... sebuah ketakutan yang mendalam. "Kedua, dan ini yang terpenting: hindari jalan ke utara desa saat malam Jumat Kliwon. Itu jalan menuju hutan. Ada... tradisi di sana yang sebaiknya tidak dilihat oleh orang luar. Jangan pernah mendekatinya."
Sofia mengerutkan kening. Takhayul kuno, pikirnya, mencoba bersikap rasional. Di Jakarta, ia terbiasa dengan kehidupan modern yang serba rasional, dengan logika dan sains sebagai patokan. Tapi di desa terpencil ini, sepertinya kepercayaan semacam itu masih sangat mengakar, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. "Baik, Pak Kades. Saya mengerti," jawab Sofia, mengangguk. Ia menganggapnya sebagai sekadar peringatan untuk keamanan pribadi, mungkin ada binatang buas yang berkeliaran, atau jurang tersembunyi yang berbahaya di hutan itu.
Pak Kades menghela napas, seolah ia tidak yakin apakah Sofia benar-benar memahami atau hanya sekadar mengiyakan. Ia menatap ke arah hutan, pandangannya menerawang jauh. "Dan Bu Bidan, bidan yang sebelumnya... namanya Bidan Sari. Dia juga pergi setelah setahun di sini. Tiba-tiba saja. Tidak ada kabar. Kami hanya diberitahu dia pulang kampung." Ada jeda singkat, hening yang menyesakkan, sebelum ia melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Kami harap Bu Bidan tidak seperti itu."
Kata-kata itu terngiang di telinga Sofia. 'Tiba-tiba menghilang'. Sebuah firasat buruk merayapi punggungnya, dingin dan mencekam. Ia mencoba menepisnya. Mungkin bidan itu memang tidak cocok dengan kehidupan desa yang keras, atau mungkin ia mendapat tawaran pekerjaan yang lebih baik. Ia harus berpikir positif.
Setelah Pak Kades pergi, meninggalkan Sofia sendirian di rumah tua itu, ia mencoba membereskan barang-barangnya. Ia menyapu debu tebal yang menutupi lantai dan perabotan, membuka jendela-jendela agar udara segar masuk, dan menyemprotkan pengharum ruangan yang ia bawa dari kota. Namun, bau apek dan amis itu seolah menempel di dinding, meresap ke dalam pori-pori kayu, tak mau hilang. Ia merasa tidak nyaman di rumah itu, seolah ia tidak sendirian. Setiap kali ia melangkah, lantai kayu akan berderit, kriiett, kriiett, seolah-olah rumah itu hidup dan mengeluh, menanggapi setiap gerakannya. Bayangan-bayangan aneh menari-nari di sudut ruangan, bergerak seiring hembusan angin yang masuk dari celah-celah dinding.
Malam pertama di Gunungrejo adalah ujian bagi Sofia. Tanpa listrik yang stabil, hanya ada lampu minyak yang temaram, memancarkan cahaya kuning yang goyah, membuat bayangan di dinding semakin panjang dan menari-nari. Kegelapan di luar jendela terasa begitu pekat, menelan segala cahaya, menciptakan dunia di luar yang sama sekali tidak terlihat. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya bersahutan, menciptakan simfoni alam yang asing dan sedikit menakutkan bagi telinganya.
Sekitar tengah malam, saat Sofia mencoba memejamkan mata di atas kasur tipis yang ia gelar di lantai, ia mendengar suara. Lembut, memilukan, seperti rintihan panjang yang penuh duka. Suara itu berasal dari arah hutan, dari balik pohon beringin besar di samping rumahnya. Itu suara seorang perempuan yang menangis, dengan nada yang begitu getir, seolah hatinya hancur berkeping-keping. Awalnya Sofia mengira itu hanya suara hewan, atau mungkin salah satu warga desa yang sedang berduka di tengah malam. Tapi suara itu terus berlanjut, semakin jelas, dan yang paling mengerikan, ia merasa suara itu seperti memanggil-manggil namanya.
"Sofia... Sofia..."
Bulu kuduk Sofia meremang. Ia menarik selimut hingga menutupi dagu, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi, kelelahan, atau mungkin angin yang bersiul di antara dahan-dahan pohon. Namun, suara tangisan itu tidak berhenti hingga menjelang subuh, ketika ayam mulai berkokok dan fajar menyingsing di ufuk timur, perlahan mengusir kegelapan. Sebuah malam yang panjang, dan Sofia tahu, ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih gelap.
Bab 2: Bisikan dan Benang Merah
Minggu pertama Sofia di Gunungrejo diisi dengan rutinitas baru yang sangat berbeda dari bayangannya. Ia mulai mengenal beberapa warga desa, kebanyakan dari mereka adalah petani yang hidup sederhana, bergantung sepenuhnya pada hasil kebun dan ladang. Klinik kecil yang ia tangani sangat minim fasilitas, hanya sebuah ruangan berdinding papan dengan meja periksa usang dan lemari obat yang nyaris kosong, jauh dari standar yang ia kenal. Ia harus beradaptasi dengan keterbatasan, menggunakan apa adanya, dan mengandalkan insting serta pengalaman praktik lapangannya sebagai bidan. Setiap hari adalah tantangan baru, dari menangani demam biasa hingga persalinan yang membutuhkan kesabaran dan kecermatan ekstra.
Yang paling membuatnya terheran-heran dan sedikit takut adalah perilaku para ibu tua di desa. Mereka sering terlihat di dekat ibu hamil, membisikkan mantra-mantra aneh dalam bahasa yang tidak ia pahami. Suara-suara mereka terdengar lirih namun mengandung kekuatan yang tak terlihat. Mata mereka tampak fokus, sesekali melirik Sofia dengan tatapan penuh penilaian, seolah ia adalah orang asing yang harus diwaspadai, atau bahkan... diperiksa.
Suatu siang, ia menolong seorang ibu muda bernama Ningsih yang melahirkan bayi laki-laki. Bayi itu sehat, menangis nyaring, mengisi ruangan sempit itu dengan kehidupan baru. Setelah membersihkan bayi dan ibunya, Sofia melihat seorang wanita tua, keriput dengan rambut putih seperti salju yang ditata rapi, mendekati bayi itu. Wanita itu adalah Mbok Darmi, salah satu sesepuh desa yang dikenal sangat dihormati sekaligus sedikit ditakuti karena pengetahuannya tentang hal-hal gaib. Tanpa berbicara, Mbok Darmi mengeluarkan seuntai benang merah tipis yang ditenun dengan rapi dari balik kain kebaya lusuhnya. Dengan gerakan cekatan, ia mengikatkan benang itu di pergelangan tangan mungil bayi yang baru lahir.
"Bu, untuk apa benang ini?" tanya Sofia, rasa penasarannya tak bisa dibendung. Ia tahu tentang gelang persahabatan atau jimat keberuntungan di beberapa daerah, tapi ini terasa berbeda, ada semacam aura serius yang melingkupinya.
Mbok Darmi mengangkat wajahnya, menatap Sofia dengan mata yang redup namun tajam, seolah ia melihat jauh ke dalam jiwa Sofia. Bibirnya tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak mencapai matanya. "Itu agar dia tidak diambil, Nak," jawabnya singkat, suaranya serak seperti gesekan daun kering yang tertiup angin. Lalu, ia membisikkan sesuatu ke telinga bayi itu, sebuah rangkaian kata yang terdengar seperti doa atau mantra kuno, sebuah melodi yang asing namun terasa berat, sebelum berbalik pergi begitu saja, meninggalkan Sofia dengan seribu pertanyaan yang berputar di benaknya.
Diambil? Diambil oleh siapa? Pikiran Sofia berkecamuk. Apakah mereka percaya pada makhluk halus yang menculik bayi? Atau ada sesuatu yang lebih mengerikan yang ia tidak tahu, sebuah kebenatan yang disembunyikan di balik tradisi? Ia merasa ada kepingan puzzle yang hilang, dan kepingan itu sangat penting.
Malamnya, Sofia tidak bisa tidur. Pertanyaan-pertanyaan tentang benang merah dan kata-kata aneh itu terus berputar di benaknya. Ia teringat akan bidan sebelumnya, Bidan Sari, yang menghilang secara misterius. Mungkinkah ada kaitannya? Apakah Bidan Sari juga mengetahui tentang ini?
Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang rumah yang ia tempati. Mungkin ada petunjuk dari bidan sebelumnya. Dengan senter di tangan, ia menyusuri setiap sudut rumah, mengetuk-ngetuk dinding kayu yang lapuk, dan memeriksa setiap laci yang berkarat. Ia merasakan aura aneh di rumah itu, seolah dinding-dindingnya menyimpan rahasia kelam, bisikan masa lalu yang ingin diungkapkan. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, lebih berat, seolah ada kehadiran tak kasat mata yang mengawasinya.
Di kamar tidurnya, di bawah papan lantai yang longgar di dekat ranjang, jemari Sofia menemukan sesuatu. Sebuah celah kecil yang nyaris tak terlihat, tertutup debu dan kotoran. Ia mengungkit papan itu dengan pisau kecilnya, dan di dalamnya, tergeletak sebuah buku catatan usang. Sampulnya sudah pudar, kulitnya mengelupas, dan kertasnya menguning, rapuh dimakan waktu. Jantung Sofia berdegup kencang. Ini pasti milik Bidan Sari.
Ia membuka buku itu perlahan, napasnya tertahan, seperti pemburu harta karun yang baru saja menemukan peta berharga. Tulisan tangan di dalamnya kecil dan rapi, namun beberapa coretan dan tekanan pena yang kuat menunjukkan kegelisahan penulisnya, seolah setiap kata ditulis dalam keputusasaan. Sofia membaca baris demi baris, matanya melotot, menelan setiap kata yang diukir dengan tinta hitam.
2 Mei.
"Suara tangisan itu lagi. Setiap malam Jumat Kliwon. Mereka selalu membawa anak-anak itu. Aku tidak mengerti. Mereka mengatakannya 'persembahan'. Persembahan untuk apa?"
15 Mei.
"Seorang ibu melahirkan bayi kembar. Mereka hanya mengambil satu. Yang satunya, mereka biarkan hidup. Kenapa? Apa kriterianya? Wajah anak-anak itu... kosong. Mereka tidak berdaya, tidak bisa menolak."
29 Mei.
"Benang merah. Itu bukan jimat biasa. Itu tanda. Tanda bahwa bayi itu tidak untuk mereka. Tapi seberapa kuat tanda itu? Apa yang terjadi jika tidak ada benang merah? Aku tidak tahu."
12 Juni.
"Aku melihatnya. Bayangan hitam besar di balik pohon beringin, di lapangan tersembunyi itu. Itu bukan manusia. Bukan binatang biasa. Matanya... merah menyala. Dia mengawasi. Dia menuntut. Ada aura jahat yang tak terlukiskan."
Sofia merinding. Tangannya gemetar saat membalik halaman, seolah menyentuh sesuatu yang sangat kotor. Ia merasa mual, membayangkan kengerian yang harus dihadapi Bidan Sari.
28 Juni.
"Mereka memberikannya kepada Dia setiap bulan. Darah, tangisan, ketakutan. Aku tidak bisa lagi. Aku harus pergi sebelum mereka memilihku. Sebelum giliranku tiba. Aku tidak bisa mengorbankan diriku demi makhluk itu. Aku harus lari. Sekarang atau tidak sama sekali."
Tulisan terakhir itu tercoret-coret dengan tinta tebal, mengindikasikan kepanikan ekstrem sang penulis. Setelah itu, tidak ada lagi tulisan, hanya halaman kosong yang dipenuhi noda samar yang tampak seperti bekas air mata atau percikan darah.
Sofia menjatuhkan buku catatan itu, suaranya berdebam pelan di lantai kayu. Kata-kata 'mengambil', 'mereka memilihku', dan 'mereka memberikannya kepada Dia' berputar-putar di kepalanya, menciptakan labirin horor yang tak berujung. Sebuah ritual? Pengorbanan anak? Dan yang paling penting, siapa 'Dia'? Sebuah entitas, iblis, atau sesuatu yang lebih tua dan mengerikan dari sekadar imajinasinya?
Malam itu, tidur Sofia dihantui mimpi buruk yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Ia melihat bayangan-bayangan hitam menari-nari di bawah sinar bulan purnama, mengelilingi sebuah altar batu yang berlumuran darah. Di tengah lingkaran, suara tangisan bayi yang memilukan bergema, memecah kesunyian malam. Suara-suara bisikan aneh seolah mengelilinginya, mantra-mantra yang tidak ia pahami namun terasa menakutkan. Ia merasa sepasang mata merah menyala mengawasinya dari kegelapan, tatapan dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin, jantungnya berdebar kencang seolah ingin keluar dari dadanya. Sebuah kenyataan pahit menyergapnya: ia tidak lagi berada di Jakarta yang aman, melainkan di sebuah desa yang menyimpan rahasia kelam, di mana horor adalah bagian dari tradisi. Dan ia, sang bidan kota, kini terperangkap di dalamnya.
Bab 3: Malam Jumat Kliwon dan Desakan Misteri
Keesokan harinya, Sofia mencoba bersikap normal, meskipun pikirannya terusik parah oleh isi buku catatan Bidan Sari. Ia berusaha menyembunyikan ketakutan dan kegelisahannya di balik senyum profesional. Ia memperhatikan setiap interaksi, setiap bisikan warga, dan setiap tatapan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang ditutup-tutupi oleh seluruh desa, sebuah konspirasi bisu yang melibatkan setiap jiwa di Gunungrejo. Udara di desa terasa lebih berat, seolah dipenuhi rahasia yang menyesakkan.
Ia mencoba bertanya kepada beberapa ibu muda yang ia tolong, tentang tradisi benang merah atau tentang cerita bidan sebelumnya. Namun, setiap kali pertanyaan itu muncul, mereka akan langsung mengubah topik pembicaraan, atau menjawab dengan wajah tegang, seolah ketakutan untuk membahasnya. Tatapan mereka kosong, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalangi mereka untuk berbicara. Bahkan Pak Kades pun, ketika Sofia mencoba menanyakan secara langsung tentang isi buku catatan itu, hanya diam, tatapannya menyiratkan kesedihan dan kepasrahan yang dalam, sebuah beban yang sudah ia pikul seumur hidup.
"Ada hal-hal yang tidak seharusnya kita cari tahu, Bu Bidan," kata Pak Kades dengan nada berat, suaranya nyaris berbisik. Ia menatap Sofia dengan tatapan yang memperingatkan, "Percayalah, itu demi kebaikan Ibu sendiri. Ikuti saja aturan yang sudah ada di sini."
Penolakan dan sikap tertutup warga desa justru semakin memicu rasa penasaran Sofia. Ia adalah seorang profesional medis yang dididik untuk mencari jawaban ilmiah, bukan menyerah pada takhayul atau menyerah pada ketakutan. Ia merasa bertanggung jawab, bukan hanya atas nasib Bidan Sari yang misterius, tetapi juga atas keselamatan bayi-bayi di desa itu. Bagaimana ia bisa diam saja, sementara ada kemungkinan anak-anak tak berdosa menjadi korban sebuah ritual yang mengerikan?
Waktu berlalu, dan setiap hari semakin mendekati malam Jumat Kliwon. Peringatan Pak Kades tentang jalan ke utara desa terus terngiang di benaknya, sebuah bisikan ancaman yang konstan. Rasa takut dan penasaran bercampur aduk dalam diri Sofia, menciptakan konflik batin yang hebat. Ia tahu ia tidak seharusnya pergi, ia harus mengutamakan keselamatannya. Tapi suara tangisan di malam hari, isi buku catatan itu, dan desakan nuraninya yang kuat untuk menyelamatkan, membuatnya tak bisa tenang.
Dua hari sebelum malam Jumat Kliwon tiba, saat ia berjalan-jalan di sekitar desa, ia melihat Mbok Darmi, wanita tua yang sama yang mengikatkan benang merah pada bayi Ningsih. Wanita itu duduk di teras rumahnya yang reyot, merajut sesuatu dengan benang-benang berwarna gelap. Sofia memutuskan untuk mendekatinya, merasakan dorongan kuat untuk menggali lebih dalam dari sumber yang paling mungkin memberinya informasi.
"Nek," sapa Sofia ramah, mencoba terdengar sesantai mungkin. "Bolehkah saya bertanya sesuatu lagi?"
Wanita tua itu mengangkat kepalanya perlahan, tatapannya kosong namun mendalam, seolah ia bisa melihat menembus jiwa Sofia. Wajahnya keriput, namun matanya masih tajam, seperti elang tua. "Tentu, Nak Bidan," jawabnya, suaranya serak namun terdengar lebih jernih dari sebelumnya.
"Mengenai benang merah itu... mengapa harus diikatkan pada bayi?" tanya Sofia, mencoba melunakkan suaranya agar tidak terdengar menginterogasi.
Mbok Darmi tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum itu dingin, getir, seolah menyimpan kesedihan ribuan tahun. "Itu untuk melindungi mereka dari Dia," jawabnya, suaranya pelan dan berbisik, namun setiap kata terasa seperti palu yang menghantam gendang telinga Sofia. "Setiap bulan, Dia akan datang. Meminta persembahan. Yang tidak memiliki tanda, yang tidak 'ditandai', akan diambil."
Jantung Sofia berdegup kencang. Jadi benar. Ritual itu adalah pengorbanan anak. Dan benang merah itu adalah semacam pelindung, tetapi tidak menjamin sepenuhnya keselamatan. Itu hanya sebuah upaya putus asa.
"Siapa Dia, Nek?" tanya Sofia, suaranya tercekat, ia tak mampu menahan rasa takut dan penasaran yang membuncah.
Mbok Darmi menggeleng, matanya kini menatap kosong ke arah hutan. "Bukan untuk manusia biasa untuk mengetahui, Nak Bidan. Dia adalah penjaga lembah ini. Memberi kesuburan pada tanah, melimpahkan panen, menjaga kami dari wabah. Tapi juga meminta bayaran yang setimpal. Darah demi darah. Nyawa demi nyawa." Ia menunjuk ke arah hutan, ke utara desa, tempat bayangan gelap pohon beringin terlihat samar-samar. "Dulu, kami memberikan hewan. Lalu, saat panen gagal, saat kemarau panjang melanda dan desa hampir mati kelaparan, Dia meminta lebih. Pertama, anak-anak cacat yang dianggap tidak sempurna. Lalu, anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki siapa-siapa. Sekarang, siapapun yang tidak dilindungi, siapapun yang 'dipilih'."
Sofia merasa mual, seperti ada tangan dingin yang meremas organ dalamnya. Jadi benar. Ritual itu adalah pengorbanan anak. Dan benang merah itu adalah semacam mark, sebuah pelindung yang rapuh. Ia membayangkan para orang tua yang harus pasrah menyerahkan anak-anak mereka, atau yang harus menyaksikan anak-anak mereka diambil, tanpa daya.
"Mengapa tidak ada yang melawan, Nek?" tanya Sofia, suaranya gemetar menahan amarah dan ketakutan. "Mengapa kalian membiarkan ini terjadi?"
Wanita tua itu menatap Sofia dengan tatapan sedih, tatapan yang mengandung rasa lelah dan keputusasaan yang mendalam, seolah ia sudah menyaksikan terlalu banyak kengerian. "Kami sudah mencoba, Nak Bidan. Banyak yang mencoba. Nenekmu, kakekmu, ayah ibumu, mereka pernah berontak. Tapi mereka semua... menghilang. Atau menjadi gila, berteriak-teriak sendiri di hutan sampai tubuh mereka ditemukan tak bernyawa dengan mata melotot. Dia terlalu kuat. Lebih baik kehilangan satu, daripada kehilangan semua. Ini adalah kutukan, Nak Bidan. Kutukan yang turun-temurun. Kami lahir dalam bayangannya, dan kami akan mati dalam bayangannya."
Kata-kata wanita tua itu membuat Sofia terdiam. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya, lebih dari sekadar rasa penasaran. Ia menyadari bahwa ia telah tersandung pada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari sekadar takhayul desa. Ini adalah sistem keyakinan yang mengakar, sebuah pakta gelap yang telah mengikat desa ini selama beberapa generasi, di mana ketakutan menjadi mata uang utama.
Malam harinya, Sofia membaca kembali buku catatan Bidan Sari. Setiap kata terasa semakin nyata, semakin menakutkan. Ia memikirkan bayi-bayi yang telah ia tolong, senyum polos mereka, mata jernih mereka. Apakah mereka semua dalam bahaya? Apakah mereka akan menjadi korban berikutnya? Sebuah tekad kuat mulai tumbuh dalam dirinya, melebihi rasa takut. Ia tidak bisa diam saja.
Pada malam Jumat Kliwon, udara di Gunungrejo terasa berbeda. Lebih berat, lebih sunyi. Bahkan suara jangkrik pun seolah enggan bersahutan, seolah alam pun menahan napas. Sofia merasa tegang sepanjang hari. Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk tidak pergi. Ia harus selamat. Ia harus memikirkan dirinya sendiri. Tapi suara tangisan bayi yang ia dengar setiap malam, ditambah cerita Mbok Darmi, dan penderitaan yang ia baca di buku catatan Bidan Sari, mendorongnya untuk bertindak. Hatinya menjerit, menuntut keadilan.
Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Meskipun ia tahu itu gila, sangat berbahaya, tetapi nuraninya sebagai seorang bidan dan seorang manusia tidak mengizinkannya untuk tinggal diam. Ia harus menyelamatkan bayi itu. Ia harus menghentikan ritual keji ini.
Setelah magrib, ia menunggu hingga desa benar-benar sunyi, hingga hanya terdengar suara detak jantungnya sendiri yang berpacu kencang. Lalu, dengan senter kecil di tangannya dan sebuah pisau bedah yang ia selipkan di sakunya sebagai perlindungan—senjata kecil yang terasa begitu rapuh di hadapan kengerian yang mungkin menunggunya—ia membuka pintu rumahnya perlahan. Bau anyir samar-samar terbawa angin dari arah utara, memanggil-manggilnya. Ia menelan ludah, detak jantungnya berpacu seperti drum yang dipukul dengan kecepatan gila. Ia menyusuri jalan setapak yang gelap, melangkah hati-hati menuju arah yang dilarang itu. Hutan di kejauhan tampak seperti mulut gua yang siap menelannya, menelan setiap cahaya, setiap harapan. Ia tidak tahu apa yang menantinya di sana, tetapi ia harus tahu. Ia harus menghentikannya. Ia harus menyelamatkan bayi itu.
Bab 4 : Jejak Darah di Utara Desa
Udara malam yang dingin terasa menusuk tulang, namun Sofia tidak merasakan gigilnya. Jantungnya berpacu begitu kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuh, menumpulkan sensasi dingin. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang nyaris tak terlihat, hanya diterangi sinar temaram senter kecilnya. Pohon-pohon di sisi kiri dan kanan jalan membayang tinggi, batangnya hitam legam, siluetnya menyerupai jari-jari raksasa yang mencengkeram langit. Suara binatang malam, yang awalnya terdengar seperti simfoni alam, kini berubah menjadi bisikan-bisikan aneh yang seolah mengejek keberaniannya. Ia bisa merasakan tatapan, seolah ada mata tak terlihat yang mengawasinya dari balik kegelapan hutan.
Bau amis yang samar-samar ia cium di awal perjalanan kini semakin kuat, menusuk hidung, membuat perutnya mual. Itu bau darah, ia yakin. Darah segar, bercampur dengan aroma anyir tanah dan dedaunan busuk. Jejak samar di tanah mulai terlihat, mengarah lurus ke utara, ke jantung hutan. Sofia melangkah hati-hati, memastikan setiap pijakannya tidak menimbulkan suara keras. Ia harus tetap tidak terlihat, tidak terdengar.
Perjalanan itu terasa sangat panjang, seolah waktu melambat. Setiap bayangan, setiap suara ranting patah diinjaknya, membuat Sofia tersentak. Ia membayangkan Bidan Sari, wanita yang menulis buku catatan itu, berjalan di jalan yang sama ini, merasakan ketakutan yang sama, atau bahkan lebih. Apakah Bidan Sari juga mencoba menghentikan ritual ini? Atau ia hanya melarikan diri dari takdir yang mengerikan?
Tiba-tiba, ia mendengar suara-suara. Suara gumaman pelan, seperti nyanyian. Nyanyian yang tidak jelas liriknya, namun nadanya repetitif dan menyeramkan. Suara itu semakin jelas seiring ia mendekat. Sofia mematikan senternya, mengandalkan sedikit cahaya bulan yang berhasil menembus celah-celah dedaunan lebat. Ia merangkak pelan, bersembunyi di balik semak-semak lebat, bergerak maju seinci demi seinci.
Akhirnya, ia sampai di tepi sebuah lapangan terbuka. Bukan lapangan biasa, melainkan semacam area tersembunyi yang dilingkari oleh pohon-pohon raksasa, seolah alam sendiri telah menyembunyikannya dari pandangan dunia. Di tengah lapangan itu, pemandangan yang tersaji di depan matanya membuat darah Sofia membeku.
Puluhan orang berkumpul, semuanya mengenakan pakaian hitam, kain-kain lusuh yang nyaris menyatu dengan kegelapan malam. Mereka berdiri mengelilingi sebuah batu besar yang rata, berwarna gelap, tampak seperti altar kuno. Batu itu, di bawah sinar rembulan yang samar, terlihat berlumuran sesuatu yang gelap dan kental—darah. Bau anyir darah yang menusuk hidung Sofia kini sangat pekat, menyesakkan paru-paru.
Di tengah lingkaran, di atas batu altar itu, terbaring seorang bayi. Bayi itu menangis lemah, suara tangisannya tertahan, seolah takut untuk mengeluarkan seluruh suaranya. Tubuh mungilnya tampak pucat, hanya terbalut sehelai kain tipis. Mata Sofia memanas, amarah meluap dalam dirinya. Ini adalah kebiadaban yang tak termaafkan.
Seorang lelaki bertopeng muncul dari kegelapan di balik lingkaran. Topengnya terbuat dari kayu, diukir dengan detail mengerikan menyerupai wajah iblis dengan tanduk dan mata yang menonjol. Di tangannya, ia memegang sebilah pisau ritual yang panjang dan melengkung, bilahnya berkilauan samar-samar, memantulkan cahaya bulan.
"Malam ini, Dia meminta lebih," suara lelaki bertopeng itu bergema, suaranya dalam dan berat, seolah datang dari balik jurang. Setiap kata menggema di antara pepohonan, menambah kengerian suasana. "Lembah ini haus. Sungai mengering. Panen merana. Dia tidak puas. Persembahan biasa tidak cukup."
Tanpa pikir panjang, tanpa memikirkan konsekuensi, naluri Sofia sebagai bidan dan kemanusiaannya memberontak. Ia tidak bisa hanya menonton. Ia harus bertindak. Dengan teriakan tertahan, ia berlari ke depan, menerobos kerumunan orang-orang berbaju hitam itu, langsung menuju altar batu, berusaha menyelamatkan bayi tak berdosa itu.
Namun, ia terlalu lambat. Atau mereka terlalu cepat.
Tangan-tangan dingin, kasar, langsung menahannya. Jemari yang terasa seperti tulang mencengkeram lengannya erat, menghentikan langkahnya. Sofia meronta, berteriak, menendang. Tapi ia kalah jumlah. Ia kalah tenaga.
"Kau tidak seharusnya melihat ini, Bidan Kota," bisik sebuah suara di sampingnya. Suara itu serak, seperti daun kering yang dihimpit batu. Sofia menoleh. Seorang perempuan tua berdiri di dekatnya, wajahnya pucat, separuh membusuk, seperti mayat yang baru saja keluar dari kubur. Matanya putih menyala, tanpa pupil, menatap Sofia dengan tatapan kosong namun penuh ancaman. Tubuhnya kurus kering, hanya kulit dan tulang yang dibalut kain hitam. Itu adalah Mbok Darmi, sang sesepuh desa. Wajahnya yang keriput kini terlihat semakin mengerikan di bawah sinar bulan.
Sofia menjerit ketika ia diseret dengan paksa ke tengah lingkaran, di depan altar batu. Lelaki bertopeng itu mendekat, pisau ritualnya diangkat tinggi-tinggi. Ia mengucapkan kata-kata yang membuat telinga Sofia berdenging, sebuah mantra kuno yang memenuhi udara, membuat tulang-tulangnya terasa bergetar.
"Karena kau telah mengganggu. Karena kau telah menyaksikan apa yang seharusnya tetap tersembunyi. Maka kau akan menggantikan persembahan ini."
Pisau itu diangkat lebih tinggi, berkilauan di bawah cahaya bulan, siap menghujam. Sofia menutup matanya, napasnya terhenti. Ia merasakan dinginnya bilah pisau itu sejenak di lehernya...
Bab 5: Pengganti Persembahan dan Kutukan Abadi
Sensasi dingin yang menusuk di leher Sofia hanya berlangsung sepersekian detik, namun terasa seperti keabadian. Ia tidak merasakan sakit. Tidak ada darah yang mengalir. Ketika ia membuka mata, yang pertama ia lihat adalah lelaki bertopeng yang berdiri di depannya, menatapnya. Namun, ada yang aneh. Pisau ritual itu sudah tidak ada di tangannya. Dan di samping lelaki bertopeng itu, seorang wanita tua dengan wajah membusuk, Mbok Darmi, tersenyum sinis.
"Kau beruntung, Bidan Kota," bisik Mbok Darmi, suaranya serak dan berdesir seperti pasir. "Darahmu terlalu berharga untuk sekadar ditumpahkan. Dia menginginkan sesuatu yang lebih."
Sofia tidak mengerti. Ia melihat sekeliling, dan matanya tertuju pada bayi yang masih terbaring di atas altar batu. Bayi itu masih menangis, namun suaranya semakin melemah. Kerumunan orang-orang berbaju hitam kini menatapnya dengan tatapan lapar, tatapan yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Lelaki bertopeng itu mengangkat tangannya. "Bukan kematian yang Dia inginkan dari wanita ini," suaranya bergema. "Tapi kehidupan yang terpenjara. Roh yang mengabdi. Ia akan menjadi bagian dari kami. Menjadi pelayan Dia yang baru."
Sebuah ritual baru dimulai. Bukan ritual pengorbanan darah, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Mbok Darmi dan beberapa orang tua lainnya mulai mengelilingi Sofia, menggumamkan mantra-mantra kuno yang lebih kompleks, lebih gelap, dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. Asap tebal mengepul dari cawan-cawan yang dipegang beberapa orang, asap itu berbau kemenyan yang menyengat bercampur dengan sesuatu yang busuk.
Sofia merasakan sensasi aneh. Tubuhnya terasa mati rasa, namun pikirannya sangat jernih. Ia mencoba berteriak, meronta, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Otot-ototnya menolak untuk bergerak. Ia seperti sebuah patung, terjebak dalam tubuhnya sendiri.
Mantra-mantra itu semakin cepat, semakin keras. Sofia merasakan energi dingin merayapi kakinya, naik perlahan, seperti es yang mencengkeram kulitnya, merayap masuk ke dalam dirinya. Dingin itu menjalar ke perut, ke dada, ke leher, hingga akhirnya mencapai otaknya. Ia merasakan jiwanya tertarik, ditarik paksa keluar dari tubuhnya, namun tidak sepenuhnya lepas. Ia melihat dirinya sendiri dari sudut pandang yang berbeda, melihat tubuhnya yang berdiri kaku di tengah lingkaran, sementara jiwa-nya melayang tak berdaya.
"Selamat datang, pelayan baru," suara Mbok Darmi berbisik di sampingnya, kini suaranya terdengar lebih jelas, lebih kuat, dan lebih kejam. "Jiwa-mu kini terikat pada lembah ini. Tubuhmu akan menjadi wadah. Matamu akan melihat, namun tidak memahami. Mulutmu akan berbicara, namun bukan suaramu sendiri."
Seiring dengan kalimat terakhir itu, jiwa Sofia terasa seperti ditarik kembali, namun kini ia merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang asing, dingin, dan jahat, juga masuk ke dalam dirinya, mengisi setiap kekosongan yang ditinggalkan jiwanya yang terbebani. Ada dua kesadaran di dalam satu raga. Jiwanya yang asli terperangkap, namun tubuhnya dikendalikan oleh entitas lain.
Ia melihat melalui matanya sendiri, namun pandangannya kabur, seolah ada lapisan tipis yang menghalangi. Ia bisa mendengar, namun suara-suara terdengar jauh, teredam. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, namun yang bergerak adalah tangan yang terasa asing, bukan miliknya.
Lelaki bertopeng itu berjalan mendekat, kini di tangannya bukan pisau, melainkan sebuah wadah berisi cairan gelap. Ia mengoleskan cairan itu ke dahi Sofia, membentuk simbol aneh. Sensasi dingin yang menjalar tadi kini berganti dengan rasa terbakar, membakar otaknya, memadamkan sisa-sisa kesadaran Sofia yang asli.
Bab 6: Ketiadaan dan Kabar Palsu
Pagi itu, di Desa Gunungrejo, matahari terbit seperti biasa, menyinari kabut tipis yang masih bergelayut. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Rumah bidan kota itu terlihat sepi, pintunya terbuka sedikit, seolah ditinggalkan terburu-buru.
Pak Kades datang menjenguk, hatinya sudah menduga-duga. Ia menemukan rumah itu kosong, barang-barang Sofia masih ada di tempatnya, namun tidak ada tanda-tanda sang bidan. Ia menemukan surat di atas meja, yang ditulis dengan tergesa-gesa, isinya menyatakan bahwa Sofia tidak tahan dengan suasana desa dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Tulisan tangannya tampak sedikit gemetar, namun isinya jelas.
Pak Kades menghela napas. Ia tahu kebenarannya. Ia tahu apa yang terjadi pada malam Jumat Kliwon. Ia tahu mengapa Bidan Sari menghilang, dan kini Sofia pun mengalami nasib yang sama. Namun, ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada yang bisa. Ini adalah rahasia desa, kutukan yang harus mereka pikul. Ia mengerti mengapa Dia memilih Sofia, bukan bayi itu. Dia tidak hanya haus darah, tapi juga haus kekuasaan, haus akan jiwa yang baru, jiwa yang kuat.
Dengan berat hati, Pak Kades mengumumkan kepada seluruh warga desa bahwa Bidan Sofia telah pulang ke kota. Berita itu diterima dengan gumaman, tatapan kosong, dan anggukan kepala yang pasrah. Tidak ada yang terkejut. Mereka sudah terbiasa. Bidan akan datang, bekerja selama beberapa waktu, kemudian menghilang. Seolah-olah desa ini adalah kuburan bagi harapan, tempat di mana jiwa-jiwa baru datang hanya untuk ditelan kegelapan.
Kehidupan di desa Gunungrejo kembali normal, atau setidaknya tampak normal di permukaan. Para petani kembali ke ladang, anak-anak bermain di jalanan desa, dan ibu-ibu berkumpul di balai desa. Namun, di balik semua itu, ada ketakutan yang terus-menerus menggerogoti, bayangan ritual yang mengancam setiap bulan.
Bab 7: Wanita Berwajah Pucat
Waktu berlalu. Bulan berganti bulan, dan malam Jumat Kliwon pun kembali tiba.
Di bawah sinar bulan purnama yang bersinar terang, sebuah cahaya perak yang dingin menerpa lapangan tersembunyi di utara desa. Kerumunan orang-orang berbaju hitam kembali berkumpul, mengelilingi altar batu yang berlumuran darah. Bau anyir darah kembali memenuhi udara, lebih pekat, lebih menusuk. Kali ini, persembahan sudah siap.
Dari balik kegelapan hutan, seorang wanita muncul. Rambutnya tergerai panjang, menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat pasi, nyaris tanpa warna, seperti mayat hidup. Matanya kosong, tak berekspresi, namun memancarkan kilau putih yang aneh di bawah sinar bulan. Gerakannya kaku, seperti boneka yang digerakkan benang tak kasat mata.
Di dalam dekapannya, ia membawa sesuatu. Sesuatu yang menangis lemah, suara tangisannya tertahan, memilukan, seperti tangisan terakhir dari sebuah nyawa yang baru lahir. Itu adalah bayi. Sebuah persembahan.
Wanita berwajah pucat itu melangkah perlahan ke tengah lingkaran, menuju altar batu. Kerumunan orang-orang berbaju hitam menyingkir, memberikan jalan. Lelaki bertopeng, yang tampak semakin besar dan menakutkan, menunggu di samping altar.
Ketika wanita itu mengangkat kepalanya, sinar bulan menimpa wajahnya. Itu adalah Sofia. Atau setidaknya, tubuh Sofia. Wajahnya kurus, pucat, dan matanya, mata yang dulu memancarkan tekad dan idealisme, kini kosong, tanpa jiwa. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang dingin, tanpa emosi, sebuah senyum yang bukan miliknya.
Ia meletakkan bayi itu dengan lembut di atas altar batu. Bayi itu menangis, meronta, namun tidak ada belas kasihan di mata Sofia yang kosong. Tangannya, yang dulu menolong persalinan, kini menjadi instrumen ritual yang keji.
Lelaki bertopeng mengangkat pisau ritualnya tinggi-tinggi. Ia mulai mengucapkan mantra-mantra kuno, kata-kata yang sama yang Sofia dengar saat ia pertama kali diseret ke lingkaran ini.
"Demi kesuburan lembah ini... demi panen yang melimpah... demi keselamatan kami..."
Suara lelaki bertopeng itu bergema, diiringi gumaman para pengikutnya. Sofia, dengan wajah pucat dan mata kosong, menatap lurus ke depan, ke arah langit, seolah ia tidak ada di sana. Jiwanya terpenjara, terkunci di dalam tubuhnya sendiri, menjadi saksi bisu dari kengerian yang ia lakukan.
Dan ritual itu pun dimulai lagi. Pisau itu diayunkan—
Epilog: Lingkaran Abadi
Di Desa Gunungrejo, hidup terus berjalan. Bidan datang dan pergi, entah itu karena "tidak tahan" atau "pulang kampung". Para penduduk desa menjalani hari-hari mereka dengan kecemasan yang terus-menerus, hidup di bawah bayangan kutukan kuno. Mereka tahu, setiap bulan, pada malam Jumat Kliwon, akan ada persembahan. Dan setiap kali, persembahan itu akan dibawa oleh seorang wanita berwajah pucat dengan mata kosong, yang pernah menjadi bidan kota, yang dulu datang dengan niat baik, namun kini menjadi instrumen dari kejahatan yang tak terlukiskan.
Jiwa Sofia, terperangkap di dalam tubuhnya sendiri, menjadi penjara abadi. Ia melihat setiap ritual, mendengar setiap tangisan, merasakan setiap darah yang tertumpah, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia menjadi bagian dari kengerian itu, sebuah saksi bisu yang terpaksa berpartisipasi dalam setiap tindakan keji. Ingatannya tentang Jakarta, tentang Luna, tentang idealismenya, perlahan memudar, tergerus oleh kegelapan yang merasukinya.
Setiap malam Jumat Kliwon, saat ia menyerahkan bayi yang tak berdosa, ia merasakan sedikit demi sedikit kemanusiaannya terkikis. Ia menjadi bagian dari lingkaran abadi, sebuah kutukan yang tak berkesudahan, di mana kehidupan dan kematian, harapan dan keputusasaan, menjadi satu di lembah kabut Gunungrejo. Ia adalah bidan kota yang datang untuk menyelamatkan nyawa, namun berakhir menjadi tangan yang menyerahkan mereka pada kegelapan. Dan ritual itu akan terus berlanjut, selamanya, di bawah cahaya bulan purnama, di lembah yang haus akan nyawa.