Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,824
Kutukan Polaroid
Horor

Bab 1: Liburan yang Menyenangkan

Mentari pagi menyapa dengan hangat, menembus celah pepohonan pinus yang menjulang tinggi, dan menyinari wajah sembilan remaja yang penuh tawa. Mereka adalah Reza, Vina, Andre, Maya, Bima, Dina, Dani, Rara, dan Galih—sebuah geng yang sudah tak terpisahkan sejak bangku SMA. Meski kini terpisah oleh jarak dan kesibukan kuliah di kota-kota yang berbeda, semangat persahabatan mereka tak pernah pudar. Liburan semester ini adalah momen yang mereka nanti-nantikan untuk kembali berkumpul, melepas rindu, dan menciptakan kenangan baru di sebuah sudut tersembunyi Jawa Barat: Pegunungan Argopuro, sebuah destinasi wisata alam yang masih perawan dan eksotis.

Mobil van yang mereka sewa melaju membelah jalanan berkelok, diiringi dentuman musik pop yang energik dan obrolan riuh rendah. Reza, si pengemudi, sesekali melirik spion, menangkap ekspresi ceria teman-temannya. "Gimana, siap buat petualangan?" serunya, semangat.

Vina, yang duduk di sebelahnya, mengangguk antusias. "Banget! Udah kangen banget sama udara gunung yang seger, bukan polusi kota," ujarnya sambil menghirup napas panjang, seolah sudah bisa merasakan kesejukan pegunungan.

Di kursi belakang, Bima dan Dani sibuk dengan kamera DSLR mereka, bergantian mengambil gambar pemandangan dari jendela. Maya dan Dina cekikikan sambil merekam vlog perjalanan dengan ponsel masing-masing, sesekali mengarahkan kamera ke wajah teman-teman yang lain. Rara dan Galih asyik beradu tebak judul lagu yang diputar di radio, sementara Andre, yang biasanya pendiam, ikut tersenyum simpul menikmati suasana.

Mereka tiba di kaki gunung menjelang tengah hari. Udara sejuk langsung menyergap, membawa aroma pinus dan tanah basah yang menenangkan. Destinasi pertama mereka adalah sebuah air terjun tersembunyi yang konon airnya sangat jernih dan menyegarkan. Dengan langkah penuh semangat, mereka mulai menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi lumut tebal, dikelilingi pepohonan rimbun yang menjulang tinggi, membentuk kanopi alami yang menaungi mereka dari teriknya matahari.

"Wah, ini baru namanya liburan!" seru Galih, merentangkan tangan, menghirup udara dalam-dalam. "Jauh dari tugas kuliah, jauh dari dosen killer, jauh dari keramaian!"

"Makanya, lain kali jangan nunda-nunda tugas, Galih," ledek Rara sambil mencubit lengan Galih pelan. "Biar bisa nikmatin liburan tanpa bayang-bayang revisi."

Tawa renyah pecah. Mereka berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk berfoto atau sekadar mengagumi keindahan alam. Pohon-pohon raksasa dengan akar mencengkeram tanah, gemericik air sungai yang mengalir tenang, dan kicauan burung-burung yang sahut-menyahut menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Setiap sudut adalah spot foto yang sempurna. Mereka mengambil selfie grup, berpose konyol, merekam video singkat, dan mengunggahnya ke media sosial dengan tagar #ArgopuroAdventure dan #GengSahabatSMA.

Setelah sekitar satu jam berjalan, suara gemuruh air terjun semakin jelas terdengar. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kolam alami dengan air sebening kristal yang dikelilingi tebing-tebing batu dan lumut hijau. Air terjun setinggi puluhan meter jatuh dengan deras, menciptakan tirai air yang memukau. Tanpa pikir panjang, beberapa dari mereka langsung menceburkan diri, berteriak kegirangan merasakan dinginnya air pegunungan yang menyegarkan.

"Gila, seger banget!" teriak Bima, menyingkirkan rambutnya yang basah dari dahi. "Kayak mandi di kulkas!"

"Awas beku, Bim!" sahut Dina sambil tertawa, ikut bergabung dengan yang lain.

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di sana, berenang, bercanda, dan berjemur di bebatuan hangat. Maya, yang selalu membawa cemilan cadangan, mengeluarkan sekantong besar keripik dan biskuit yang langsung diserbu teman-temannya. Suasana sore itu benar-benar sempurna—sebuah rehat yang sangat mereka butuhkan dari hiruk pikuk kehidupan kota.

Menjelang sore, saat rona jingga mulai mewarnai langit barat, mereka memutuskan untuk kembali ke penginapan. Perjalanan pulang terasa lebih santai, diselingi obrolan ringan dan sesekali nyanyian acak. Matahari mulai terbenam, menyisakan cahaya remang-remang yang menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan panjang di jalan setapak.

Di tengah keasyikan mereka, saat melewati sebuah belokan tajam di pinggir jalan setapak hutan yang sedikit menanjak, pandangan Reza terhenti pada sesosok pria tua yang duduk sendirian di bangku kayu kecil. Pria itu tampak sangat tua, dengan rambut putih tipis dan kerutan dalam di wajahnya. Ia mengenakan pakaian tradisional yang sederhana, dan di pangkuannya, tergeletak sebuah kamera Polaroid antik, model yang sudah sangat jarang ditemui di era digital ini.

"Eh, lihat deh," kata Reza pelan, menunjuk ke arah pria itu. "Ada tukang foto."

Teman-temannya mengalihkan pandangan. Rasa ingin tahu mereka terusik. Di tengah hutan belantara seperti ini, menemukan seorang tukang foto dengan kamera zaman dulu adalah pemandangan yang tak biasa.

Pria tua itu menoleh, seolah merasakan tatapan mereka. Ia tersenyum tipis, memperlihatkan gigi yang sudah banyak ompong. "Mari, anak-anak muda," suaranya serak namun ramah, "mau Abah potretkan? Kenang-kenangan dari Argopuro."

Beberapa dari mereka ragu, namun rasa penasaran lebih besar. Dina, yang selalu suka hal-hal unik, mendekat. "Kamera Polaroid? Wah, keren banget, Bah!"

"Iya, Nak. Ini kamera setia Abah," jawab pria tua itu, mengelus permukaan kamera dengan sayang. "Hasilnya cepat keluar, langsung bisa dibawa."

"Gimana kalau kita foto grup? Buat kenang-kenangan yang beda," usul Maya.

Semua setuju. Ide itu terdengar menarik. Sebuah foto Polaroid yang dicetak instan akan menjadi suvenir unik dari liburan mereka. Mereka bersembilan berkumpul di depan pria tua itu, berjejer rapi di jalan setapak, dengan latar belakang rimbunnya pepohonan yang mulai gelap oleh senja. Beberapa dari mereka berpose konyol, sementara yang lain tersenyum lebar.

Pria tua itu mengangkat kameranya, membidik dengan hati-hati. "Satu... dua... tiga!" Ia menekan tombol rana. Suara klik khas kamera Polaroid terdengar nyaring, diikuti dengungan kecil. Sebuah lembar foto perlahan keluar dari celah di samping kamera.

Pria tua itu mengambil foto itu, mengipas-ngipaskannya sebentar, lalu menyerahkannya kepada Reza. "Ini, Nak. Jangan lupa disimpan baik-baik, ya."

Reza menerima foto itu. Warnanya masih sedikit buram, namun perlahan-lahan gambar kesembilan wajah mereka mulai terbentuk dengan jelas. Ada senyum di wajah Reza, melihat hasil foto yang terlihat klasik dan estetik. Ia melirik ke arah pria tua itu untuk mengucapkan terima kasih.

Namun, saat Reza mendongak, pandangannya kosong. Kursi kayu tempat pria tua itu duduk kini kosong melompong. Tidak ada tanda-tanda pria itu pergi. Ia tidak melihat pria itu berjalan, bahkan bayangan sekalipun. Seolah-olah, pria tua itu menghilang begitu saja, lenyap ditelan senja dan rimbunnya hutan.

Reza mengedip-ngedipkan mata. "Loh, Abahnya ke mana?" tanyanya, sedikit bingung.

Teman-temannya menoleh, dan ekspresi kebingungan yang sama terpancar di wajah mereka. "Cepat banget hilangnya," komentar Bima. "Padahal kita cuma sebentar nunduk lihat foto."

"Mungkin dia jalan cepat lewat jalan setapak yang lain?" tebak Vina, mencoba mencari penjelasan logis.

Namun, tidak ada jalan setapak lain di sekitar situ. Hanya jalan setapak yang mereka lalui, dan semak belukar yang terlalu rapat untuk dilewati orang tua. Suasana mendadak sedikit hening. Kepergian pria tua itu yang terlalu cepat dan misterius meninggalkan sedikit rasa aneh di benak mereka. Namun, mereka tidak terlalu memikirkannya. Mungkin memang sudah sewajarnya bagi penduduk lokal untuk lebih akrab dengan seluk-beluk hutan.

"Udah, biarin aja," kata Andre, menepuk bahu Reza. "Yang penting fotonya udah di tangan. Yuk, kita balik ke penginapan, udah gelap."

Reza mengangguk, masih sedikit bertanya-tanya dalam hati. Ia memasukkan foto Polaroid itu ke dalam saku celana jeans-nya, menjaga agar tidak terlipat. Seiring langkah mereka menjauh dari lokasi, bayangan pepohonan semakin panjang dan tebal. Udara malam mulai merayap, membawa serta bisikan angin yang terdengar seperti gumaman tak kasat mata. Mereka tidak menyadari, bahwa foto yang kini ada di tangan Reza, bukanlah sekadar kenang-kenangan biasa dari liburan yang menyenangkan. Itu adalah awal dari sebuah kengerian yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti hutan dan menelan jejak kaki mereka, seolah menyembunyikan rahasia gelap yang baru saja terukir dalam selembar potret instan.

Bab 2: Bayangan Pertama

Liburan telah usai. Sembilan sahabat itu kembali ke rutinitas masing-masing di kota yang berbeda, membawa serta kenangan indah dari Pegunungan Argopuro dan selembar foto Polaroid di saku Reza. Komunikasi mereka tak putus. Grup chat bernama "Geng Argopuro" selalu ramai dengan obrolan ringan, berbagi cerita kuliah, atau sekadar melempar lelucon untuk membangkitkan tawa. Maya, yang paling rajin, bahkan mengirimkan cuplikan vlog mereka dari liburan, yang disambut antusias oleh teman-teman yang lain. Semua tampak normal, seperti setelah liburan pada umumnya.

Tiga hari setelah mereka berpisah, sebuah kabar mengejutkan menyelimuti grup chat. Kabar yang menghantam seperti petir di siang bolong, memadamkan keceriaan yang baru saja mereka rasakan. Andre adalah yang pertama memberitahu, dengan pesan singkat yang penuh tanda tanya: "Guys, ada yang tahu Maya kenapa? Gue denger kabar buruk..."

Hati Reza langsung mencelos. Ia segera menekan nomor ponsel Andre, yang langsung tersambung. Suara Andre terdengar berat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Za... Maya meninggal," katanya, suaranya tercekat.

"Meninggal? Gimana ceritanya?" Reza bertanya, tak percaya. Otaknya langsung menolak. Maya? Gadis ceria, penuh semangat, dan selalu menjadi motor tawa di antara mereka? Tidak mungkin.

"Dia ditemukan tewas di kamarnya, Za," lanjut Andre. "Polisi bilang kayak terjatuh dari ketinggian, tubuhnya remuk. Tapi... ini di kamar biasa, lantai satu rumahnya."

Dunia Reza runtuh. Tubuhnya mendadak lemas. Ia teringat canda tawa Maya, senyum lebarnya, dan semangatnya yang tak pernah padam. Bagaimana mungkin seseorang bisa 'terjatuh dari ketinggian' di dalam kamarnya sendiri? Logika Reza memberontak.

Kabar duka itu menyebar cepat di grup chat. Dina, Vina, Rara, Dani, Bima, dan Galih, semuanya mengungkapkan rasa terkejut dan kesedihan yang mendalam. Ucapan belasungkawa membanjiri, diiringi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Mereka memutuskan untuk datang ke pemakaman Maya, memberikan penghormatan terakhir kepada sahabat mereka.

Di tengah kesedihan yang menyelimuti, malam setelah pemakaman, Reza teringat sesuatu. Foto Polaroid itu. Ia mengambilnya dari dompetnya, tempat ia menyimpannya dengan rapi. Ia mengamati foto itu dalam diam, mencoba mengingat wajah-wajah ceria di sana. Perlahan, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya.

Di sudut kanan foto, tempat Maya seharusnya berdiri—di antara Vina dan Bima—ada sebuah celah kosong. Bukan hanya Maya yang terlihat samar atau buram, melainkan benar-benar tidak ada. Seolah-olah, Maya tak pernah ada di sana saat foto itu diambil. Sebuah ruang hampa yang seharusnya terisi oleh sosoknya, kini kosong melompong. Jantung Reza berdebar kencang. Ia mengusap-usap permukaan foto itu, mencoba memastikan. Tidak, ini bukan kotoran atau lipatan. Maya benar-benar hilang dari foto.

Reza segera mengambil ponselnya dan membandingkan foto Polaroid itu dengan foto digital yang mereka ambil menggunakan ponsel saat liburan. Di foto digital, Maya masih ada, tersenyum lebar di antara Vina dan Bima, sama seperti yang ia ingat. Tetapi di Polaroid, Maya lenyap. Seolah-olah, keberadaan Maya dalam foto itu telah terhapus, menyisakan sebuah kekosongan yang mengerikan.

Pikiran Reza kalut. Ini pasti hanya efek psikologis dari kesedihan. Atau mungkin memang ada cacat pada foto itu sejak awal? Tapi kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan atau halusinasi.

Ia memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa kepada teman-temannya. Mereka sudah cukup terpukul dengan kematian Maya. Menambahkan keanehan seperti ini hanya akan membuat mereka semakin bingung dan takut.

Beberapa hari kemudian, kehidupan perlahan mulai kembali normal, meskipun bayang-bayang duka atas kepergian Maya masih menyelimuti. Grup chat yang tadinya hening, mulai ramai lagi. Mereka saling menguatkan, mencoba melanjutkan hidup.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Seminggu setelah kematian Maya, kabar buruk kembali datang. Kali ini, Bima.

Dani adalah yang pertama mengabarkan, suaranya tercekat di telepon saat menelepon Reza. "Bima... Bima meninggal, Za!"

Reza terdiam. Jantungnya bergemuruh. "Apa lagi sekarang?" bisiknya, setengah tak percaya.

"Tertabrak kereta," suara Dani penuh isak tangis. "Di jalur kereta, padahal dia nggak ada urusan apa-apa di sana. Kayak... kayak dia sengaja maju ke rel pas kereta lewat."

Kabar kematian Bima, yang tewas tertabrak kereta tanpa alasan yang jelas, menyulut kepanikan. Bima adalah sosok yang sangat hati-hati, tidak mungkin ia ceroboh sampai tertabrak kereta. Ada sesuatu yang tidak beres.

Reza buru-buru mengambil kembali foto Polaroid itu. Tangannya gemetar saat ia menatapnya. Dan benar saja. Kali ini, bukan hanya Maya yang lenyap. Sosok Bima juga telah menghilang dari foto, menyisakan celah kosong kedua yang menakutkan. Di tempat Bima berdiri, kini hanya ada latar belakang pepohonan yang buram. Seolah ia tak pernah ada di sana.

Kini, bukan lagi dua orang yang hilang dari foto. Tiga orang, termasuk Maya dan Bima, kini lenyap, menyisakan kekosongan yang semakin besar di selembar foto instan itu. Ketakutan merayap di benak Reza. Ini bukan kebetulan. Ini bukan efek psikologis. Ada sesuatu yang sangat salah.

Reza tahu ia tidak bisa lagi menyembunyikan ini. Ia harus memberitahu yang lain. Ia memanggil Vina, Andre, Dina, Dani, Rara, dan Galih dalam sebuah panggilan video grup. Wajah-wajah mereka tampak pucat dan tegang.

"Guys, gue mau nunjukkin sesuatu," kata Reza, suaranya berusaha tenang namun ada getaran ketakutan di sana. Ia mengangkat foto Polaroid itu ke arah kamera ponselnya. "Kalian lihat baik-baik."

Keheningan menyelimuti panggilan video. Wajah-wajah teman-temannya berkerut, mencoba memahami apa yang mereka lihat.

"Maya... dia nggak ada," Vina yang pertama menyadarinya, suaranya bergetar. "Dan Bima juga..."

"Ini... ini foto yang sama kan?" tanya Dina, matanya membelalak. "Foto yang kita ambil di Argopuro?"

Reza mengangguk. "Iya. Gue udah bandingin sama foto digital yang kita ambil pakai HP. Di foto digital, Maya sama Bima masih ada. Tapi di Polaroid ini, mereka hilang. Sama sekali nggak ada. Kayak nggak pernah dipotret."

Panik mulai merebak. "Astaga, ini gila!" seru Dani, mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dingin. "Apa hubungannya? Kenapa mereka bisa hilang dari foto pas udah meninggal?"

"Ini kutukan," bisik Rara, wajahnya sudah memucat pasi. "Pria tua itu... kamera itu..."

Galih mencoba berpikir logis, meski suaranya pun terdengar gentar. "Tapi... itu cuma foto. Gimana bisa foto kayak gini berhubungan sama kematian?"

"Aku nggak tahu," jawab Reza, "tapi kebetulan ini terlalu mengerikan. Dua orang udah meninggal, dan mereka berdua hilang dari foto ini."

Vina, yang biasanya rasional, kini terlihat ketakutan. "Apa jangan-jangan kita juga bakal...?" Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Andre mencoba menenangkan mereka. "Tenang dulu, guys. Kita jangan panik. Mungkin ini... cuma ilusi. Cahaya atau apa."

Namun, di dalam hati, mereka semua tahu ini bukan ilusi. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap dan jahat yang sedang terjadi. Foto Polaroid itu, yang semula dianggap sebagai kenang-kenangan unik, kini menjelma menjadi sebuah pertanda kematian. Sebuah bayangan mengerikan telah menyelimuti persahabatan mereka, dan mereka tahu, ini baru permulaan. Rasa takut yang nyata, dingin, dan mencekam mulai mencengkeram erat jantung mereka.

Bab 3: Jangan Lihat Foto Itu

Ketakutan mencekam. Setelah dua sahabat mereka, Maya dan Bima, meninggal secara misterius dan lenyap dari foto Polaroid, sisa tujuh orang yang tersisa—Reza, Vina, Andre, Dina, Dani, Rara, dan Galih—dihantui perasaan cemas yang akut. Diskusi di grup chat mereka kini didominasi oleh teori-teori liar dan kepanikan yang sulit diredam.

"Ini nggak masuk akal!" teriak Dina dalam panggilan video grup, suaranya pecah karena frustrasi. "Bagaimana mungkin seseorang bisa menghilang dari sebuah foto?"

Reza, yang memegang kendali atas Polaroid terkutuk itu, mengangkatnya lagi ke depan kamera. "Aku sudah coba berkali-kali. Setiap kali aku bandingkan dengan versi digital di HP, yang ada di HP tetap lengkap. Tapi yang di Polaroid ini... mereka benar-benar nggak ada."

Vina, yang terlihat sangat tegang, menyarankan, "Coba deh, Reza, kamu foto ulang Polaroid itu pakai HP. Kita bandingkan lagi."

Reza melakukannya. Ia mengambil beberapa jepretan foto Polaroid itu dengan resolusi tinggi, lalu mengirimkannya ke grup chat. Mereka semua mengamati dengan saksama, memperbesar gambar di layar ponsel masing-masing. Di versi digital foto Polaroid itu, wajah Maya dan Bima memang tidak ada, hanya celah kosong yang menganga. Namun, ketika mereka membandingkan dengan foto digital asli yang diambil saat di Argopuro, Maya dan Bima terlihat jelas di sana.

"Ini aneh banget," gumam Galih, mengusap dagunya. "Jadi, Polaroid itu kayak punya 'memori' sendiri? Dia tahu siapa yang udah nggak ada?"

Andre menggelengkan kepala, mencoba mempertahankan rasionalitasnya. "Mungkin... ada semacam tinta atau bahan kimia khusus di Polaroid itu yang bereaksi setelah beberapa waktu? Atau mungkin itu cuma trik cahaya?"

"Trik cahaya sampai bikin orang meninggal?" sahut Rara sinis, matanya merah karena kurang tidur dan ketakutan. "Aku nggak percaya lagi sama hal-hal logis. Ini pasti karena pria tua itu dan kameranya."

Keesokan harinya, kepanikan mereka mencapai puncaknya. Kabar duka yang ketiga datang, lebih mengerikan dari sebelumnya. Dina.

Dina ditemukan meninggal di apartemennya. Posisi tubuhnya sangat aneh, tergantung terbalik dari langit-langit, dengan senyum mengerikan dan misterius terukir di wajahnya. Mata teman-temannya yang mendengar kabar ini langsung membelalak. Senyum itu, senyum yang bukan seperti Dina. Senyum yang penuh kekejaman dan keanehan. Dokter forensik pun tak bisa menjelaskan bagaimana Dina bisa tergantung dalam posisi seperti itu tanpa bantuan, dan mengapa ada senyum yang tidak wajar di wajahnya.

Jantung Reza serasa diremas. Ia mengambil foto Polaroid itu lagi, tangannya gemetar hebat. Dan lagi-lagi, seperti yang sudah mereka duga dan takutkan, sosok Dina kini juga lenyap dari foto, menyisakan kekosongan yang semakin luas. Ada tiga lubang hitam di persahabatan mereka, kini tercetak jelas di selembar foto instan itu.

"Ini nggak main-main lagi," bisik Reza pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar. "Ini nyata. Foto ini... membunuh kita."

Mereka yang tersisa—Reza, Vina, Andre, Dani, Rara, dan Galih—segera mengadakan panggilan video darurat. Suasana sangat tegang. Air mata mengalir di wajah Rara dan Vina. Dani terlihat shock, Galih mencoba menenangkan diri dengan napas dalam-dalam, sementara Andre hanya terdiam, wajahnya pucat pasi.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Dani, suaranya putus asa. "Kita nggak bisa cuma nunggu giliran kayak gini!"

"Kita harus cari tahu siapa pria tua itu!" seru Rara. "Dan buang kamera itu!"

"Dia menghilang tanpa jejak, Rara," balas Andre. "Polisi sudah menyelidiki, tapi nggak ada informasi apapun tentang pria tua itu di sekitar sana."

Di tengah keputusasaan itu, Dani, yang dikenal jago berenang dan sering menjadi instruktur renang paruh waktu, tewas tenggelam di kolam renang pribadinya. Lebih mengerikan lagi, tubuhnya membusuk hanya dalam waktu tiga jam setelah ditemukan, sebuah fenomena yang membuat tim medis kebingungan dan tidak bisa menjelaskan secara ilmiah. Seolah-olah, kematiannya dipercepat, jasadnya seolah 'ditarik' ke dalam liang kubur dengan sangat cepat.

Empat orang kini tiada. Empat ruang kosong di Polaroid. Hanya tersisa Reza, Vina, Andre, Rara, dan Galih. Mereka semua mulai mengaitkan semua kematian itu dengan Polaroid. Tidak ada lagi yang berani menyangkal. Pola itu terlalu jelas, dan setiap kematian terjadi setelah foto itu menunjukkan hilangnya korban.

"Kita harus menghancurkan foto ini!" tegas Vina, matanya dipenuhi ketakutan. "Mungkin itu satu-satunya cara menghentikan semua ini."

Rara mengangguk setuju, "Ya! Bakar saja! Hancurkan sampai jadi abu!"

"Tapi kalau malah mempercepat kutukan?" tanya Galih, ragu. "Kita nggak tahu apa yang akan terjadi."

"Atau mungkin kutukannya malah akan berpindah ke orang lain yang memegang abunya?" tambah Andre.

Reza berpikir keras. Mereka terperangkap. Setiap pilihan terasa seperti jalan buntu. Namun, mereka tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu kematian menjemput.

"Kita nggak punya pilihan," kata Reza akhirnya, suaranya mantap meskipun hatinya bergetar. "Kita harus coba. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Kita bakar foto ini, tapi kita lakukan bersamaan, di lokasi yang berbeda. Supaya kalau memang ada efek baliknya, nggak cuma satu orang yang kena."

Rencana itu disepakati, meski dengan hati berat dan ketakutan yang luar biasa. Mereka berlima, Reza, Vina, Andre, Rara, dan Galih, memutuskan untuk membakar foto Polaroid itu pada malam yang sama, tepat pada pukul 22.00, di tempat tinggal masing-masing. Mereka berharap, dengan menghancurkan sumber kutukan, mereka bisa menyelamatkan diri dari takdir mengerikan yang menanti.

Malam yang dinanti itu tiba. Hujan turun rintik-rintik, menambah suasana mencekam. Jantung mereka berdebar kencang. Di dalam kamar masing-masing, mereka mempersiapkan korek api dan wadah tahan api. Reza mengeluarkan Polaroid itu, menatapnya untuk terakhir kali. Foto itu kini hanya menampilkan dirinya, Vina, Andre, Rara, dan Galih. Lima orang yang tersisa, berdiri di antara empat lubang kosong yang mewakili sahabat-sahabat mereka yang telah tiada.

Pukul 22.00. Serentak, mereka membakar foto itu.

Reza menyaksikan api melahap kertas foto itu dengan cepat. Gambar-gambar mereka, yang tadinya penuh tawa, kini melengkung dan menghitam. Asap tipis mengepul, berbau hangus. Ia merasa sedikit lega, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. Mungkin ini akhirnya. Mungkin mereka akan selamat.

Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Tepat setelah nyala api terakhir padam dari sisa abu foto di tangan Reza, ponselnya berdering kencang. Nomor tidak dikenal. Ia ragu mengangkat, namun rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.

Suara panik Vina terdengar dari seberang telepon. "Reza! Kamu dengar suara itu?!"

"Suara apa?" Reza bertanya, bingung.

Tiba-tiba, dari arah belakang Reza, terdengar suara "klik" yang familiar, seperti suara kamera Polaroid yang menekan tombol rana. Suara yang sama persis seperti yang mereka dengar dari pria tua di Argopuro.

Reza menoleh cepat, namun tidak ada apa-apa di belakangnya. Ia menyentuh lehernya, merasakan bulu kuduknya berdiri tegak.

Dari telepon, Vina berteriak histeris, "Dia di sini, Za! Aku dengar suara 'klik' itu!"

Bersamaan dengan itu, suara keras terdengar dari saluran telepon Andre di grup chat. Kemudian, suara tercekik Rara, dan disusul teriakan putus asa Galih.

Lalu, keheningan.

Keheningan yang lebih mengerikan dari suara apapun. Reza terus memanggil nama teman-temannya di telepon. "Vina? Andre? Rara? Galih?!"

Tidak ada jawaban. Hanya suara deru napasnya sendiri yang terdengar di telinganya.

Dalam hitungan menit, ponsel Reza bergetar lagi. Kali ini, dari nomor yang berbeda. Nomor polisi.

Keesokan harinya, berita itu menyebar seperti api. Reza, Vina, Andre, Rara, dan Galih, semuanya ditemukan tewas dengan cara yang mengenaskan, hampir bersamaan, di lokasi masing-masing. Reza ditemukan di kamarnya, lehernya patah dengan posisi yang mustahil. Vina ditemukan tergantung di plafon kamarnya, dengan mata melotot dan ekspresi terkejut yang membeku. Andre ditemukan tenggelam di bak mandi, padahal ia adalah perenang handal. Rara ditemukan di tengah jalan raya, tubuhnya remuk seperti ditabrak benda besar, padahal tidak ada mobil yang lewat. Dan Galih... Galih ditemukan di sebuah taman, tubuhnya membengkak dan membusuk dengan cepat, sama seperti Dani.

CCTV di lokasi masing-masing merekam sebuah anomali. Sebuah bayangan samar, berbentuk kamera tua melayang di udara, sesaat sebelum setiap kematian terjadi. Polisi tidak bisa menemukan penjelasan logis. Kasus ini menjadi misteri terbesar yang pernah mereka hadapi. Bagaimana bisa lima orang meninggal dengan cara yang berbeda namun hampir bersamaan, di lokasi yang terpisah jauh, tanpa ada bukti fisik yang mengarah pada pembunuhan atau bunuh diri?

Tidak ada yang tahu, bahwa malam itu, bukan hanya nyawa mereka yang lenyap. Tapi juga jejak keberadaan mereka dari sebuah potret yang terkutuk.

Bab 4: Harga Sebuah Potret

Malam itu, di berbagai sudut kota, kengerian yang tak terbayangkan telah merenggut nyawa Reza, Vina, Andre, Rara, dan Galih. Berita kematian mereka yang mendadak dan tak terjelaskan segera menyebar luas, menjadi buah bibir di media massa dan mengguncang setiap kota tempat mereka tinggal. Keluarga, teman, dan bahkan pihak berwajib dibingungkan oleh misteri yang tak terpecahkan ini. Lima kematian, lima cara yang berbeda, terjadi hampir bersamaan, tanpa ada jejak pembunuh atau motif yang jelas. Polisi setempat dari masing-masing kota saling berkoordinasi, namun setiap petunjuk selalu mengarah pada kebuntuan.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, di mana Reza tinggal, keluarga dan kerabatnya berkabung dalam kesedihan yang mendalam. Mereka mencoba mencari penjelasan, namun hanya menemukan dinding kosong. Ayah Reza, seorang pensiunan guru yang bijaksana, duduk termenung di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Ia masih tak bisa menerima kenyataan bahwa putra semata wayangnya telah tiada.

Keesokan harinya, di tengah suasana duka yang masih pekat, sebuah amplop tiba di rumah Reza. Amplop itu tergeletak begitu saja di depan pintu, tanpa perangko, tanpa nama pengirim, seolah muncul entah dari mana. Ibu Reza, yang sedang menyiram tanaman di halaman depan, menemukannya dan membawanya masuk dengan bingung.

"Ayah, ada amplop aneh ini," katanya, menyerahkan amplop putih polos itu kepada suaminya. "Tidak ada nama pengirimnya."

Ayah Reza menerima amplop itu. Ia merasakan kejanggalan pada tekstur kertasnya yang sedikit tebal dan tidak biasa. Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu. Di dalamnya, tergeletak sebuah lembar foto. Sebuah foto Polaroid.

Jantung Ayah Reza berdesir. Ia mengenali format foto itu. Putranya pernah menunjukkan foto serupa, yang ia ceritakan diambil saat liburan di pegunungan. Tapi, ini bukan foto yang sama.

Ayah Reza mengamati foto itu dengan saksama. Warnanya sedikit usang, seolah sudah sangat tua. Latar belakangnya adalah pepohonan rimbun yang familiar, seperti di daerah pegunungan. Namun, ada yang aneh. Foto itu... kosong.

Tidak ada satu pun sosok manusia di dalamnya. Hanya latar belakang hutan yang remang-remang oleh senja, dan sepetak jalan setapak di bagian bawah. Ruang di mana seharusnya sembilan remaja itu berdiri, kini hanya berupa kekosongan hampa. Seolah-olah, tidak pernah ada seorang pun yang dipotret di sana.

Ayah Reza membalik foto itu. Tidak ada tulisan atau tanda apa pun di baliknya. Ia mengamati lagi foto kosong itu, rasa dingin merayap di punggungnya. Ia teringat cerita Reza tentang foto yang menghilang dan teman-temannya yang satu per satu meninggal. Reza sempat mengeluhkannya padanya beberapa hari sebelum meninggal. "Ini aneh, Yah. Mereka satu per satu hilang dari foto ini," Reza pernah berbisik, wajahnya pucat. Ayahnya hanya menganggap itu lelucon atau imajinasi Reza yang sedang ketakutan. Kini, kenyataan yang jauh lebih mengerikan terpampang di hadapannya.

"Ada apa, Yah?" Ibu Reza bertanya, melihat ekspresi aneh suaminya.

Ayah Reza tidak menjawab. Ia bergegas menuju meja tempat Reza biasa belajar. Ia mencari-cari di laci, menemukan tumpukan foto liburan Reza yang lain, yang dicetak dari kamera digital. Ia menemukan foto grup mereka yang diambil di Argopuro. Di foto digital itu, kesembilan remaja itu masih ada, tersenyum ceria, termasuk Reza dan teman-temannya yang kini telah tiada.

Ia kembali menatap foto Polaroid kosong di tangannya, lalu membandingkannya dengan foto digital. Latar belakangnya sama persis. Sudut pengambilannya juga sama. Tapi di Polaroid, tidak ada siapa-siapa. Semua sosok telah lenyap, seolah tidak pernah ada yang dipotret. Sebuah kekosongan yang sempurna.

Ayah Reza memanggil polisi. Ia menunjukkan amplop dan foto Polaroid kosong itu. "Ini aneh, Pak. Putra saya, Reza, menceritakan tentang foto ini sebelum meninggal. Dia bilang teman-temannya menghilang dari foto ini satu per satu setelah mereka meninggal. Dan kini... lihat ini. Semua orang hilang."

Petugas kepolisian yang menangani kasus kematian Reza terlihat bingung. "Amplop ini... tidak ada perangko, tidak ada tanda pengirim. Bagaimana bisa sampai di sini?"

"Saya juga tidak tahu, Pak," jawab Ayah Reza. "Istri saya menemukannya begitu saja di depan pintu."

Polisi memeriksa foto Polaroid itu dengan saksama. Mereka melihat tidak ada sidik jari yang jelas di permukaan foto atau amplop. Mereka juga mencoba mencari tahu asal-usul kertas foto atau jenis kamera yang digunakan. Namun, semua usaha mereka menemui jalan buntu. Kamera Polaroid antik seperti itu sudah tidak banyak beredar, dan mencari jejak pemiliknya di tengah banyaknya kamera tua yang beredar adalah hal yang hampir mustahahil.

"Ini... di luar nalar, Pak," kata salah satu petugas, menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa foto yang telah dibakar—karena kami menemukan sisa-sisa pembakaran di kamar almarhum—bisa dikirim kembali dalam kondisi utuh seperti ini, dan kosong?"

Polisi tidak bisa memberikan penjelasan logis. Foto yang telah dibakar oleh Reza dan teman-temannya, yang seharusnya hangus menjadi abu, kini kembali utuh, dan yang lebih mengerikan, benar-benar kosong. Sebuah potret hampa, menjadi saksi bisu atas hilangnya sembilan nyawa muda. Mereka mulai mempertimbangkan aspek mistis dari kasus ini, meskipun itu bertentangan dengan prosedur investigasi standar mereka.

Di sisi lain, keluarga korban lainnya juga mengalami keanehan serupa. Beberapa dari mereka menerima amplop misterius berisi foto yang sama persis dengan yang diterima keluarga Reza: sebuah foto Polaroid kosong. Ada yang menemukannya terselip di bawah pintu, ada yang di kotak surat, ada pula yang di ambang jendela. Polisi di setiap kota mulai menyadari adanya pola yang mengerikan ini, namun mereka tak punya jawaban.

Kisah tentang "foto kosong" ini mulai menyebar dari mulut ke mulut, menjadi desas-desus menakutkan yang menyelimuti kasus kematian sembilan remaja Argopuro. Masyarakat umum, yang tidak mengetahui detail mengerikan tentang menghilangnya sosok dari foto, hanya menganggap ini sebagai kebetulan aneh atau lelucon yang tak pantas. Namun, bagi keluarga korban, ini adalah bukti nyata dari kutukan yang tak terlihat, sebuah harga yang harus dibayar atas sebuah potret yang seharusnya hanya menjadi kenang-kenangan.

Ayah Reza menggenggam erat foto kosong itu. Ia merasa ada aura dingin yang memancar darinya. Semua tawa, semua canda, semua keceriaan sembilan anak muda itu, kini telah terhapus, seolah tidak pernah ada. Mereka lenyap dari dunia, dan dari potret terakhir mereka. Foto itu bukan lagi sekadar kenang-kenangan, melainkan sebuah prasasti kematian, sebuah bukti nyata bahwa ada kekuatan di luar akal sehat manusia yang bersembunyi di balik lensa kamera tua itu.

Di tengah keheningan malam, saat semua orang terlelap, Ayah Reza berdiri di samping jendela, menatap ke arah langit gelap. Ia bertanya-tanya, apakah pria tua misterius dengan kamera Polaroid itu masih berkeliaran di luar sana? Apakah ada orang lain yang akan menjadi korban berikutnya? Pikiran itu menghantuinya. Harga sebuah potret. Sebuah harga yang terlalu mahal, dibayar dengan nyawa dan keberadaan. Dan kini, foto itu, saksi bisu yang mengerikan, telah kembali, sebagai pengingat akan kekosongan yang ditinggalkan.

Bab 5: Pelanggan Berikutnya

Setahun telah berlalu sejak tragedi di Pegunungan Argopuro merenggut sembilan nyawa muda. Kasus kematian mereka secara misterius tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan, perlahan-lahan memudar dari ingatan publik, terkubur di bawah tumpukan berita baru. Namun, bagi keluarga korban, duka itu tak pernah benar-benar hilang. Foto Polaroid kosong yang tiba-tiba muncul di ambang pintu mereka menjadi pengingat abadi akan kehilangan dan pertanyaan tanpa jawaban.

Di balik kabut tipis dan rimbunnya hutan pinus Argopuro, waktu seolah berhenti. Tempat wisata pegunungan itu masih memancarkan pesona alaminya, menarik wisatawan baru yang mencari kedamaian dan keindahan yang belum terjamah. Mereka tidak tahu, bahwa di balik ketenangan itu, tersembunyi sebuah kutukan yang siap memangsa.

Suatu siang, saat mentari bersinar terang menembus dedaunan, sekelompok delapan turis muda, penuh semangat dan tawa, menyusuri jalan setapak yang sama persis seperti yang dilewati Reza dan teman-temannya setahun yang lalu. Mereka adalah mahasiswa dari Jakarta yang sedang menghabiskan liburan semester. Ada Kevin, si pemimpin kelompok yang karismatik; Rina, kekasihnya yang ceria; Edo, si humoris; Lisa, yang hobi berfoto; Arya, yang tenang dan bijaksana; Sita, yang pemalu; dan dua sahabat lainnya, Rio dan Mira. Mereka semua menikmati setiap momen perjalanan, mengabadikan pemandangan indah dengan ponsel dan kamera digital mereka.

"Wah, tempat ini bener-bener underrated ya!" seru Lisa, mengarahkan kameranya ke arah pepohonan tinggi. "Udara seger banget, jauh dari polusi Jakarta!"

"Betul banget, Lis," timpal Kevin. "Kayak di surga tersembunyi."

Mereka bercanda dan tertawa, suara mereka memecah keheningan hutan. Beberapa dari mereka berpose di depan pemandangan, sementara yang lain merekam video pendek untuk diunggah ke media sosial. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah muda itu.

Saat mereka melangkah lebih jauh menyusuri jalan setapak yang sedikit menanjak, pandangan mereka tertuju pada sesosok pria tua yang duduk di bangku kayu kecil di pinggir jalan. Pria itu tampak sangat tua, dengan rambut putih tipis dan kerutan dalam di wajahnya, persis seperti deskripsi pria yang ditemui Reza dan teman-temannya setahun yang lalu. Di pangkuannya, tergeletak sebuah kamera Polaroid antik, memancarkan aura misterius yang tak terlihat.

"Eh, lihat deh," bisik Rina, menunjuk ke arah pria tua itu. "Ada kakek-kakek jual jasa foto."

Edo, yang selalu ingin tahu, mendekat. "Kamera Polaroid? Wah, langka banget nih zaman sekarang!"

Pria tua itu mendongak, matanya yang redup menatap kelompok itu. Ia tersenyum tipis, memperlihatkan gigi yang sudah banyak ompong. Suaranya serak namun ramah, "Mari, anak-anak muda. Mau Abah potretkan? Buat kenang-kenangan dari Argopuro."

Kevin, yang selalu mencari hal-hal unik, mengangguk. "Boleh juga, Bah! Jarang-jarang nih ada yang pakai Polaroid. Hasilnya langsung jadi kan?"

"Betul, Nak. Langsung bisa dibawa," jawab pria tua itu, mengelus permukaan kameranya.

Seketika, delapan turis muda itu berkumpul di depan pria tua itu, berjejer rapi di jalan setapak. Mereka tertawa, berpose, dan sesekali saling mencandai. Kevin merangkul Rina, Edo berpose konyol dengan menjulurkan lidah, sementara Lisa dan Sita tersenyum malu-malu. Arya, Rio, dan Mira berdiri di belakang, ikut tersenyum lebar. Latar belakang mereka adalah rimbunnya pepohonan yang mulai gelap oleh cahaya senja yang memudar.

Pria tua itu mengangkat kameranya, membidik dengan hati-hati. Mata tuanya tampak memancarkan cahaya aneh saat ia melihat melalui lensa. "Satu... dua... tiga!" Ia menekan tombol rana.

Suara "klik" khas kamera Polaroid terdengar nyaring, diikuti dengungan kecil. Sebuah lembar foto perlahan keluar dari celah di samping kamera. Pria tua itu mengambil foto itu, mengipas-ngipaskannya sebentar, lalu menyerahkannya kepada Kevin.

"Ini, Nak. Jangan lupa disimpan baik-baik, ya," pesan pria tua itu, suaranya sedikit lebih dalam dari sebelumnya.

Kevin menerima foto itu. Gambar mereka berdelapan perlahan-lahan muncul di permukaan foto, berwarna klasik dengan sedikit sentuhan vintage. Ia tersenyum puas melihat hasilnya.

"Terima kasih banyak, Bah!" ujar Kevin, ingin mengucapkan terima kasih lebih lanjut.

Namun, saat Kevin mengangkat kepala, ia mendapati kursi kayu di depannya kosong. Pria tua itu sudah tidak ada. Tidak ada jejak kakinya, tidak ada suara langkah, seolah-olah ia lenyap begitu saja ditelan bayangan senja.

Kevin mengerutkan kening. "Loh, Abahnya ke mana?" tanyanya, sedikit heran.

Rina menoleh, matanya membulat. "Cepat banget hilangnya! Perasaan baru sedetik kita nunduk lihat foto."

Edo mencoba melucu, "Jangan-jangan kakek-kakek ini jin penunggu Argopuro ya?" Tawanya hambar.

Arya, yang lebih observatif, menyadari sesuatu yang aneh. Saat pria tua itu menghilang, kamera Polaroid di pangkuannya yang tadinya tampak usang, bersinar sedikit, memancarkan cahaya redup berwarna kebiruan, seolah sebuah energi telah dilepaskan. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang memperhatikan fenomena kecil itu. Mereka terlalu sibuk dengan foto baru di tangan Kevin dan kebingungan atas hilangnya pria tua itu.

"Ah, biarin aja deh," kata Kevin, mencoba mengusir rasa aneh itu. "Mungkin dia buru-buru. Yang penting fotonya udah di tangan kita. Yuk, kita balik ke penginapan, udah makin gelap."

Mereka berdelapan melanjutkan perjalanan, tawa mereka kembali terdengar, meskipun sedikit diselimuti kebingungan atas kejadian barusan. Kevin memasukkan foto Polaroid itu ke dalam saku celananya, tak menyadari bahwa ia baru saja memegang kunci menuju takdir mengerikan yang menanti mereka. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti hutan dan menelan jejak kaki mereka, seolah menyembunyikan rahasia gelap yang baru saja terukir dalam selembar potret instan.

Sementara itu, di tempat yang sama persis di mana pria tua itu menghilang, ia muncul kembali. Namun, kali ini, ia tidak lagi duduk di bangku kayu. Ia berdiri tegak, memandang ke arah jalan setapak tempat turis-turis muda itu baru saja lewat. Di tangannya, ia memegang sebuah lembar foto Polaroid. Itu adalah foto yang tersisa di kameranya, foto terakhir yang diambil sebelum ia bertemu dengan kelompok Kevin.

Pria tua itu menatap foto itu. Gambarnya adalah sembilan sosok remaja yang berdiri bersama, tersenyum lebar di tengah hutan. Itu adalah foto Reza dan teman-temannya, sebelum satu per satu dari mereka lenyap. Ia mengusap permukaan foto itu dengan jemarinya yang keriput. Wajah Reza, Vina, Andre, Rara, dan Galih, yang sebelumnya menghilang dari foto yang dibakar dan dikembalikan, kini tampak buram, nyaris transparan, seolah keberadaan mereka di foto itu sedang dalam proses terhapus. Sementara Maya, Bima, Dina, dan Dani, yang sudah meninggal lebih dulu, kini benar-benar lenyap dari foto itu, meninggalkan celah kosong yang sempurna.

Pria tua itu tersenyum. Senyumnya lebar, menampakkan gigi ompong yang mengerikan. Ada kepuasan dalam senyum itu, senyum yang dingin dan tak berperasaan. Ia tahu, lingkaran itu telah dimulai kembali. Para "pelanggan" baru telah mendapatkan "potret terakhir" mereka.

Ia membiarkan kabut hutan Argopuro menelannya, sosoknya perlahan menghilang, menyatu dengan keheningan malam dan misteri yang abadi. Kamera Polaroid antik di tangannya memancarkan kilau redup sesaat, seolah berdenyut dengan energi gelap. Di kejauhan, tawa riang delapan turis muda itu masih terdengar, tak menyadari bahwa senyum mereka, yang kini tercetak di selembar foto instan, adalah senyum yang akan menjadi saksi bisu awal dari sebuah kengerian yang tak terhingga. Pria tua itu kini hanya menunggu, dengan sabar, untuk "pelanggan berikutnya" yang akan datang ke Argopuro, mencari kenangan, dan tanpa sadar, membayar harga sebuah potret dengan nyawa mereka. Kutukan Potret Terakhir telah menemukan mangsa baru.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)