Masukan nama pengguna
"Tersesat di Jalur 404"
Bab 1: Malam Itu Dimulai
Malam itu, Jakarta terasa seperti adonan lengket yang diguyur gerimis tipis. Ramdan, dengan jaket ojolnya yang sudah pudar dan helm yang retak di sana-sini, menghela napas. Sudah hampir tengah malam, dan ia baru saja menyelesaikan orderan terakhir yang mengantarkannya jauh ke pelosok Tangerang. Perutnya keroncongan, matanya berat, dan satu-satunya yang ia inginkan adalah kasur empuk di kontrakannya yang sempit, berbau rokok dan mi instan. Bayangan bantal dan selimut tipis sudah menari-nari di pelupuk matanya.
Ia baru saja mematikan mesin motornya, siap untuk mengakhiri hari yang panjang, ketika ponselnya berkedip. Sebuah notifikasi orderan baru muncul. "Jalan Buntu No. 404." Ramdan mengernyitkan dahi. Seumur-umur jadi pengemudi ojol, belum pernah ia mendengar nama jalan aneh seperti itu. Nama yang aneh, seolah-olah nama jalan itu sendiri menolak keberadaannya.
Ia coba mencari di Google Maps, tapi hasilnya nihil. "Alamat tidak ditemukan," begitu bunyi pesannya. Layar ponselnya hanya menampilkan titik biru posisinya saat ini, tanpa ada penunjuk arah ke tujuan. Ini bukan pertama kalinya ia menemukan alamat aneh, tapi "Jalan Buntu No. 404" terasa berbeda, punya resonansi yang ganjil.
"Mungkin error," gumam Ramdan, mencoba menepis perasaan tidak enak yang mulai merayap. Ia sempat berpikir untuk membatalkan orderan itu, melupakan argo, dan segera pulang. Tapi kemudian, ia melihat argo yang tertera. Angkanya fantastis. Jauh di atas rata-rata orderan malam. Cukup untuk membeli rokok sekarton dan makan nasi padang seminggu penuh. Ini adalah rezeki nomplok yang tidak bisa ia lewatkan, apalagi di tengah himpitan ekonomi seperti sekarang.
Ramdan ragu sejenak, menimbang antara insting yang berteriak waspada dan kebutuhan perut yang mendesak. Godaan argo terlalu besar. Tanpa banyak pertimbangan, ia menghela napas panjang, menekan tombol terima, dan kembali menyalakan mesin motornya. Suara deru motornya memecah kesunyian malam, seolah mengukuhkan keputusannya.
Ponselnya kini menampilkan peta yang aneh. Garis biru penunjuk jalan berkelok-kelok di area yang seharusnya kosong melompong di peta digital, seolah ia sedang melaju di atas lahan kosong yang tak terdaftar. Awalnya, ia berasumsi itu hanya masalah bug aplikasi. Tapi semakin jauh ia melaju, semakin aneh rute yang ditunjukkan. Peta itu menunjukkan ia harus melewati jalan-jalan tikus yang gelap, lorong-lorong sempit yang bahkan motornya nyaris tak bisa lewat, bukan jalan raya utama yang biasa ia lewati.
Ramdan mulai merasa tidak enak, tapi godaan argo terlalu besar untuk diabaikan. Ia mengikuti arahan yang diberikan aplikasi, membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi. Lampu-lampu kota perlahan menghilang di belakangnya, digantikan kegelapan yang semakin pekat.
Bab 2: Memasuki Wilayah Tak Dikenal
Semakin jauh Ramdan melaju, jalanan semakin gelap. Lampu jalan satu per satu mati, digantikan remang-remang cahaya bulan yang tertutup awan mendung. Gang-gang sempit dan rumah-rumah tua yang terbengkalai mulai mendominasi pemandangan. Rumah-rumah itu tampak tak terawat, dengan cat mengelupas dan jendela pecah, seolah-olah sudah ditinggalkan puluhan tahun. Beberapa terlihat miring, nyaris roboh, dengan akar pohon beringin tua melilit dindingnya.
Udara semakin dingin, bukan dinginnya angin malam biasa, melainkan dingin yang lembap dan menusuk tulang, seolah kelembaban itu membawa serta hawa yang aneh. Bau amis samar mulai tercium, bercampur dengan aroma tanah basah dan lumut yang tebal. Ramdan mulai merasa ada yang tidak beres. Motornya terasa lebih berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menumpuk di belakangnya. Bulu kuduknya meremang, dan ia merasa seolah ada tatapan yang mengawasinya dari balik kegelapan.
Ia mencoba melihat ke spion, tapi pantulannya terlalu buram. Mungkin hanya kelelahan, pikirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, ketidaknyamanan itu tak kunjung hilang. Ia menengok ke belakang, berusaha memastikan, tapi hanya ada kegelapan yang mengekorinya.
Akhirnya, aplikasi menunjuk ke sebuah lorong yang bahkan tidak memiliki plang nama. Lebih mirip celah di antara dua bangunan tua daripada jalan. Gelap gulita, hanya diterangi sebatang lampu bohlam yang berkedip-kedip redup di ujung lorong, seolah nyaris kehabisan tenaga. Cahaya itu tampak lebih mengundang daripada menerangi, sebuah mercusuar kecil di tengah kegelapan total.
Ramdan ragu sejenak. "Ini beneran Jalan Buntu No. 404?" gumamnya, suaranya terdengar serak di telinganya sendiri. Ia coba memeriksa ponselnya lagi, tapi sinyalnya lenyap. Layar ponselnya hanya menampilkan "Tidak Ada Sinyal" dan gambar peta yang membeku di titik masuk lorong itu. Jantung Ramdan berdegup lebih kencang. Firasat buruknya semakin kuat. Namun, ia sudah terlanjur sampai di sini. Untuk kembali, ia harus memutar jauh, dan itu berarti membuang waktu dan bensin.
Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia menghela napas, menekan tombol gas perlahan, dan mengarahkan motornya masuk ke dalam gang. Suara deru motornya memecah kesunyian malam, bergema aneh di antara dinding-dinding gang yang sempit, suaranya terdengar memanjang dan menggema, seolah gang itu sendiri memakan suaranya. Lampu bohlam di ujung gang seolah menuntunnya, semakin jauh masuk.
Gang itu terasa lebih panjang dari yang terlihat dari luar. Setiap kali ia mendekati lampu bohlam yang berkedip, lampu itu seolah bergeser lebih jauh, tidak pernah benar-benar tercapai. Semakin ia masuk, gang itu semakin menyempit, hingga bahu motornya nyaris menyentuh dinding kanan dan kiri. Udara di dalam gang terasa lebih dingin, lebih lembap, dan bau apek tanah bercampur lumut semakin pekat, menusuk hidung.
Ramdan melaju perlahan, matanya menyapu sekeliling. Tidak ada satu pun rumah yang terlihat dihuni. Semua tampak kosong, gelap, dan usang. Jendela-jendela yang pecah menatap kosong seperti mata-mata mati, dan pintu-pintu yang rapuh seolah siap roboh kapan saja. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, bukan dinginnya angin malam, melainkan dingin yang aneh, seolah dari dalam, sebuah suhu yang tidak alami.
Bab 3: Penampakan di Spion
Ia menoleh ke spion. Sekilas, ia melihat sesuatu. Sesosok bayangan hitam duduk di kursi belakang motornya. Hanya sepersekian detik, namun cukup jelas. Bayangan itu terlihat seperti siluet seseorang, namun tanpa detail, hanya hitam pekat yang menyerap cahaya. Jantungnya mencelos. Ia buru-buru menoleh ke belakang, memutar kepalanya secepat kilat, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya jok motor yang kosong, terlihat jelas di tengah kegelapan yang samar.
"Halusinasi," bisiknya, mencoba meyakinkan diri. Suaranya bergetar. "Pasti cuma kelelahan, Ramdan. Kau sudah terlalu lama di jalan." Tapi bayangan itu terlalu nyata. Ia mengusap matanya kasar, mencoba menghilangkan penglihatan aneh itu, namun rasa dingin di punggungnya tak kunjung hilang. Ada perasaan mengganjal, seolah seseorang telah mengikutinya sejak ia memasuki gang ini, napas dingin yang terus menempel di tengkuknya.
Ia mempercepat laju motornya. Gang itu seolah tidak berujung. Lampu bohlam yang tadi di ujung, kini sudah jauh di belakang, digantikan kegelapan pekat yang hanya sesekali diselingi remang-remang cahaya dari retakan dinding. Dinding-dinding itu terlihat seperti batu bata kuno yang lapuk, berlumut tebal, dan di beberapa tempat, terlihat ukiran-ukiran aneh yang sulit dikenali dalam remang-remang.
Ramdan mencoba menyalakan lampu jauh motornya, tapi lampu motornya malah redup, lalu mati sama sekali. Ia terjebak dalam kegelapan total, hanya suara motornya yang memecah keheningan yang semakin mencekam. Pandangannya kosong, hanya melihat kegelapan di depannya, di sampingnya, di belakangnya. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa melihat apapun lagi kecuali siluet samar dinding gang yang menghimpitnya.
Keringat dingin membasahi punggungnya, membasahi jaketnya hingga terasa lengket. Ia meraba-raba ponselnya, mencoba menyalakannya sebagai senter, tapi ponselnya juga mati. Layar hitam, tanpa respon. Panik mulai menyerangnya. Ia menghentikan motornya. Keheningan mencekam, jauh lebih dalam dari kesunyian yang pernah ia rasakan. Hanya suara detak jantungnya yang menggema di telinganya, berpacu liar.
Lalu, ia mendengarnya. Suara derap kaki. Bukan dari belakangnya, bukan dari sampingnya, tapi dari atas atap motornya. Sebuah suara aneh, seperti langkah kaki basah yang menginjak permukaan berlendir, dan itu terdengar persis di atas helmnya. Seolah ada seseorang yang berlari di atas motornya, padahal ia berada di dalam gang sempit yang tertutup atap, dan tidak ada celah untuk seseorang bisa melintas di sana. Derap kaki itu semakin cepat, semakin keras, dan semakin dekat, seolah berlari mengitari kepalanya.
Ramdan merinding ketakutan. Ketakutan yang melumpuhkan, membuat otot-ototnya kaku. Ia menunduk, memejamkan mata erat-erat, berharap semua ini hanya mimpi buruk, sebuah halusinasi akibat kelelahan ekstrem. Ia memaksakan diri membuka mata, dan di kaca spion motornya, ia melihatnya lagi. Sosok bayangan hitam itu, duduk di kursi belakang, kali ini lebih jelas, lebih solid. Rambut panjang hitam terurai menutupi wajahnya, menjuntai hingga ke pundak, tapi Ramdan bisa merasakan tatapan mata yang dingin menusuk hingga ke ubun-ubun, seolah mata itu melihat langsung ke dalam jiwanya.
Bab 4: Kengerian yang Menjelma
Bau melati yang pekat tiba-tiba menyengat hidungnya, bercampur dengan bau anyir yang samar, seperti bau darah kering atau daging membusuk. Aroma manis dan busuk yang aneh itu membuat Ramdan mual. Ia ingin berteriak, mengeluarkan semua ketakutan yang menumpuk di dadanya, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Lidahnya terasa kaku, otot-otot di lehernya mengunci. Ia mencoba menggerakkan motornya, mencoba lari dari kengerian ini, tapi ban motornya terasa lengket, seolah menempel di tanah, terperangkap oleh kekuatan tak kasat mata.
Sosok itu bergerak. Perlahan, sangat perlahan, rambut panjangnya tersingkap, memperlihatkan separuh wajah yang pucat pasi, seperti kulit yang sudah lama tak terkena matahari. Matanya hitam legam tanpa pupil, hanya dua cekungan kosong yang memancarkan kegelapan. Bibirnya membentuk seringai, sebuah senyum mengerikan yang terlalu lebar, menunjukkan deretan gigi yang runcing dan tajam, seperti taring binatang buas. Sebuah bayangan, atau lebih tepatnya, sebuah ilusi, menari-nari di sekelilingnya, membuat Ramdan bertanya-tanya apakah yang ia lihat nyata atau hanya permainan cahaya dan ketakutan.
"Kau datang juga," suara itu berbisik, serak dan dingin, seolah datang dari balik kubur. Suara itu bukan hanya terdengar di telinganya, tapi juga bergema di dalam kepalanya, langsung menusuk ke inti kesadarannya. "Kami sudah menunggumu."
Ramdan memejamkan mata lagi, erat-erat. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri. Ia tahu ia sudah masuk terlalu jauh. Ia tahu ia telah melewati batas, memasuki alam yang tidak seharusnya ia sentuh. Perasaannya adalah campuran antara putus asa dan penerimaan yang pahit.
"Sudah waktunya pulang," bisik suara itu lagi, kali ini terdengar sangat dekat, seolah di telinganya, napas dinginnya menyapu kulitnya. "Bersama kami."
Ramdan merasakan tangan dingin dan kurus merayap di pundaknya. Jari-jari itu, panjang dan ramping, terasa seperti tulang belulang yang ditutupi kulit tipis. Ia merasakan kuku-kuku panjang menusuk jaketnya, menembus kulitnya, meninggalkan rasa perih yang aneh, dingin, bukannya panas. Rasa sakit itu, betapa pun perihnya, terasa jauh, seolah ia hanya mengamati dari kejauhan, tubuhnya terpisah dari jiwanya. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain dingin yang menusuk.
Bab 5: Kilas Balik yang Mengerikan
Kemudian, sebuah ingatan muncul. Ingatan itu muncul begitu saja, seperti kilat di tengah badai, membanjiri kesadarannya. Ingatan yang seharusnya sudah lama terkubur, ingatan yang ia coba lupakan, ingatan yang terlalu menyakitkan untuk diingat.
Jalan ini. Gang ini. Lampu bohlam yang berkedip-kedip itu. Bau apek tanah dan lumut. Ia tahu tempat ini. Ia sudah pernah ke sini.
Beberapa tahun lalu, di malam yang sama gelapnya, di jalan yang sama lengketnya oleh gerimis. Malam itu, ia sedang terburu-buru mengantar pesanan terakhir. Sama seperti sekarang, ia mengejar setoran, mengejar waktu. Ponselnya berdering. Notifikasi orderan baru. "Jalan Buntu No. 404." Ia mengabaikan keanehan alamat itu, sama seperti malam ini. Instingnya sudah berteriak, tapi ia memilih untuk mengabaikannya demi godaan argo yang besar.
Ia melaju kencang, terlalu kencang. Ia mengabaikan peringatan ban yang licin, ia mengabaikan pandangan yang kabur karena hujan yang semakin deras. Tikungan tajam itu. Sebuah truk muncul entah dari mana, melaju dengan kecepatan gila, lampunya menyilaukan mata, seperti monster yang muncul dari kegelapan. Remnya blong. Motornya tergelincir di genangan air, terpental.
Ia merasakan tubuhnya melayang di udara sesaat, lalu mendarat keras. Kepalanya membentur trotoar. Dentuman keras. Rasa sakit yang luar biasa. Lalu, semua menjadi gelap. Dingin. Aroma melati yang pekat. Sama persis seperti yang ia rasakan malam ini. Suara derap kaki di atasnya. Suara yang dulu ia kira hanya suara hujan deras.
Ia sudah mati.
Ia sudah mati di sini, di Jalan Buntu No. 404.
Bukan hanya motornya yang teronggok, tapi juga tubuhnya.
Bab 6: Sang Penjemput Jiwa
Dan sosok yang duduk di belakangnya, yang wajahnya kini terlihat jelas, bukan hantu yang ingin mengganggu. Bukan pula penampakan acak, atau roh penasaran yang kebetulan lewat. Wajah itu adalah wajah dirinya sendiri. Wajah yang sama persis dengan yang ia lihat di cermin setiap pagi, namun dengan mata hitam legam tanpa pupil dan seringai mengerikan yang merobek sudut bibirnya. Itu adalah arwahnya sendiri, Ramdan yang lain, Ramdan yang telah lama terjebak di antara dua dunia, yang kini datang menjemputnya.
"Kau tidak pernah benar-benar pergi, Ramdan," bisik suara itu, suara yang kini ia sadari adalah suaranya sendiri, tapi yang lebih tua, lebih dingin, lebih asing, lebih hampa dari emosi apa pun. Suara itu terdengar seperti gema dari masa lalu, namun juga mengandung keabadian yang menakutkan. "Kau hanya terjebak di antara. Mencari jalan pulang, tanpa menyadari kau sudah di rumah."
Tangan dingin itu mencengkeram erat pundaknya. Ramdan merasakan tubuhnya tertarik ke belakang, seolah ditarik ke dalam kegelapan pekat yang tidak berujung, ke dalam kekosongan yang dingin dan tanpa batas. Ia tidak lagi merasakan jok motor di bawahnya, tidak lagi merasakan angin malam. Hanya kekosongan dan hawa dingin yang menusuk. Suara derap kaki di atas atap motornya semakin keras, semakin berirama, seolah mengiringi kepergiannya, sebuah genderang kematian yang memudar.
Ramdan tak melawan. Tubuhnya terasa ringan, seolah tak memiliki bobot. Ia tahu ini akhirnya. Perlawanan tidak akan ada gunanya. Jalan Buntu No. 404. Bukan sebuah alamat. Tapi sebuah portal. Sebuah pintu gerbang. Bukan menuju dunia lain, melainkan menuju keabadian yang terperangkap. Selamanya. Bersama arwahnya sendiri. Selamanya tersesat di jalur yang tak pernah ada di peta, terikat pada putaran tanpa akhir antara hidup dan kematian yang tidak pernah benar-benar selesai.
Bab 7: Kesunyian Abadi
Di pagi hari, mentari mulai menyusup, menembus kabut tipis Jakarta. Seorang pemulung tua, dengan karung goni di punggungnya dan tongkat kayu di tangan, berjalan menyusuri gang-gang sempit yang jarang dilalui orang. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan aneh dan barang-barang tak terduga yang ia temukan. Namun, pagi itu, ia melihat sesuatu yang berbeda.
Di ujung gang yang aneh itu, gang yang biasanya ia hindari karena aura tak mengenakkan, ia melihat sebuah motor ojol teronggok. Motor itu tampak utuh, namun tertutup lumut dan debu tebal, seolah sudah berada di sana bertahun-tahun. Catnya pudar, bannya kempes, dan helmnya tergeletak di sampingnya, setengah tertimbun dedaunan kering. Kaca spionnya retak, memantulkan bayangan buram langit pagi.
Pemulung itu mendekat, memeriksa motor itu dengan hati-hati. Tidak ada tanda-tanda pemiliknya. Tidak ada dompet, tidak ada kunci, tidak ada jejak kaki. Anehnya, motor itu tidak terlihat seperti baru saja ditinggalkan. Lebih mirip artefak kuno yang tiba-tiba muncul di sana. Ada aura dingin yang menyelimuti motor itu, membuat bulu kuduk pemulung itu meremang.
Ia menyentuh jok motor. Permukaannya terasa dingin, bahkan lebih dingin dari udara pagi. Ia mencoba mengangkat helm, tapi terasa sangat berat, seolah dipenuhi timah. Pemulung itu hanya bisa menggelengkan kepala, lalu melangkah pergi, kembali ke rutinitasnya mencari barang bekas, tak menyadari bahwa di balik keheningan gang itu, sebuah jiwa baru saja menemukan "rumah" abadinya. Sebuah rumah yang tak berpenghuni, namun dihuni oleh ingatan dan penyesalan yang tak pernah padam.
Sejak saat itu, sesekali, di malam-malam yang sunyi, beberapa pengemudi ojol yang tersesat di area sekitar sana melaporkan hal yang aneh. Mereka mendengar suara deru motor yang sangat samar, seolah melaju tanpa tujuan. Beberapa bahkan mengaku melihat bayangan seorang pria berjaket ojol, duduk di kursi belakang motornya sendiri, melaju pelan di gang-gang sempit yang tidak ada di peta. Rambutnya menutupi wajahnya, dan ia tidak pernah menoleh ke belakang. Ia terus melaju, menghilang di kegelapan, seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah ia temukan, atau mungkin, seolah ia sendiri adalah yang dicari.
"Jalan Buntu No. 404" tetap menjadi misteri. Tidak ada yang pernah bisa menemukan alamat itu di peta, dan setiap kali ada yang mencoba mencarinya, mereka selalu berakhir di jalan buntu lain, atau tersesat dalam labirin gang-gang yang aneh, seolah jalan itu sendiri bergerak, menolak untuk ditemukan oleh mereka yang tidak ditakdirkan untuk melihatnya. Dan di setiap malam yang dingin, di antara gerimis tipis yang membasahi Jakarta, sebuah motor tua dengan seorang pengemudi dan penumpangnya yang tak terlihat, terus melaju, melintasi batas antara dunia, selamanya tersesat, selamanya pulang.
Bab 8: Iterasi Tak Berujung
Entah sudah berapa lama Ramdan terjebak dalam siklus ini. Waktu terasa kabur, tidak memiliki makna lagi di tempat ini. Setiap malam, ia terbangun di atas motornya, jaket ojolnya terasa dingin dan lembap. Ponselnya berkedip, notifikasi orderan baru. "Jalan Buntu No. 404." Dan setiap kali, ia merasakan desakan aneh untuk menerimanya. Sebuah tarikan yang kuat, tak bisa ia lawan, seperti magnet yang menarik kompas.
Ia mengemudi, melintasi jalanan Jakarta yang selalu sama, namun terasa asing. Bangunan-bangunan familiar terlihat seperti siluet kabur, dan suara kota yang ramai terdengar seperti bisikan jauh. Setiap belokan, setiap tikungan, terasa seperti déjà vu yang menakutkan. Ia tahu apa yang akan datang, ia tahu ujung dari perjalanan ini, tapi ia tidak bisa berhenti. Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya mendorongnya maju.
Saat ia memasuki gang sempit itu, ia sudah hapal setiap lumut di dinding, setiap retakan di aspal. Lampu bohlam di ujung gang selalu berkedip, menggoda, namun tak pernah bisa ia raih. Dan di setiap perjalanan, ia merasakan hawa dingin yang menusuk, semakin dalam, semakin menusuk jiwanya.
Di kaca spion, ia selalu melihatnya. Sosok bayangan hitam itu. Terkadang samar, terkadang lebih jelas. Rambut panjangnya selalu menutupi wajah, namun ia bisa merasakan mata yang menatapnya. Setiap malam, bayangan itu terasa lebih nyata, lebih solid, seolah mengumpulkan kekuatan dari setiap perjalanannya.
Ia telah mencoba berontak. Di beberapa siklus, ia mencoba membuang helmnya, meninggalkan motornya, lari sekencang-kencangnya. Tapi gang itu selalu memanjang, tidak ada ujung. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada rantai tak terlihat yang mengikat pergelangan kakinya. Dan tidak peduli seberapa jauh ia berlari, ia selalu kembali ke motornya, ke gang itu, ke notifikasi "Jalan Buntu No. 404" yang menunggu di ponselnya.
Satu kali, ia mencoba berbicara dengan sosok itu. "Siapa kau?" teriaknya, suaranya pecah dan parau karena ketakutan.
Sosok itu hanya menyingkap sedikit rambutnya, memperlihatkan mata hitam legam yang kosong. "Kau," bisiknya, suaranya adalah gaung dari suaranya sendiri, namun dengan nada yang lebih dalam, lebih menakutkan. "Kau adalah aku. Dan aku adalah kau."
Ramdan mengerti. Ia adalah penjelmaan dari penyesalannya, dari kematiannya yang tak terduga, dari jiwa yang tak pernah menemukan kedamaian. Sosok itu adalah cerminan dari dirinya yang terperangkap, yang harus terus mengulang perjalanan terakhirnya, mencoba mencari jalan pulang yang tidak pernah ada.
Derap kaki di atap motornya. Suara itu kini tidak lagi membuatnya takut, melainkan menjadi melodi pengiring siklusnya. Ia sudah tahu setiap langkah, setiap suara. Dan setiap kali, di akhir perjalanan, tangan dingin itu akan merayap di pundaknya, menariknya ke dalam kehampaan.
Bab 9: Pencarian yang Tak Berakhir
Mengapa ia terjebak di sini? Pertanyaan itu selalu berputar-putar di benaknya, di antara setiap putaran tanpa henti. Apakah ini hukuman? Atau apakah ini hanya sebuah kesalahan dalam tatanan alam, sebuah glitch dalam realitas?
Ia mencoba mengingat detail-detail sebelum kecelakaan itu. Ia ingat terburu-buru. Ia ingat argo yang besar. Ia ingat ingin segera sampai rumah. Adakah sesuatu yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya? Jika ia bisa kembali, akankah ia membatalkan orderan itu? Akankah ia melaju lebih pelan?
Setiap malam, ia mencoba skenario yang berbeda dalam pikirannya. Tapi itu hanya ilusi. Ia tahu ia tidak bisa mengubah masa lalu. Masa lalu adalah rantai yang mengikatnya ke Jalan Buntu No. 404 ini.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Ramdan pernah bertanya pada bayangan di spion.
Bayangan itu hanya tersenyum dingin. "Damai," bisiknya. "Keabadian."
Tapi keabadian di sini bukanlah kedamaian. Keabadian ini adalah siklus. Sebuah penjara tak terlihat yang tak berujung. Ramdan merasa jiwanya perlahan terkikis, seperti batu yang terus-menerus digerus ombak. Ingatan-ingatannya tentang kehidupan sebelumnya semakin pudar. Wajah orang tuanya, teman-temannya, bahkan wajah kekasihnya yang dulu, semuanya mulai terasa seperti mimpi yang samar. Yang tersisa hanyalah Jalan Buntu No. 404, motornya, dan bayangan dirinya sendiri.
Kadang, ia melihat pengemudi ojol lain yang tersesat, mirip dirinya, dengan wajah panik. Mereka juga terjebak di gang yang sama, berputar-putar, mencari jalan keluar. Ramdan ingin memperingatkan mereka, ingin berteriak agar mereka pergi, tapi suaranya tidak terdengar. Mereka hanya melewatinya, melaju ke dalam kegelapan, dan ia tahu, mereka juga akan bergabung dengannya dalam siklus ini, satu per satu, menjadi bagian dari koleksi jiwa yang tersesat di jalur tak berujung ini.
Jumlah mereka bertambah. Sesekali, ia melihat lebih dari satu bayangan di spionnya. Bayangan-bayangan samar lainnya, seperti penumpang yang ikut terjebak, wajah-wajah yang tak dikenalnya, namun dengan tatapan kosong yang sama. Apakah mereka semua adalah pengemudi ojol yang bernasib sama? Atau mereka adalah penumpang yang membawa mereka ke sini? Ramdan tidak tahu. Dan ia tidak lagi peduli. Perasaan dingin telah menggantikan semua emosi.
Bab 10: Pengemudi Terakhir
Suatu malam, Ramdan memulai perjalanannya seperti biasa. Gerimis tipis. Bau amis dan melati. Ponsel berkedip: "Jalan Buntu No. 404." Ia melaju, memasuki gang yang aneh itu.
Namun, kali ini ada yang berbeda.
Gang itu terasa lebih gelap dari biasanya. Lampu bohlam di ujung gang mati total. Kegelapan mutlak menyelimuti dirinya. Ia tidak bisa melihat apapun, hanya merasakan keberadaan dinding yang menjepitnya.
Ia melihat ke spion. Sosok bayangan itu. Rambutnya terurai, menutupi wajah. Tapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada semacam energi, aura yang lebih kuat dari sebelumnya, memancar dari bayangan itu.
"Kau datang juga," suara itu berbisik. Tapi kali ini, suaranya terdengar jernih, tidak lagi serak atau bergema. Suara itu adalah suara Ramdan sendiri, diucapkan dengan kejelasan yang menakutkan, tanpa distorsi sedikit pun.
Ramdan merasakan tangan dingin itu mencengkeram pundaknya. Lebih kuat dari biasanya. Ia merasakan kuku-kuku panjang itu menembus jaket dan kulitnya, menusuk ke daging, rasa sakit yang nyata, bukan lagi rasa sakit yang jauh.
"Apa yang terjadi?" Ramdan bertanya, suaranya parau.
Sosok itu menyingkap rambutnya. Wajahnya adalah wajah Ramdan, tapi matanya bukan lagi cekungan hitam kosong. Mata itu kini memancarkan cahaya merah samar, seperti bara api yang membara. Senyumnya lebih lebar, lebih mengerikan, menunjukkan deretan gigi yang semakin runcing dan tajam.
"Siklusnya akan berakhir," bisik sosok itu. "Dan kau adalah yang terakhir."
Ramdan tidak mengerti. Siklus apa? Terakhir untuk apa?
Tangan dingin itu menariknya. Lebih kuat. Ramdan merasakan tubuhnya tertarik ke belakang, bukan lagi melayang, tapi benar-benar ditarik, seolah ada lubang hitam di belakangnya yang siap menelannya.
"Kau telah menyelesaikan tugasmu," suara itu melanjutkan, kini terdengar seperti beribu-ribu suara yang berbisik sekaligus, menggema di kepalanya. "Kau membawa pulang semua yang hilang. Sekarang, waktunya untukku mengambil alih."
Ramdan melihat ke depan. Kegelapan mutlak di depannya kini mulai membentuk sebuah lorong. Sebuah lorong yang berputar-putar, seperti pusaran air raksasa yang menariknya ke dalam. Di ujung lorong itu, ia melihat titik cahaya yang sangat kecil, seolah itu adalah satu-satunya jalan keluar. Namun, ia tahu itu bukan jalan keluar. Itu adalah jalan masuk.
Ia mencoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ia mencoba melawan, tapi tubuhnya lumpuh. Ia merasakan jiwanya tertarik keluar dari raganya, sebuah sensasi yang mengerikan, seperti dicabut paksa dari akar.
"Selamat datang di rumah, Ramdan," bisik sosok itu untuk terakhir kalinya, dan kali ini, suara itu terdengar penuh kemenangan, penuh kelegaan. "Kau sudah bebas."
Namun, Ramdan tidak merasakan kebebasan. Ia hanya merasakan kehampaan yang tak terhingga, dingin, dan kekosongan yang menelan dirinya.
Bab 11: Jalan Buntu yang Abadi
Di pagi hari, pemulung tua itu kembali ke gang yang aneh itu. Ia terkejut. Motor ojol yang kemarin ia lihat kini tidak ada. Hanya ada sisa-sisa lumut dan debu yang tertinggal di tanah, seperti bekas jejak sesuatu yang sudah lama hilang.
Pemulung itu menggaruk kepalanya. "Aneh," gumamnya. "Ke mana perginya?"
Ia tidak tahu bahwa motor itu kini telah menjadi bagian dari dimensi lain, sebuah koleksi dari ribuan motor lain yang telah menghilang di Jalan Buntu No. 404.
Sejak malam itu, Jalan Buntu No. 404 tidak lagi muncul di aplikasi ojol. Tidak ada lagi notifikasi "Jalan Buntu No. 404" yang menghantui para pengemudi. Lorong gelap itu masih ada, namun kini benar-benar kosong, tidak ada lampu bohlam yang berkedip, tidak ada aura dingin yang menusuk. Hanya keheningan yang mencekam.
Namun, di malam-malam tertentu, ketika gerimis tipis membasahi Jakarta, beberapa orang yang lewat di sekitar area itu kadang-kadang mendengar. Suara deru motor yang sangat samar, melaju tanpa tujuan. Bukan satu motor, tapi banyak. Ribuan motor, seolah beriringan dalam konvoi abadi. Dan di antara suara-suara itu, jika mereka mendengarkan dengan seksama, mereka mungkin bisa mendengar bisikan-bisikan dingin yang menggema.
"Kau datang juga..."
"Sudah waktunya pulang..."
"Bersama..."
Dan di dalam dimensi lain, di sebuah jalan yang hanya ada di antara dunia, Ramdan, atau apa pun yang tersisa dari dirinya, melaju tanpa henti. Ia tidak lagi duduk di jok motor, melainkan kini berdiri di belakang motornya sendiri. Ia adalah bayangan hitam yang dulu dilihatnya di spion. Rambutnya terurai, menutupi wajah, tapi di balik rambut itu, matanya kini memancarkan cahaya merah samar, sama seperti sosok yang menariknya pergi.
Ia adalah penjemput. Ia adalah penjaga. Ia adalah pengemudi terakhir dari Jalan Buntu No. 404.
Dan di belakangnya, di kursi motornya, duduklah sosok lain. Seorang pengemudi ojol yang baru. Wajahnya pucat pasi, matanya memejam. Ia baru saja tiba, baru saja mengakhiri perjalanan terakhirnya.
Ramdan yang baru, sang penjemput, akan membawanya. Ia akan terus melaju di jalur yang tak ada di peta, selamanya mengulang siklus yang sama, membawa jiwa-jiwa yang tersesat pulang ke "rumah" abadi mereka. Hingga suatu saat, ketika siklus itu kembali berputar sempurna, mungkin akan ada "pengemudi terakhir" lainnya yang mengambil alih tempatnya. Dan begitu seterusnya, tak berujung, di Jalan Buntu No. 404.
Sebuah peringatan tak tertulis bagi setiap pengemudi ojol di malam hari. Hati-hati dengan orderan yang aneh. Hati-hati dengan jalan yang tidak ada di peta. Karena kadang, jalan buntu itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan abadi yang tak bisa dihindari. Dan di sana, di ujung jalan yang tak pernah terdaftar, seseorang mungkin sedang menunggu, tidak untuk diantar, melainkan untuk membawa Anda pergi. Selamanya.