Masukan nama pengguna
Bab 1 – Radio
Aroma apak dan debu tebal menyelimuti setiap sudut toko loak Pak Kusno, menusuk hidung Raka begitu ia melangkah masuk. Cahaya sore yang temaram dari celah-celah genting menyoroti tumpukan barang-barang usang: lemari reyot, patung kayu yang kehilangan mata, dan gunungan buku kuning yang rapuh. Bagi Raka, mahasiswa teknik elektro tingkat akhir, tempat ini adalah surga. Bukan karena pesona barang antik, melainkan potensi tersembunyi di balik karat dan lapuk. Ia mencari komponen, mungkin sisa-sisa sirkuit lama yang bisa ia preteli untuk tugas akhirnya, sebuah proyek transmisi gelombang radio mini.
Pandangannya tertumbuk pada sebuah radio tua di pojok, tergeletak di antara tumpukan piringan hitam yang retak. Bodinya terbuat dari kayu mahoni gelap, ukirannya rumit, dan tombol-tombol putarnya mengkilap meskipun berkarat di beberapa bagian. Radio itu seakan memanggilnya, berbisik dari balik waktu. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari sekadar daya tarik estetika. Sebuah getaran aneh, seperti resonansi samar yang hanya bisa ia rasakan. "Berapa ini, Pak?" tanyanya, menunjuk radio tersebut.
Pak Kusno, dengan kacamata melorot di hidung, menoleh. "Oh, itu... peninggalan kakek saya. Sudah rusak puluhan tahun. Angkut saja, Nak. Anggap saja hadiah."
Raka terkejut. Hadiah? Sebuah radio seantik ini? Ia menimang-nimang radio itu, merasakan dinginnya kayu dan beratnya mesin di dalamnya. Ada rasa penasaran yang kuat, seolah radio ini punya cerita yang ingin dibagikan. Ia mengucapkan terima kasih dan bergegas pulang, tak sabar untuk membongkar dan memeriksanya.
Malam itu, kamar kos Raka berubah menjadi bengkel dadakan. Lampu meja menyoroti diagram sirkuit, kawat-kawat tipis berserakan di meja, dan bau timah solder memenuhi udara. Ia membersihkan radio dengan hati-hati, memeriksa setiap komponen. Anehnya, sirkuit di dalamnya masih utuh, bahkan terlihat baru di beberapa bagian, seolah radio itu baru saja dirakit. Ia menemukan slot baterai yang aneh, tidak seperti baterai biasa, dan memutuskan untuk menyambungkannya langsung ke adaptor listrik.
Ketika saklar on ditekan, tak ada yang terjadi. Hanya desisan statis, seperti siaran yang gagal menangkap gelombang. Raka memutar tombol frekuensi, jari-jarinya menelusuri angka-angka usang. Tiba-tiba, di antara desis dan gemerisik, sebuah suara muncul. Jernih, namun penuh dengan distorsi yang aneh, seolah datang dari lorong waktu yang gelap.
Suara seorang penyiar laki-laki, bariton, dengan aksen kolonial yang kental. "Siaran Radio Batavia melaporkan tragedi pilu di desa terpencil di Jawa Barat. Pembantaian massal oleh tentara Kompeni, menewaskan puluhan warga sipil tak bersalah..."
Raka terpaku. Radio ini... berfungsi? Dan siarannya... tahun 1924? Itu mustahil. Ia menajamkan pendengaran. Suara penyiar melanjutkan, detail-detail mengerikan tentang rumah-rumah yang terbakar dan mayat-mayat yang bergelimpangan. Kemudian, hening sesaat, disusul oleh suara yang membuat bulu kuduk Raka berdiri: jeritan. Jeritan pilu, memilukan, seolah-olah ditarik dari kedalaman penderitaan. Jeritan perempuan, anak-anak, disusul suara tembakan yang memekakkan telinga.
Jantung Raka berdegup kencang. Ia mencoba mematikan radio, menekan tombol off berkali-kali, tapi tidak ada respons. Suara-suara itu semakin kuat, semakin nyata. Bau gosong dan darah samar-samar tercium di udara, meskipun ia tahu itu hanya ilusi. Ia mencoba mencabut kabel adaptor, tapi tangannya seolah membeku.
Tiba-tiba, kamar Raka berputar. Dinding-dindingnya meleleh, langit-langitnya melengkung, dan suara-suara dari radio menelannya. Ia merasa seperti ditarik, dijatuhkan, dan kemudian mendarat keras di tanah yang basah.
Ketika kesadarannya kembali, ia menemukan dirinya tergeletak di sebuah ladang, lumpur dingin merayapi kulitnya. Kabut tebal menyelimuti pandangan, dan bau hangus menusuk hidungnya. Suara jeritan dan tembakan masih terdengar, namun kali ini bukan dari radio. Kali ini, nyata.
Di hadapannya, api melahap gubuk-gubuk jerami, menerangi siluet tentara-tentara berseragam kolonial yang bergerak brutal. Darah meresap ke tanah, menciptakan pola-pola mengerikan di lumpur. Raka melihat seorang perempuan tua tersungkur, matanya terbuka lebar, menatapnya. Di sampingnya, seorang anak kecil terisak-isak, memeluk boneka kain yang hangus.
Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat. Ia mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa lumpuh. Ia melihat lebih banyak korban, wajah-wajah pucat dengan mata penuh ketakutan. Dan kemudian, sesuatu yang membuat napasnya tertahan: beberapa dari mereka, dengan tatapan kosong, menoleh ke arahnya. Tatapan mereka bukan tatapan orang yang sekarat, melainkan tatapan orang yang sudah mati. Mata mereka, entah bagaimana, tampak mengenali dirinya. Seolah-olah mereka tahu siapa dia, atau lebih tepatnya, apa yang akan terjadi padanya.
Darah di tanah semakin membasahi kakinya, dingin dan lengket. Aroma kematian begitu pekat, begitu nyata. Raka ingin lari, ingin bangun dari mimpi buruk ini, tapi kakinya terpaku. Ia hanya bisa menatap, menyaksikan kengerian yang terbentang di hadapannya.
Para korban itu, mereka menatapnya. Bukan dengan amarah, bukan dengan keputusasaan, tapi dengan semacam penerimaan yang dingin. Seolah-olah mereka sedang menyambut seorang kawan lama yang akhirnya tiba. Tatapan mereka mengunci pandangannya, menembus jiwanya. Ia adalah saksi. Bukan hanya saksi dari pembantaian itu, tapi saksi dari keberadaannya sendiri yang tiba-tiba terenggut dari kenyataan.
Darah membasahi tanah. Dan para korban itu, mereka menatapnya, seolah-olah sudah lama mengenalnya. Mereka ada di sana, bersama Raka, di ladang kematian itu, menjadi bagian dari penderitaan yang tak berkesudahan. Dan Raka tahu, ini bukan mimpi. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Bab 2 – Siaran Gelap
Sensasi jatuh itu kembali. Seperti terlempar dari ketinggian, tubuh Raka melayang dalam kehampaan yang dingin, lalu mendarat dengan keras di lantai kamarnya. Napasnya terengah-engah, paru-parunya serasa terbakar. Matanya mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan kegelapan yang menyelimuti ruangan. Suara desisan statis dari radio masih mengisi keheningan, mengusik ketenangannya yang rapuh. Ia mencoba meraih remote TV yang tergeletak di meja, tapi tangannya gemetar hebat. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Pembantaian itu... jeritan-jeritan itu... semuanya masih terngiang jelas di benaknya, seolah baru saja terjadi beberapa detik yang lalu.
Ia menatap radio antik itu, yang kini tampak bagai monster yang menganga, siap menelannya kapan saja. Rasa takut bercampur amarah menyelimutinya. Ia harus mematikannya. Ia merangkak mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh tombol off. Ia menekannya, berkali-kali, lebih keras, sampai ujung jarinya memutih. Tidak ada respons. Radio itu seolah mengolok-oloknya, suara desisnya semakin nyaring, menusuk telinganya.
Kemudian, suara penyiar itu kembali, kali ini lebih jelas, lebih mendominasi. "Siaran Radio Batavia melaporkan... tahun 1947... Agresi Militer Belanda Kedua pecah. Pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran, membakar desa-desa, menjarah harta benda, dan menewaskan ribuan rakyat sipil. Perlawanan gigih pejuang kemerdekaan menemui jalan buntu di beberapa wilayah."
Raka merasakan perutnya bergejolak. Ia ingin muntah. Kata-kata itu, detail-detailnya yang mengerikan, sudah cukup. Ia tak mau lagi menyaksikan kengerian lain. Ia memejamkan mata, memegangi kepalanya, berharap semua ini hanyalah halusinasi yang akan segera sirna. Tapi suara itu tak mau pergi. Malah, suara tembakan senapan mesin, raungan pesawat, dan jeritan kepanikan mulai menyusup ke dalam kamarnya, semakin lama semakin nyata.
Sama seperti sebelumnya, kamar kosnya mulai berubah. Dinding-dindingnya bergetar, catnya mengelupas, dan udara menjadi panas, menyesakkan. Bau asap dan mesiu yang samar-samar tercium di hidungnya kini menguat, menusuk rongga pernapasan. Kipas angin di pojok ruangan berputar liar, mengeluarkan suara berderit seolah sedang merintih. Raka merasakan tubuhnya melayang, seperti selembar daun kering yang ditiup angin kencang. Kemudian, ia terhempas lagi.
Kali ini, ia jatuh di sebuah desa yang terbakar. Lidah-lidah api menjilat langit malam, mengubah kegelapan menjadi oranye menyala. Asap tebal mengepul, menyesakkan dada, membuat matanya perih. Raka terbatuk-batuk, menutupi mulutnya dengan lengan baju. Di sekelilingnya, gubuk-gubuk kayu runtuh, atapnya ambruk dengan suara gemuruh yang menakutkan. Ia mendengar rintihan orang-orang, suara tangisan anak-anak yang putus asa, dan teriakan tentara Belanda yang menggelegar.
Ini lebih buruk dari sebelumnya. Di Bab 1, ia hanya melihat. Sekarang, ia mencium bau hangus dan darah yang kental, merasakan panasnya kobaran api yang menjilat kulitnya. Suara tembakan begitu dekat, seolah peluru-peluru itu melesat di samping telinganya. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan di tanah, beberapa masih berasap, sisa-sisa dari sebuah kehidupan yang direnggut paksa. Wajah-wajah mereka hangus, anggota tubuh terpisah, pemandangan yang akan menghantuinya selamanya.
Ia mencoba berteriak, meminta pertolongan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba bergerak, melarikan diri dari neraka ini, tapi kakinya terasa berat, terpaku di tanah yang menghitam oleh arang dan darah. Di tengah kekacauan itu, ia melihat seorang wanita muda berlari, menggendong bayinya, mencoba menghindar dari rentetan tembakan. Sebuah peluru menembus punggungnya, dan ia roboh. Bayinya terlepas dari gendongan, menangis histeris di samping tubuh ibunya yang tak lagi bergerak. Raka ingin menjangkaunya, ingin menyelamatkan bayi itu, tapi tubuhnya menembus udara, seolah ia tak punya substansi. Ia adalah bayangan, tak terlihat, tak tersentuh.
Ketidakberdayaan itu menghancurkannya. Ia hanya bisa menyaksikan, terperangkap dalam siklus kengerian yang tak berujung. Rasa dingin menjalar di punggungnya, bukan karena udara, tapi karena kesadaran yang mengerikan: ia tidak bisa keluar. Radio itu seakan menguncinya dalam dimensi sejarah kelam, menjadikannya saksi abadi dari tragedi yang tak pernah ia alami, namun kini menjadi bagian dari dirinya.
Ia merasakan setiap tetes darah yang meresap ke tanah, setiap jeritan yang melukai langit, setiap napas terakhir yang terembus. Ini bukan lagi sekadar siaran radio. Ini adalah realitasnya. Ia bukan hanya penonton, ia adalah bagian dari penderitaan. Ia adalah hantu di tengah hantu, bayangan di antara para korban.
Api terus berkobar, melahap segalanya. Suara-suara tangisan semakin meredup, digantikan oleh keheningan yang mengerikan, hanya diselingi suara api yang melahap kayu. Raka berdiri di sana, di tengah kehancuran, merasakan dinginnya kematian yang menusuk tulang. Ia melihat sekeliling, mencari jalan keluar, tapi yang ada hanyalah api, asap, dan bayangan-bayangan mengerikan dari masa lalu yang terus menghantuinya. Ia tahu, dengan kengerian yang mendalam, bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ia terperangkap, dan tidak ada jalan pulang.
Bab 3 – Kode Frekuensi
Raka kembali terhempas ke kamarnya, jatuh terduduk di lantai yang dingin. Udara di sekelilingnya masih terasa panas, dan aroma hangus masih menusuk hidungnya, meskipun samar. Ia terengah-engah, mencoba menarik napas dalam-dalam. Kebrutalan yang baru saja disaksikannya, suara tangisan dan jeritan yang tak akan pernah hilang dari benaknya, masih begitu nyata. Ia melihat tangannya, gemetar tak terkendali. Apakah ini nyata? Atau ia sudah gila?
Pandangannya tertuju pada radio antik yang tergeletak di meja. Benda itu kini tampak seperti makhluk hidup, bernapas dengan desisan statisnya, memancarkan aura gelap yang mengerikan. Radio itu adalah kunci, atau lebih tepatnya, gerbang neraka. Ia mencoba mematikan semua lampu di kamarnya, berharap kegelapan bisa menenangkan pikirannya, tapi suara desis itu tetap ada, seolah tertanam langsung di otaknya.
Dalam keputusasaan, Raka meraih pulpen dan buku catatannya. Ia harus menemukan pola. Harus ada cara untuk mengendalikan ini, atau setidaknya memahaminya. Ia mulai mencatat angka frekuensi yang muncul di layar kecil radio setiap kali siaran berubah.
24.03.1924
17.08.1947
...
Ia mengerutkan kening. Tanggal-tanggal itu... Itu adalah tanggal-tanggal tragedi yang baru saja ia saksikan. Pembantaian tahun 1924, Agresi Militer Belanda II tahun 1947. Sebuah pola yang mengerikan mulai terbentuk di benaknya. Tiap gelombang membuka sebuah peristiwa sejarah berdarah.
Raka menghabiskan sisa malam itu, dan bahkan hingga pagi menjelang, terpaku di depan radio. Ia memutar tombol frekuensi perlahan, dengan hati-hati. Setiap kali ia berhasil menangkap siaran, tanggal dan peristiwa yang mengerikan muncul. Ia menyaksikan pembantaian Rawagede, kemudian peristiwa 3 Juli 1946, dan seterusnya. Setiap kejadian membawa serta kengerian yang semakin nyata, semakin meresap ke dalam dirinya. Bau darah, teriakan, rasa dingin kematian—semua itu melebur menjadi satu pengalaman yang menghancurkan jiwa.
Pagi menjelang, matahari menembus jendela kamarnya, tapi Raka tidak merasakan hangatnya. Ia kedinginan, gemetar. Matanya memerah dan bengkak karena kurang tidur dan ketegangan. Ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. Selain tanggal, ada kode-kode lain yang tampak acak, kombinasi angka dan huruf yang muncul dan hilang begitu cepat. Ini bukan hanya tanggal, tapi seolah-olah kode untuk "membuka" sebuah portal.
Raka mencoba mengatur frekuensi secara acak, mencoba mencari siaran modern, berharap bisa mendengarkan berita hari ini, atau bahkan lagu pop biasa. Apa pun yang bisa membawanya kembali ke realitasnya. Jarinya memutar tombol, mencari-cari. Tiba-tiba, sebuah suara jernih muncul, bukan suara penyiar kolonial itu. Suara seorang wanita, dengan nada gembira khas penyiar radio anak muda. "Selamat pagi, pendengar setia! Ini adalah pagi yang cerah di tahun dua ribu..."
Raka merasakan secercah harapan. Ia akan kembali! Ia akan pulang! Namun, sebelum penyiar itu sempat menyelesaikan kalimatnya, suara itu terdistorsi, berubah menjadi jeritan panjang yang mengerikan. Frekuensi tiba-tiba melesat, tanpa bisa ia kontrol, dan angka-angka di layar kecil radio berputar gila-gilaan, berhenti di:
30.09.1965
Tubuh Raka menegang. Ia sudah tahu apa artinya itu. Ia merasakan sensasi tertarik lagi, kali ini lebih kuat, lebih brutal. Udara di sekelilingnya menjadi berat, dan bau amis yang tak asing lagi memenuhi indra penciumannya.
Ia terlempar lagi, mendarat di tanah yang keras, berlumpur, dan basah. Di sekelilingnya, terbentang ladang tebu yang luas. Langit kelabu, diselimuti mendung. Suara sayup-sayup percakapan, tawa, dan kemudian... tembakan. Bukan tembakan senapan, melainkan suara dentuman benda berat yang menghantam sesuatu.
Raka merangkak di antara batang-batang tebu yang tinggi, mencari perlindungan. Ia melihat siluet-siluet bergerak di kejauhan. Orang-orang. Banyak sekali orang. Dan kemudian ia melihatnya. Pembantaian massal.
Bukan tentara, bukan penyerang berseragam. Ini adalah rakyat biasa, saling membantai. Beberapa memegang parang, cangkul, bahkan bambu runcing. Mereka menyeret orang-orang lain, memukuli mereka, menikam, dan kemudian menyeret tubuh-tubuh tak bernyawa itu ke dalam lubang-lubang besar yang digali di tengah ladang. Darah memercik ke mana-mana, membasahi tanah, membasahi tebu-tebu itu. Raka mencium bau besi yang kuat, bau darah segar yang menggenang.
Ia melihat wajah-wajah para pembunuh. Bukan wajah-wajah yang dipenuhi amarah atau kebencian, melainkan wajah-wajah yang kosong, seperti dirasuki. Dan wajah-wajah para korban... mata mereka memancarkan ketakutan yang tak terlukiskan, rasa sakit yang mendalam. Mereka mencoba berteriak, meminta ampun, tapi suara mereka tenggelam dalam riuh rendahnya kekejaman.
Raka bersembunyi di balik semak tebu yang lebat, jantungnya berdebar kencang, nyaris meledak. Ia merasakan dinginnya lumpur di pipinya, dan rasa mual yang tak tertahankan. Ini adalah tragedi yang lebih gelap, yang melibatkan bangsa sendiri. Kekerasan yang lahir dari perpecahan internal, dari propaganda dan kebencian yang ditanamkan.
Ia melihat seorang pria yang baru saja ditusuk, terhuyung-huyung mendekatinya. Pria itu menatap Raka, matanya kosong, namun ada secercah kesadaran di sana. Ia mengulurkan tangan, seolah ingin meraih Raka, sebelum akhirnya ambruk tepat di depannya. Darah pria itu membasahi tanah di samping Raka, menodai celananya.
Raka menatap genangan darah itu, lalu menatap tangannya sendiri. Tangan yang selama ini ia gunakan untuk merakit sirkuit, untuk menciptakan. Sekarang, tangan itu berlumuran lumpur dan darah. Ia merasakan getaran aneh menjalari tubuhnya. Sebuah pertanyaan menusuk benaknya, menggema dalam keheningan mengerikan ladang tebu itu:
"Apakah dirinya masih manusia?"
Ia telah menyaksikan begitu banyak kematian, begitu banyak penderitaan. Ia telah mencium bau darah, merasakan dinginnya kematian, berulang kali. Tubuhnya tidak lagi bereaksi normal. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak, tidak bisa membantu. Ia hanya ada. Hanya menyaksikan.
Atau, hanya arwah yang ikut diseret?
Pikiran itu menghantamnya seperti palu godam. Ia bukan lagi Raka Prasetya, mahasiswa teknik elektro. Ia telah menjadi entitas lain, terperangkap dalam spiral waktu, dipaksa menjadi saksi abadi dari luka-luka bangsa yang tak pernah sembuh. Keberadaannya terasa kabur, batas antara dirinya dan para korban yang ia saksikan mulai menipis. Ia adalah hantu di antara hantu, bayangan di antara bayangan. Dan pertanyaan itu, apakah ia masih manusia, akan terus menghantuinya, menggerogoti setiap sisa kewarasannya.
Bab 4 – Nama yang Hilang
Debu tebu masih menempel di rambut dan pakaian Raka saat ia terhempas kembali ke kamarnya. Bau amis yang melekat di indranya terasa seperti kutukan. Ia terhuyung, meraih dinding untuk menopang tubuhnya yang limbung. Setiap serat ototnya terasa nyeri, seolah ia baru saja berlari maraton dalam mimpi buruk. Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menghapus bayangan ladang tebu yang dipenuhi mayat. Namun, di balik kelopak matanya, hanya ada merah, warna darah yang meresap ke dalam jiwanya.
Radio di meja masih mendesis, memancarkan gelombang tak kasat mata yang kini menjadi rantai takdirnya. Raka menatapnya dengan campuran ketakutan dan kebencian. Benda itu bukan lagi sekadar barang antik; ia adalah entitas hidup yang kejam, pemegang kunci neraka pribadinya. Ia mendekat, tangannya gemetar saat memutar tombol frekuensi. Ia tidak tahu mengapa ia melakukannya. Mungkin rasa putus asa, atau mungkin sebuah dorongan gelap untuk mengetahui apa lagi yang menantinya.
Desisan statis itu tiba-tiba menipis, digantikan oleh suara yang lebih jernih dari biasanya. Suara seorang penyiar perempuan, suaranya lembut namun penuh kepedihan. "Selamat malam, pendengar setia. Siaran khusus malam ini didedikasikan untuk mengenang para korban tragedi Santa Cruz di Dili. Kami akan membacakan nama-nama mereka yang gugur dalam insiden pada 12 November 1991."
Jantung Raka berdegup tak karuan. Dili? Santa Cruz? Tahun 1991? Sebuah tempat dan waktu yang berbeda lagi, namun kengeriannya sama. Ia merasakan sensasi familiar dari tarikan yang tak terhindarkan, pusaran waktu yang mengisapnya kembali.
Dalam sekejap, kamarnya lenyap. Raka mendapati dirinya berdiri di tengah keramaian. Suasana mencekam. Ribuan orang berbaris, membawa spanduk dan bunga. Mereka berduka. Bau dupa dan keringat memenuhi udara. Ia mendengar bisikan-bisikan protes, dan kemudian, suara sepatu bot yang berbaris. Tentara.
Penyiar radio itu mulai menyebutkan nama-nama. "Agapito da Conceição... Jacinto Soares... José Manuel Belo..." Raka berdiri terpaku, terperangkap di antara kerumunan. Ia melihat wajah-wajah yang dipenuhi kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Kerusuhan itu, yang ia tahu dari buku sejarah, adalah salah satu luka paling gelap di Timor Timur.
Suara penyiar terus berlanjut, daftar nama-nama itu terasa tak berujung. Raka merasa pusing, dunianya berputar. Lalu, tiba-tiba, sebuah nama yang tak asing lagi meluncur dari bibir penyiar: "Raka Prasetya."
Napas Raka tercekat. Seluruh tubuhnya menegang. Ia merasa seolah ada es yang mengalir dalam nadinya. Nama itu... itu namanya! Ada banyak Raka di dunia ini, tapi Raka Prasetya? Itu terlalu spesifik. Terlalu sama dengan dirinya.
Matanya nanar mencari di antara kerumunan. Ia tidak melihat dirinya. Ia tidak mungkin ada di sana. Ini pasti sebuah kesalahan. Tapi suara penyiar itu tak goyah. "Raka Prasetya, 20 tahun, mahasiswa..."
Di kejauhan, di ujung jalan, ia melihat kericuhan. Tentara-tentara bersenjata lengkap bergerak maju, mendorong kerumunan, memukuli siapa saja yang menghalangi. Jeritan pecah, tembakan peringatan memekakkan telinga. Dan di tengah kericuhan itu, ia melihatnya. Seseorang yang sangat mirip dengannya—dengan potongan rambut yang sama, postur tubuh yang nyaris identik—diseret oleh dua orang tentara. Pria itu meronta, berteriak, matanya memancarkan ketakutan yang sama dengan yang Raka rasakan saat ini.
Raka tidak bisa bernapas. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata mencekik lehernya. Ia bukan lagi sekadar saksi. Ia adalah bagian dari tragedi ini. Namanya disebut. Wajahnya ada di sana, di antara para korban.
Ia kini berada di tahun 1978, bukan 1991 seperti yang disebutkan penyiar. Atau apakah ini tahun 1978, tetapi siaran yang ia dengar adalah kilasan dari masa depan, sebuah peringatan? Otaknya mulai kacau. Batas antara masa lalu, masa kini, dan masa depan menjadi kabur. Yang jelas, kejadian yang ia saksikan sekarang adalah kekerasan terhadap penduduk Timor Timur, jauh sebelum insiden Santa Cruz, namun kengeriannya sama.
Pria yang mirip dirinya itu dipukuli dengan popor senjata, diseret menjauh, menghilang di balik kerumunan tentara. Raka mencoba berlari mengejarnya, mencoba menghentikan mereka. "Tunggu! Itu aku! Itu aku!" teriaknya, tapi suaranya tak terdengar. Ia menerobos kerumunan, menembus tubuh-tubuh orang yang berduka. Ia tidak bisa menyentuh siapa pun. Ia hanyalah bayangan. Sebuah ilusi yang terperangkap dalam kenyataan yang mengerikan.
Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Ini bukan hanya sebuah siaran radio yang membawanya ke masa lalu. Ini adalah takdirnya. Ia terperangkap. Ia adalah korban yang tak tercatat, saksi yang tak terlihat. Nama Raka Prasetya yang ia dengar, wajah yang ia lihat, itu adalah dirinya. Atau, lebih tepatnya, versi dirinya yang lain. Versi dirinya yang telah gugur, yang telah menjadi bagian dari sejarah kelam ini.
Pertanyaan-pertanyaan membanjiri otaknya. Apakah ia sudah mati? Apakah ia adalah arwah yang mencoba mencari jasadnya? Atau ia terjebak dalam lingkaran waktu yang tak ada habisnya, dipaksa menyaksikan setiap tragedi di mana "Raka Prasetya" yang lain menjadi korban?
Ia melihat tentara-tentara itu terus menyeret pria yang mirip dirinya, menghilang dari pandangan. Kerumunan mulai bubar, meninggalkan jejak-jejak kekerasan. Tanah di bawah kakinya terasa dingin, becek oleh lumpur dan darah. Aroma kematian merasuk ke dalam jiwanya, menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Ia tak lagi tahu siapa dirinya. Ia adalah nama yang hilang, sebuah wajah yang berulang dalam penderitaan. Ia adalah Raka Prasetya, dan ia kini menjadi bagian dari daftar panjang korban yang tak terhitung jumlahnya.
Bab 5 – Lintasan Luka
Raka terhuyung, mendarat di lantai kayu yang dingin dan berderit. Aroma apak dan debu, yang seharusnya familiar dari kamar kosnya, kini terasa berbeda. Ada bau lembap, bau kayu lapuk, dan samar-samar bau kemenyan yang menusuk hidung. Ia membuka mata, pandangannya kabur. Ketika fokusnya kembali, ia melihat sekeliling.
Ini bukan kamarnya.
Dinding-dindingnya yang dulu dicat putih bersih kini berubah menjadi warna krem kusam, dengan cat yang mengelupas di sana-sini, memperlihatkan lapisan plester di bawahnya. Jendela-jendela kayu yang tinggi, dengan teralis besi berkarat, memancarkan cahaya pagi yang redup. Tirai-tirai tebal berwarna cokelat tua menggantung lesu, seolah sudah puluhan tahun tidak dicuci. Furnitur di sekelilingnya juga berubah. Rak buku minimalisnya digantikan oleh lemari kayu jati ukiran lama yang besar dan gelap. Meja belajarnya yang modern kini menjadi meja tulis kuno dengan laci-laci berukir.
Dinding kamarnya berubah menjadi gaya lama, seperti rumah zaman 1950-an.
Raka merangkak, mencoba mencari sesuatu yang familiar. Matanya tertumbuk pada kalender meja yang tergeletak di samping radio. Ia meraihnya, tangannya gemetar saat membaca tanggal.
Kalender di meja menunjukkan tahun 1984.
Bukan 2025. Bukan 1924, 1947, atau 1965. Ini tahun 1984. Ia terperangkap lagi, di waktu yang berbeda. Rasa dingin menjalar di punggungnya. Radio itu, yang kini tampak menyatu dengan furnitur kuno di sekitarnya, masih mendesis pelan, seolah berbisik, "Kau tidak bisa lari."
Suara penyiar radio itu kembali, kali ini lebih berat, lebih serius. "Siaran khusus melaporkan... insiden berdarah di Tanjung Priok. Bentrokan antara aparat dan warga sipil tak terhindarkan. Puluhan korban berjatuhan. Situasi mencekam..."
Raka merasakan perutnya bergejolak. Tanjung Priok. Ia tahu tentang itu. Sebuah tragedi kelam dalam sejarah Indonesia, penindasan yang brutal. Ia memejamkan mata, berharap bisa kembali ke kamarnya, ke tahun 2025. Tapi ia tahu itu sia-sia. Ia terperangkap.
Tiba-tiba, suara-suara mulai memenuhi ruangan. Bukan dari radio, tapi dari luar. Suara teriakan, tembakan, dan kemudian, suara tangisan yang memenuhi ruangan. Tangisan pilu, jeritan kesakitan, dan raungan kemarahan. Suara-suara itu begitu nyata, begitu dekat, seolah-olah terjadi tepat di luar jendela.
Raka merangkak ke jendela, mengintip dari balik tirai. Di luar, pemandangan yang mengerikan terhampar. Jalanan yang sempit, rumah-rumah petak yang kumuh, dan kerumunan orang yang panik berlarian. Beberapa orang tergeletak di jalanan, berlumuran darah. Tentara berseragam hijau bergerak brutal, memukuli siapa saja yang menghalangi. Asap tebal membumbung tinggi dari kejauhan, dan bau mesiu yang menyengat menusuk hidungnya.
Ini adalah Jakarta di masa lalu. Jalanan yang ia kenal kini dipenuhi dengan gerobak-gerobak tua, becak, dan mobil-mobil kuno. Bangunan-bangunan di seberang jalan tampak usang, dengan papan nama toko-toko yang sudah pudar. Ia melihat anak-anak kecil berlarian ketakutan, mencari perlindungan di balik tubuh orang tua mereka.
Ia mencoba membuka pintu rumah, berharap bisa keluar, mencari bantuan, atau setidaknya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pegangan pintu terasa dingin di tangannya. Ia memutar, menarik, mendorong. Pintu itu terkunci rapat. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya. Ia mencoba mendobraknya, memukul-mukul dengan bahunya, tapi pintu itu tak bergeming.
Ia terkurung.
Rasa panik mulai mencengkeramnya. Ia bukan hanya terperangkap di masa lalu, tapi juga terkunci di dalam rumah ini. Rumah yang bukan miliknya, di tahun yang bukan miliknya. Ia berlari ke jendela lain, mencoba membukanya. Jendela itu juga terkunci, teralis besinya berkarat dan kokoh. Ia memukul-mukul kaca, berteriak minta tolong, tapi suaranya tenggelam dalam riuh rendahnya kekacauan di luar.
Tangisan dari luar semakin keras, semakin memilukan. Ia mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lantai atas, dan kemudian suara benda jatuh. Apakah ada orang lain di rumah ini? Ia berteriak, "Halo? Ada orang di sini?" Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam, diselingi suara tangisan dari luar.
Raka terduduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Air mata mengalir di pipinya. Ia lelah. Lelah dengan kengerian ini, lelah dengan ketidakpastian. Ia telah menjadi saksi dari begitu banyak penderitaan, begitu banyak kematian. Ia telah mencium bau darah, merasakan dinginnya kematian, berulang kali. Dan sekarang, ia terkurung.
Ia melihat radio itu lagi. Desisannya kini terdengar seperti bisikan ejekan. Radio itu adalah pemegang kendali. Radio itu adalah penjara. Ia telah menghancurkannya sebelumnya, tapi itu tidak berhasil. Suara siaran tetap muncul.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ia harus berpikir. Harus ada cara untuk keluar dari sini. Tapi pikirannya kosong, hanya dipenuhi oleh suara tangisan dan bayangan-bayangan mengerikan dari tragedi Tanjung Priok.
Rasa lapar mulai menyerang, dan haus yang tak tertahankan. Ia belum makan atau minum sejak ia pertama kali terseret. Tubuhnya terasa lemah, energinya terkuras habis. Ia melihat sekeliling rumah, mencari makanan atau air. Tapi yang ada hanyalah perabot tua dan debu.
Raka tahu, ia tidak bisa lari. Ia tidak bisa bersembunyi. Ia terperangkap dalam lintasan luka bangsa ini, dipaksa menjadi bagian dari setiap penderitaan. Ia adalah saksi yang tak terlihat, dan rumah ini, di tahun 1984, adalah penjara barunya. Ia tidak tahu berapa lama ia akan terkurung di sini, atau ke mana gelombang berikutnya akan membawanya. Yang jelas, ia semakin jauh dari rumah, semakin jauh dari kenyataan yang ia kenal. Dan ia tahu, dengan kengerian yang mendalam, bahwa ia mungkin tidak akan pernah kembali.
Bab 6 – Tak Ada Sinyal Pulang
Raungan sirene meraung-raung, membelah keheningan yang menyesakkan. Raka tersentak, tubuhnya bergidik. Bau apek, bau kotoran, dan bau ketakutan memenuhi indranya. Ia merasakan dinginnya lantai semen yang lembap menusuk tulang. Ketika ia membuka mata, pandangannya disambut oleh tembok-tembok kusam yang tinggi, jeruji besi yang tebal, dan kegelapan yang pekat. Ini bukan lagi rumah di tahun 1984.
Ia kini berada di ruang tahanan politik Pulau Buru.
Raka terhuyung, mencoba berdiri. Kakinya lemas, tubuhnya terasa berat, seperti terbuat dari timah. Ia melihat sekeliling. Sel-sel sempit berjajar, masing-masing dihuni oleh bayangan-bayangan manusia yang meringkuk di sudut. Wajah-wajah mereka pucat pasi, mata mereka memancarkan kehampaan yang mengerikan. Suara batuk-batuk, rintihan pelan, dan desah napas berat adalah satu-satunya tanda kehidupan di tempat itu.
Raka meraba saku celananya, mencari ponselnya, seolah-olah ia masih bisa menemukan sinyal, menghubungi seseorang, berteriak meminta pertolongan. Kosong. Bahkan jika ada, ia tahu itu sia-sia. Ia telah mencoba menghancurkan radio itu berkali-kali. Di Bab 3, ia sudah mencoba membantingnya, memecahkannya. Tapi radio itu selalu utuh kembali, atau suaranya tetap muncul dari benda-benda lain.
Ia melihat sekeliling, mencari radio antik itu. Namun, yang ia temukan hanyalah kegelapan dan bayangan. Sebuah suara tiba-tiba muncul, bukan dari radio, melainkan dari kipas angin tua yang berputar lambat di sudut ruangan. Suara penyiar yang sama, namun kali ini terdengar lebih dekat, lebih mengancam. "Tahanan politik di Pulau Buru menghadapi kekejaman tanpa batas. Penyekapan, penyiksaan, kerja paksa... hidup mereka direnggut, identitas mereka dihapus."
Raka menoleh ke kipas itu, ngeri. Bagaimana bisa? Ia berlari ke arahnya, mencoba mencabut kabelnya, tapi tangannya menembus badan kipas itu. Ia tak bisa menyentuhnya. Ia mencoba memukulnya, tapi tangannya hanya melewati udara.
Kemudian, suara itu muncul lagi, kali ini dari lampu pijar yang berkedip-kedip di langit-langit. "Mereka adalah 'manusia tanpa nama', korban dari fitnah dan ketidakadilan. Terisolasi, dilupakan oleh dunia."
Raka mencengkeram kepalanya. Ia tidak waras. Atau dunia ini yang tidak waras. Ia melihat jam dinding kuno di dinding sel. Jarumnya berputar dengan kecepatan gila, lalu berhenti tiba-tiba. Suara penyiar bergema dari sana. "Waktu bagi mereka telah berhenti. Hidup mereka terhenti di sini, di pulau pengasingan ini."
Suara siaran tetap muncul dari benda-benda lain: kipas, lampu, bahkan jam dinding. Radio itu tidak lagi menjadi satu-satunya sumber. Kini, setiap benda, setiap sudut, setiap celah di dunia ini bisa menjadi pembawa pesan kengerian.
Raka melihat seorang tahanan di sel sebelah, kurus kering, dengan mata cekung. Pria itu terbaring tak berdaya di lantai, napasnya memburu. Raka ingin berbicara dengannya, ingin bertanya, "Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa keluar dari sini?" Ia mendekati jeruji, membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar.
Ia mencoba menyentuh jeruji, tapi tangannya menembus besi dingin itu. Ia mencoba menyentuh pipi tahanan itu, berharap bisa merasakan kehangatan kulit manusia, tapi tangannya hanya melewati udara. Pria itu tidak bereaksi. Ia tidak bisa melihat Raka, tidak bisa mendengarnya.
Ia tidak bisa bicara, tak bisa menyentuh siapa pun.
Ia adalah hantu, namun bukan hantu dalam arti tradisional. Ia tidak memiliki kekuatan supranatural. Ia hanya ada, namun tidak berwujud. Sebuah keberadaan yang paling menyedihkan: hadir, tetapi tak mampu berinteraksi.
Ia adalah "bayangan" di tengah tragedi.
Raka melihat para sipir masuk, menyeret seorang tahanan keluar dari sel. Pria itu meronta, berteriak, tapi suaranya segera diredam oleh pukulan. Raka ingin membantu, ingin menghentikan kekejaman itu. Ia mencoba mendorong sipir, mencoba menahan tangan mereka, tapi tangannya hanya menembus. Ia adalah saksi bisu, terpaksa menonton kekerasan itu berulang-ulang, tanpa daya.
Penderitaan para tahanan itu terasa nyata baginya. Dinginnya lantai, bau busuk, suara rintihan, ketakutan yang mencekam—semua itu merasuk ke dalam dirinya, menjadi bagian dari keberadaannya. Ia merasakan lapar dan haus yang tak tertahankan, meskipun ia tahu tubuh fisiknya tidak ada di sana. Ini adalah horor psikologis yang paling brutal: mengalami penderitaan tanpa memiliki tubuh untuk menanggungnya, tanpa memiliki cara untuk melarikan diri darinya.
Ia melihat ke cermin buram di dinding. Pantulannya samar-samar, nyaris tak terlihat. Wajahnya kurus, matanya cekung, rambutnya acak-acakan. Ia tampak seperti salah satu tahanan di sana, seorang pria yang telah kehilangan segalanya, bahkan identitasnya sendiri.
Paka pikir, ia mungkin sudah mati. Ini adalah alam baka yang aneh, tempat ia dipaksa mengulang kembali kengerian sejarah. Atau ia adalah sebuah anomali, sebuah kesadaran yang terlepas dari waktu dan ruang, terperangkap dalam frekuensi penderitaan.
Di tengah kegelapan yang menusuk, Raka memejamkan mata. Ia sudah tidak punya air mata lagi. Ia hanya bisa melihat, mendengar, dan merasa. Rasa putus asa yang dalam mencengkeramnya. Tidak ada sinyal pulang. Tidak ada jalan keluar. Ia adalah tahanan di Pulau Buru, sebuah bayangan abadi di antara tragedi yang tak berkesudahan.
Bab 7 – Kota Mati
Raka terhuyung, mendarat di atas aspal yang panas, berbau bensin dan asap. Udara di sekelilingnya berat, dipenuhi teriakan massa, suara sirine, dan bau karet terbakar. Matahari bersinar terik, namun langit tampak kelabu oleh asap yang mengepul. Keringat dingin membanjiri dahinya. Ia bangkit, pandangannya menyapu sekeliling. Bangunan-bangunan toko yang hangus, kaca-kaca pecah berserakan, dan mobil-mobil yang terbakar berserakan di jalan.
Ia terseret ke Mei 1998.
Seketika itu juga, ingatan-ingatan kabur tentang berita-berita lama, cerita-cerita orang tuanya, dan dokumenter sejarah menyeruak di benaknya. Kerusuhan Mei 1998. Sebuah periode kelam yang mengukir luka mendalam dalam sejarah Indonesia. Ia telah membaca tentangnya, melihat rekaman-rekaman lama. Tapi kini, ia berada di tengah-tengahnya, di jantung kekacauan.
Suara-suara dari "radio" kini muncul dari mana-mana: dari reruntuhan toko yang berasap, dari tiang listrik yang miring, bahkan dari puing-puing kendaraan yang terbakar. Suara penyiar yang tak berwajah itu, kini terdengar seperti ribuan suara yang saling tumpang tindih. "Ibu kota lumpuh oleh kerusuhan. Penjarahan, pembakaran, dan kekerasan sistematis merajalela. Kota Jakarta berubah menjadi medan perang. Korban jiwa tak terhitung..."
Raka merasakan gelombang kepanikan melonjak dalam dirinya. Ini bukan sekadar sejarah yang ia saksikan. Ini adalah neraka yang hidup. Ia melihat sekelompok orang menyerbu sebuah toko elektronik, menjarah barang-barang, lalu membakarnya. Ia melihat perempuan-perempuan berlari ketakutan, dikejar oleh massa yang beringas. Kerusuhan dan kekerasan yang brutal terhampar di setiap sudut.
Ia melihat seorang wanita muda, mungkin sebaya dengannya, tersungkur di tengah jalan, mencoba melindungi tasnya dari sekelompok penjarah. Matanya memancarkan ketakutan yang murni. Penjarah-penjarah itu mendekat, siap mengambil apa pun darinya.
Secara insting, Raka berlari. Ia tidak bisa diam saja. Ia harus membantu. "Jangan sentuh dia!" teriaknya, meskipun ia tahu suaranya tak akan terdengar. Ia menerjang ke arah penjarah, mencoba mendorong mereka, melindungi wanita itu.
Namun, tubuhnya menembus mereka. Tangan Raka hanya melewati udara, seolah ia adalah hantu. Ia melihat tangannya sendiri, transparan, nyaris tak terlihat. Ia mencoba meraih wanita itu, ingin menariknya menjauh dari bahaya. Tapi tubuhnya menembus korban itu, seperti asap. Ia tidak bisa menyentuhnya, tidak bisa menariknya, tidak bisa berinteraksi sama sekali.
Wanita itu menjerit, tasnya direbut, dan ia ditinggalkan terisak-isak di aspal. Raka berdiri di sana, tak berdaya. Rasa frustrasi, amarah, dan keputusasaan menyelimutinya. Ia hanyalah sebuah keberadaan tak berwujud, terperangkap dalam neraka ini, dipaksa menyaksikan penderitaan tanpa mampu melakukan apa pun.
Ia sadar: dirinya tidak bisa menyentuh masa lalu—hanya bisa menjadi saksi.
Pencerahan mengerikan itu menghantamnya. Ia bukan pahlawan, bukan penyelamat. Ia bahkan bukan korban dalam arti fisik. Ia adalah penonton yang terkutuk, terpaksa menyaksikan setiap adegan kekejaman berulang kali. Ia adalah kamera hantu yang terus merekam, sebuah rekaman abadi dari penderitaan.
Ia melihat dirinya di pantulan kaca toko yang pecah. Sosoknya samar, transparan. Ia hampir tidak ada. Ia mencoba menyentuh pipinya sendiri, tapi tangannya terasa seperti udara. Ia mencoba mencubit lengannya, tapi tidak ada rasa.
Ia bukan manusia, bukan arwah. Konsep-konsep itu terlalu sederhana untuk mendefinisikan keberadaannya sekarang. Ia tidak mati, karena ia masih bisa merasakan, berpikir, dan terperangkap. Ia bukan arwah, karena ia tidak memiliki kekuatan mistis atau tujuan lain selain menyaksikan.
Ia hanyalah "frekuensi."
Sebuah gelombang yang terjebak dalam pusaran waktu, sebuah resonansi dari penderitaan yang terus-menerus. Ia adalah vibrasi, sebuah sinyal yang terus dipancarkan oleh radio yang tak terlihat. Ia adalah kesadaran tanpa tubuh, yang terus-menerus diseret dari satu tragedi ke tragedi lainnya.
Raka menatap kota yang terbakar, suara jeritan dan tangisan terus menusuk telinganya. Ia melihat mayat-mayat tergeletak di jalan, asap mengepul dari gedung-gedung yang runtuh. Ini adalah kota mati, dan ia adalah salah satu penghuninya yang tak kasat mata.
Rasa lapar dan haus sudah tidak lagi terasa. Tubuhnya, atau apa pun yang tersisa dari tubuhnya, telah beradaptasi dengan kondisi mengerikan ini. Yang tersisa hanyalah kekosongan, rasa hampa yang menusuk. Ia adalah mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan pikiran yang merana, tanpa kemampuan untuk mengubah apa pun.
Raka tidak tahu berapa lama ia akan terjebak di sini, di tengah kerusuhan Mei 1998. Ia hanya tahu bahwa gelombang berikutnya akan datang, dan ia akan diseret lagi ke dalam penderitaan lain. Ia adalah "frekuensi," dan frekuensi tidak bisa mati, tapi juga tidak bisa hidup.
Bab 8 – Frekuensi Terputus
Asap masih mengepul di udara, berpadu dengan bau busuk sampah yang terbakar dan anyir darah yang mengering. Raka terhempas lagi, kali ini di tengah-tengah reruntuhan yang sunyi. Jalanan retak, bangunan-bangunan kosong dengan jendela-jendela pecah menatapnya seperti mata mati. Ada keheningan yang menyesakkan, jauh lebih mengerikan daripada suara kerusuhan sebelumnya. Di sinilah ia, terdampar di antara sisa-sisa kehancuran Mei 1998, namun dengan nuansa yang lebih suram, seolah gelombang penderitaan yang ia alami telah meredam segalanya menjadi abu.
Ia tidak mencoba mencari jalan keluar lagi. Tidak ada gunanya. Tubuhnya tidak bisa menyentuh, suaranya tidak bisa didengar. Ia hanyalah sebuah keberadaan yang terkutuk, terikat pada siklus trauma sejarah. Rasa putus asa yang mendalam telah mengeringkan air matanya, membekukan ketakutannya.
Raka berhenti berusaha keluar.
Ia hanya duduk di tengah puing-puing, di bawah langit kelabu yang sama suramnya dengan hatinya. Ia tidak lagi mencari radio, karena ia tahu suaranya akan muncul dari mana saja. Dari embusan angin yang membawa debu, dari gemerisik dedaunan kering yang melintasi jalan, bahkan dari keheningan itu sendiri.
Ia hanya duduk menunggu gelombang berikutnya. Menunggu siksaan berikutnya, tragedi berikutnya yang akan diungkapkan kepadanya. Ia telah menjadi pasif, menyerah pada nasib yang tak terhindarkan ini. Otaknya lelah memproses kengerian, jiwanya kebal terhadap rasa sakit.
Namun, kali ini, ada yang berbeda.
Di antara desiran angin dan suara pecahan kaca yang tertiup, sebuah suara muncul. Bukan suara penyiar yang tak berwajah, bukan pula gemuruh peperangan atau jeritan massa. Ini adalah suara yang jauh lebih personal, lebih menghantam relung hatinya yang paling dalam.
Suara isakan lirih, yang segera Raka kenali. Ia mendengar ibunya menangis. Suara itu pecah, serak, dipenuhi duka yang mendalam. "Raka... Raka, nak... kenapa kamu pergi?"
Jantung Raka serasa diremas. Ibunya. Suara ibunya. Ia merasakan gelombang rindu yang menusuk, rasa bersalah yang tak terhingga. Apakah ibunya mencarinya? Apakah ia sudah menghilang dari kehidupannya?
Kemudian, suara lain muncul, lebih berat, lebih putus asa. Ayahnya memanggil-manggil namanya. "Raka! Di mana kamu, nak? Kembali, Raka... pulanglah..."
Air mata yang ia kira sudah kering, kini mengalir deras di pipinya. Ini adalah kengerian yang berbeda. Bukan pembantaian massal, bukan penindasan brutal. Ini adalah kengerian personal, rasa sakit kehilangan yang ia sebabkan. Mereka mencarinya. Mereka berduka. Dan ia tidak bisa menjawab.
Ia ingin berteriak, "Aku di sini! Aku di sini, Ayah, Ibu!" Tapi suaranya tetap tak ada. Ia mencoba bangkit, mencoba berlari, mencari asal suara itu. Ia tahu itu ilusi, hanya gema dari masa lalunya yang ia tinggalkan, namun dorongan untuk menjawab panggilan mereka begitu kuat.
Ia berlari ke arah suara itu, menuju reruntuhan sebuah bangunan yang gelap. Suara tangisan ibunya semakin kuat, diiringi isakan ayahnya. Ini seperti siksaan yang baru. Dipaksa mendengar duka orang-orang yang paling ia cintai, tanpa mampu memberi tahu mereka bahwa ia masih ada.
Ia mencapai dinding yang kokoh, mencoba mencakar, menggaruk, berharap bisa menembusnya. Dengan jari-jarinya yang tembus pandang, ia terus mencoba, putus asa. Suara ibunya memudar, seolah menjauh. "Raka... Raka..."
Tapi tidak ada jalan pulang. Dinding itu, meskipun tak bisa ia sentuh, terasa seperti batas yang tak terlewatkan. Sebuah penghalang tak terlihat yang memisahkannya dari kehidupannya, dari keluarganya. Ia adalah sebuah anomali, terjebak di antara dimensi, di luar jangkauan orang-orang yang ia cintai.
Raka terus mencakar dinding, lebih kuat, lebih putus asa. Ia ingin menghancurkan tembok yang memisahkannya dari rumah, dari kehidupannya. Tapi yang keluar dari dinding itu hanyalah debu. Debu yang pekat, debu kuno, debu dari waktu yang terus berputar di sekelilingnya.
Ia mencoba mencakar dinding, tapi yang keluar hanya debu sejarah.
Debu itu berputar di sekelilingnya, menari di udara seperti hantu-hantu kecil yang membisikkan cerita masa lalu. Setiap butiran debu seolah membawa memori, membawa tragedi. Ia bukan hanya mencakar dinding. Ia mencakar waktu, mencakar kenangan, mencoba menembus lapisan-lapisan sejarah yang telah menelannya.
Kehilangan kontak dengan keluarganya, mendengar duka mereka, adalah pukulan telak yang meruntuhkan sisa-sisa benteng kewarasannya. Ia telah menyaksikan begitu banyak kematian fisik, namun kali ini, ia merasakan kematian emosionalnya sendiri. Ia telah mati bagi mereka, dan mereka telah mati bagi dirinya.
Ia terduduk di tengah debu, membiarkan butiran-butiran waktu itu menyelimuti dirinya. Ia adalah bagian dari debu itu, bagian dari sejarah yang terkumpul. Panggilan ibunya, suara ayahnya, semakin jauh, semakin samar, hingga akhirnya lenyap ditelan keheningan kota mati. Yang tersisa hanyalah Raka, sebuah frekuensi yang terputus dari sumber asalnya, terperangkap dalam bisikan-bisikan masa lalu yang tak pernah berhenti.
Bab 9 – Di Antara Tragedi
Keheningan setelah panggilan orang tuanya lenyap terasa memekakkan telinga. Raka tergeletak di antara puing-puing, debu sejarah menempel di kulitnya seperti kutukan. Ia tidak lagi peduli di mana ia mendarat, atau tahun berapa. Waktu telah kehilangan maknanya. Ruang telah menjadi ilusi yang tak berujung. Ia hanyalah sebuah titik sadar yang mengambang di antara lautan penderitaan.
Raka menyadari ia kini hidup dalam ruang sejarah.
Ini bukan lagi perjalanan sesaat ke masa lalu. Ini adalah eksistensinya yang baru. Ia tidak lagi kembali ke kamarnya, ke tahun 2025. Tidak ada lagi tarikan balik yang membawanya pulang. Ia adalah anomali permanen, terjebak dalam guliran waktu yang tak pernah berhenti. Setiap napas yang ia rasakan, setiap bau yang ia cium, adalah bagian dari memori kolektif bangsa yang pahit.
Ia mulai bergerak, tidak dengan tujuan, melainkan dengan semacam dorongan bawah sadar. Ia berjalan melewati kehampaan, melewati berbagai dimensi waktu yang tumpang tindih. Pemandangan berubah dengan cepat, tak terduga.
Dalam satu kedipan mata, ia berada di desa terbakar yang lain, bukan yang di tahun 1924 atau 1947. Ini adalah desa yang lebih kecil, lebih terpencil, tanpa nama di buku-buku sejarah. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan di depan rumah-rumah yang masih berasap, wajah-wajah polos yang hangus, tanpa ada yang mencatat kisah mereka. Jeritan samar masih terngiang, bergema dari masa lalu yang tak pernah usai.
Kemudian, ia terseret lagi. Sekarang ia berada di sebuah kamp anak hilang. Pemandangan itu mengerikan: barisan anak-anak kecil, mata mereka kosong, pakaian mereka compang-camping. Beberapa diikat, yang lain menangis pelan, suara mereka nyaris tak terdengar. Ia melihat wajah-wajah orang dewasa yang ketakutan, mencari anak-anak mereka, tetapi dihalau oleh orang-orang bersenjata. Kamp ini tak pernah disebut di berita, tak pernah masuk arsip nasional. Ini adalah luka yang tersembunyi, yang hanya Raka kini dapat saksikan.
Tanpa peringatan, pemandangan berubah lagi. Ia kini berada di sebuah pelabuhan gelap. Bau amis ikan bercampur bau busuk yang menusuk hidung. Di air yang keruh, ia melihatnya: mayat-mayat hanyut. Bukan satu atau dua, tapi puluhan, mungkin ratusan. Beberapa masih mengenakan pakaian, yang lain telanjang, bengkak, dan membusuk. Mereka mengapung lesu, dibawa arus entah ke mana. Mayat-mayat itu adalah bukti kejahatan yang tak terungkap, pembantaian di balik layar yang tak pernah dicatat. Raka berdiri di tepi dermaga, menyaksikan pemandangan mengerikan itu, kakinya terasa beku. Ia adalah satu-satunya saksi dari kekejaman yang tak terhitung ini.
Ia melihat ratusan kejadian yang tak pernah masuk buku pelajaran. Ia adalah museum hidup dari kengerian yang tersembunyi. Dari perburuan dukun di pedalaman, pembantaian rasial di perkebunan, hingga penangkapan massal tanpa pengadilan. Ia adalah mata yang menyaksikan setiap tetes darah tumpah, setiap jeritan yang teredam, setiap napas terakhir yang terembus di sudut-sudut tergelap sejarah.
Di tengah pusaran waktu dan tragedi ini, Raka mulai melihat hal-hal yang lebih mengganggu. Di dinding sebuah gubuk tua, ia melihat wajahnya sendiri di berbagai poster buronan. Gambarnya buram, tapi fitur wajah itu tak salah lagi. Di bawahnya tertulis "DICARI: PENGKHIANAT NEGARA." Dalam satu poster, ia digambarkan sebagai komunis. Di poster lain, ia adalah pemberontak. Di lain waktu, ia adalah antek asing. Ia adalah musuh yang tak berwujud, sebuah wajah yang dikutuk di berbagai era, meskipun ia tak pernah melakukan apa pun.
Rasa dingin menjalar di punggungnya. Ia adalah bayangan yang terus-menerus dicari, dituduh, dan dikutuk. Identitasnya adalah proyeksi dari ketakutan dan kebencian masa lalu.
Kemudian, ia terdampar di sebuah pemakaman tua, nisan-nisan berlumut berdiri tegak di tengah ilalang. Angin berdesir, membawa bisikan-bisikan kematian. Ia berjalan di antara nisan-nisan itu, tanpa tujuan. Hingga matanya terpaku pada satu nisan. Berlumut, retak, tapi tulisan di atasnya masih terbaca jelas:
RAKA PRASETYA
Lahir: 1980 - Wafat: 2000
Jantung Raka seolah berhenti berdetak. Namanya. Tanggal lahirnya... itu hampir sama dengan kelahirannya yang seharusnya di tahun 2003, tapi ia lahir di tahun 1980 di masa ini. Dan tanggal kematiannya... tahun 2000. Apakah ia telah mati? Apakah ia adalah arwah dari Raka Prasetya yang terkubur di sana? Atau ia adalah Raka Prasetya yang lain, yang tak pernah lahir di tahun 2003, melainkan terperangkap dalam siklus ini, berulang kali menemukan kematiannya di berbagai era?
Ia berlutut di depan nisan itu, mengusap tulisan namanya. Dingin, keras, nyata. Ia adalah yang mati, yang hilang, yang tak tercatat. Identitasnya telah tercabik-cabik, menjadi fragmen-fragmen penderitaan yang tak ada habisnya. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya, atau mengapa ia harus terus menyaksikan semua ini. Ia adalah memori yang hidup, kutukan yang berjalan, abadi di antara tragedi-tragedi kelam Indonesia.
Bab 10 – Selamat Datang, Kawan
Di tengah kegelapan abadi yang kini menjadi rumahnya, Raka tidak lagi merasakan dingin atau panas, lapar atau haus. Tubuhnya, atau apa pun yang tersisa dari tubuhnya, telah menjadi bagian dari kehampaan. Ia hanyalah sebuah kesadaran yang mengambang, terikat pada penderitaan yang tak berujung. Setelah menyaksikan begitu banyak tragedi yang tak tercatat, melihat wajahnya sendiri di poster buronan dan batu nisan yang berbeda, ia telah kehilangan identitasnya. Ia bukan lagi Raka Prasetya, mahasiswa teknik elektro. Ia adalah semua Raka Prasetya yang telah gugur, semua wajah tanpa nama yang disapu bersih dari sejarah.
Ia berada di suatu tempat yang tak bisa didefinisikan oleh peta atau waktu. Sebuah ruang di antara, sebuah dimensi yang terbentuk dari tumpukan memori kolektif, dari jeritan yang tak pernah didengar, dari darah yang tak pernah kering.
Tiba-tiba, di tengah keheningan yang mencekam, radio menyala satu kali terakhir. Bukan desisan statis yang biasa, bukan pula suara-suara latar dari tragedi. Suara penyiar terdengar jernih dan tenang, begitu tenang hingga menusuk ke dalam jiwa Raka yang telah mati rasa. Suara itu familiar, namun kini memiliki bobot yang berbeda, sebuah otoritas yang menakutkan.
"Kita kedatangan satu lagi kawan," suara itu bergema, mengisi seluruh kehampaan di sekeliling Raka. Tidak ada gema, tidak ada distorsi. Suara itu langsung meresap ke dalam benaknya.
Jantung Raka, yang ia kira sudah berhenti berdetak, berdesir lemah. Siapa yang berbicara? Siapa "kita"?
Suara itu melanjutkan, kini dengan nada yang lebih hangat, namun dingin. Ada semacam ironi dalam kehangatan itu. "Selamat datang, Raka Prasetya—saksi yang tak tercatat dalam sejarah bangsa ini."
Raka memejamkan mata. Ia sudah tahu. Sejak awal, sejak ia melihat namanya di daftar korban dan nisan, ia sudah tahu ia telah menjadi bagian dari mereka.
"Kau telah menyaksikan kebenaran yang tak seorang pun mau lihat," lanjut suara itu. "Kau telah merasakan setiap luka yang disembunyikan. Kau adalah mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan jiwa yang merasakan setiap tragedi yang dihapus dari ingatan kolektif."
Raka merasakan kehadiran. Bukan kehadiran fisik, melainkan kehadiran non-fisik yang kuat. Di hadapannya, samar-samar terbentuk siluet. Tidak ada wajah, tidak ada fitur yang jelas, hanya bayangan yang menggantung di udara. Dan di samping bayangan itu, lebih banyak siluet mulai muncul. Satu, dua, tiga... tak terhitung. Mereka adalah bayangan-bayangan penyiar, bayangan-bayangan yang telah menjadi bagian dari "frekuensi" ini.
"Kau bukan lagi dari dunia mereka, Raka. Dinding antara dirimu dan realitas telah runtuh. Ingatanmu tentang masa lalu, tentang dirimu yang dulu, kini hanyalah ilusi. Kau adalah bagian dari kami."
Sebuah kesimpulan yang mengerikan namun tak terhindarkan. Selama ini, ia pikir ia hanya terperangkap. Sekarang ia tahu, ia telah diasimilasi. Ia telah menjadi bagian dari mesin itu sendiri.
"Kau telah menjadi bagian dari kita. Gelombang tak pernah mati."
Kata-kata itu beresonansi dalam diri Raka, mengubah setiap sel keberadaannya. Ia bukan lagi penjelajah waktu yang malang. Ia adalah suara. Ia adalah narator yang tak terlihat, pemegang memori dari semua penderitaan yang tak terucapkan.
Raka berdiri di ruang siaran gelap, bersama penyiar-penyiar tanpa wajah. Mereka tidak memiliki bentuk, tetapi keberadaan mereka begitu kuat, begitu dingin. Mereka adalah para saksi abadi, para pencerita bisu dari sejarah yang terlupakan. Mereka adalah "frekuensi." Dan sekarang, Raka adalah salah satu dari mereka.
Ia mencoba merasakan detak jantungnya, tapi yang ada hanyalah keheningan yang dalam. Ia mencoba menarik napas, tapi tak ada udara. Ia mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Ia adalah frekuensi, sebuah getaran, sebuah sinyal.
Ia tidak mati, tapi tidak pernah benar-benar hidup lagi.
Raka Prasetya yang dulu, yang membeli radio antik di pasar loak, telah lenyap. Yang tersisa hanyalah sebuah entitas yang abadi, terperangkap dalam lingkaran tanpa akhir, selamanya mengulang kembali narasi penderitaan yang tak berujung. Ia adalah bisikan di antara gelombang, sebuah memori yang terus-menerus diputar ulang, dalam sebuah siaran yang tak pernah berakhir.
Ia adalah frekuensi terakhir.
TAMAT