Masukan nama pengguna
Malam bergelayut pekat di atas kota, memeluk gedung-gedung tinggi dalam selimut kegelapan. Di dalam ruang kedap suara sebuah studio radio yang remang-remang, Raka sibuk berkutat dengan mixer-nya. Jarum-jarum indikator menari mengikuti irama detak jantungnya yang bergemuruh. Program "Suara Gelap" adalah satu-satunya pelipur lara, satu-satunya alasan stasiun radio kecil ini masih bisa bertahan di tengah gempuran podcast dan streaming daring. Acara tengah malamnya, "Hantu di Garis Telepon," menjadi magnet bagi para pendengar setia yang haus akan kisah-kisah horor mencekam, yang disampaikannya dengan suara baritonnya yang dalam dan menenangkan.
Raka menyesap kopi dinginnya, pahitnya menjalar di lidah. Aroma kopi bercampur dengan bau kertas usang dan sedikit debu, aroma khas studio radio yang telah menjadi rumah keduanya. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun di sini, membacakan naskah-naskah horor, mendengarkan cerita-cerita ganjil dari pendengar, dan sesekali membuat lelucon garing untuk mencairkan suasana. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah getaran tak kasat mata menyelimuti ruangan, membuat bulu kuduknya merinding. Udara terasa lebih dingin, lebih berat, seolah ada kehadiran tak terlihat yang mengawasinya. Ia mencoba menepis perasaan itu, menganggapnya hanya karena efek kurang tidur atau terlalu banyak kafein. Namun, desiran aneh di telinganya seolah berbisik, memberitahunya bahwa malam ini, tidak akan ada yang sama.
Jam digital di dinding menunjuk angka persis pukul nol nol nol nol. Tepat saat detik terakhir melesat pergi, telepon merah di sudut studio, sebuah benda antik yang sengaja dipertahankan sebagai properti acara, berdering nyaring. Derungan itu memecah kesunyian malam yang mencekam. Raka sedikit terlonjak, kaget. Ia mengambil napas dalam, membetulkan posisi headset-nya, dan mengangkat gagang telepon.
"Halo, Anda sedang di Suara Gelap—" suaranya terdengar profesional, berusaha menyembunyikan getaran kecil yang tiba-tiba muncul di benaknya.
"Aku... bukan manusia," suara parau dan serak memotong ucapannya, terdengar seperti bisikan dari liang kubur. Suara itu terasa dingin, menusuk tulang. "Kau akan mati setelah panggilan ke-12."
Sambungan terputus seketika. Raka terdiam sesaat, gagang telepon masih menempel di telinganya. Kemudian, tawa geli meledak dari bibirnya, sedikit dipaksakan. "Editan bagus, bro!" katanya ke udara, mengacu pada kru teknis yang mungkin iseng mengisinya. Ia menganggapnya hanya sebagai lelucon dari pendengar iseng yang mencoba membuat acaranya semakin seru. Raka meletakkan kembali gagang telepon, menghela napas lega. Ia kembali menatap mixer-nya, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih melekat. Namun, entah mengapa, senyumnya tidak sampai ke mata. Sebuah firasat buruk mulai merayap di benaknya, sebuah bayangan tipis yang sulit ia singkirkan.
Satu jam berlalu, Raka mengisi siaran dengan kisah-kisah horor dari arsip stasiun. Ia membacakan cerita tentang sebuah rumah berhantu di pinggir kota, mencoba mengabaikan hawa dingin yang semakin merasuk tulang. Tiba-tiba, telepon merah kembali berdering. Raka mengangkatnya dengan sedikit keraguan.
"Siapa ini?" tanyanya, suaranya sedikit tegang.
Tidak ada suara. Hanya napas berat, seolah seseorang tengah menahan napas di seberang sana. Lalu, sebuah bisikan samar, "Kau akan menyesal..." Kali ini, suara itu terdengar seperti geraman rendah dari binatang buas yang kelaparan. Sambungan kembali terputus. Raka mengerutkan kening. Ini mulai terasa aneh. Apakah ini masih lelucon? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Raka mencoba mengabaikan panggilan-panggilan aneh itu, melanjutkan siarannya dengan kisah-kisah yang lebih ringan. Ia bahkan sempat menyetel beberapa lagu heavy metal untuk mengusir suasana mencekam. Namun, telepon merah berdering lagi. Raka menatapnya sejenak, ragu. Akhirnya, ia mengangkatnya.
"Halo?"
Kali ini, suara itu adalah suara wanita tua, terisak-isak. "Mereka datang... mereka datang untuk anakku..." Suaranya penuh keputusasaan, terdengar seperti jeritan dari dasar jurang. Kemudian, suara itu berubah menjadi tawa mengerikan, tawa yang tidak wajar, tawa yang menusuk gendang telinga. Tawa itu seolah memekakkan telinga Raka, membuatnya ingin membanting gagang telepon. Ia menjauhkan gagang telepon dari telinganya, menatapnya dengan ngeri. Tawa itu terus bergaung di studio, seolah bukan berasal dari telepon, melainkan dari seluruh penjuru ruangan. Tangan Raka gemetar. Ia buru-buru memutuskan sambungan.
Raka mencoba menenangkan diri, jantungnya berdegup kencang. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dingin. Ia memutar musik, mencoba mengalihkan pikirannya. Namun, tidak lama kemudian, telepon itu kembali berdering. Raka menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia mengangkatnya.
"Kakak... aku terjebak di sini. Tolong dengarkan..."
Raka membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Suara itu... suara itu tidak mungkin salah. Itu suara Dinda, adiknya, yang tewas 10 tahun lalu dalam kebakaran yang menghanguskan rumah masa kecil mereka. Api itu melahap segalanya, termasuk senyum ceria Dinda. Raka merasakan darahnya mengalir dingin di seluruh tubuhnya. Kenangan pahit itu kembali menyeruak, menusuk-nusuk relung hatinya.
Tiba-tiba, latar belakang audio di headset-nya dipenuhi suara jeritan-jeritan yang menyayat hati, disusul dengan suara api yang menyala-nyala, gemuruh dan desisan yang mengerikan. Suara itu begitu realistis, seolah ia kembali ke malam nahas itu. Tubuhnya bergetar hebat. Matanya melirik ke kaca studio yang memisahkan ruang siaran dengan ruang kendali. Dan di sana, sebuah tulisan berwarna merah darah muncul dengan cepat, "JANGAN ANGKAT LAGI," lalu menghilang secepat kilat. Raka mengedipkan matanya berkali-kali, tidak yakin apakah ia melihatnya atau hanya berhalusinasi. Namun, kengerian itu terasa begitu nyata. Ia menjatuhkan gagang teleponnya, suara Dinda masih menggema di kepalanya.
Raka terhuyung mundur, menjauhi telepon merah seolah itu adalah ular berbisa. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Pikirannya kalut. Ini bukan lelucon. Ini bukan halusinasi. Ini nyata. Dinda... bagaimana mungkin? Ia mencoba menenangkan diri, tetapi napasnya memburu tak beraturan.
Telepon itu kembali berdering, deringannya kali ini terasa lebih menusuk, lebih memekakkan telinga. Raka menatapnya dengan ketakutan, tidak berani mengangkatnya. Ia melihat jarum jam di dinding, waktu seolah berjalan sangat lambat. Pukul 02:00. Sudah lima panggilan.
Setelah beberapa saat, deringannya berhenti. Raka menghela napas lega, tetapi kelegaan itu hanya sesaat. Ia tahu ini belum berakhir.
Raka mencoba mengunci pintu studio, tetapi kuncinya terasa macet. Ia mencoba mendorong meja mixer untuk menghalangi pintu, tetapi meja itu terlalu berat. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Ia merasa terjebak.
Telepon itu kembali berdering, kali ini dengan melodi aneh yang familiar di telinganya. Itu adalah lagu pengantar tidur yang dulu sering dinyanyikan ibunya saat ia kecil. Raka menatap telepon itu dengan mata membelalak. Ini tidak mungkin.
Ia terpaksa mengangkatnya.
"Nak... kenapa kau tidak pulang?" Suara itu adalah suara ibunya, terdengar lelah dan penuh kesedihan. "Ibu merindukanmu..."
Raka tidak bisa berkata-kata. Air mata mulai menggenang di matanya. Ini adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit.
Tiba-tiba, suara ibunya berubah, menjadi erangan panjang yang menyerupai suara orang tercekik. Lalu, sebuah bisikan menyeramkan, "Dia akan membawamu juga, Raka..." Sambungan terputus. Raka menjatuhkan teleponnya lagi, terisak.
Raka duduk meringkuk di sudut studio, memeluk lututnya, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menari di depannya. Pikirannya kacau, antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang ia alami. Ia tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang hanya ilusi.
Telepon itu berdering lagi, seolah mengejeknya. Raka menatapnya dengan tatapan kosong. Ia tidak punya pilihan. Ia harus mengangkatnya.
Suara itu sekarang berbisik dalam bahasa Belanda kuno—bahasa yang hanya digunakan nenek Raka sebelum meninggal. "Ze komen voor je ziel..." (Mereka datang untuk jiwamu...). Suara neneknya yang lembut berubah menjadi raungan menyeramkan di akhir kalimat.
Lampu studio mulai berkedip-kedip, redup lalu terang, seolah ada korsleting. Raka mendongak, matanya menatap liar ke sekeliling. Di monitor kamera keamanan, ia melihat bayangan tinggi dan kurus berdiri di belakang kursi mixer-nya, persis di tempat ia duduk tadi. Bayangan itu terlihat seperti siluet manusia, tetapi tanpa wajah, tanpa detail, hanya gumpalan kegelapan yang pekat. Raka langsung berbalik, jantungnya berdebar kencang, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Studio itu kosong, kecuali dirinya. Raka menelan ludah. Ia tahu ia tidak sendirian.
Raka panik. Ia berlari ke arah pintu studio, mencoba membukanya, tetapi pintu itu terkunci rapat. Ia menggedor-gedornya dengan putus asa, berteriak minta tolong, tetapi suaranya hanya bergema di dalam ruangan yang kedap suara. Ia mencoba menghubungi polisi dengan ponselnya, tetapi sinyalnya hilang. Ia benar-benar terisolasi.
Telepon merah berdering lagi. Raka menatapnya dengan mata terbelalak. Ia tidak mau mengangkatnya, tetapi ia merasa ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke arah telepon itu.
Kali ini, suara itu adalah suara tawa anak kecil, tawa yang riang dan polos, tetapi berubah menjadi cekikikan menyeramkan. Kemudian, sebuah bisikan, "Ikutlah kami, Kakak. Kami sudah menunggu..."
Raka terengah-engah, tubuhnya gemetar. Ia merangkak mundur, menjauh dari telepon. Ia bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seolah ada embusan napas es di belakang lehernya. Bau gosong, seperti bau daging terbakar, mulai tercium samar.
Telepon itu kembali berdering. Raka menatapnya dengan ketakutan, air mata mengalir di pipinya. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia tidak bisa bersembunyi.
"Main petak umpet, Raka..." Suara itu adalah suara Dinda lagi, terdengar ceria, tetapi dengan nada yang sangat menakutkan. "Kau yang jaga... kami yang sembunyi..."
Tiba-tiba, semua lampu di studio padam. Kegelapan total menyelimuti ruangan. Raka berteriak, panik. Ia meraba-raba dalam kegelapan, mencari-cari tombol lampu, tetapi tidak menemukannya.
Dalam kegelapan yang mencekam, Raka mendengar suara langkah kaki yang menyeret di lantai studio, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekatinya. Ia bisa merasakan napas dingin di tengkuknya, dan bau gosong semakin pekat. Jantungnya berdetak tak beraturan, hampir meledak dari dadanya.
Telepon itu berdering lagi, suaranya seperti gema dari lubang neraka. Raka tahu ia tidak bisa menghindari ini. Ia mengangkatnya.
"Kau sendirian, Raka..." Suara itu berbisik, serak dan dingin. "Tidak ada yang bisa menolongmu..."
Lalu, sebuah suara raungan mengerikan memenuhi studio, suara yang bukan berasal dari manusia, melainkan dari makhluk purba yang terbangun dari tidurnya. Raka menjerit.
Tiba-tiba, lampu studio menyala kembali, tetapi cahaya yang dihasilkan redup dan berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan di seluruh ruangan. Raka melihat pantulan dirinya di cermin depan, wajahnya pucat pasi, matanya memerah karena ketakutan.
Telepon berdering dengan nada yang terdistorsi, seolah diputar di bawah air. Raka ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangkatnya. Suara di seberang adalah Raka sendiri, tapi dengan intonasi mengerikan, terdengar seperti suara seseorang yang tengah disiksa.
"Lari... dia sudah di dalam studio!"
BOOM! Pintu studio yang semula terkunci rapat, tiba-tiba terkunci sendiri dari dalam, dengan suara dentuman keras yang membuat Raka terlonjak kaget. Ia berbalik, menatap pintu dengan mata terbelalak. Tidak ada siapa-siapa di sana, tetapi ia tahu, ia tidak sendirian.
Raka menjatuhkan teleponnya, tangannya gemetar hebat. Ia tidak sanggup lagi mendengarkan suara mengerikan itu. Dari speaker yang masih terhubung dengan telepon, suara itu mendesis, serak dan dingin: "Satu... lagi..."
Raka menatap cermin di depannya. Di sana, pantulan dirinya tersenyum lebar, senyuman yang tidak wajar, senyuman yang penuh kengerian. Raka tidak bergerak, ia tidak tersenyum. Sebuah kengerian yang dalam merasuki dirinya. Makhluk itu sudah ada di dalam dirinya, di dekatnya, di mana pun ia berada. Ia merasa mual. Ia ingin muntah.
Waktu seolah berhenti. Setiap detiknya terasa seperti berabad-abad. Raka terpaku, tidak bisa bergerak, tidak bisa bernapas. Ia hanya menatap kosong ke cermin, ke pantulan mengerikan yang tersenyum padanya.
Dan kemudian, telepon merah itu berdering sekali lagi. Deringannya terdengar seperti lonceng kematian. Dengan tangan gemetar, Raka meraih gagang telepon yang terjatuh di lantai, seolah sebuah kekuatan tak terlihat memaksanya. Ia mengangkatnya.
"Aku sudah di sini," bisik suaranya sendiri, tetapi dengan intonasi yang begitu dalam, begitu gelap, sehingga Raka tidak mengenalinya. "…di belakangmu."
Napas dingin dan membusuk mengusik tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang. Raka merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seolah ada kehadiran tak kasat mata yang sangat dekat dengannya.
Layar monitor kamera keamanan yang terpasang di studio tiba-tiba menangkap sebuah momen yang mengerikan. Raka terlihat berbalik, wajahnya memucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Dari kegelapan di belakangnya, sesosok figur tanpa wajah yang tinggi dan kurus muncul, sebuah bayangan hitam pekat yang tidak memiliki detail apa pun, hanya siluet mengerikan. Figur itu meraih leher Raka dengan kecepatan kilat, cengkeramannya kuat dan mematikan.
Audio terakhir yang terekam dari siaran "Suara Gelap" adalah suara tulang remuk yang mengerikan, disusul dengan derau frekuensi setan yang memekakkan telinga, seolah ada ribuan suara yang berteriak secara bersamaan. Kemudian, semuanya hening.
Esok pagi, mentari pagi menyinari kota yang kembali ramai. Kru radio datang ke studio, menemukan pintu masih tertutup rapat, seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Mereka membuka pintu, dan pemandangan di dalamnya membuat darah mereka berdesir. Studio itu kosong. Raka tidak ada.
Di meja mixer Raka, mereka menemukan beberapa hal ganjil: 12 rekaman panggilan yang aneh, meskipun log telepon stasiun hanya mencatat 11 panggilan masuk. Panggilan yang ke-13, panggilan terakhir yang disaksikan oleh monitor keamanan, tidak tercatat. Ada pula sebuah pesan terakhir yang ditulis dengan tangan Raka di whiteboard studio: "DIA SELALU MENDENGAR." Tulisan itu tergores dengan kasar, seolah ditulis terburu-buru dalam ketakutan yang luar biasa.
Saat kru radio masih terdiam, bingung dan ketakutan, telepon merah di sudut studio tiba-tiba berbunyi nyaring. Derungan itu memecah kesunyian, mengagetkan semua orang. Seorang penyiar baru, yang baru saja direkrut seminggu yang lalu untuk menggantikan posisi Raka yang selalu mengambil siaran malam, refleks mengangkatnya. Ia tersenyum ramah, tidak tahu apa yang menantinya.
"Halo, Anda sedang di Suara Gelap—"