Masukan nama pengguna
Bab 1: Radio Misterius di Pasar Loak
Andi selalu punya kebiasaan aneh. Dia mencintai barang-barang usang, benda-benda yang memendam cerita, relik dari masa lalu yang terabaikan di sudut-sudut pasar loak. Hari itu, Sabtu yang terik di akhir bulan, hasratnya membawanya ke sebuah lapak yang jarang dikunjunginya, terselip di antara tumpukan perkakas tua dan kemeja bekas. Matanya menyapu deretan barang-barang berdebu sebelum akhirnya terpaku pada sebuah benda yang memancarkan aura berbeda: sebuah radio tua berwarna cokelat. Bodinya kayu jati, panel depannya kusam, dengan tombol-tombol putar yang sebagian besar sudah pudar. Sebuah antena kawat tipis mencuat miring dari belakangnya.
"Berapa ini, Pak?" tanya Andi pada pria tua di balik meja, yang sibuk mengisap rokok kreteknya.
"Itu... radio istimewa," jawab si penjual, matanya yang cekung melirik Andi dengan senyum samar. "Harganya tiga ratus ribu, Nak. Nego tipis."
Andi mengangkat sebelah alis. Cukup mahal untuk sebuah radio tua yang terlihat hampir mati. Namun, ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam benda itu, resonansi aneh yang tak bisa dia jelaskan. Dia menawarnya dua ratus, dan setelah sedikit tarik ulur, radio itu berpindah tangan. Menggendong radio itu pulang, beratnya mengejutkan, seolah ada sesuatu yang padat bersembunyi di dalamnya.
Sesampainya di apartemennya yang minimalis, Andi segera membersihkan radio itu dengan lap basah. Debu yang menempel rontok, memperlihatkan guratan kayu yang masih kokoh. Dia menemukan stopkontak dan dengan sedikit keraguan, menekan tombol power. Sebuah cahaya oranye samar muncul dari bagian belakang panel, dan kemudian, dengan desisan statis, radio itu menyala.
Ajaibnya, radio itu masih berfungsi. Namun, bukan siaran berita atau program musik populer yang keluar dari speakernya. Hanya ada lagu-lagu lawas, melodi jazz dan keroncong yang seolah berasal dari era yang jauh terlewat, diinterupsi oleh suara desis aneh yang sesekali menyerupai bisikan, seolah ada seseorang yang mencoba berbicara dari balik frekuensi yang salah. Andi mencoba memutar tombol frekuensi, tetapi hasilnya tetap sama. Hanya lagu-lagu kuno dan desisan itu. Awalnya dia merasa sedikit kecewa, tetapi kemudian rasa penasaran menguasai. Ada semacam pesona melankolis dari suara-suara usang itu.
Malam-malam berikutnya, radio itu menjadi teman setianya. Andi sering membiarkannya menyala saat dia membaca buku atau sekadar bersantai. Lagu-lagu lama itu menjadi latar belakang yang menenangkan, meskipun desisan aneh itu terkadang terasa sedikit mengganggu. Dia bahkan mulai mengenali beberapa lagu, irama yang perlahan meresap ke dalam benaknya.
Namun, suatu malam, sekitar pukul dua dini hari, ketika Andi terlelap di sofa ruang tamu dengan radio masih menyala di dekatnya, sesuatu yang dingin merayap di kulitnya. Dia terbangun dengan sentakan, disorientasi. Suara radio masih terdengar, tetapi kini ada yang berbeda. Di antara desisan dan melodi yang sayup-sayup, dia mendengar sesuatu. Sebuah suara.
Bukan suara nyanyian atau instrumen musik. Itu adalah bisikan. Sangat pelan, hampir tak terdengar, tetapi jelas memecah keheningan malam. Bisikan itu terdengar serak, tua, seperti suara yang telah lama terperangkap. Andi menegakkan duduknya, menajamkan pendengaran. Apakah dia hanya berhalusinasi karena mengantuk?
Lalu, bisikan itu menjadi lebih jelas. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah radio, jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Dan kemudian, dengan kejelasan yang mengerikan, dia mendengar namanya disebutkan.
"Andi..."
Suara itu terdengar seperti gerusan pasir, penuh intonasi yang salah, seolah mengucapkan nama itu adalah sebuah usaha yang menyakitkan. Darah Andi berdesir dingin. Siapa itu? Bagaimana radio itu bisa menyebut namanya? Dia meraih remote televisi, mencoba menyalakan lampu, tetapi tangannya gemetar.
Bisikan itu berlanjut, semakin jelas, semakin dekat, seolah-olah ada seseorang yang berbicara tepat di telinganya, meskipun tidak ada siapa-siapa di sana selain dia dan radio itu.
"Kau akan mati..."
Kalimat itu menembus kegelapan, menggema di benak Andi. Suara desisan radio meningkat drastis, seolah-olah sebuah stasiun yang baru saja ditemukan kini mengirimkan sinyal neraka. Alunan musik lawas terdistorsi, terdengar seperti ratapan kesakitan, dan kemudian, suara itu kembali.
"...sebentar lagi."
Andi melompat dari sofa, seluruh tubuhnya merinding. Dia mencabut kabel radio itu dengan panik, memutus aliran listrik. Seketika, keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Hanya ada suara napasnya yang terengah-engah dan detak jantungnya yang bergemuruh di telinganya. Dia tidak tidur malam itu. Dia hanya duduk di kegelapan, menatap radio tua yang kini tampak seperti mata jahat, menunggunya dalam diam.
Keesokan harinya, alarm pagi Andi berbunyi, tetapi tidak ada gerakan dari tempat tidurnya. Matahari mulai meninggi, menyinari sudut-sudut apartemen, tetapi Andi tetap tak bergeming. Para tetangga yang biasanya mendengar langkah kakinya di pagi hari kini merasa aneh dengan kesunyian dari unitnya. Beberapa jam kemudian, Rina, adik perempuannya, menelepon. Tidak ada jawaban. Rina mencoba lagi, berkali-kali, hingga akhirnya memutuskan untuk datang langsung.
Dia masuk dengan kunci cadangan, memanggil nama kakaknya, tetapi yang ada hanyalah keheningan yang menyesakkan. Firasat buruk merayap di benaknya. Rina menemukan Andi di kamarnya. Dia tergeletak di lantai, tubuhnya kaku, matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit.
Rina menjerit.
Wajah Andi... wajahnya hancur. Seolah-olah ada sesuatu yang tak terlihat, sesuatu dengan kekuatan brutal, telah menerkamnya, mencabik-cabik dagingnya, dan meninggalkan sisa-sisa kengerian yang tak bisa dijelaskan. Tulang-tulangnya remuk, kulitnya terkoyak, dan ada jejak-jejak cakaran dalam yang menganga, seolah diterkam oleh binatang buas yang sangat besar. Namun, tidak ada darah berceceran di mana-mana, hanya kekacauan yang mengerikan di wajahnya.
Di sudut ruangan, tergeletak di meja samping tempat tidur, adalah radio tua berwarna cokelat itu. Diam, tidak menyala, tetapi memancarkan aura dingin yang membuat Rina merinding. Dia tidak tahu bahwa radio itu baru saja mengklaim korban pertamanya, dan ini bukanlah yang terakhir. Kutukan "Radio Terkutuk" baru saja dimulai.
Bab 2: Korban Kedua – Penyelidikan yang Gagal
Kematian Andi adalah pukulan telak bagi Rina. Kakaknya, yang selalu ceria dan penuh rasa ingin tahu, kini terbaring kaku dengan wajah yang mengerikan. Kepolisian awalnya menyimpulkan serangan binatang buas yang masuk entah dari mana, sebuah teori yang terdengar konyol dan tidak meyakinkan. Rina tahu ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik itu. Saat dia membersihkan apartemen Andi setelah polisi selesai olah TKP, matanya terpaku pada radio tua berwarna cokelat yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Itu adalah benda terakhir yang kakaknya beli, dan entah mengapa, benda itu memancarkan aura dingin yang sama persis dengan yang dia rasakan saat pertama kali melihat jenazah Andi.
Rina seharusnya membuang radio itu, melenyapkannya dari pandangannya. Namun, emosi mengambil alih nalar. Radio itu adalah salah satu benda terakhir yang disentuh Andi, sebuah kenangan pahit yang tak bisa dia lepaskan. Dia membungkusnya dengan hati-hati dan membawanya pulang, menempatkannya di sudut kamarnya, di antara tumpukan buku dan foto-foto lama. Dia tidak menyalakannya, bahkan tidak berani menyentuhnya terlalu sering. Radio itu hanya ada di sana, sebagai monumen bisu atas tragedi yang menimpa kakaknya.
Beberapa minggu berlalu, dan Rina mencoba melanjutkan hidupnya. Tetapi kesedihan dan trauma mulai menggerogoti. Dia mulai mengalami halusinasi. Bayangan-bayangan melintas di sudut matanya, bisikan-bisikan samar terdengar di antara keheningan malam. Awalnya dia pikir itu hanya efek dari stres dan kurang tidur. Namun, halusinasi itu semakin sering terjadi, semakin jelas, dan selalu dikaitkan dengan suara.
Suara tangisan.
Tangisan itu berasal dari radio.
Pada awalnya, suara tangisan itu hanya sayup-sayup, seperti suara anak kecil yang menangis di kejauhan, teredam oleh dinding. Rina mencoba mengabaikannya, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya. Tapi kemudian, suara itu semakin keras, semakin nyata. Itu adalah tangisan yang memilukan, penuh kepedihan dan ketakutan, seolah ada seseorang yang terperangkap di dalam radio itu, memohon untuk dibebaskan. Rina sering terbangun di tengah malam, napasnya tersengal, telinganya dipenuhi suara tangisan yang mengiris hati itu. Dia akan mematikan semua lampu, bersembunyi di balik selimut, berharap suara itu menghilang. Tapi suara itu tidak pernah hilang.
Suatu malam yang gelap dan dingin, Rina sedang membaca di tempat tidurnya ketika lampu di kamarnya mulai berkedip-kedip. Angin dingin tiba-tiba berembus dari jendela yang tertutup rapat, membuat tirai berkibar aneh. Sebuah merinding menjalari tulang punggung Rina. Dia merasa ada kehadiran di ruangan itu, sebuah tekanan yang tidak terlihat namun menyesakkan. Kemudian, radio tua di sudut ruangan itu menyala sendiri.
Sebuah suara statis yang keras meledak dari speaker, jauh lebih kencang dari biasanya, memekakkan telinga. Mata Rina terbelalak ngeri. Dia ingin bergerak, mencabutnya, tapi kakinya terasa terpaku di tempat. Suara statis itu berhenti, digantikan oleh bisikan serak yang kini dia kenali.
"Rina..."
Nama itu diucapkan dengan desisan yang mengerikan, seolah-olah dipaksakan keluar dari kerongkongan yang busuk. Jantung Rina berpacu tak karuan. Dia merasakan air mata mengalir di pipinya. Lalu, bisikan itu diikuti oleh sesuatu yang lebih mengerikan.
Teriakan.
Itu bukan lagi tangisan, melainkan teriakan minta tolong yang begitu melengking, begitu putus asa, seolah-olah seseorang sedang disiksa di dalam radio itu. Teriakan itu terdengar familiar, seperti suara Andi, kakaknya, yang terdistorsi dan melengking. Rina mencengkeram kepalanya, mencoba menghentikan suara itu, tetapi tidak ada gunanya. Teriakan itu terus memenuhi kamarnya, diiringi bisikan-bisikan tak jelas yang seolah merapal mantra kuno. Ruangan itu terasa semakin dingin, dan Rina merasa ada sesuatu yang tak kasat mata mendekatinya. Dia merasakan sentuhan dingin di pergelangan tangannya, lalu cengkeraman yang kuat. Dia berusaha berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Keesokan paginya, ketika para tetangga mulai khawatir karena tidak ada tanda-tanda Rina, mereka mendobrak pintu apartemennya. Yang mereka temukan adalah pemandangan yang membuat darah membeku. Rina tergeletak di lantai kamarnya, tubuhnya terpelintir secara tidak wajar. Lengan dan kakinya patah di sudut-sudut yang mustahil, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang merenggutnya dan memutar tubuhnya hingga remuk. Yang paling mengerikan adalah matanya. Mata Rina menghilang, hanya menyisakan rongga kosong yang gelap dan berdarah, seolah-olah ditarik keluar dari tengkoraknya.
Kasus kematian kedua ini, dengan ciri-ciri yang sama sekali berbeda namun sama-sama brutal, menarik perhatian seorang detektif veteran bernama Budi. Dia adalah seorang polisi yang skeptis, percaya pada bukti konkret dan penjelasan logis. Kasus Andi, yang diklasifikasikan sebagai serangan hewan, kini terasa janggal dengan adanya korban kedua yang meninggal secara mengerikan. Budi tiba di lokasi, mencatat setiap detail, mencari setiap petunjuk. Dia melihat radio tua itu tergeletak di dekat jenazah Rina, dan meskipun awalnya dia tidak memberikannya perhatian khusus, ada sesuatu yang aneh tentang benda itu.
Budi menghabiskan berminggu-minggu menyelidiki. Dia menginterogasi tetangga, memeriksa rekaman CCTV di sekitar apartemen, mencari jejak penyusup. Dia memeriksa kondisi fisik Rina secara mendalam, berbicara dengan tim forensik. Tidak ada tanda-tanda masuk paksa, tidak ada sidik jari yang asing, tidak ada jejak kaki yang tidak dikenal. Semua penjelasan ilmiah terasa hampa. Dia bahkan mencoba menyusun kembali kronologi kejadian, berharap menemukan celah logis. Namun, setiap kali dia mencoba, kasus itu terasa semakin misterius dan tidak masuk akal.
Bagaimana bisa seseorang meninggal dengan cara yang begitu brutal, tanpa ada pelakunya? Bagaimana bisa tubuh Rina terpelintir sedemikian rupa? Dan hilangnya matanya... itu bukan perbuatan manusia normal. Budi mulai merasa frustrasi, menghadapi dinding tak terlihat yang mencegahnya memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia adalah pria rasional, tetapi kasus ini mendorongnya ke batas kewarasannya. Dia tidak menemukan penjelasan logis. Radio itu tetap menjadi benda mati di antara barang bukti, terisolasi, seolah-olah benda itu tahu rahasia yang tidak akan pernah diungkapkannya.
Bab 3: Rahasia Radio Berdarah
Kasus kematian Rina, yang mengikuti pola misterius kematian kakaknya, Andi, menjadi duri dalam daging bagi Detektif Budi. Nalarnya sebagai seorang polisi yang teguh pada fakta terus diuji. Dia sudah menghabiskan waktu berhari-hari di kantornya yang berantakan, dikelilingi tumpukan berkas dan laporan forensik, mencari benang merah yang tak kunjung ia temukan. Tidak ada jejak, tidak ada motif yang jelas, hanya kematian brutal yang terjadi tanpa penjelasan.
Suatu malam, saat hujan lebat membasahi jendela kantornya, Budi kembali meninjau barang bukti. Pandangannya jatuh pada radio tua berwarna cokelat yang tersimpan di dalam lemari barang bukti. Benda itu tampak biasa saja, sebuah artefak dari masa lalu yang tak berbahaya. Namun, setiap kali dia melihatnya, ada perasaan aneh yang merayap di benaknya, seolah radio itu menatap balik, menyimpan rahasia kelam.
Dalam keputusasaan, Budi memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang radio itu sendiri. Dia meminta bantuan rekan kerjanya, seorang arsiparis kepolisian yang ahli dalam mencari informasi usang. Dengan nomor seri yang hampir pudar di bagian bawah radio, mereka mulai menelusuri catatan-catatan lama. Pencarian itu membawa mereka ke arsip-arsip yang berdebu, dokumen-dokumen yang sudah menguning, dan akhirnya, sebuah file yang sangat tua dan dilupakan.
File itu berisi laporan kepolisian dari puluhan tahun yang lalu, sebuah kasus kematian yang tak terpecahkan dengan ciri-ciri yang mengerikan, mirip dengan yang menimpa Andi dan Rina. Korban, seorang pria paruh baya, ditemukan tewas dengan tubuh yang hancur tak wajar. Dan di sampingnya? Sebuah radio tua yang dideskripsikan mirip dengan yang ada di hadapan Budi.
Yang membuat Budi semakin terkejut adalah temuan berikutnya: sebuah catatan tangan yang diselipkan di antara lembaran laporan, ditulis oleh seorang detektif yang juga frustrasi pada zamannya. Catatan itu menyebutkan radio ini pernah dimiliki oleh seorang dukun yang tinggal di pinggir kota. Dukun itu dikenal melakukan praktik ilmu hitam, memanggil arwah-arwah kuno untuk tujuan-tujuan gelapnya. Radio itu, menurut catatan itu, adalah alat yang digunakannya untuk berkomunikasi dengan entitas-entitas dari dunia lain, sebuah conduit, dan entitas-entitas itu, seiring berjalannya waktu, mulai merasuki radio itu sendiri.
Budi membaca tulisan itu dengan gemetar. Radio itu terkutuk. Itu bukan sekadar barang tua, melainkan sebuah wadah, sebuah portal, yang akan memanggil arwah untuk membunuh setiap pemiliknya. Teror yang dialami Andi dan Rina bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang telah ditentukan oleh kutukan kuno yang terperangkap di dalam benda mati itu.
Kembali ke apartemen Andi dan Rina, Budi menemukan beberapa catatan pribadi Andi yang samar-samar menyebutkan suara-suara dari radio. Dia juga teringat kesaksian para tetangga yang mengatakan Rina sering terlihat pucat dan linglung di hari-hari terakhirnya, seolah-olah dia berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Semua kepingan puzzle mulai terhubung, membentuk gambaran mengerikan yang melebihi batas pemikiran rasionalnya.
Budi tahu dia harus menghentikan ini. Dia tidak bisa membiarkan kutukan ini merenggut nyawa korban lain. Dia membawa radio itu ke tempat yang terisolasi, sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tangannya gemetar saat dia meletakkannya di atas meja kerja yang berdebu. Dia mengambil palu godam, benda yang mampu menghancurkan apa pun. Dengan keyakinan bahwa ini adalah satu-satunya cara, dia mengangkat palu itu dan menghantam radio dengan sekuat tenaga.
Sebuah suara retakan keras terdengar, dan serpihan kayu berhamburan. Budi melihat dengan lega saat panel depan radio itu pecah, memperlihatkan sirkuit kuno yang hancur di dalamnya. "Selesai," gumamnya, napasnya lega.
Namun, kelegaan itu hanya sesaat.
Saat Budi berbalik untuk mengambil sapu, sebuah cahaya merah samar memancar dari tumpukan serpihan. Dia menoleh, dan darahnya langsung berdesir dingin. Radio itu, yang baru saja hancur berkeping-keping di depannya, kini kembali dalam keadaan utuh. Kayunya mulus, panelnya sempurna, seolah-olah tidak pernah tersentuh palu. Bahkan debu di atasnya tampak kembali.
Budi mencoba lagi. Dia mengambil kapak, membelah radio itu menjadi dua. Dia bahkan mencoba membakarnya dengan obor las. Setiap kali, setelah beberapa saat, radio itu selalu kembali dalam keadaan utuh, tanpa cacat sedikit pun. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menolak kehancurannya, kekuatan yang mengikatnya pada keberadaan fana ini.
Frustrasi dan ketakutan mulai merasuki Budi. Dia duduk terpaku di gudang yang gelap, menatap radio yang kini tampak mengejeknya. Tiba-tiba, dari speaker radio yang diam itu, terdengar suara statis yang berderak. Kali ini, tidak ada bisikan mengerikan atau teriakan minta tolong. Yang ada hanya suara wanita tua tertawa.
Tertawa itu terdengar serak, dingin, dan penuh kemenangan. Tawa itu tidak terdistorsi oleh statis, melainkan jelas, seolah wanita itu duduk tepat di depannya. Budi tidak tahu mengapa, tetapi tawa itu membuatnya merinding lebih dari apa pun yang dia alami sebelumnya. Tawa itu perlahan memudar, digantikan oleh desisan statis yang semakin keras. Kemudian, tiba-tiba, listrik di seluruh gudang padam. Gelap gulita menyelimuti Budi, hanya menyisakan kegelapan dan suara desisan mengerikan dari radio yang kini tampak bersinar samar dalam kegelapan pekat. Dia tahu, kutukan ini tidak bisa dihentikan semudah itu.
Bab 4: Ending – Wanita Tua Pemilik Baru
Setelah semua upaya gagal, setelah menyaksikan radio itu pulih dari kehancuran berkali-kali di depan matanya, Detektif Budi merasa hancur. Ketakutan yang membeku kini merasuki setiap sel tubuhnya, digantikan oleh rasa ngeri yang dingin dan putus asa. Kutukan ini terlalu kuat, terlalu kuno untuk diatasi oleh metode manusia biasa, bahkan oleh logika yang selalu menjadi pegangan utamanya. Dia tahu dia tidak bisa menghancurkannya, dan dia juga tidak bisa membiarkannya tetap berada di tangannya, menunggu giliran menjadi korban berikutnya. Ada aura jahat yang kini merasuki dirinya, kelelahan mental yang mendalam yang terasa seperti racun dalam darahnya.
Pada dini hari yang berkabut, dengan sisa-sisa kewarasannya yang menipis, Budi membawa radio itu. Beratnya terasa bertambah berkali lipat di tangannya, seolah ada beban tak terlihat yang menempel padanya. Dia mengendarai mobilnya dalam keheningan yang mencekam, hanya ditemani desau ban di jalan basah, hingga tiba di jembatan tua yang membentang di atas Sungai Brantas yang gelap dan berkelok. Dinginnya embun pagi menusuk kulitnya yang lelah, dan kesunyian sungai yang mengalir deras terasa seperti bisikan dari dunia lain, mengundang. Tanpa berpikir panjang, dengan harapan naif bahwa air akan melarutkan segala bentuk kejahatan yang terperangkap di dalamnya, dia mengangkat radio itu tinggi-tinggi.
Pluung!
Suara benda berat yang jatuh ke air memecah keheningan fajar, suara yang memantul dan menghilang di antara dinding-dinding jembatan. Riak-riak air menyebar di permukaan sungai yang hitam, dan kemudian, radio itu lenyap ditelan kegelapan arus. Budi berdiri di sana untuk waktu yang lama, memandangi permukaan air, napasnya terengah-engah, berharap bahwa dengan itu, kutukan mengerikan itu akan berakhir. Ada sedikit kelegaan yang merayap di dadanya, beban yang menekan jiwanya seolah terangkat, meskipun rasa takut yang mendalam masih bersemayam. Akhirnya, radio itu pergi. Dia pulang ke rumahnya, bertekad untuk melupakan semua yang telah terjadi, untuk mencoba melanjutkan hidupnya yang terasa porak-poranda.
Bangkit dari Kegelapan
Bulan-bulan berlalu. Kasus kematian Andi dan Rina ditutup sebagai "tidak terpecahkan," menjadi salah satu file tebal yang akan selamanya menghantui arsip kepolisian. Budi, meskipun masih dihantui oleh ingatan akan mata Rina yang kosong dan wajah Andi yang hancur, berusaha keras untuk kembali pada rutinitas normalnya. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa dengan radio itu tenggelam di dasar sungai, teror itu telah berakhir selamanya.
Namun, di sebuah sudut pasar loak yang ramai, beberapa kota jauhnya dari tempat Budi membuangnya, sebuah pemandangan yang tak terduga muncul. Di antara tumpukan barang-barang bekas yang lusuh dan berdebu, di atas meja yang ditutupi kain beledu usang, sebuah radio tua berwarna cokelat tergeletak. Kayunya mengkilap, panelnya utuh, seolah baru saja dipoles. Penjualnya, seorang pria tua dengan wajah lelah, menggaruk kepalanya. Mustahil, pikirnya, bagaimana benda itu bisa muncul lagi? Padahal, dia ingat pernah membuangnya karena rusak parah dan terendam air hujan. Bahkan ada lumut di beberapa bagiannya. Kini, ia tampak baru, bahkan lebih baru dari saat ia pertama kali melihatnya.
Dan di sana, di depan meja itu, berdiri seorang wanita tua dengan senyum mengerikan. Kerutan di wajahnya tampak seperti peta labirin yang rumit, dan matanya yang redup, berwarna seperti air teh basi, berkilat aneh. Dia mengenakan kebaya lusuh berwarna hitam yang sudah pudar dan rambutnya yang beruban, kini dipenuhi jepit kuningan tua, disanggul rapi. Tangannya yang keriput, dengan kuku-kuku yang menghitam, terulur perlahan, menyentuh permukaan radio itu dengan sentuhan yang lembut, hampir penuh kasih, seolah menyapa seorang teman lama.
"Berapa harga radio ini, Nak?" suaranya serak, seperti gerusan daun kering, tetapi ada nada kekuatan yang tersembunyi di dalamnya, nada yang membuat bulu kuduk berdiri.
Penjual itu, yang masih terpaku pada keajaiban radio itu kembali, menyebutkan harga yang sangat rendah, hampir ingin cepat-cepat menyingkirkannya. Wanita tua itu tidak menawar. Sebuah senyum yang semakin lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang menghitam dan runcing, terlukis di wajahnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh dari saku kebayanya, memberikannya kepada penjual yang masih terpaku, dan radio itu berpindah tangan.
Wanita tua itu memeluk radio itu erat-erat ke dadanya, seolah memeluk seorang anak yang telah lama hilang. Sebuah kelegaan, atau mungkin kepuasan yang mendalam, terpancar dari raut wajahnya yang keriput.
"Aku tahu kekuatanmu..." bisiknya pelan, ke arah radio itu, kepada dirinya sendiri, atau kepada sesuatu yang tak terlihat yang hanya dia yang bisa rasakan. Suaranya dipenuhi oleh kekaguman dan pemahaman yang mengerikan, seolah dia telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya.
Saat wanita tua itu memeluknya, radio menyala sendiri. Sebuah suara statis yang akrab berderak dari speakernya, jauh lebih keras dari biasanya, mengalahkan hiruk pikuk pasar loak. Kemudian, di antara desisan itu, bisikan serak yang telah menghantui Andi dan Rina kembali terdengar, memenuhi udara.
"...Sulastri..."
Nama wanita tua itu diucapkan oleh radio, seolah-olah radio itu menyambut kepulangan tuannya.
Tetapi wanita tua itu tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Dia tidak berteriak, tidak terkejut, bahkan tidak berkedip. Dia hanya tertawa. Tawa yang sama persis, serak dan penuh kemenangan, yang pernah didengar Budi di gudang yang gelap, tawa yang menusuk tulang dan membekukan darah. Tawa itu menggema di lorong pasar loak, membuat beberapa pengunjung menoleh dengan aneh, merinding tanpa tahu mengapa.
Adegan memudar. Layar menjadi hitam pekat. Hanya ada suara statis yang terus berderak, seolah-olah radio itu masih menyala, masih memancarkan sinyal dari kegelapan yang tak berujung. Dan kemudian, di antara statis yang tak berujung itu, terdengar jeritan...
Jeritan yang memilukan, mengerikan, dan penuh penderitaan. Jeritan yang membuat bulu kuduk merinding, seolah-olah itu adalah jeritan dari jiwa yang baru saja ditarik ke dalam jurang kengerian yang tak terbayangkan. Jeritan itu tidak berhenti, terus menggema, diiringi oleh tawa serak wanita tua itu yang perlahan-lahan menyatu dengan statis, membuktikan bahwa kutukan radio itu belum berakhir. Itu hanya menemukan pemilik baru. Pemilik yang mungkin telah menunggu selama berabad-abad, atau mungkin, adalah sumber asli dari semua kutukan itu sendiri, kini kembali untuk melanjutkan permainan mematikan radio terkutuknya.