Masukan nama pengguna
(Bagian 1)
Langit malam menggantung berat di atas kota, mendung tanpa suara, seolah menunggu sesuatu untuk pecah. Lampu-lampu jalan di pinggir trotoar berdengung pelan, menerangi aspal yang basah akibat gerimis yang sempat turun sore tadi. Arya menarik napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke motor yang sudah menemaninya selama hampir tiga tahun jadi driver ojol.
Satu jam berlalu tanpa orderan. Sinyal HP-nya pun tampak malas bergerak. Beberapa kali ia menyeka layar ponselnya yang berkeringat oleh embun. Grup WhatsApp driver mulai sepi, hanya satu dua pesan iseng yang muncul dari rekan-rekannya yang juga menunggu rezeki malam.
“Gila, sepi parah... kaya malam Tahun Baru pas PPKM kemarin.”
“Udah pada tidur kali, bro. Atau... disedot sama Cluster Darmawangsa. Hahaha.”
Arya sempat tersenyum membaca itu. Cluster Darmawangsa. Nama itu seperti hantu kecil di kepala para driver. Rumornya, kompleks itu sudah kosong sejak sepuluh tahun lalu karena tragedi pembantaian satu keluarga kaya raya. Sejak itu, tak ada lagi yang mau tinggal di sana. Tapi anehnya, sesekali masih muncul pesanan dari titik lokasi itu. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa yang mengorder. Yang jelas, semua driver yang pernah mengambil orderan ke sana selalu keluar dengan cerita aneh—atau tak pernah cerita lagi.
TING!
Sebuah notifikasi muncul. Nada deringnya terdengar sedikit berbeda—lebih berat, lebih dalam.
"PESANAN MASUK"
Tujuan: Cluster Darmawangsa
Penjemputan: Stasiun Rawabuaya
Jarak: 7,6 KM
Tarif: 5x LIPAT NORMAL
Nama Pengorder: Tiara A.
Arya terdiam. Matanya menatap layar lama, seperti sedang menimbang dosa dan pahala. Nafasnya tertahan. “Gila... lima kali lipat,” gumamnya. Itu lebih dari cukup untuk bayar kontrakan dan utang cicilan motor bulan ini.
Ia membuka jaketnya sedikit dan mengusap keringat yang muncul di leher. Udara malam mendadak terasa lebih dingin. Di seberang jalan, warung kopi tempat biasa para driver nongkrong sudah tutup. Kota ini seperti menarik napas sebelum berteriak.
Jari Arya sempat ragu di atas tombol hijau di layar. Tapi perutnya menggerutu. Ia teringat bayaran sekolah adiknya yang belum lunas.
Klik.
Pesanan diterima.
Motor matic tua miliknya melaju menyusuri jalan menuju Stasiun Rawabuaya. Lalu lintas malam relatif sepi. Sesekali ia melihat pasangan muda berjalan, atau pedagang asongan yang mendorong gerobak pelan. Tapi suasana terasa... lain. Sejak pesanan masuk, aplikasi ojol-nya seperti berubah. Navigasinya tidak menggunakan suara perempuan biasa, melainkan bisikan lirih seperti dari ujung gua. Beberapa kali suara itu memanggil namanya:
“...Arya...”
Ia mencoba menutup aplikasi dan membukanya lagi. Tapi suara itu tetap ada.
Sesampainya di titik jemput, ia melihat seorang wanita berdiri di bawah tiang lampu jalan. Ia mengenakan gaun putih model vintage yang panjang hingga mata kaki, rambutnya panjang tergerai, dan wajahnya teduh meski matanya tertutup sedikit bayangan.
“Arya, ya?” tanyanya lembut.
Arya mengangguk sambil membuka helm. “Tiara, ya? Mau ke... Cluster Darmawangsa?”
Wanita itu hanya mengangguk dan langsung duduk di jok belakang, sangat tenang, tanpa suara.
Begitu Arya mulai menyalakan motor, udara di sekitarnya seperti berubah. Tiang lampu jalan bergetar pelan. Asap kabut tipis muncul dari selokan.
“Ke rumah di ujung jalan,” bisik wanita itu. “Nomor tiga puluh sembilan.”
Arya tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. GPS-nya langsung menyesuaikan rute—tanpa ada yang menyentuh.
(Bagian 2 –)
Motor Arya melaju perlahan menyusuri jalanan yang semakin sepi. Tak seperti biasanya, malam ini terasa begitu berat. Jalan yang biasa ia lalui tampak berubah: lampu jalan menyala redup, sebagian berkedip tak beraturan. Angin yang menerpa wajahnya terasa dingin seperti 5hembusan kulkas tua, menyusup masuk ke celah-celah jaketnya.
Ia menoleh ke kaca spion. Wanita itu—Tiara—masih duduk diam di belakang, tapi pandangannya lurus ke depan, seolah-olah ia tahu persis arah yang akan dituju, lebih dari GPS.
Arya mencoba mencairkan suasana.
“Dari stasiun ya, Mbak? Mau jemput keluarga di Cluster Darmawangsa?” tanyanya.
Tiara hanya diam. Tidak ada anggukan. Tidak ada “iya” atau “enggak”. Hanya kesunyian.
Arya tersenyum kaku, dan melanjutkan perjalanan. Hatinya mulai gelisah. Ia coba menyalakan musik dari ponselnya, tapi semua file musiknya hilang. Playlist-nya kosong, padahal tadi siang ia masih mendengarkan lagu sambil nunggu orderan.
Tiba-tiba, suara GPS terdengar lagi—tapi kali ini bukan suara sistem. Suara perempuan, pelan dan berat, dengan nada seperti sedang menangis.
“Belok kanan... ke Jalan Akasia... jangan lewat belakang... jangan lihat cermin...”
Arya mengerutkan dahi. “Apa tadi?” bisiknya.
Ia melirik spion. Sekilas, ia melihat wajah Tiara tampak berubah. Mata yang semula teduh kini tampak gelap, seperti rongga tanpa bola mata. Tapi begitu ia menoleh ke belakang, Tiara tampak normal. Masih menatap ke depan, tenang. Arya menelan ludah. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat.
Ia menatap layar HP-nya. Aplikasi ojol-nya tidak menampilkan jalur, hanya satu kalimat dalam font merah menyala:
"TERUSLAH BERKENDARA. JANGAN BERHENTI."
Arya memelankan laju motornya. Jalanan mulai berubah. Lampu jalan tak lagi ada. Kiri-kanannya mulai dipenuhi pepohonan tua, padahal sebelumnya jalan ini adalah kawasan bisnis dengan pertokoan dan kafe. Udara mulai lebih dingin, dan kabut mulai turun pelan dari sela-sela semak.
Akhirnya, di kejauhan, Arya melihat gerbang besar bertuliskan:
"CLUSTER DARMAWANGSA"
Tulisan itu terbuat dari besi tua yang berkarat. Gerbangnya setengah terbuka, seperti menyambut atau mempersilakan masuk... ke dalam jebakan.
Di samping gerbang, ada pos satpam kecil. Lampunya berkedip. Ada sosok yang duduk di dalamnya.
Arya menghentikan motor. Satpam itu keluar. Wajahnya pucat, seperti orang yang sudah berminggu-minggu tidak tidur. Matanya merah, tapi bukan karena marah—melainkan seperti menangis terus-menerus. Suaranya parau ketika menyapa.
“Pesanan malam ini?” tanyanya.
Arya mengangguk ragu. “Iya, Pak. Atas nama Tiara.”
Satpam itu menatap Tiara lama sekali, lalu bergumam pelan, seolah hanya untuk dirinya sendiri.
“Dia kembali…”
Arya tak mengerti maksudnya. Ia mencoba tersenyum, tapi gagal.
Satpam membuka gerbang sedikit lebih lebar.
“Hati-hati, Nak. Kalau bisa... jangan nengok ke belakang.”
Arya merinding. Tapi ia tetap mengangguk. “Iya, Pak. Makasih.”
Motor kembali melaju, memasuki kompleks yang tak lagi seperti dunia nyata. Cluster Darmawangsa tampak seperti potongan dunia yang ditinggalkan waktu.
Lanjut kita ke Bab 1: Pesanan Misterius — Bagian 3, dari cerita horor "Pesanan Terakhir ke Cluster Darmawangsa". Bagian ini akan membawa Arya makin dalam ke dalam suasana mencekam dan gaib di dalam cluster tersebut.
(Bagian 3)
Begitu roda motornya melewati ambang gerbang, udara terasa berubah drastis. Angin yang tadi dingin, kini seperti tak bernapas. Sunyi. Sepi. Seolah suara dunia di luar telah diputus sepenuhnya.
Lampu jalan menyala temaram, tapi tidak ada kabel listrik terlihat. Bahkan tiang-tiangnya tampak tua, lapuk dimakan karat, seakan-akan sudah berdiri selama ratusan tahun tanpa dirawat.
Arya menelan ludah. Pandangannya berkeliling. Rumah-rumah mewah di sisi kanan dan kiri jalan berdiri kokoh, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Beberapa jendela terbuka sedikit, dan Arya bisa bersumpah melihat tirai bergerak, padahal tak ada angin. Bahkan beberapa jendela memantulkan bayangan... padahal tidak ada siapa pun di dalam.
Dari kejauhan terdengar suara… seperti seseorang sedang memainkan piano—petikan nada-nada klasik yang lembut tapi tak sinkron, seperti dimainkan oleh tangan-tangan kaku yang tidak paham irama.
Tiara yang sedari tadi diam, tiba-tiba bicara dengan suara datar.
“Jangan lihat ke rumah nomor sembilan.”
Arya spontan menoleh ke kiri. Rumah nomor sembilan berdiri megah, dengan pilar-pilar besar bergaya Romawi. Tapi jendelanya pecah. Catnya mengelupas. Dan... di dalam jendela lantai dua, ada seorang wanita tua berdiri menghadap jalan. Tubuhnya bungkuk, mengenakan daster lusuh, dan matanya menatap lurus ke Arya.
Wanita itu tidak berkedip.
Arya membalikkan kepala cepat-cepat, lalu mempercepat laju motor.
“Maaf... saya nggak sengaja lihat,” katanya gugup.
Tiara hanya tersenyum. Tapi senyumnya tidak seperti sebelumnya. Bibirnya tertarik lebih lebar dari wajah manusia normal, dan di balik rambutnya, Arya bisa melihat... rahang yang retak.
Suasana cluster kian surreal. Dari beberapa rumah terdengar suara kursi bergeser, suara anak kecil tertawa—tapi tak ada anak kecil. Bahkan beberapa kali, Arya merasa motornya melewati sosok-sosok hitam berdiri di tengah jalan, tapi setiap kali ia mencoba fokus, sosok itu menghilang.
Tiara kembali bicara pelan.
“Kita hampir sampai... Rumah nomor tiga puluh sembilan...”
Arya melihat ke layar HP-nya. Aplikasi ojol-nya kini hanya menunjukkan satu kata besar:
"MAJU"
Anehnya, meskipun lampu motor menyala, bayangan Arya tidak tampak di aspal. Tapi bayangan Tiara... justru semakin besar dan aneh bentuknya. Tangannya tampak bercabang, dan kepalanya seperti bercabang dua.
Jalan di depan semakin sempit, dibatasi pohon beringin tua di kanan dan kiri, cabangnya menjulur seperti tangan-tangan makhluk purba. Di ujung jalan itu, berdiri sebuah rumah bergaya kolonial, dua lantai, dengan taman yang dipenuhi patung-patung batu.
Arya menghentikan motor perlahan.
“Ini... rumahnya?” bisiknya.
Tiara turun dari motor.
“Iya,” jawabnya sambil menatap rumah dengan ekspresi yang tak terbaca.
(Bagian 4)
Arya mematikan mesin motornya, namun suara mesin terus terdengar—berdengung pelan, seolah dunia di sekelilingnya menolak berhenti.
Tiara melangkah menuju rumah nomor 39. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara. Gaunnya melambai pelan meskipun tidak ada angin. Arya masih duduk di atas motornya, ragu untuk turun.
Rumah itu besar dan angkuh, seperti menantang siapa pun yang datang. Cat putihnya kini kusam, ditutupi lumut dan bercak hitam seperti jelaga. Sebuah lonceng gantung tua menggantung di atas pintu, bergerak pelan meski tak tersentuh.
Tiara berhenti di depan pintu, lalu menoleh ke Arya.
“Kau harus ikut masuk. Pesanan ini belum selesai...”
Arya menatapnya. “Saya antar sampai depan aja, Mbak. Kalau ada barang, bisa saya bantu angkut.”
Tiara tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Arya benar-benar melihat wajahnya dengan jelas di bawah lampu remang.
Matanya... hitam seluruhnya. Tanpa putih. Tanpa pantulan cahaya. Kulitnya mulai mengelupas di bagian leher, seperti cat dinding tua yang mengering.
“Arya... kau sudah masuk sejak kau menerima pesananku. Tidak ada jalan pulang kecuali lewat dalam.”
Arya tersentak. “Kok Mbak tahu nama saya?”
Tiara tidak menjawab. Ia membuka pintu rumah itu.
Hingga saat itu, Arya masih ingin percaya ini semua cuma mimpi buruk. Tapi begitu pintu terbuka, bau yang keluar dari dalam rumah menampar wajahnya—bau busuk yang tajam, seperti daging membusuk bercampur tanah basah dan darah tua.
Dari dalam terdengar suara langkah... tapi bukan suara sepatu. Seperti tangan-tangan merangkak... kuku-kuku menggaruk lantai kayu.
Arya perlahan turun dari motor. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menahan pergelangan kakinya dari bawah tanah. Atau... dari balik bayangan?
Tiara berdiri di ambang pintu. Matanya menatapnya, seolah masuk ke dalam pikirannya.
“Mereka sudah menunggumu. Mereka butuh sopir baru...”
Tiba-tiba, di dalam rumah, muncul suara lain—lirih dan melengking.
“AAARRYYYYAAAAA...”
Nama itu dipanggil, bergema, seperti dipanggil dari dalam sumur yang sangat dalam. Arya menoleh ke spion motornya, dan ia melihat... bayangannya sendiri, duduk di atas motor... dengan wajah hancur, darah menetes dari mata dan mulut.
Ia menjerit dan terjatuh ke tanah.
Saat bangkit, pintu rumah sudah terbuka sepenuhnya. Di dalamnya, ruang tamu yang seharusnya biasa kini terlihat seperti lorong rumah sakit tua—lampu berkedip, lantai kotor, dan dinding penuh coretan tangan berlumur darah.
Tiara melangkah masuk.
Arya mencoba kabur. Ia lari ke arah motornya, menyalakan mesin, dan memutar arah. Tapi saat ia menoleh ke belakang, jalan keluar sudah tak ada. Gerbang Cluster Darmawangsa... lenyap. Yang ada hanya dinding tembok tinggi dan hutan hitam di belakangnya.
GPS di HP-nya menyala sendiri, menampilkan satu titik besar merah:
"TUJUANMU DI SINI. SELAMANYA."
Arya berteriak, panik. Ia mencoba menelepon siapa pun, tapi semua kontak di HP-nya berubah jadi nama-nama aneh: “Penumpang Lama,” “Keluarga Terjebak,” “Driver Sebelummu.”
Ia melempar HP itu ke tanah dan lari ke arah rumah.
Ketika ia masuk, pintu menutup sendiri di belakangnya dengan bunyi BRAK!
Tiara menghilang. Dan di tengah ruangan gelap, Arya berdiri sendiri. Napasnya memburu. Dari tangga, muncul beberapa sosok... hitam, tinggi, dan perlahan menyeringai.
(Bagian 5)
Langkah-langkah itu terdengar dari segala arah. Lembut, tapi berat. Seperti tubuh yang diseret, atau kaki-kaki telanjang berjalan pelan di lantai berdebu. Arya mundur, menempel ke dinding dekat pintu, berharap ini semua mimpi buruk yang segera berlalu.
Tapi ruangan itu tak memberinya waktu.
Lampu di langit-langit berkedip hebat. Kadang mati total, kadang menyala dengan kilatan putih menyilaukan. Di sela-sela cahaya yang datang dan pergi, Arya mulai melihat mereka.
Sosok-sosok itu.
Pertama, satu. Di bawah tangga. Tubuh kurus, rambut panjang menjuntai sampai lantai, wajah penuh luka menganga. Ia berdiri dengan kepala miring, leher patah ke kiri.
Kemudian dua. Di pojok ruangan. Anak kecil, mengenakan seragam TK, tapi matanya tidak ada. Hanya rongga hitam dan senyum lebar berdarah.
Lalu tiga. Di langit-langit. Merayap dengan tubuh seperti laba-laba. Mukanya menempel di plafon, menatap Arya sambil menjulurkan lidah panjang.
Arya menjerit, berlari ke lorong samping. Tapi lorong itu bukan lorong biasa. Langkah kakinya terasa seperti melangkah di lumpur. Dindingnya sempit dan menggeliat, seperti daging hidup.
Di ujung lorong, ia menemukan cermin besar tergantung di dinding. Tapi yang dipantulkan bukan dirinya. Bukan Arya.
Yang ia lihat adalah seorang driver ojol dengan seragam robek dan darah membasahi dada. Mata kanan sopir itu keluar dari rongga, dan mulutnya terbuka—berteriak, tanpa suara. Tapi mulut itu bergerak...
“Gantian.”
Arya mundur panik. Ia membanting cermin itu, tapi yang terdengar bukan suara kaca pecah... melainkan suara tangisan bayi. Tangisan itu makin keras, berubah jadi jeritan. Lalu... hening.
Tiba-tiba, Tiara muncul kembali. Berdiri tenang di balik lorong.
“Kau sudah sampai, Arya. Sekarang, giliranmu untuk mengantar.”
Arya menggigil. “Mengantar siapa?!”
Tiara melangkah maju. Cahaya menerangi wajahnya sejenak—dan kini jelas: ia bukan manusia. Setengah wajahnya terbakar, dengan tulang terbuka. Bola matanya hanya satu, yang satunya menghitam dan mengalirkan cairan gelap.
Ia menyerahkan sebuah ponsel ke Arya. Tampilan ponsel itu adalah aplikasi ojol. Notifikasi baru muncul:
📍 Pesanan Masuk
Penjemputan: Gerbang Cluster Darmawangsa
Tujuan: Rumah Nomor 39
Tarif: 5x lipat
Driver: Arya
Arya membeku.
“Sekarang kau yang mengantar. Kau yang menjemput. Jangan terlambat,” bisik Tiara.
Seketika, dunia di sekelilingnya runtuh dalam kedipan cahaya. Gelap. Lalu terang. Lalu...
Beberapa hari kemudian...
Seorang driver ojol baru, namanya Rizal, menerima pesanan tengah malam. Tarifnya sangat tinggi. Lokasi penjemputan: Gerbang Cluster Darmawangsa. Aneh, tapi menarik. Ia butuh uang. Maka tanpa pikir panjang, ia terima orderan itu.
Saat sampai di lokasi, seorang pria muda sudah berdiri di pinggir jalan. Seragamnya rapi. Wajahnya biasa saja—kecuali matanya... yang tak berkedip, dan sorotnya hampa.
“Mas Rizal ya?” tanya sosok itu.
“Iya, mas. Tujuan?”
“Rumah Nomor 39... Cluster Darmawangsa.”
Senyumnya kaku.
“Saya Arya. Terima kasih sudah menjemput saya...”