Masukan nama pengguna
Bab 1 – Warisan yang Tertinggal
Arman, seorang pria berusia 30-an dengan garis rambut yang mulai mundur dan mata yang sering terlihat lelah, mendapati dirinya duduk di kursi empuk ruang tamu yang kini terasa asing. Seminggu yang lalu, tempat ini adalah rumah pamannya, Anwar, seorang kolektor barang antik eksentrik yang meninggal secara misterius. Polisi menyebutnya "kecelakaan yang aneh," sebuah jatuh dari tangga yang terlalu curam, tapi ada sesuatu yang mengganjal bagi Arman. Pamannya selalu berhati-hati, bahkan cenderung paranoid. Sekarang, yang tersisa hanyalah keheningan yang menyesakkan dan tumpukan barang-barang warisan yang harus dibereskan.
Di antara tumpukan buku tua, patung kayu berukir, dan perabot antik yang berdebu, sepasang kacamata tua menarik perhatian Arman. Bingkainya terbuat dari metal kehitaman yang sudah usang, dan lensanya tampak tebal, sedikit buram. Kacamata itu tergeletak begitu saja di atas meja samping, seolah sengaja diletakkan di sana untuk ditemukan. Arman mengambilnya, jemarinya merasakan dinginnya logam. Kacamata itu terasa berat, lebih berat dari yang ia kira. Rasa penasaran mendorongnya untuk membalik kacamata itu, dan di bagian dalam gagangnya, terukir dengan rumit angka "1913". Sebuah tahun yang terasa jauh, seolah kacamata itu menyimpan rahasia dari masa lalu yang kelam.
"Kacamata antik," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. Iseng, ia mengangkat kacamata itu dan memakainya. Pandangannya tidak terlalu jelas, sedikit kabur, tapi ia mengira itu hanya karena lensa yang mungkin tidak sesuai dengan ukuran matanya atau sudah kusam termakan usia. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri. Saat pandangannya mulai terfokus, sebuah bayangan samar melintas di sudut matanya. Arman menoleh cepat ke arah sofa di seberangnya. Dan di sanalah ia melihatnya.
Sesosok tubuh wanita muda dengan rambut panjang tergerai, duduk tenang di sofa, punggungnya menghadap Arman. Gaun terusan berwarna cerah yang dikenakannya sangat familiar. Itu adiknya, Maya. Hati Arman mencelos. Ia tahu Maya sedang tidak ada di rumah. Adiknya itu sedang dalam perjalanan dinas ke luar kota, seharusnya baru kembali akhir pekan depan. Ia melepas kacamata itu dengan cepat, mengusap matanya, dan menoleh lagi ke sofa. Kosong. Hanya ada bantal-bantal empuk yang tersusun rapi. Ia memakai kacamata itu lagi. Sosok itu muncul kembali, diam, tak bergerak.
"Maya?" panggil Arman, suaranya sedikit bergetar. Sosok itu tak merespons. Arman mendekat perlahan, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Semakin ia mendekat, semakin jelas sosok itu, namun tetap terasa seperti ilusi, seperti gambaran yang tak bisa disentuh. Ada aura kesedihan yang tak terlukiskan terpancar dari punggung sosok itu. Bulu kuduk Arman meremang. Ia melepas kacamata itu lagi. Hilang.
Malam itu, Arman tak bisa tidur. Bayangan Maya di sofa terus menghantuinya. Apakah ia terlalu lelah? Apakah itu hanya halusinasi? Kacamata itu tergeletak di nakas samping tempat tidurnya, seolah mengawasinya. Ada daya tarik aneh yang terpancar dari benda tua itu, semacam bisikan sunyi yang memintanya untuk memakainya lagi. Tapi Arman menolak. Ia mencoba rasional. Mungkin karena efek lensa yang aneh, atau mungkin ia hanya terlalu memikirkan kematian pamannya.
Beberapa hari berikutnya, Arman mencoba melupakan kejadian itu. Ia kembali ke rutinitasnya sebagai seorang desainer grafis lepas, bekerja dari rumah, mencoba mengalihkan perhatian dari kacamata dan kejadian aneh yang ia alami. Namun, kacamata itu selalu berada di sudut pandangannya, di meja kecil dekat jendela, seolah menunggunya.
Telepon berdering di siang hari, memecah keheningan apartemennya. Nama penelepon di layar membuat darah Arman berdesir dingin: Ibu. "Arman, Maya..." Suara ibunya pecah, diselingi isakan. "Maya meninggal, Nak. Kecelakaan mobil. Truk menabrak mobilnya dari samping. Tubuhnya..." Suara ibu tenggelam dalam tangis pilu.
Dunia Arman runtuh. Kata-kata "kecelakaan brutal yang tak masuk akal" terus terngiang di benaknya. Polisi mengatakan rem truk blong. Sopir truk mengaku melihat "sesuatu" melintas di depannya sebelum menabrak mobil Maya, tapi tak bisa menjelaskan dengan jelas. Semua terasa terlalu cepat, terlalu tiba-tiba.
Di tengah duka yang menusuk, bayangan Maya di sofa kembali menyeruak. Arman kembali ke rumah pamannya, tempat kacamata itu pertama kali ia temukan. Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya. Ukiran tahun "1913" terasa lebih dingin dari sebelumnya. Ia memakainya lagi, dan kali ini, tak ada sosok Maya. Hanya pantulan wajahnya sendiri yang pucat dan mata yang bengkak.
Kini, kacamata itu tidak lagi terlihat biasa. Ada beban tak terlihat yang menyelimutinya, sebuah aura gelap yang mulai merayap ke dalam kesadarannya. Arman merasa kacamata itu telah menunjukkan sesuatu, sebuah pertanda yang mengerikan, sebuah firasat yang menjadi kenyataan. Tapi ia belum paham sepenuhnya. Apakah kacamata ini pembawa sial? Atau apakah ia hanya seorang saksi, yang diberi penglihatan atas takdir yang tak terhindarkan? Perasaan bersalah mulai menggerogoti. Haruskah ia melakukan sesuatu saat melihat Maya? Bisakah ia mencegahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, tanpa jawaban. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat salah dengan kacamata ini, dan ketakutan mulai merayap pelan, merasuki setiap sudut pikirannya.
Bab 2 – Sosok-Sosok Tanpa Suara
Kematian Maya mengubah Arman. Duka yang mendalam bercampur dengan rasa takut yang tak terdefinisi. Ia mulai mencurigai kacamata itu, sebuah benda yang kini terasa seperti kutukan daripada warisan. Ia mencoba mengabaikannya, menyimpannya di laci paling dalam di meja kerjanya, seolah dengan begitu ia bisa melupakan penglihatan yang ia alami. Namun, kacamata itu memiliki daya tarik aneh, semacam bisikan tak kasat mata yang memanggilnya, menggodanya untuk memakainya lagi.
Suatu malam, setelah beberapa hari yang terasa hampa, Arman mendapati dirinya meraih kacamata itu. Tangannya bergerak seolah tanpa perintahnya sendiri. Ia memakainya. Kali ini, ia melihat Ibunya. Sosoknya berdiri di dapur, membelakanginya, seolah sedang sibuk menyiapkan sesuatu. Aroma masakan yang samar-samar tercium di udara, tapi Arman tahu itu tak mungkin. Ibunya sedang tidur di kamar, kelelahan setelah hari yang panjang mengurus persiapan pemakaman Maya.
Jantung Arman berdegup kencang. Penglihatan ini terlalu mirip dengan apa yang terjadi pada Maya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia melepas kacamata itu. Sosok itu menghilang. Ia memakainya lagi. Muncul lagi. Kali ini, ia mencoba memanggil, "Bu? Ada apa di dapur?" Tak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, seolah patung lilin yang hidup. Ketakutan itu mencengkeramnya. Ini bukan kebetulan. Ini adalah pola.
Arman mencoba memperingatkan ibunya. Keesokan paginya, saat mereka sarapan dalam keheningan yang canggung, Arman mencoba mencari alasan. "Bu, apa Ibu merasa tidak enak badan?" tanyanya, suaranya sedikit serak. Ibunya menatapnya bingung. "Tidak, Nak. Hanya sedikit lelah saja. Kenapa?" Arman ragu. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia melihat "roh" ibunya di dapur melalui kacamata tua yang baru diwarisinya? Ia akan dianggap gila. "Tidak, Bu. Hanya... berjaga-jaga saja."
Ia berusaha memaksa ibunya untuk tidak terlalu banyak bergerak, untuk beristirahat. Ia bahkan mencoba menyarankan untuk makan di luar, menghindari dapur. Ibunya hanya tersenyum tipis, menganggapnya perhatian berlebihan akibat duka. "Ibu tidak apa-apa, Arman. Jangan khawatirkan Ibu," katanya lembut, mengusap kepala Arman.
Empat hari kemudian, kengerian itu menjadi kenyataan. Arman sedang bekerja di ruangannya ketika ia mendengar suara ledakan dahsyat dari arah dapur. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia berlari keluar, melihat asap hitam mengepul dari dapur. Ibunya tergeletak tak berdaya di lantai, tubuhnya hangus dan tak bernyawa. Selang gas bocor. Petugas pemadam kebakaran mengatakan ledakan itu sangat kuat, menyebabkan kerusakan parah. "Kecelakaan yang sangat tragis," kata salah satu petugas, menggelengkan kepala.
Dunia Arman kini benar-benar hancur. Orang-orang yang paling dicintainya, Maya dan ibunya, telah direnggut darinya, dan ia merasa tak berdaya untuk mencegahnya. Rasa bersalah dan keputusasaan meremukkan jiwanya. Namun, di tengah semua kepedihan itu, sebuah pola yang mengerikan mulai terbentuk di benaknya. Penglihatan melalui kacamata. Kematian yang terjadi 4-5 hari kemudian.
Arman mulai mencatat. Ia membuat sebuah buku harian kecil, mencatat tanggal ia melihat setiap "roh" melalui kacamata, dan tanggal kematian orang tersebut. Ia ingin mencari tahu, apakah ada interval waktu yang pasti, apakah ada pola yang bisa ia pecahkan. Ia menulis:
* Maya: Terlihat 3 Juni (roh di sofa). Meninggal 7 Juni (kecelakaan mobil). Interval: 4 hari.
* Ibu: Terlihat 12 Juni (roh di dapur). Meninggal 16 Juni (ledakan gas). Interval: 4 hari.
Setiap kali ia melepas kacamata itu, ia merasa ada tarikan aneh yang mengikatnya. Seolah-olah kacamata itu tidak ingin dilepaskan, tidak ingin ditinggalkan. Rasanya seperti sebuah bagian dari dirinya, yang kini tak bisa dipisahkan. Ada bisikan halus yang menggodanya untuk memakainya lagi, untuk terus melihat, untuk terus menjadi saksi bisu dari tragedi yang akan datang. Ia mencoba meletakkannya jauh-jauh, menguncinya di laci, tapi tak pernah bertahan lama. Ada daya tarik magnetis yang aneh, yang selalu berhasil menariknya kembali.
Pernah suatu malam, ia mencoba membuangnya ke tempat sampah, tapi tangannya terasa lumpuh, tak mampu melepaskan kacamata itu dari genggamannya. Kacamata itu terasa menempel, seolah bagian dari kulitnya. Ia bahkan mencoba memukulnya dengan palu, tapi setiap kali palu mendekat, tangannya terasa seperti tertahan oleh kekuatan tak kasat mata, sebuah dorongan kuat yang menghentikannya. Kacamata itu seolah memanggil pemiliknya untuk terus memakainya, untuk menyaksikan setiap kematian, untuk menjadi penjaga gerbang antara hidup dan mati.
Ketakutan Arman semakin besar, bercampur dengan kebingungan. Apakah kacamata ini terkutuk? Apakah ia sedang dihukum? Atau apakah ini adalah peringatan, sebuah kesempatan untuk memahami takdir yang kejam? Ia mulai merasa seperti boneka yang digerakkan, tanpa kendali atas tindakannya sendiri, terjebak dalam siklus mengerikan yang dimulai oleh sepasang kacamata tua yang kini terasa menempel di wajahnya, di jiwanya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti hitungan mundur menuju tragedi berikutnya, dan Arman tahu, ia tak punya pilihan selain menunggu, dan melihat siapa lagi yang akan muncul dalam penglihatan tanpa suara selanjutnya.
Bab 3 – Janji Lama yang Terlupakan
Kematian kedua, kali ini ibunya, mendorong Arman ke ambang batas kewarasannya. Ia tak bisa lagi menganggap semua ini sebagai kebetulan. Kacamata itu adalah kuncinya, dan ia harus menemukan jawabannya. Hanya ada satu tempat yang mungkin bisa memberikan petunjuk: rumah pamannya, Anwar. Rumah itu, yang kini terasa lebih dingin dan sunyi dari sebelumnya, menyimpan rahasia.
Dengan langkah ragu, Arman kembali ke rumah pamannya. Bau apak buku-buku tua dan debu yang tebal menyambutnya. Kali ini, ia tidak mencari barang warisan, melainkan petunjuk. Ia menyusuri setiap sudut rumah, membuka setiap laci dan lemari yang belum ia periksa sebelumnya. Ia mencari sesuatu yang bisa menjelaskan kacamata terkutuk ini.
Setelah berjam-jam mencari, di balik rak buku yang tersembunyi, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran kuno. Di dalamnya, tergeletak sebuah buku harian tua yang terikat kulit, warnanya sudah pudar dan halamannya menguning. Ada semacam aura berat yang terpancar dari buku itu, seolah menyimpan kisah-kisah kelam yang terpendam. Ini pasti buku harian pamannya.
Dengan tangan gemetar, Arman membuka halaman pertama. Tulisan tangan pamannya yang rapi tapi sedikit bergetar memenuhi setiap lembar. Catatan-catatan itu dimulai dari puluhan tahun yang lalu, berisi observasi pamannya tentang benda-benda antik, filosofi pribadi, dan terkadang, hal-hal yang lebih gelap. Arman membolak-balik halaman, mencari sesuatu yang berkaitan dengan kacamata.
Akhirnya, ia menemukan beberapa entri yang mencurigakan, terpusat pada tahun 1915. Pamannya menuliskan tentang sebuah "kacamata penglihatan" yang ia peroleh dari seorang pedagang gelap. Lalu, ada catatan yang lebih mengerikan. Pamannya menuliskan bahwa kacamata itu dulunya milik seorang cenayang bernama Nyi Roro Purbasari, seorang wanita yang konon memiliki kemampuan untuk melihat masa depan, terutama kematian. "Dia tidak memanggil kematian," tulis pamannya, "tapi ia melihatnya datang. Dia melihat wajah-wajah yang akan mati, dan sayangnya, orang-orang mengira ia adalah penyebabnya."
Nyi Roro Purbasari, menurut catatan pamannya, dibunuh secara massal oleh penduduk desa yang ketakutan dan termakan takhayul. Mereka menganggapnya sebagai penyihir, pembawa malapetaka, karena setiap kali ia berbicara tentang "penglihatan"-nya, seseorang di desa itu akan meninggal. "Mereka menganggapnya memanggil kematian, padahal ia hanya melihatnya. Ia adalah sebuah cermin yang menunjukkan takdir yang tak bisa diubah," tulis pamannya dengan nada melankolis.
Pamannya juga menuliskan bahwa Nyi Roro Purbasari dikubur bersama kacamata itu, sebuah upaya untuk mengunci kutukan yang mereka yakini ada padanya. Namun, beberapa tahun kemudian, kuburnya dijarah. Kacamata itu hilang, berpindah tangan dari satu kolektor ke kolektor lain, selalu membawa kisah-kisah aneh dan kematian misterius di sekitarnya. Pamannya memperolehnya dari seorang kolektor yang putus asa, yang ingin menyingkirkan "benda terkutuk" itu.
Sebuah paragraf terakhir membuat Arman merinding hingga ke tulang sumsumnya. Pamannya menuliskan sebuah peringatan, sebuah janji lama yang mungkin saja telah ia lupakan sampai akhir hayatnya. "Jika suatu hari, kau melihat roh pemilik kacamata ini muncul di cermin, maka ketahuilah, ajal pemiliknya sudah dekat. Kacamata ini adalah sebuah siklus. Ia akan menunjukkan kematian pada orang-orang yang dicintai pemakainya, sampai akhirnya ia menunjukkan kematian pemakainya sendiri."
Pikiran Arman berpacu. Maya. Ibu. Ini adalah siklus. Kacamata itu menunjukkan kematian orang-orang yang ia cintai, dan kini, ia tahu, ia sendiri adalah target berikutnya. Waktu antara penglihatan dan kematian. Kengerian itu mencengkeramnya.
Malam itu, setelah membaca buku harian itu, Arman mulai mengalami mimpi-mimpi buruk yang mengerikan. Ia melihat wajah-wajah orang mati yang ia kenal, wajah Maya yang pucat, wajah ibunya yang hangus. Mereka semua berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan kosong, seolah memanggilnya, menyeretnya ke dalam kegelapan yang sama. Ia terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar kencang, dan suara-suara bisikan samar yang seolah memanggil namanya dari sudut-sudut ruangan.
Kacamata itu kini tidak lagi hanya menjadi sebuah benda, melainkan entitas yang hidup, sebuah entitas yang haus akan kematian, yang telah menemukan korban barunya. Ia tahu, peringatan pamannya tidak main-main. Kacamata itu telah mengklaim Maya dan ibunya, dan kini gilirannya. Ia merasa seperti terperangkap dalam jaring laba-laba, perlahan-lahan ditarik menuju takdir yang mengerikan, tanpa daya untuk melawan. Bisikan-bisikan itu semakin jelas, seolah suara-suara dari alam baka, memanggilnya untuk bergabung dengan mereka.
Bab 4 – Penyangkalan dan Perlawanan
Setelah membaca buku harian pamannya, Arman terjebak dalam spiral keputusasaan dan ketakutan. Pengetahuan bahwa ia adalah korban berikutnya, bahwa ia sedang ditarik ke dalam siklus kematian yang tak terhindarkan, melumpuhkannya. Ia mencoba melarikan diri dari takdirnya, mencoba menghindari kacamata itu dengan segala cara. Ia menguncinya di brankas kecil, menyembunyikannya di tempat yang paling terpencil, bahkan mencoba menguburnya di halaman belakang rumah. Namun, setiap usaha sia-sia.
Setiap malam, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya, Arman selalu mendapati dirinya terbangun dari tidur, berjalan seperti dalam trans menuju tempat di mana kacamata itu disembunyikan. Tangannya akan meraihnya, jemarinya akan gemetar saat menyentuh bingkai dingin itu, dan sebelum ia sadar, kacamata itu sudah bertengger di hidungnya. Rasanya seperti ia tidak punya kendali atas tubuhnya sendiri. Ia terhipnotis, tak berdaya melawan bisikan tak kasat mata yang memaksanya untuk terus memakainya, untuk terus melihat.
Dan setiap kali ia memakainya, penglihatan baru muncul. Kali ini, sosok itu adalah Sarah, mantan kekasihnya. Hati Arman mencelos. Sarah. Wanita yang dulu pernah ia khianati, wanita yang ia tinggalkan demi ambisi semu, meninggalkan luka yang dalam di hatinya. Sosoknya berdiri mematung di jendela apartemennya, menatap keluar dengan tatapan kosong, rambut pirangnya tergerai, seolah tak sadar akan kehadiran Arman.
Rasa bersalah yang selama ini terpendam kembali menguasai Arman. Ia mencoba memanggil nama Sarah, mencoba memperingatkan, berteriak bahwa ia harus pergi, bahwa ia dalam bahaya. Namun, seperti roh-roh sebelumnya, Sarah tak merespons. Sosok itu hanya berdiri diam, menatap ke kejauhan, seolah menunggu takdirnya sendiri.
Arman mencoba melakukan apa pun yang ia bisa. Ia menelepon Sarah berkali-kali, mengirim pesan singkat, memintanya untuk tidak pergi ke mana pun, untuk tetap di rumah. Ia bahkan berpikir untuk mendatangi rumah Sarah, tapi sesuatu menahannya. Sebuah perasaan tak berdaya yang mengerikan, sebuah pemahaman bahwa takdir ini tak bisa diubah, tak bisa dihindari. Ia ingat kata-kata pamannya, "Ia adalah sebuah cermin yang menunjukkan takdir yang tak bisa diubah."
Empat hari kemudian, berita itu sampai padanya. Sarah meninggal. "Tertabrak mobil yang melaju kencang," kata seorang teman yang menelponnya, suaranya dipenuhi kesedihan. "Tubuhnya... tercabik-cabik. Tidak ada yang bisa dikenali." Arman menjatuhkan telepon. Kakinya lemas. Ia ambruk ke lantai, air mata mengalir deras. Sarah. Orang yang ia cintai. Orang yang pernah ia sakiti. Kini, ia juga telah pergi, menjadi korban siklus kacamata terkutuk itu.
Arman mulai bertanya-tanya, apakah ia penyebab kematian karena melihat roh, ataukah roh itu adalah pertanda tetap yang tak bisa diubah? Apakah dengan melihat, ia mengaktifkan kutukan itu? Atau apakah kacamata itu hanya menunjukkan apa yang sudah pasti akan terjadi, sebuah cermin yang tak bisa berbohong? Jika ia tidak memakai kacamata itu, apakah kematian itu masih akan terjadi? Pertanyaan-pertanyaan ini membelenggu pikirannya, membuatnya gila.
Rasa penyesalan yang mendalam menggerogotinya. Hidupnya terasa dipenuhi dengan kesalahan, dengan luka yang ia torehkan pada orang-orang yang mencintainya. Ia mengkhianati Sarah. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurang menghabiskan waktu dengan ibunya. Ia tidak pernah benar-benar mengatakan betapa ia mencintai Maya. Sekarang, semua sudah terlambat. Semua orang yang berarti baginya telah diambil, dan ia merasa bertanggung jawab atas semuanya, karena ia telah menjadi saksi bisu dari kematian mereka.
Kacamata itu kini terasa lebih berat, seolah menanggung beban semua kematian yang ia saksikan. Ia mencoba untuk melepaskannya, untuk membuangnya, tetapi selalu gagal. Setiap kali ia mencoba, ada rasa sakit yang menusuk di kepalanya, sebuah tekanan tak kasat mata yang membuatnya tidak bisa bergerak. Ini bukan lagi hanya tentang kacamata, ini adalah bagian dari dirinya, sebuah parasit yang telah mengakar.
Di malam hari, Arman sering duduk sendirian di kegelapan, merenungkan nasibnya. Ia melihat ke cermin, mencari tanda-tanda, mencari tahu kapan gilirannya akan tiba. Ia tahu bahwa penglihatan rohnya sendiri di cermin adalah pertanda akhir. Ia menatap matanya sendiri, yang kini dipenuhi ketakutan dan keputusasaan. Ia tahu, ia tak punya banyak waktu lagi. Kacamata itu telah menunjukkan takdirnya, dan kini, ia hanya bisa menunggu, menjadi korban berikutnya dalam siklus mengerikan ini.
Bab 5 – Ramalan Tanggal 13
Tanggal 13. Angka itu terukir di benak Arman seperti merek panas. Buku harian pamannya menyebutkan tanggal itu, sebuah tanggal yang selalu dikaitkan dengan kejadian-kejadian buruk yang terjadi pada Nyi Roro Purbasari, cenayang pemilik kacamata itu. Dan kini, tanggal itu akan segera tiba. Ia merasa semakin lemah setiap hari, seolah hidupnya perlahan-lahan terkuras.
Gejala-gejala fisik mulai muncul. Sakit kepala yang tak kunjung hilang, mual yang membuatnya kehilangan nafsu makan, tubuhnya terasa lemas, seperti tak punya energi sama sekali. Malam-malamnya dihabiskan dengan terjaga, terperangkap dalam ketakutan dan antisipasi. Setiap suara kecil membuatnya terlonjak, setiap bayangan membuatnya melihat sosok-sosok yang tak ada. Ia tahu, ini adalah pertanda bahwa kacamata itu sedang bersiap untuk penglihatan terakhir.
Dan kemudian, mereka mulai bermunculan. Tidak satu per satu lagi, melainkan secara bersamaan, seperti parade kematian. Arman memakai kacamata itu, dan di setiap sudut ruangan, ia melihat mereka. Maya, duduk di sofa dengan senyum tipis yang memudar. Ibunya, berdiri di dapur, menatapnya dengan tatapan kosong. Sarah, berdiri di jendela, rambutnya tertiup angin yang tak ada. Mereka semua ada di sana, hantu-hantu dari masa lalu, mengawasinya, seolah menunggu gilirannya.
Ia melepas kacamata, dan mereka menghilang. Ia memakainya lagi, dan mereka muncul kembali, semakin jelas, semakin nyata, seolah mereka ingin Arman tahu bahwa mereka ada di sana, menunggunya. Ini adalah sebuah pertunjukan yang mengerikan, sebuah pengingat akan semua yang telah ia hilangkan.
Di tengah semua itu, sebuah sosok baru muncul. Sosok seorang pria tinggi tegap dengan rambut ikal dan senyum hangat. Andi. Sahabat Arman, satu-satunya orang yang masih tersisa dalam hidupnya. Andi yang dulu menolongnya saat ia terjerat depresi parah, yang mencegahnya melakukan bunuh diri bertahun-tahun lalu. Kini, rohnya muncul menangis di bawah tangga, bahunya bergetar, seolah membawa beban kesedihan yang tak tertahankan.
Melihat Andi, Arman merasakan desakan panik yang luar biasa. Ia tak bisa kehilangan Andi. Ia harus menyelamatkan sahabatnya. Ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk menghentikan siklus ini, untuk menebus semua kesalahannya. Ia mencoba menelepon Andi, mengirim pesan. "Di mana kau? Ada apa? Aku perlu bicara denganmu, penting sekali!"
Andi akhirnya mengangkat telepon. Suaranya serak, penuh kesedihan. "Arman... aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Hidupku berantakan. Pekerjaanku, hubunganku..." Andi terdengar seperti orang yang putus asa. Arman mendesaknya untuk datang, untuk bicara, untuk bertemu dengannya sekarang. "Aku butuh kau, Andi. Kumohon, datanglah!"
Andi setuju untuk datang malam itu. Arman menunggu di rumah, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa mengubah ini. Ia bisa mencegah kematian Andi. Ia akan membawanya ke tempat aman, menjauhkannya dari segala bahaya.
Namun, Andi tak pernah datang.
Keesokan paginya, Arman menerima telepon dari kepolisian. Andi ditemukan meninggal di apartemennya sendiri. Gantung diri. Sebuah catatan singkat ditemukan di samping tubuhnya, berisi kata-kata perpisahan yang pilu. "Aku tidak tahan lagi. Maafkan aku, Arman."
Hancur. Hancur lebur. Arman tak bisa lagi berdiri. Ia merosot ke lantai, meraung. Ini semua salahnya. Ia telah gagal. Ia telah gagal mencegah kematian orang-orang yang dicintainya, dan sekarang, ia juga telah gagal menyelamatkan sahabatnya.
Air mata Arman mengalir deras, bercampur dengan rasa muak pada dirinya sendiri. Ia kini tahu bahwa kematian itu tak bisa dicegah, hanya bisa disaksikan lebih awal. Kacamata itu bukanlah alat untuk mencegah, melainkan sebuah kutukan yang hanya membiarkannya melihat takdir yang kejam. Ia adalah penonton dari sebuah drama horor yang diperankan oleh orang-orang yang ia cintai, dan kini, ia adalah satu-satunya pemain yang tersisa, menunggu gilirannya di panggung kematian. Tanggal 13 semakin dekat, dan ia tahu, ia adalah target terakhir dalam parade kematian yang mengerikan ini.
Bab 6 – Cermin dan Roh Sendiri
Malam tanggal 13. Malam yang telah dinanti-nantikan Arman dengan ketakutan yang tak tertahankan. Rumahnya terasa sunyi dan kosong, lebih dari biasanya. Tak ada lagi suara tawa Maya, tak ada lagi aroma masakan ibunya, tak ada lagi bisikan telepon dari Sarah atau Andi. Semua telah pergi. Ia 6sendirian, benar-benar sendirian, terperangkap dalam kehampaan yang mencekam.
Ia duduk di depan cermin tua yang ada di ruang tamunya. Cermin itu adalah peninggalan dari pamannya juga, bingkainya terbuat dari kayu gelap berukir, sedikit buram dan kusam. Malam itu, di tengah kegelapan yang pekat, cermin itu memancarkan aura yang berbeda, seolah menunggu. Dengan tangan gemetar, Arman mengangkat kacamata itu, yang kini terasa begitu berat, seolah menanggung beban semua jiwa yang telah ia saksikan. Ia memakainya.
Pandangannya kabur sesaat, lalu fokus. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang pucat, mata cekung yang dipenuhi ketakutan, rambutnya yang kusut. Ia menatap pantulan itu, mencoba mencari sesuatu, mencari tanda-tanda. Dan di sana, di balik pantulan dirinya, ia melihatnya.
Sesosok tubuh. Sosoknya sendiri.
Rohnya berdiri di baliknya, tatapan kosong, matanya merah berdarah, dan mulutnya menganga dalam jeritan tanpa suara. Tubuhnya berlumuran darah segar, seolah baru saja mengalami kekerasan yang mengerikan. Arman tak bisa bernapas. Ini dia. Ini adalah akhir dari siklus. Peringatan pamannya bergema di benaknya: "Jika suatu hari, kau melihat roh pemilik kacamata ini muncul di cermin, maka ketahuilah, ajal pemiliknya sudah dekat."
Ketakutan itu mencengkeramnya, melumpuhkan setiap ototnya. Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia mencoba melepas kacamata itu, tapi tangannya kaku, seolah membeku di tempat. Ia hanya bisa menatap pantulan mengerikan itu, pantulan dari takdirnya sendiri.
Tiba-tiba, tubuh Arman menegang. Napasnya menjadi berat, tersengal-sengal. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya, menarik paksa jiwanya keluar dari raganya. Ada rasa dingin yang menusuk, perlahan-lahan menyebar dari ujung kaki hingga ke kepala. Ia merasakan sesuatu yang tak terlihat menyeretnya, membantingnya, menghantamkan tubuhnya ke lantai dengan kekuatan brutal. Matanya melotot, menyaksikan pantulan rohnya di cermin yang semakin jelas, semakin nyata, seolah roh itu sedang mengambil alih dirinya.
Ia merasakan sakit yang luar biasa, sensasi tajam yang menusuk ke dalam tubuhnya. Ia merasakan pecahan kaca yang menusuk kulitnya, merobek dagingnya. Jeritan tanpa suara yang ia lihat di wajah rohnya kini menjadi jeritan nyata, yang teredam oleh ketakutan dan rasa sakit yang mematikan.
Kegelapan mulai menyelimutinya. Suara-suara bisikan dari orang-orang yang telah meninggal semakin nyaring, memanggil namanya, menyambutnya ke dalam dunia mereka. Ia melihat wajah Maya, ibunya, Sarah, dan Andi, semuanya tersenyum tipis, seolah menunggunya.
Di akhir malam, saat fajar mulai menyingsing, seorang tetangga yang curiga karena lampu rumah Arman menyala terus dan ada suara gaduh di malam hari, mencoba memeriksa. Pintu depan terbuka. Di dalam, pemandangan mengerikan menyambutnya. Arman tergeletak di lantai, tubuhnya tak bernyawa. Pecahan kaca dari cermin yang hancur berserakan di sekelilingnya, menancap di tubuhnya. Wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang tak terlukiskan, matanya masih terbuka lebar, seolah masih melihat sesuatu yang mengerikan di saat-saat terakhirnya. Kacamata tua itu terlepas dari wajahnya, tergeletak di sampingnya, lensanya pecah, tapi bingkainya masih utuh.
Siklus telah berakhir. Untuk Arman.
Bab 7 – Pemilik Baru
Beberapa minggu kemudian, rumah Arman yang dulunya dipenuhi duka dan misteri, kini terasa lebih sunyi dan sepi. Bau darah telah dibersihkan, pecahan kaca telah disingkirkan, dan segala kenangan tentang kematian Arman telah coba dihapus oleh keluarganya yang masih tersisa. Mereka memutuskan untuk membersihkan rumah itu, berharap bisa menjualnya dan melupakan semua tragedi yang terjadi di sana.
Keponakan Arman, Rio, seorang mahasiswa berusia 20-an yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, ditugaskan untuk membereskan sisa-sisa barang di rumah itu. Rio tidak terlalu percaya pada cerita-cerita horor yang beredar tentang rumah pamannya. Ia menganggapnya hanya takhayul, efek dari kesedihan yang mendalam. Ia mulai membersihkan rak buku tua di ruang tamu, tempat Arman pertama kali menemukan kacamata terkutuk itu.
Saat ia menarik beberapa buku usang, sebuah benda kecil terjatuh dari balik rak. Benda itu tergeletak di lantai berdebu. Rio membungkuk dan mengambilnya.
Itu adalah sepasang kacamata tua. Bingkainya hitam, tampak usang, dan salah satu lensanya retak, tapi masih menempel pada bingkai. Ada ukiran angka "1913" di bagian dalam gagangnya. Kacamata itu terasa dingin di tangannya, tapi Rio tak merasakan adanya aura aneh. Ia hanya menganggapnya sebagai barang antik biasa, mungkin milik pamannya yang terjatuh.
Penasaran, Rio mengangkat kacamata itu dan memakainya. Pandangannya sedikit buram karena lensa yang retak, tapi ia bisa melihat dengan jelas. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Di sudut ruangan, di dekat sofa yang dulu sering diduduki oleh Maya, berdiri sesosok pria. Pria itu menatapnya, dengan tatapan kosong, matanya cekung, dan tubuhnya dipenuhi darah dan luka. Wajahnya pucat pasi, seperti mayat hidup. Itu adalah Arman. Pamannya.
Jantung Rio berdebar kencang. Ia mengenali pakaian yang dikenakan sosok itu—pakaian yang dikenakan Arman saat ia ditemukan tewas. Rio mencopot kacamata itu dengan cepat, napasnya terengah-engah. Sudut ruangan itu kosong. Ia memakainya lagi. Sosok Arman muncul kembali, diam, mengawasinya.
Rio merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tak keluar. Ia mencoba lari, tapi kakinya terasa terpaku di tempat. Ia hanya bisa menatap sosok pamannya yang tak bernyawa itu, yang kini menjadi penglihatan pertamanya.
Ia tidak tahu apa yang telah ia alami. Ia tidak tahu tentang siklus. Ia tidak tahu tentang kutukan. Ia tidak tahu bahwa ia baru saja membuka gerbang menuju takdir yang mengerikan.
Dan saat kacamata itu dikenakan, siklus pun dimulai kembali.