Masukan nama pengguna
Bab 1 – Pendakian di Balik Mitos
Udara pagi di kaki Gunung Sagara terasa dingin menusuk tulang, tetapi semangat tiga remaja itu membakar lebih panas dari mentari yang baru mengintip. Reno, si pemimpin dengan postur tegap dan tatapan mata tajam, menarik napas dalam, aroma pinus menusuk indranya. Di sampingnya, Dika, berkacamata dengan raut wajah selalu penasaran, membenarkan letak ranselnya yang terasa berat, berisi buku-buku sejarah dan kamera mirrorless. Terakhir, Tama, si penakut namun setia, memilin-milin tali ranselnya, giginya gemeletuk bukan hanya karena dingin, tapi juga gugup.
"Siap, guys?" Reno bertanya, suaranya mantap, memecah keheningan rimba.
Dika mengangguk antusias. "Jelas! Ini bakal jadi petualangan terbesar kita!"
Tama hanya bisa bergumam, "Kalau kita enggak hilang, sih."
Reno menepuk punggung Tama. "Sudah kubilang, jangan percaya takhayul. Orang-orang itu cuma tersesat karena kurang persiapan atau terlalu nekat."
Sebelum mereka melangkah masuk ke gerbang rimba yang diselimuti kabut tipis, seorang lelaki tua dengan wajah keriput dan mata sendu muncul dari sebuah warung reot. Ia memegang tongkat kayu yang sudah usang, jari-jarinya menunjuk ke arah puncak Sagara yang diselimuti awan.
"Nak, jangan kalian coba-coba naik ke sana," suara lelaki tua itu serak, seperti dedaunan kering yang diinjak. "Gunung itu... punya penunggunya. Banyak yang hilang, bukan karena tersesat, tapi karena dipanggil."
Dika, dengan sifatnya yang haus akan cerita, menghampiri lelaki tua itu. "Memangnya kenapa, Pak? Apa benar ada yang gaib di atas sana?"
Lelaki tua itu menghela napas berat. "Bukan cuma gaib, Nak. Mereka bilang, waktu di atas sana itu tipis. Satu langkahmu bisa membawamu ke tempat yang tidak ada di peta. Ke tempat di mana arwah-arwah yang tersesat menanti."
Reno tersenyum tipis, meremehkan. "Terima kasih atas peringatannya, Pak. Tapi kami sudah sangat siap. Peta, GPS, perbekalan lengkap."
Lelaki tua itu hanya menggelengkan kepala, tatapannya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan itu yang akan menyesatkan kalian, Nak. Tapi rasa penasaran kalian sendiri." Ia melirik ke arah Dika yang masih memegang erat buku catatannya. "Terutama kau, Nak. Jangan terlalu ingin tahu apa yang tidak seharusnya kau ketahui."
Ketiga remaja itu mengabaikan peringatan tersebut. Bagi mereka, itu hanya mitos lokal yang disebar untuk menjaga keasrian gunung dari pendaki nakal. Mereka melambaikan tangan, mengucapkan terima kasih, dan mulai mendaki jalur setapak yang menanjak, di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi, seolah langit-langit hutan itu mengurung mereka.
Pagi menjelma siang, suara kicauan burung sesekali terdengar, disusul gesekan daun-daun kering di bawah sepatu bot mereka. Reno memimpin jalan, sesekali berhenti untuk memeriksa peta dan memastikan mereka tetap pada jalurnya. Dika berjalan di tengah, sesekali memotret pemandangan atau mencatat nama-nama tanaman unik yang mereka temui. Tama, yang paling belakang, sesekali menoleh ke belakang, seolah merasakan ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik pepohonan lebat.
"Rasanya aneh ya," Tama berbisik, mendekat ke Dika. "Suasananya beda dari gunung lain yang pernah kita daki."
"Apanya yang beda?" Dika bertanya, tidak terlalu memerhatikan, matanya sibuk memindai deretan pohon.
"Lebih... sunyi. Kayak enggak ada kehidupan lain selain kita," jawab Tama, merapatkan jaketnya. Padahal, cuaca tidak terlalu dingin.
Reno memutar kepala. "Itu karena kita masuk ke jalur yang jarang dilalui, Tama. Makin jarang orang lewat, makin alami suasananya."
Mereka terus berjalan, tanpa menyadari bahwa setiap langkah mereka membawa mereka lebih dalam ke dalam jantung mitos yang selama ini mereka anggap remeh.
Bab 2 – Temuan di Pos Tua
Setelah berjam-jam mendaki, melintasi akar-akar pohon yang menonjol dan bebatuan licin, Reno mengusulkan untuk istirahat sejenak. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menipu mata. Mereka memutuskan untuk mencari tempat datar untuk beristirahat.
"Sepertinya kita agak melenceng dari jalur utama," Dika bergumam, memeriksa peta yang sudah usang. "Kita malah masuk ke jalur kecil ini."
Reno mengerutkan kening. "Benarkah? Aku yakin kita mengikuti tanda panah di pohon tadi."
Tiba-tiba, Tama menunjuk ke arah kanan, ke balik semak belukar yang rimbun. "Lihat! Ada bangunan di sana!"
Ketiganya berjalan mendekat, menyingkirkan ranting-ranting dan daun-daun kering. Di sana, tersembunyi di balik rerimbunan, berdiri sebuah pos kayu tua. Kayunya lapuk, atapnya sebagian sudah runtuh, dan dindingnya ditumbuhi lumut tebal. Jendela-jendela tanpa kaca menampilkan lubang hitam yang menakutkan, seperti mata kosong yang menatap mereka.
"Pos apa ini?" Reno bertanya, mencoba mendorong pintu yang sudah tidak lagi memiliki engsel, sehingga langsung terbuka dengan derit mengerikan.
Bagian dalam pos itu gelap dan pengap. Bau lumut dan tanah basah mendominasi udara. Debu tebal menyelimuti setiap permukaan. Di sudut ruangan, sebuah meja kayu reot berdiri miring, dan di atasnya, tergeletak sebuah benda yang menarik perhatian Dika.
"Apa itu?" Dika melangkah maju, tangannya menggapai benda tersebut.
Itu adalah sebuah kompas tua. Bingkainya terbuat dari kuningan yang sudah menghitam dan berkarat, dengan ukiran angka '1940' yang samar terlihat di bagian bawah. Di bagian tengah, alih-alih panah penunjuk utara yang biasa, terdapat lambang bintang yang aneh, dikelilingi oleh ukiran-ukiran kecil yang menyerupai simbol-simbol kuno, tidak familiar bagi mereka. Jarum kompas itu sendiri tampak usang, ujungnya agak bengkok.
"Kompas tua," Reno berkomentar. "Pasti punya pendaki zaman dulu."
Dika membersihkan debu dari permukaan kompas itu dengan jari-jarinya. "Angka 1940... ini sudah sangat tua." Rasa ingin tahunya membuncah. Ia mencoba menggerak-gerakkan kompas, tetapi jarumnya tetap diam, menunjuk ke arah yang acak. "Jarumnya rusak, sepertinya."
"Mungkin itu punya salah satu pendaki yang hilang?" Tama bergidik. "Buang saja, Dika. Jangan aneh-aneh."
"Mana mungkin! Ini barang antik!" Dika menepis perkataan Tama. "Lagipula, rusak atau tidak, ini unik. Aku ambil ya."
Tanpa pikir panjang, Dika memasukkan kompas tua itu ke dalam saku jaketnya. Mereka menghabiskan waktu sebentar di pos itu, mengamati sekeliling, tetapi tidak ada hal lain yang menarik perhatian. Suasana di dalam pos terasa berat, seolah udara itu sendiri menyimpan kenangan yang tak terucapkan.
Saat mereka keluar dari pos, Dika mengeluarkan kompas itu lagi. Iseng, ia memutar-mutarnya di telapak tangannya. Tiba-tiba, jarum kompas yang semula diam, kini bergerak. Perlahan tapi pasti, ia berputar, lalu berhenti. Ia menunjuk ke arah yang sama sekali tidak ada di peta mereka. Bukan utara, selatan, timur, atau barat. Tapi ke sebuah titik di antara pepohonan lebat yang sepertinya belum pernah mereka jelajahi.
"Lho? Kok gerak?" Reno mengerutkan kening. "Rusak kali."
"Tapi dia nunjuk ke satu arah," Dika berujar, matanya berbinar penasaran. "Ke sana!" Ia menunjuk ke arah jarum kompas.
Tama menelan ludah. "Jangan aneh-aneh deh, Dika. Itu kan enggak ada di peta. Bahaya!"
"Makanya aneh, kan?" Dika tersenyum lebar. "Mungkin ini jalur rahasia! Atau ada sesuatu yang menunggu kita di sana. Ayo, kita ikuti sebentar saja."
Reno, yang pada dasarnya suka tantangan, akhirnya setuju. "Oke, tapi cuma sebentar. Kalau aneh-aneh, kita langsung balik."
Tama hanya bisa menghela napas, mengikuti langkah kedua temannya yang dipandu oleh kompas tua yang misterius itu. Mereka tidak tahu, jarum kompas itu tidak menunjuk ke harta karun atau pemandangan indah, melainkan ke pintu gerbang sebuah neraka yang menunggu untuk terbuka.
Bab 3 – Jejak yang Tak Pernah Kembali
Dipandu oleh jarum kompas tua, mereka mulai melangkah menembus semak-semak dan pepohonan yang semakin rapat. Jalur yang mereka ikuti tidak seperti jalur pendakian biasa; tidak ada tanda panah, tidak ada jejak kaki, hanya vegetasi liar yang menghalangi setiap langkah. Udara terasa lebih lembap, dan suara-suara hutan yang semula samar, kini terasa seperti bisikan-bisikan aneh.
"Yakin ini aman, Dika?" Tama bertanya, suaranya sedikit bergetar. Sebuah ranting tajam menggores lengannya, tetapi ia tidak terlalu memedulikannya. Perasaannya semakin tidak enak.
"Tentu saja!" Dika berseru riang, matanya terpaku pada kompas di tangannya. Jarumnya berkedip-kedip, kadang bergerak pelan, kadang berputar sebentar, tetapi selalu kembali menunjuk ke arah yang sama. "Ini petualangan, Tama! Kau harusnya senang."
Reno berjalan di depan, mengayunkan parang kecilnya untuk membuka jalan. "Sejauh ini aman. Tapi kalau tidak ada apa-apa, kita balik."
Setelah sekitar setengah jam berjalan, kompas tua itu mulai bergetar di tangan Dika. Getarannya semakin kuat, seperti denyut jantung yang terpacu. Jarumnya menunjuk lurus ke depan, ke arah sebuah area terbuka yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi.
Ketika mereka sampai di area itu, ketiga remaja itu terdiam. Bukan pemandangan indah yang mereka temukan, melainkan sisa-sisa perkemahan yang sudah lama ditinggalkan. Sebuah tenda yang sudah robek dan kusam teronggok di tanah, warnanya pudar, sebagian besar sudah menyatu dengan lumut dan tanah. Di dekatnya, berserakan serpihan tas ransel yang hancur, isinya tersebar: botol minum kosong yang berlumut, bungkus makanan yang sudah lapuk, dan pakaian yang membusuk.
"Astaga..." Reno bergumam, matanya menyapu sekeliling. "Ini... ini pasti milik pendaki yang hilang itu."
Dika membungkuk, mengambil selembar kain yang dulu mungkin adalah jaket gunung. Baunya apek dan lembap. Lalu matanya tertumbuk pada sesuatu yang lain: sebuah buku bersampul kulit yang sudah menguning, tergeletak di bawah akar pohon besar.
"Ini apa?" Dika mengambilnya dengan hati-hati. Itu adalah sebuah buku log pendaki, atau mungkin semacam jurnal pribadi. Sampulnya kotor, tetapi tulisan di dalamnya masih bisa terbaca samar-samar.
"Jangan-jangan ini buku log orang yang hilang itu?" Tama berkata, suaranya tercekat. Ia bisa merasakan bulu kuduknya merinding.
Dika membuka buku itu. Halaman-halaman pertama berisi daftar nama-nama pendaki dan tanggal pendakian mereka, namun sebagian besar sudah tidak terbaca jelas karena kerusakan air dan waktu. Tetapi di halaman-halaman terakhir, ada tulisan tangan yang masih cukup jelas, dengan tinta yang sudah memudar.
20 Mei 1998.
Sudah tiga hari kami tersesat. Kompas aneh ini terus menunjuk ke arah yang sama, menjauh dari jalur. Bekal menipis. Kami melihat bayangan... seperti ada yang mengawasi.
21 Mei 1998.
Kami menemukan tempat ini. Bekas perkemahan lain. Ada tulisan di batu: "Jangan Ikuti Jarumnya." Kami panik. Tapi kami tidak tahu jalan pulang. Jarum kompas terus berputar liar jika kami mencoba kembali.
22 Mei 1998.
Suara-suara di kabut. Mereka memanggil namaku. Kami melihat sesuatu yang... mirip dengan kami. Mereka tersenyum.
Halaman terakhir hanya berisi coretan-coretan acak, seperti tulisan seseorang yang sedang panik atau gila, dan di bagian bawahnya, sebuah kalimat yang ditulis dengan sangat tebal, seolah ditekan dengan segenap kekuatan:
"TOLONG KAMI. KAMI TERJEBAK."
Dika membacakan sebagian isinya dengan suara pelan. Reno dan Tama mendengarkan dengan napas tertahan. Suasana yang semula hanya sedikit aneh, kini berubah menjadi mencekam. Mereka baru saja membaca kisah nyata dari orang-orang yang hilang di gunung ini.
"Ini... ini beneran jurnal pendaki yang hilang?" Reno bertanya, suaranya lebih pelan dari biasanya. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat.
"Pasti," Dika mengangguk, matanya menatap kompas tua di tangannya, lalu ke arah yang ditunjuk jarumnya. "Dan mereka juga mengikuti kompas ini."
Tama hampir menangis. "Sudah kubilang! Kompas ini sial! Ayo kita buang dan balik sekarang juga!" Ia ingin berlari, tetapi kakinya terasa seperti terpaku ke tanah.
Namun, rasa penasaran Dika semakin besar, bercampur dengan ketakutan yang aneh. "Tapi kenapa? Kenapa mereka terjebak? Apa yang ada di ujung jarum ini?"
Reno menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Kita tidak bisa panik. Kita sudah tahu ini bahaya. Kita harus kembali. Sekarang."
Mereka berbalik, mencoba mencari jejak kembali. Namun, seperti yang tertulis di jurnal, kompas tua di tangan Dika mulai berputar liar, tidak menunjuk ke arah yang jelas. Bahkan kompas digital di ponsel Reno pun tampak tidak berfungsi dengan benar, menunjukkan arah yang terus berubah-ubah.
Ketiganya saling pandang. Mereka menyadari, mereka sedang menginjak tanah tempat orang-orang hilang dahulu pernah berada. Dan mungkin, mereka juga sudah melangkah terlalu jauh untuk kembali.
Bab 4 – Suara dari Kabut
Ketakutan mulai menyelimuti mereka dengan perlahan namun pasti. Reno mencoba menggunakan aplikasi peta di ponselnya, tetapi sinyal hilang sepenuhnya. GPS pun tak bisa menangkap lokasi. Ia mencoba menggunakan kompas konvensional, tetapi jarumnya berputar tak tentu arah, seolah medan magnet di sekitar mereka kacau balau. Kompas tua di tangan Dika justru menunjukkan arah yang konsisten, namun ke arah yang semakin jauh dari jalur pendakian yang mereka kenal.
"Ini tidak benar," Reno berkata, suaranya tegang. "Kita harus kembali ke pos tadi. Mungkin dari sana kita bisa menemukan jalan."
Mereka mencoba melacak jejak kaki mereka sendiri, tetapi hutan tampak berubah. Pepohonan yang tadinya mereka lewati kini terlihat berbeda, beberapa pohon besar yang menjadi penanda seolah menghilang, digantikan oleh pohon-pohon lain yang tidak mereka kenali.
Tiba-tiba, udara di sekitar mereka berubah dingin. Tidak hanya dingin, tetapi juga lembap, seolah embun telah turun dengan deras. Dalam hitungan detik, kabut tebal dan pekat mulai turun. Kabut itu begitu padat hingga mengurangi jarak pandang menjadi hanya beberapa meter. Pohon-pohon di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan samar, diselimuti tirai putih yang menakutkan.
"Kabut macam apa ini? Masih siang bolong!" Tama berteriak panik, matanya melotot. Ia merapatkan diri ke Reno.
"Ini... aneh," Dika bergumam, merapatkan jaketnya. "Jarak pandang nol."
Reno mencoba mencari pegangan. "Jangan panik! Tetap dekat! Kita ikuti saja satu sama lain."
Namun, di tengah kepekatan kabut itu, suara-suara mulai terdengar. Samar-samar, seperti bisikan angin, lalu semakin jelas.
“Tolong... aku tersesat...”
Suara itu terdengar parau, serak, seperti suara seseorang yang sudah lama tidak bicara. Suara laki-laki.
"Siapa itu?" Tama mencicit, matanya melirik ke segala arah.
“Dingin sekali... tolong... siapapun...”
Suara itu terdengar lebih dekat sekarang, seolah datang dari balik kabut di sebelah kanan mereka.
Reno memegang erat parangnya. "Halo? Siapa di sana? Kalian pendaki?"
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan sesaat, yang terasa lebih menakutkan dari suara itu sendiri. Lalu, suara itu kembali, kini bercampur dengan suara isakan pelan.
“Aku sendirian... aku takut...”
Dan kemudian, di antara gumpalan kabut, mereka melihatnya. Bayangan samar, berbentuk seperti manusia, berpakaian ala pendaki. Sosok itu bergerak perlahan, seolah pincang, menjauh dari mereka.
"Lihat!" Dika menunjuk, suaranya bergetar. "Ada orang!"
"Jangan didekati!" Reno menarik tangan Dika yang hendak melangkah. "Itu... itu mungkin bukan orang."
Namun, rasa penasaran Dika begitu kuat. "Tapi kalau dia butuh pertolongan?"
Tiba-tiba, sosok itu berhenti. Ia menoleh perlahan ke arah mereka, meskipun wajahnya tidak terlihat jelas karena kabut yang tebal. Namun, mereka bisa merasakan seolah tatapan kosong itu menembus mereka. Lalu, sosok itu mengangkat tangannya, seolah memanggil mereka.
“Ikutlah... kami... menanti...”
Suara itu sekarang terdengar berbeda. Lebih dari satu suara. Banyak suara, berbisik, memanggil, melayang di antara kabut. Suara-suara itu seolah saling tumpang tindih, menciptakan paduan suara hantu yang menusuk telinga.
Tama menjerit kecil. "Aku mau turun! Aku mau turun sekarang juga!" Air mata mulai mengalir di pipinya. "Ini tidak normal! Mereka... mereka bukan manusia!"
Dika, meskipun takut, masih terpaku. "Tapi... siapa mereka? Kenapa mereka ada di sini?"
"Kita enggak peduli siapa mereka!" Reno membentak, berusaha menarik Dika. "Kita harus keluar dari sini!"
Namun, semakin mereka mencoba bergerak, suara-suara itu semakin riuh. Beberapa suara terdengar seperti teman-teman mereka sendiri, memanggil nama mereka.
“Reno... Dika... Tama... ayo ikut kami...”
“Jangan pergi... kalian akan sendirian...”
Suara Tama yang sama persis, memanggil namanya sendiri dari dalam kabut, membuat Tama limbung. Ia menutup telinganya, tubuhnya gemetar hebat.
Dika, di sisi lain, mulai tampak kebingungan. Matanya menyiratkan perjuangan antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Jarum kompas tua di sakunya mulai bergetar lagi, lebih cepat dari sebelumnya, menunjuk lurus ke arah kabut yang paling pekat, tempat suara-suara itu berasal.
Mereka menyadari, suara-suara itu bukan sekadar ilusi. Mereka nyata. Dan mereka datang dari sesuatu yang berada di luar pemahaman mereka. Di dalam kabut itu, sebuah pintu gerbang menuju kengerian baru perlahan terbuka.
Bab 5 – Penampakan dan Panggilan
Keputusan harus diambil. Tama sudah histeris, Dika tampak terpecah antara rasa takut dan ketertarikan aneh terhadap fenomena ini, sementara Reno berusaha keras untuk tetap berpikir rasional. Kabut semakin tebal, dan suara-suara bisikan dari "mereka" semakin jelas, seolah mereka bergerak mengelilingi ketiga remaja itu.
"Kita harus menemukan tempat berlindung!" Reno berteriak, suaranya bergaung dalam kabut yang menyesakkan. "Aku tidak bisa melihat apa-apa!"
Dika tiba-tiba merasakan kompas tua di sakunya bergetar sangat kuat, hampir melompat keluar dari tangannya. Ia mengeluarkannya. Jarumnya tidak lagi berputar liar, melainkan menunjuk dengan mantap ke satu arah, ke sebuah celah di antara bebatuan besar yang nyaris tidak terlihat dalam kabut.
"Ke sana!" Dika menunjuk, suaranya penuh urgensi. "Kompas ini menunjuk ke sana!"
Reno ragu, tetapi suara-suara yang semakin mengerikan di sekeliling mereka tidak memberi pilihan lain. Suara isakan, rintihan, dan bahkan tawa-tawa serak mulai terdengar, membuat bulu kuduk berdiri.
"Baiklah! Cepat!" Reno berlari duluan, diikuti Dika, dan Tama yang gemetar ketakutan di belakang mereka.
Mereka menemukan sebuah gua kecil, nyaris tidak terlihat, tersembunyi di balik semak-semak lebat dan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Mulut gua itu sempit, hanya cukup untuk satu orang masuk pada satu waktu. Udara di dalamnya dingin dan pengap, berbau seperti tanah basah dan sesuatu yang busuk.
"Kita masuk dulu!" Reno mendesak. "Setidaknya di sini kita aman dari kabut dan suara-suara itu!"
Mereka merangkak masuk satu per satu. Gua itu tidak terlalu dalam, hanya sekitar lima meter ke dalam, dengan langit-langit rendah. Begitu mereka di dalam, suara-suara dari luar seolah meredup, meskipun bisikan-bisikan samar masih bisa didengar, seolah "mereka" masih di luar, menunggu.
Dika menyalakan senternya, sinarnya menembus kegelapan gua. Apa yang mereka lihat di dinding gua membuat darah mereka berdesir.
Dinding batu itu dipenuhi coretan-coretan. Bukan coretan grafiti, melainkan coretan-coretan putus asa, yang dibuat dengan jari atau mungkin kuku, meninggalkan goresan-goresan dalam. Beberapa coretan bahkan tampak seperti bekas darah yang sudah mengering.
Ada tulisan seperti permintaan tolong yang berulang-ulang: "Tolong," "Keluar," "Jangan Ikuti Mereka."
Ada nama-nama yang tercoret berulang kali: "Agung," "Sari," "Bayu," "Indra." Nama-nama itu terlihat familiar, seolah mereka pernah mendengarnya di berita tentang pendaki hilang.
Dan yang paling mengerikan, ada sidik jari berdarah yang tercetak di dinding, tampak seperti upaya terakhir seseorang untuk meninggalkan jejak. Beberapa sidik jari itu sangat kecil, seperti milik anak-anak.
"Ini... tulisan mereka," Dika berbisik, senternya bergetar di tangannya. "Pendaki-pendaki yang hilang itu."
Tama tiba-tiba menjerit. Jeritannya memantul di dinding gua, mengisi ruang sempit itu dengan horor yang tak tertahankan.
"Tama! Ada apa?" Reno berbalik, panik.
Mata Tama terbelalak, menunjuk ke bagian terdalam gua, tempat cahaya senter Dika tidak sepenuhnya menjangkau. "Dia... dia di sana... Dia... dia mirip aku!"
Reno dan Dika menyorotkan senter mereka ke arah yang ditunjuk Tama. Di ujung gua, dalam bayangan yang gelap, ada sebuah sosok. Sosok itu berdiri membelakangi mereka, tidak bergerak. Perawakannya sama persis dengan Tama, tinggi dan kurus, bahkan rambutnya yang ikal pun terlihat sama. Sosok itu mengenakan jaket berwarna senada dengan jaket Tama, ranselnya pun tampak serupa.
"Itu... siapa?" Reno bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Sosok itu tidak menjawab. Perlahan, ia mulai bergerak. Ia melangkah maju, semakin dalam ke dalam kegelapan gua, seolah ada pintu tak terlihat di sana.
"Dia... dia masuk ke dalam gelap," Tama berbisik, suaranya penuh teror. Ia mulai terisak lagi. "Dia persis aku! Siapa itu? Kenapa dia mirip aku?"
Dika mencoba menenangkan Tama, tetapi matanya sendiri terpaku pada bayangan yang menghilang itu. "Itu... itu mungkin cuma ilusi, Tama. Kita terlalu takut."
Namun, di dalam hati mereka tahu, itu bukan ilusi. Itu adalah penampakan. Sebuah cerminan, atau mungkin sebuah peringatan. Mereka telah melihat salah satu "mereka," arwah-arwah yang terperangkap di gunung ini.
Kompas tua di tangan Dika tiba-tiba mengeluarkan suara klik kecil, dan jarumnya bergerak lagi. Kali ini, ia menunjuk ke arah tempat sosok "Tama" itu menghilang. Seolah-olah, kompas itu bukan lagi penunjuk arah ke dunia nyata, melainkan ke dunia lain.
Ketiganya saling pandang, wajah mereka pucat pasi. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan, kini menjadi raungan dalam benak mereka. Mereka telah melihat bukti nyata keberadaan dunia lain, dan mereka tahu, mereka telah melangkah terlalu jauh.
Bab 6 – Jalan Pulang yang Hilang
Kepanikan telah mencapai puncaknya. Apa yang mereka alami di dalam gua telah menghancurkan sisa-sisa rasionalitas mereka. Penampakan sosok menyerupai Tama, tulisan-tulisan putus asa di dinding, dan sidik jari berdarah… semua itu adalah bukti nyata bahwa mereka telah masuk ke wilayah yang tidak seharusnya mereka jelajahi.
"Kita harus keluar dari sini! Sekarang!" Tama berteriak, suaranya serak karena ketakutan. Ia merangkak keluar dari gua dengan tergesa-gesa, diikuti Reno dan Dika.
Kabut di luar gua masih pekat, tetapi suara-suara bisikan dari arwah-arwah seolah meredup sedikit. Mungkin karena mereka telah masuk ke dalam gua, atau mungkin karena "mereka" tahu, mereka sudah tidak bisa lagi lari.
"Kita coba kembali ke jalur awal," Reno berkata, mencoba mempertahankan sisa-sisa ketenangannya. Ia mengeluarkan kompas konvensionalnya. Jarumnya masih berputar tak tentu arah. "Sial! Kompas ini rusak!"
Dika mengeluarkan kompas tua itu. Jarumnya bergerak perlahan, seolah ragu, lalu menunjuk ke sebuah arah yang berbeda dari sebelumnya, ke arah timur laut yang seharusnya tidak ada jalan.
"Coba ikuti kompas tua ini," Dika menyarankan, meskipun suaranya sendiri terdengar putus asa. "Mungkin dia tahu jalan keluar."
Reno menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Kau gila? Setelah semua yang kita lihat? Kompas itu yang membawa kita ke sini!"
"Tapi kompas lain tidak berfungsi!" Dika membela diri. "Setidaknya kompas ini menunjuk ke satu arah!"
Dengan berat hati, dan tanpa pilihan lain, mereka memutuskan untuk mengikuti arah yang ditunjukkan kompas tua. Mereka berjalan dengan hati-hati, berusaha mengingat setiap pohon dan batu yang mereka lewati, tetapi kabut yang tebal membuat semuanya terlihat sama.
Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dalam kehampaan. Pepohonan yang tinggi dan rapat bergantian dengan semak belukar yang berduri. Beberapa kali mereka merasa berjalan dalam lingkaran, kembali ke tempat yang sama, meskipun kompas tua terus menunjuk ke arah yang baru. Rasa frustrasi dan keputusasaan mulai melanda.
Setelah berjalan entah berapa lama, mungkin berjam-jam, kabut mulai menipis. Harapan kecil mulai menyala di dada mereka. Mungkin mereka sudah berhasil keluar dari wilayah berbahaya itu.
Namun, pemandangan yang terbentang di hadapan mereka membuat napas mereka tercekat. Bukan jalur pendakian yang mereka kenal, bukan pemandangan hutan pinus yang lebat. Melainkan sebuah padang rumput yang luas.
Padang rumput itu membentang sejauh mata memandang, ditumbuhi ilalang tinggi yang bergoyang-goyang pelan ditiup angin yang terasa sangat dingin, bukan angin pegunungan yang segar. Langit di atas padang rumput itu berwarna abu-abu, seolah selalu mendung, tanpa matahari atau bintang yang terlihat. Dan di kejauhan, terhampar pegunungan yang berbeda, dengan puncak-puncak yang runcing dan tampak asing.
"Apa... apa ini?" Tama bertanya, suaranya bergetar. "Padang rumput? Di atas gunung? Ini... ini tidak masuk akal!"
Reno memeriksa peta fisiknya lagi, lalu ponselnya. Tidak ada padang rumput seluas ini di peta Gunung Sagara. Bahkan tidak ada area yang mendekati deskripsi ini.
"Kita... kita tidak ada di peta lagi," Reno bergumam, matanya menyapu ke sekeliling, mencari penanda yang familiar. Tidak ada. Semuanya asing.
Dika menatap kompas tua di tangannya. Jarumnya kini berputar liar lagi, seolah kehilangan arah, atau mungkin bingung. Seolah ia telah membawa mereka ke suatu tempat yang bahkan ia sendiri tidak bisa lagi menunjuk jalan kembalinya.
Sebuah kesadaran pahit menghantam mereka. Mereka telah berjalan, entah berapa jauh, entah berapa lama, bukan untuk kembali ke jalur, melainkan untuk masuk lebih dalam ke dalam jebakan.
"Kita... kita sudah tersesat," Tama berbisik, air mata kembali menetes dari matanya. "Kita tidak bisa kembali."
Reno menelan ludah, wajahnya kaku. Mereka telah mengikuti kompas itu, mempercayainya, dan kini mereka terdampar di tempat yang tidak ada di dunia mereka. Jalan pulang telah hilang. Atau mungkin, jalan pulang itu memang tidak pernah ada.
Bab 7 – Dunia Arwah Terbuka
Di tengah padang rumput yang luas dan asing itu, ketiganya berdiri terpaku. Angin dingin berdesir, membuat ilalang tinggi melambai-lambai, seolah berbisik rahasia-rahasia kuno. Langit abu-abu yang tak berujung menambah kesan suram dan tak berpengharapan.
"Ini bukan Gunung Sagara," Reno akhirnya berucap, suaranya hampa. "Ini... tempat lain."
Dika, dengan tatapan kosong, menatap kompas tua di tangannya. Jarumnya masih berputar liar, terkadang bergetar hebat, seolah kehilangan orientasi sepenuhnya. "Kompas ini... dia tidak bisa menunjukkan arah pulang lagi."
Saat itulah, mereka mulai melihatnya.
Di kejauhan, di antara ilalang-ilalang yang tinggi, samar-samar terlihat beberapa sosok. Mereka bergerak perlahan, tanpa suara, seperti bayangan yang melayang. Beberapa tampak berjalan membungkuk, yang lain berdiri tegak, tetapi semuanya memiliki aura yang sama: kusam, tak bernyawa, dan menyedihkan.
Awalnya hanya satu atau dua, lalu semakin banyak. Mereka muncul dari balik ilalang, dari balik gundukan tanah, seolah-olah padang rumput itu sendiri melahirkan mereka. Mereka berpakaian compang-camping, beberapa mengenakan pakaian pendaki yang sudah usang, yang lain hanya terbalut kain lusuh. Wajah mereka tidak jelas, seperti terdistorsi oleh kabut tipis yang selalu menyelimuti mereka.
"Siapa... siapa mereka?" Tama berbisik, bersembunyi di balik punggung Reno.
Salah satu sosok itu, yang tampak seperti seorang laki-laki dengan jaket merah tua yang robek, berhenti bergerak. Ia berdiri tegak, membelakangi mereka. Perlahan, ia memutar kepalanya. Meskipun wajahnya samar, mereka bisa merasakan tatapan kosongnya tertuju pada mereka.
Lalu, ia mengangkat tangannya yang kurus, seolah melambai. Tidak ada suara yang keluar, tetapi mereka bisa merasakan "panggilan" itu di benak mereka. Panggilan untuk mendekat, untuk bergabung.
Reno merasakan sesuatu yang dingin menjalari tulang punggungnya. Sebuah kesadaran yang mengerikan menghantamnya. "Mereka... mereka adalah arwah-arwah yang hilang."
Dika terhuyung mundur. "Jadi ini... ini tempat di mana mereka semua terperangkap?"
Sosok-sosok lain mulai bergerak mendekat, membentuk lingkaran longgar di sekitar mereka. Mereka tidak berlari, tidak mengeluarkan suara, hanya bergerak lambat, seolah tanpa tujuan, namun tatapan mereka terpaku pada Reno, Dika, dan Tama. Beberapa sosok tampak menunduk, seperti malu, yang lain menatap lurus, dengan mata kosong yang mengganggu.
Satu sosok wanita, dengan rambut panjang terurai dan gaun putih kotor, melayang mendekat. Wajahnya nyaris tidak terlihat, tetapi mereka bisa merasakan kesedihan yang mendalam memancar darinya. Ia mendekat, tangannya terulur seolah ingin menyentuh mereka, tetapi ia berhenti beberapa langkah di depan Reno.
Di dekat wanita itu, tampak pula sosok anak kecil. Wajahnya polos, tanpa ekspresi, hanya menatap mereka dengan tatapan yang menghantui.
"Kita... kita sudah masuk ke dimensi lain," Reno berucap, suaranya serak. "Ini adalah lorong antara dunia nyata dan dunia arwah."
Kompas tua di tangan Dika tiba-tiba berputar sangat cepat, jarumnya bergetar hebat, dan mengeluarkan suara berdengung pelan. Seolah-olah, ia sedang kebingungan, tidak tahu lagi harus menunjuk ke mana. Tidak ada lagi utara, selatan, timur, atau barat di tempat ini. Tidak ada lagi dunia nyata.
Mereka telah dibawa ke tempat di mana waktu tidak berjalan normal, di mana arwah-arwah yang tersesat menanti, di mana batasan antara hidup dan mati menjadi sangat tipis, atau bahkan tidak ada.
Ketiganya saling berpegangan tangan, gemetar ketakutan. Mereka adalah pendatang baru di dunia yang mengerikan ini, dan para penghuni lamanya kini mengelilingi mereka, menanti mereka untuk bergabung dalam keabadian mereka yang sunyi.
Bab 8 – Terjebak Waktu
Malam tiba, tetapi tidak ada bintang atau bulan yang terlihat di langit abu-abu itu. Hanya kegelapan yang pekat, yang diselingi oleh cahaya samar dari sosok-sosok arwah yang berkeliaran di padang rumput. Mereka mencoba mendirikan tenda, tetapi tangan mereka gemetar, dan tanah yang lembap membuat pasak sulit tertancap. Akhirnya, mereka hanya bisa meletakkan tenda di atas tanah, dan masuk ke dalamnya, berharap bisa mendapatkan sedikit perlindungan dari dingin dan kengerian di luar.
Namun, di dalam tenda pun, kengerian itu tidak surut. Suara-suara dari arwah-arwah lain terus menghantui mereka. Bisikan-bisikan, rintihan, dan sesekali, tawa yang menusuk tulang, seolah mereka sedang diejek oleh para penghuni dunia ini. Suara-suara itu terdengar dari segala arah, menembus dinding tenda yang tipis, mengusik setiap upaya mereka untuk tidur atau bahkan sekadar beristirahat.
"Aku... aku tidak bisa tidur," Tama berbisik, meringkuk di sudut tenda. Matanya merah dan bengkak karena menangis.
Reno memeluk lututnya, mencoba mengatur napas. "Kita harus bertahan. Sampai pagi. Siapa tahu ada jalan keluar saat matahari terbit."
Namun, di dunia ini, konsep "pagi" terasa berbeda. Setelah apa yang terasa seperti beberapa jam dalam kegelapan yang abadi, tiba-tiba cahaya samar muncul. Bukan cahaya matahari yang hangat, melainkan cahaya kelabu yang dingin, seolah langit hanya sedikit lebih terang dari malam, tanpa ada matahari di cakrawala.
Mereka keluar dari tenda dengan perasaan cemas. Lingkungan di sekitar mereka tampak sama persis. Padang rumput yang luas, ilalang yang bergoyang, dan sosok-sosok samar arwah yang masih berkeliaran di kejauhan.
"Ini... bukan pagi," Dika bergumam, tatapannya kosong. "Waktunya aneh."
Kemudian, hal-hal aneh lainnya mulai terjadi.
Reno tiba-tiba merasakan deja vu yang kuat. Ia merasa pernah melihat pohon yang kering di kejauhan itu, pernah mencium aroma tanah yang sama, bahkan pernah mendengar bisikan-bisikan yang persis sama. "Aku... aku merasa pernah di sini sebelumnya."
Dika mulai merasa kebingungan. "Jam berapa ini? Hari apa? Kita sudah berapa lama di sini?" Ia mencoba mengeluarkan ponselnya, tetapi layarnya mati. Baterainya penuh, tetapi tidak menyala.
Tama tiba-tiba tertawa histeris, lalu menangis. "Aku tidak tahu! Aku tidak tahu lagi!" Ia memukul-mukul kepalanya sendiri. "Aku tidak ingat apa-apa!"
Mereka menyadari bahwa waktu tidak berjalan normal di tempat ini. Siang dan malam berganti tanpa pola yang jelas, terkadang hanya beberapa jam, terkadang terasa berhari-hari. Memori mereka mulai kabur. Mereka tidak bisa lagi membedakan antara mimpi dan kenyataan. Nama-nama mereka sendiri terasa asing di lidah.
Suara-suara arwah itu semakin sering terdengar, terkadang meniru suara orang tua mereka, teman-teman mereka, atau bahkan diri mereka sendiri. Mereka memanggil nama-nama mereka, membisikkan janji-janji palsu tentang jalan pulang, atau merintih tentang penderitaan mereka.
Satu per satu, mereka mulai kehilangan arah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Rasa lapar dan haus hilang, digantikan oleh kelelahan yang tak berkesudahan. Mereka tidak bisa tidur nyenyak, selalu diganggu oleh mimpi buruk dan bisikan-bisikan.
Dika terus memegang kompas tua itu, seolah itu satu-satunya penghubung dengan dunia nyata yang semakin menjauh. Namun, jarum kompas itu kini berputar semakin cepat, seolah ikut gila bersama mereka, atau mungkin ia sendiri telah menjadi bagian dari kekacauan waktu di dunia arwah ini.
Reno mencoba menghitung hari, menggoreskan tanda di pohon mati dekat tenda mereka, tetapi keesokan harinya, goresan itu sudah menghilang, atau pohon itu sendiri tampak berbeda. Setiap usaha mereka untuk melacak waktu dan lokasi terasa sia-sia.
Mereka sadar, mereka tidak hanya tersesat secara geografis, tetapi juga tersesat dalam pusaran waktu yang tak berujung. Terjebak dalam limbo, di antara kehidupan dan kematian, di mana setiap detik adalah keabadian dan setiap menit adalah kekosongan. Mereka mulai memahami nasib para pendaki yang hilang sebelumnya. Mereka tidak mati, tetapi juga tidak hidup. Mereka hanya... ada.
Bab 9 – Tiga Nama dalam Daftar Hilang
Bertahun-tahun berlalu di dunia nyata, tetapi di padang rumput abu-abu itu, Reno, Dika, dan Tama merasakan waktu yang tak terhitung. Mereka telah berubah. Pakaian mereka compang-camping, rambut mereka panjang dan kusut, wajah mereka kuyu dan kosong. Mata mereka tidak lagi memancarkan ketakutan, melainkan kekosongan yang dalam, seolah jiwa mereka telah terkikis habis oleh keabadian yang membosankan dan menyiksa.
Mereka tidak lagi berbicara. Bisikan-bisikan para arwah lain telah menjadi bagian dari diri mereka, dan mereka kadang-kadang ikut berbisik, mengucapkan kata-kata yang tidak jelas, mungkin nama-nama yang sudah lama mereka lupakan. Mereka berjalan tanpa tujuan di antara ilalang, terkadang bertemu dengan arwah lain, dan hanya saling menatap dengan tatapan hampa.
Kompas tua itu, yang dulu menjadi sumber rasa penasaran Dika, kini menjadi semacam jimat mati. Jarumnya masih berputar, tetapi tidak ada lagi arti di baliknya. Ia hanya berputar, berputar, tanpa henti, mencerminkan kekacauan di dunia itu. Dika masih memegang eratnya, meskipun ia tidak lagi tahu mengapa.
Sementara itu, di kaki Gunung Sagara, kehidupan terus berjalan.
Di sebuah warung reot yang sama, lelaki tua yang dulu memperingati Reno, Dika, dan Tama, kini duduk di kursi kayunya, menatap ke arah puncak gunung yang diselimuti awan. Wajahnya semakin keriput, rambutnya semakin memutih.
Seorang anak muda dari desa lewat, membawa koran lokal. "Pak, lihat ini. Berita lama, tapi masih sering diangkat."
Lelaki tua itu menerima koran dengan tangan gemetar. Berita itu, yang sudah berulang kali ia baca, terpampang jelas di halaman depan:
PENDUDUK LOKAL MASIH MENGHARAPKAN KEADILAN: TIGA REMAJA HILANG DI GUNUNG SAGARA, KASUS DITUTUP TANPA JEJAK.
Di bawah judul itu, ada foto Reno, Dika, dan Tama. Wajah mereka masih muda, penuh harapan, dan senyum lebar. Sebuah kontras yang menyakitkan dengan nasib yang mereka alami.
Kisah tentang hilangnya tiga remaja itu telah menjadi legenda baru di desa itu, ditambahkan ke dalam daftar panjang mitos Gunung Sagara. Nama Reno, Dika, dan Tama kini menjadi bagian dari bisikan-bisikan peringatan yang diberikan kepada setiap pendaki yang berani.
Tim SAR telah mencari selama berbulan-bulan. Mereka mengerahkan segala daya upaya, menyisir setiap jengkal gunung, tetapi tidak menemukan jejak. Tidak ada tenda, tidak ada ransel, tidak ada sisa makanan. Seperti ditelan bumi.
Satu-satunya petunjuk yang pernah ditemukan adalah sebuah kamera GoPro yang ditemukan oleh seorang pemburu beberapa tahun kemudian, jauh di bawah jurang yang sulit dijangkau. Baterainya sudah habis, dan videonya rusak di bagian akhir.
Ketika rekaman itu dipulihkan, isinya hanya berupa gambar-gambar kabut yang sangat tebal, diselingi oleh suara-suara aneh yang tidak bisa diidentifikasi. Bisikan-bisikan samar, seperti nyanyian sendu, atau rintihan yang menyayat hati. Tidak ada visual yang jelas tentang apa yang terjadi pada akhirnya, hanya kegelapan dan suara-suara yang menghantui.
Kompas tua itu sendiri tidak pernah ditemukan kembali. Beberapa orang mengatakan ia terkubur di bawah tanah, yang lain percaya ia masih ada di sana, di gunung itu, menunggu korban berikutnya.
Kembali ke padang rumput abu-abu, Reno, Dika, dan Tama tidak lagi memiliki kesadaran akan siapa mereka atau di mana mereka berada. Mereka hanyalah tiga bayangan lain di antara ratusan, mungkin ribuan, bayangan yang mengisi dunia limbo itu. Mereka telah bergabung dengan arwah-arwah yang tersesat, terkunci dalam keabadian yang tak berkesudahan, menjadi bagian dari mitos Gunung Sagara yang mengerikan. Setiap hari, atau apa pun yang terasa seperti "hari" di sana, mereka terus berjalan, terperangkap dalam siklus tanpa akhir, menunggu entah apa, selamanya.
Mereka adalah bukti nyata dari peringatan lelaki tua itu: di atas sana, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, dan siapa pun yang berani mengabaikannya, akan bergabung dengan mereka yang tak pernah kembali. Dan kompas tua itu, bukan penunjuk arah ke dunia nyata, melainkan kunci pembuka gerbang menuju neraka yang tersembunyi di balik kabut tebal Gunung Sagara.