Masukan nama pengguna
Lagu dari Tanah yang Terkubur
Debu jalanan adalah teman setia Raga selama tiga hari terakhir. Setiap kali ban mobilnya berputar, ia merasa seolah menggulirkan lembaran baru dalam hidupnya. Jakarta, dengan segala hiruk pikuknya, terasa seperti kenangan yang memudar. Yang ada kini hanyalah bentangan sawah hijau, bukit-bukit yang diselimuti kabut tipis, dan pohon-pohon rindang yang menjulang seperti penjaga gerbang. Ia sedang menuju Desa Lengang, sebuah nama yang dipilihnya entah karena kebetulan atau takdir, untuk mencari apa yang selama ini hilang darinya: inspirasi.
Raga adalah seorang penulis, atau setidaknya ia pernah begitu. Novel terakhirnya jeblok di pasaran, dan kritik pedas dari para pembaca seolah menancap di benaknya seperti paku berkarat. Ia butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang mentah, sesuatu yang bisa merobek buntu kreatifnya hingga tak bersisa. Seorang teman lama yang kebetulan seorang etnografer, pernah bercerita tentang desa-desa terpencil di pelosok Jawa yang masih kental dengan mistisisme. Desa Lengang, menurut petunjuk dari internet dan beberapa peta tua, adalah salah satunya. Terpencil, damai, dan katanya, memiliki cerita-cerita rakyat yang belum terjamah modernitas. Sempurna.
Matahari mulai condong ke barat saat mobil Raga akhirnya memasuki jalan setapak berkerikil yang diyakini sebagai gerbang Desa Lengang. Udara seketika berubah, menjadi lebih dingin dan membawa aroma tanah basah bercampur dedaunan kering. Rumah-rumah penduduk masih jarang terlihat, didominasi oleh anyaman bambu dan kayu, dengan atap genting yang diselimuti lumut. Jauh dari hiruk pikuk kota, Desa Lengang benar-benar sepi. Bahkan, saking sepinya, tak ada satu pun anak-anak yang berlarian di jalan. Hanya beberapa warga tua yang terlihat duduk di beranda, menatap kosong ke arah jalan.
Ia sudah menyewa sebuah rumah kecil, lumayan tua tapi bersih, lewat seorang kenalan di kota kabupaten. Saat tiba, kunci sudah digantung di pintu. Rumah itu terletak di pinggir desa, menghadap langsung ke deretan sawah yang membentang luas. Pemandangan yang menenangkan, pikir Raga. Ia mengeluarkan koper dan tas punggung, menata barang seadanya, lalu menyeduh kopi instan di dapur kecil. Langit mulai meredup, menyisakan semburat jingga di ufuk barat.
Malam datang dengan cepat di Desa Lengang. Begitu matahari tenggelam sempurna, udara menjadi sangat dingin dan kegelapan merayap dengan cepat. Tidak ada lampu jalan, hanya cahaya remang dari lentera minyak di beberapa rumah. Raga menyalakan lilin dan duduk di teras, mencoba menikmati ketenangan yang langka ini. Ia mengeluarkan buku catatan kecilnya, mencoba menangkap ide-ide yang mungkin muncul. Namun, tak ada yang datang. Pikirannya masih dipenuhi bayangan kegagalan masa lalu.
Tepat ketika ia hendak menyerah dan masuk ke dalam, sebuah suara terdengar.
Awalnya hanya lirih, seperti bisikan angin yang melewati dedaunan. Namun perlahan, suara itu menguat, menyebar, dan memenuhi udara. Itu adalah suara nyanyian. Bukan nyanyian biasa, melainkan semacam lantunan melodi yang monoton, repetitif, dan terasa sangat kuno. Uniknya, suara itu tidak datang dari satu arah. Ia datang dari segala penjuru desa, seolah setiap rumah, setiap pohon, bahkan setiap jengkal tanah di Desa Lengang ikut bernyanyi.
Raga tertegun. Ia berdiri, mencoba melacak sumber suara. Mustahil. Suara itu begitu merata, begitu terpadu, seolah seluruh warga desa bernyanyi serentak. Nada-nadanya mendayu, liriknya terdengar samar, seperti gumaman yang tak bisa dimengerti. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang mistis dalam nyanyian itu. Itu bukan lagu rakyat yang biasa ia dengar, bukan pula tembang pengantar tidur. Ada aura mantra di dalamnya, getaran aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia melihat sekeliling. Rumah-rumah tetangga yang tadinya gelap gulita kini memancarkan cahaya redup dari dalam. Siluet-siluet orang terlihat bergerak di balik jendela, seolah mereka semua berkumpul untuk ritual ini. Nyanyian itu terus bergema, mengisi keheningan malam dengan irama yang menenangkan sekaligus mengerikan.
Raga penasaran. Ia melangkah turun dari teras, berniat mendekat ke salah satu rumah untuk mendengarkan lebih jelas. Baru beberapa langkah, ia merasakan sentuhan kecil di kakinya. Ia menunduk. Seorang anak kecil, mungkin berusia sekitar lima tahun, berdiri di depannya. Matanya bulat, memantulkan cahaya remang dari lentera. Anak itu menatapnya tanpa berkedip.
"Jangan ikut nyanyi kalau belum diajari," kata anak itu, suaranya kecil tapi tegas, memecah kesunyian yang diselimuti nyanyian. Mata anak itu menatap dalam ke arah Raga, seolah memperingatkan tentang bahaya yang tak terlihat. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, anak itu berbalik dan lari menghilang ke dalam kegelapan, seolah tak pernah ada.
Raga terpaku. Nyanyian itu masih terus bergema, kini terdengar lebih kuat, lebih dalam, seolah mengikat seluruh desa dalam sebuah jaring suara tak kasat mata. "Jangan ikut nyanyi kalau belum diajari." Kalimat itu berputar di benaknya. Apa artinya? Apa yang akan terjadi jika ia ikut bernyanyi tanpa "diajari"? Rasa ingin tahu dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia kembali masuk ke rumah, menutup pintu rapat-rapat. Malam pertama di Desa Lengang baru saja dimulai, dan ia tahu, desa ini menyimpan lebih banyak misteri daripada yang ia bayangkan.
Lagu yang Tak Boleh Salah
Pagi datang membawa kelegaan, meskipun semalam Raga tidur tidak nyenyak. Nyanyian misterius itu terus terngiang di telinganya, bahkan setelah suara itu mereda menjelang subuh. Ia terbangun dengan perasaan campur aduk antara rasa penasaran yang membara dan ketakutan yang samar. Desa Lengang, dengan segala ketenangannya di siang hari, terasa menyimpan rahasia kelam begitu malam tiba.
Setelah sarapan seadanya – roti dan kopi instan yang ia bawa dari kota – Raga memutuskan untuk mencari jawaban. Ia tahu ia tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu misteri itu terkuak dengan sendirinya. Kalimat peringatan dari anak kecil semalam masih terngiang, "Jangan ikut nyanyi kalau belum diajari." Ini bukan sekadar lagu pengantar tidur, ini jelas sesuatu yang jauh lebih dalam.
Ia berjalan santai menyusuri jalan setapak desa. Suasana pagi di Desa Lengang terasa begitu kontras dengan malamnya. Matahari bersinar cerah, para petani mulai pergi ke sawah, dan beberapa ibu-ibu terlihat menganyam di teras rumah. Tidak ada jejak ketegangan atau ketakutan yang ia rasakan semalam. Seolah-olah, malam dengan nyanyian anehnya adalah sebuah dimensi yang terpisah.
Raga menyapa beberapa warga yang ia temui, mencoba memancing percakapan, namun mereka hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan. Ada semacam dinding tak terlihat yang memisahkan mereka dari orang luar. Ia tahu ia harus mencari seseorang yang lebih terbuka, seseorang yang mungkin bisa memberikan informasi. Ingatannya melayang pada Mbah Wirya, tetua desa yang disebut-sebut oleh kenalannya sebagai salah satu sesepuh yang paling dihormati. Ia pernah bertemu Mbah Wirya secara singkat saat pertama kali tiba, seorang lelaki tua dengan rambut memutih dan sorot mata yang teduh.
Setelah bertanya kepada beberapa penduduk yang akhirnya bersedia sedikit melunak, Raga akhirnya sampai di sebuah rumah kayu sederhana di ujung desa. Di sana, Mbah Wirya sedang duduk di beranda, menganyam keranjang bambu dengan telaten. Udara di sekitar Mbah Wirya terasa tenang, seolah waktu bergerak lebih lambat di dekatnya.
"Sugeng enjing, Mbah," sapa Raga sopan. "Maaf mengganggu."
Mbah Wirya mendongak, senyum tipis terukir di wajah keriputnya. "Oh, Nak Raga. Tidak mengganggu. Ada apa gerangan? Pasti ada yang mengusik pikiranmu, bukan?" Mata tuanya seolah mampu menembus pikirannya.
Raga merasa sedikit lega. Mbah Wirya sepertinya orang yang tepat. Ia duduk bersila di depan Mbah Wirya, tidak ingin bertele-tele. "Betul, Mbah. Ada yang mengusik. Semalam... saya mendengar nyanyian."
Mbah Wirya berhenti menganyam. Tangannya terdiam sejenak, lalu ia kembali melanjutkan pekerjaannya, namun gerakannya kini sedikit melambat. "Nyanyian? Oh, itu Lagu Pengantar Mati."
Raga merasakan debaran jantungnya. Nama itu sendiri sudah cukup membuat bulu kuduknya berdiri. "Lagu Pengantar Mati? Apa itu, Mbah? Semua warga menyanyikannya?"
Mbah Wirya mengangguk pelan. "Ya, Nak Raga. Setiap malam, begitu petang menjelang, kami semua menyanyikannya." Ia menarik napas dalam, seolah mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan. "Lagu itu... adalah penenang. Penenang untuk Sang Penguasa Bawah Tanah."
Raga mengerutkan kening. "Sang Penguasa Bawah Tanah?"
"Ia adalah entitas yang diyakini menguasai tanah ini, tanah di mana Desa Lengang berdiri," jelas Mbah Wirya, suaranya kini terdengar lebih serius. "Para leluhur kami percaya, dialah yang menjaga agar desa ini tetap 'utuh'. Tidak longsor, tidak kekurangan air, tidak dilanda penyakit. Selama kami menghormatinya, selama kami membuatnya tenang, desa ini akan aman."
"Dan lagu itu adalah caranya?" tanya Raga, mulai menyatukan kepingan teka-teki.
Mbah Wirya mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi serius yang tidak bisa disembunyikan. "Betul. Lagu itu adalah sebuah janji. Janji para leluhur kami yang terus kami turunkan. Itu adalah persembahan suara, pengakuan bahwa kami ada di sini atas seizinnya. Sebagai gantinya, ia menjaga desa kami."
"Lalu... kenapa namanya Lagu Pengantar Mati?" Raga tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Karena ia dinyanyikan untuk menidurkan kekuatan yang bisa mematikan. Kekuatan yang bisa menghancurkan desa ini jika ia terbangun dan murka," jawab Mbah Wirya dengan nada berat. "Lagu itu bagaikan selimut yang membungkusnya, agar ia tetap tertidur lelap di bawah tanah."
Raga mulai merasa mual. Jadi nyanyian itu bukan sekadar ritual, melainkan sebuah bentuk penjinakan, sebuah cara untuk menahan sesuatu yang mengerikan. "Mbah, semalam ada anak kecil yang memperingati saya... 'Jangan ikut nyanyi kalau belum diajari'. Apa maksudnya?"
Mbah Wirya menghentikan anyamannya sepenuhnya. Pandangannya lurus ke depan, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. "Itu inti dari segalanya, Nak Raga. Lagu itu tidak boleh salah. Satu suku kata pun, satu nada pun, tidak boleh diubah. Liriknya, intonasinya, iramanya, semuanya harus persis sama seperti yang diajarkan oleh leluhur kami. Itu adalah mantera yang sakral."
Ia menatap Raga dengan sorot mata yang penuh peringatan. "Jika ada yang salah, jika ada yang mengubahnya... itu sama saja dengan menghina Sang Penguasa. Itu sama saja dengan membatalkan janji. Dan jika janji itu batal, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kemurkaan Sang Penguasa... bisa membawa malapetaka tak terkira bagi desa ini."
Raga terdiam. Udara pagi yang tadinya terasa sejuk, kini terasa menusuk. Nyanyian yang semalam ia anggap aneh, kini menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan. Itu bukan sekadar lagu pengantar tidur, melainkan sebuah segel suara, sebuah batas tipis yang memisahkan Desa Lengang dari kegelapan yang bersemayam di bawahnya. Dan ia, seorang penulis dari kota, baru saja datang ke desa ini, membawa serta rasa ingin tahu yang bisa jadi sangat berbahaya.
"Jadi... ini bukan sekadar tradisi, Mbah?" tanya Raga, suaranya sedikit tercekat.
"Ini adalah keharusan, Nak Raga," jawab Mbah Wirya, mengakhiri anyamannya dan menatap Raga dalam-dalam. "Ini adalah napas desa kami. Jika napas itu tersendat, maka desa ini pun akan mati."
Raga bergidik. Kata-kata Mbah Wirya meresap ke dalam tulangnya, memberikan gambaran yang jelas dan mengerikan tentang beban yang dipikul warga Desa Lengang setiap malam. Sebuah lagu, sebuah janji, sebuah segel. Dan segel itu tidak boleh rusak.
Suara yang Salah
Malam itu, Raga merasa gelisah. Perkataan Mbah Wirya terus berputar di benaknya seperti kaset rusak. "Tidak boleh salah. Satu suku kata pun, satu nada pun, tidak boleh diubah." Sebuah lagu sederhana, sebuah melodi kuno, tapi menanggung beban yang begitu berat. Ia mencoba untuk menulis, mengalirkan semua kegelisahan itu ke dalam kata-kata, tetapi setiap kalimat terasa hambar, tidak berdaya di hadapan ancaman tak kasat mata yang kini ia sadari mengintai Desa Lengang.
Rasa penasaran Raga, yang awalnya hanya ingin mencari inspirasi, kini bercampur aduk dengan rasa bersalah yang aneh. Ia, seorang pendatang, telah mendengar rahasia paling sakral desa ini. Dan ia merasa, entah kenapa, terlibat di dalamnya. Sebuah dorongan kuat untuk memahami lebih dalam, untuk merasakan langsung apa yang dirasakan warga desa setiap malam, mulai muncul. Ia ingin mencoba bernyanyi. Bukan untuk mengganggu, bukan untuk menantang, tapi untuk memahami.
Ketika kegelapan kembali menyelimuti Desa Lengang, Raga duduk di teras rumahnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia menunggu. Begitu cahaya terakhir di ufuk barat menghilang, seperti komando tak terlihat, nyanyian itu kembali terdengar. Lirih, kemudian menguat, memenuhi udara dengan getaran yang sama persis seperti malam sebelumnya. Monoton, kuno, dan penuh aura mistis.
Raga menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat nada dan irama yang ia dengar semalam. Tangannya memegang buku catatan, ia mencoba menuliskan lirik yang samar-samar ia tangkap. Beberapa suku kata terasa familiar, mungkin bahasa Jawa kuno atau dialek lokal. Ia memejamkan mata, membiarkan melodi itu meresap ke dalam dirinya.
Dengan ragu, Raga mulai ikut bergumam. Suaranya rendah, nyaris tidak terdengar di antara paduan suara warga desa. Ia mencoba menyinkronkan ritmenya, menyesuaikan nada-nadanya. Ada sensasi aneh, seperti gelombang energi yang mengalir melalui dirinya setiap kali ia mencoba menirukan lirik itu. Ada bagian yang terasa begitu benar, begitu pas, seolah lirik itu memang diciptakan untuk diucapkan oleh bibirnya.
Namun, di tengah-tengah lagu, ada satu bagian lirik yang ia rasa kurang yakin. Ia mencoba menebak, mengganti satu suku kata yang samar dengan kata lain yang menurutnya lebih masuk akal berdasarkan apa yang ia dengar. Hanya satu suku kata. Sekecil itu.
Begitu suku kata yang salah itu keluar dari bibirnya, Raga merasakan perubahan seketika di udara. Nyanyian warga desa tidak berhenti, tetapi ada jeda yang nyaris tak terlihat, sebuah keraguan singkat yang menyelinap dalam harmoni yang sempurna itu. Seolah-olah, seluruh desa, seluruh tanah, merasakan anomali kecil yang ia ciptakan.
Raga membuka matanya. Ia melihat sekeliling. Beberapa cahaya lentera di rumah-rumah terdekat terlihat berkedip. Bahkan nyanyian itu sendiri, meskipun tidak terhenti, terasa sedikit sumbang, sedikit goyah. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk, lebih dari sekadar dinginnya malam. Ini adalah dingin yang berasal dari dalam, dingin yang penuh ancaman.
Tiba-tiba, dari arah rumah Mbah Wirya, terdengar suara batuk keras. Lalu, dalam hitungan detik, Mbah Wirya sudah berdiri di depan pintu rumah Raga, wajahnya diterangi cahaya remang lentera yang ia pegang. Mata tua itu melebar, penuh dengan ketakutan yang nyata.
"Nak Raga!" seru Mbah Wirya, suaranya parau. Ia tidak berteriak, tapi nada suaranya penuh kepanikan. "Apa yang kau lakukan?! Masuk! Sekarang juga!"
Raga terkejut. Ia belum pernah melihat Mbah Wirya semarah atau setakut itu. "Mbah, saya hanya—"
"Jangan bicara! Masuk! Semua! Cepat masuk ke dalam rumah!" Mbah Wirya tidak memedulikan penjelasan Raga. Ia berbalik, suaranya yang tadinya ditujukan pada Raga kini terdengar memecah keheningan malam, menyeru seluruh warga desa. "Kembali masuk rumah! Jangan ada yang di luar! Cepat! Masuk!"
Nyanyian dari seluruh penjuru desa seketika terputus. Hening. Sebuah keheningan yang lebih pekat, lebih mencekam daripada kebisingan apa pun. Seolah-olah, seluruh suara di Desa Lengang tersedot ke dalam lubang hitam. Angin malam berdesir, membawa bisikan yang tidak bisa Raga artikan, bisikan yang seolah-olah mengolok-olok kesalahannya.
Mbah Wirya menatap Raga untuk terakhir kalinya, tatapan yang penuh dengan kekecewaan dan ketakutan yang mendalam, sebelum ia berbalik dan menghilang ke dalam rumahnya. Pintu-pintu lain di sekitar Raga juga berderit menutup dengan tergesa-gesa. Raga berdiri sendirian di teras, dikepung oleh keheningan yang memekakkan telinga dan kegelapan yang terasa menusuk.
Ia tahu, hanya karena satu suku kata yang salah. Satu kesalahan kecil. Tapi di Desa Lengang, di bawah bayangan Sang Penguasa Bawah Tanah, kesalahan sekecil apa pun bisa membawa konsekuensi yang tak terbayangkan. Rasa takut yang nyata mulai merayapi dirinya, menyadari bahwa ia baru saja membuka sebuah kotak pandora yang seharusnya tetap tertutup rapat.
Tanah yang Retak, Langit yang Bungkam
Raga tidak bisa tidur semalaman. Bayangan boneka jerami Bu Sarni terus menari di benaknya, disusul bisikan "diambil" dari Mbah Wirya. Desa Lengang yang tadinya ia anggap sebagai pelarian, kini terasa seperti perangkap. Ia telah membawa bencana ke tempat ini, dan rasa bersalah itu begitu menyesakkan. Ia harus tahu lebih banyak. Ia harus mengerti akar dari kegelapan ini.
Pagi menjelang, namun Raga tidak melihat Mbah Wirya di berandanya. Warga desa masih mengunci diri, suasana mencekam yang sama dengan hari sebelumnya. Ia sadar, tidak ada yang akan bicara kepadanya secara terang-terangan. Mereka takut. Dan mungkin, mereka membencinya.
Raga memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri. Ia teringat percakapannya dengan kenalannya yang etnografer, yang pernah menyebut tentang arsip desa. Biasanya, desa-desa tua menyimpan catatan-catatan kuno, silsilah, atau bahkan legenda yang ditulis tangan. Mungkin di sanalah ia bisa menemukan petunjuk tentang "Lagu Pengantar Mati" dan "Sang Penguasa Bawah Tanah".
Ia berjalan menuju balai desa, sebuah bangunan kayu yang lebih besar dari rumah penduduk lainnya. Pintu balai desa tidak terkunci. Di dalamnya, debu tebal menyelimuti setiap sudut. Meja-meja kosong, kursi-kursi usang, dan aroma apak memenuhi ruangan. Ia menemukan sebuah pintu kecil di bagian belakang, kemungkinan menuju gudang.
Pintu gudang berderit terbuka, menampakkan kegelapan pekat dan bau tanah yang lembap. Raga menyalakan senter ponselnya. Rak-rak kayu yang reyot menjulang tinggi, penuh dengan tumpukan kotak-kotak berdebu, gulungan tikar tua, dan perkakas pertanian yang sudah tak terpakai. Matanya menyusuri setiap sudut, mencari sesuatu yang mungkin terlihat seperti catatan atau dokumen.
Setelah beberapa saat, di pojok paling belakang, di bawah tumpukan kain usang, ia menemukan sebuah peti kayu kecil. Peti itu tampak kuno, dengan ukiran sederhana yang sudah pudar. Dengan hati-hati, Raga membuka peti itu. Di dalamnya, ia menemukan beberapa gulungan kertas perkamen yang menguning, terikat dengan tali rami yang lapuk.
Napas Raga tertahan. Inilah yang ia cari.
Ia membawa gulungan-gulungan itu ke luar, ke area yang lebih terang di balai desa. Dengan tangan gemetar, ia membuka gulungan pertama. Tulisannya adalah aksara kuno yang ia duga adalah Jawa Kuno, namun beberapa kata kunci dan ilustrasi samar memberinya petunjuk. Itu adalah kronik desa, catatan peristiwa penting yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Ia membaca dengan saksama, sesekali menggunakan aplikasi penerjemah gambar di ponselnya untuk memahami frasa-frasa yang sulit. Catatan itu menceritakan tentang asal-usul Desa Lengang, sebuah pemukiman yang awalnya makmur. Namun, ada satu bagian yang membuat darahnya berdesir dingin.
Ribuan tahun yang lalu, sebuah wabah misterius melanda desa. Tanaman mati, sumur mengering, dan banyak warga jatuh sakit. Di tengah keputusasaan, seorang wanita tua yang dianggap memiliki kekuatan gaib—seorang dukun penyembuh yang dihormati—dituduh sebagai penyebab wabah. Warga, yang dilanda ketakutan dan kepanikan, percaya bahwa wanita itu kerasukan iblis dan mengutuk desa.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah horor yang mengerikan. Catatan itu menggambarkan bagaimana wanita itu diseret ke tengah desa, diikat di tiang, dan dibakar hidup-hidup. Asap hitam mengepul, tangisan kesakitan memenuhi udara, dan jeritan "Penguasa Tanah! Bangkitlah dan hukum mereka!" terdengar sebelum wanita itu mengembuskan napas terakhirnya.
Tepat setelah kejadian itu, tanah desa mulai retak. Bukan retakan biasa, melainkan retakan dalam yang mengeluarkan asap hitam dan bau belerang. Langit yang tadinya cerah, seketika menjadi bungkam, tanpa awan, tanpa angin, tanpa suara burung. Desa itu diliputi keheningan yang mematikan, sebuah keheningan yang terasa seperti kutukan. Dari retakan itu, suara erangan dan bisikan-bisikan aneh terdengar, seolah ada sesuatu yang bangkit dari kedalaman bumi.
Para tetua desa saat itu, yang menyadari kesalahan fatal mereka, mencoba mencari cara untuk menghentikan kemurkaan entitas yang kini mereka yakini sebagai "Sang Penguasa Bawah Tanah", yang telah terbangun oleh kematian tragis wanita tak bersalah itu. Mereka melakukan ritual besar, mengorbankan berbagai sesaji, hingga akhirnya, seorang tetua mendapatkan sebuah visi. Sebuah melodi. Sebuah lirik.
Itu adalah Lagu Pengantar Mati.
Lagu itu adalah sebuah janji abadi, sebuah permohonan maaf dan persembahan suara untuk menenangkan Sang Penguasa, agar ia kembali tertidur dan tidak menghancurkan Desa Lengang. Janji itu harus diucapkan, dinyanyikan, dan tak boleh dilanggar. Jika satu pun baris atau nada diubah, itu sama saja dengan membatalkan janji, membangunkan kembali kemurkaan yang tertidur. Boneka jerami itu, menurut catatan, adalah tanda dari Sang Penguasa, sebuah simbol bahwa ia telah "mengambil" yang melanggar janji atau yang menjadi korban dari janji yang terlanggar.
Raga membaca bagian itu berulang kali, wajahnya pucat pasi. Jadi, lagu itu bukan sekadar penenang. Ia adalah segel. Segel yang menahan kekuatan mengerikan di bawah tanah, kekuatan yang terbangun karena ketidakadilan dan kekejaman. Dan ia, dengan kesalahannya, telah membuka celah pada segel itu. Ia telah membangunkan kemurkaan yang telah tertidur ribuan tahun.
Ia memejamkan mata, membiarkan kengerian itu meresap. Kini ia mengerti mengapa warga begitu takut. Mereka bukan hanya menjaga tradisi, mereka menjaga diri mereka sendiri dari kehancuran total. Langit yang bungkam, tanah yang retak—itu adalah awal dari kutukan. Dan ia telah mempercepatnya.
Jerami Kedua dan Ketiga
Malam berikutnya adalah siksaan bagi Raga. Nyanyian tak terdengar. Keheningan Desa Lengang terasa mencekik, lebih menakutkan daripada nyanyian apa pun. Ia tahu, keheningan ini adalah akibat dari kesalahannya, dan setiap detik yang berlalu, ia merasa seperti menunggu bom waktu meledak. Matanya memandang keluar jendela, ke arah kegelapan yang pekat, seolah Sang Penguasa Bawah Tanah akan bangkit kapan saja dari bumi yang retak.
Pagi itu, udara masih terasa berat. Tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah, bahkan untuk sekadar beraktivitas seperti biasa. Raga merasakan tatapan curiga dan ketakutan dari balik jendela-jendela yang tertutup rapat setiap kali ia melangkah keluar. Ia adalah orang luar yang telah membawa malapetaka. Beban rasa bersalah itu kini terasa seperti beban fisik yang menekannya.
Raga tahu ia tidak bisa berdiam diri. Ia harus memeriksa desa, mencari tanda-tanda lain dari kemarahan Sang Penguasa. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang kini terasa lebih sempit, lebih gelap, meskipun matahari bersinar terik. Setiap rumah yang ia lewati terasa seperti mata yang mengawasinya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, Raga melihat kerumunan kecil di persimpangan jalan utama desa. Jantungnya berdebar kencang. Naluri buruknya berteriak, memperingatkan bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi lagi. Ia mempercepat langkahnya, berharap dugaannya salah.
Namun, dugaannya tidak pernah salah di Desa Lengang.
Begitu ia mendekat, pandangannya langsung tertuju pada dua boneka jerami yang tergantung berdampingan di sebuah pohon beringin tua. Kali ini, ukurannya lebih kecil dari boneka Bu Sarni, namun detail wajahnya sama-sama mengerikan, dilukis dengan cermat menyerupai orang asli.
Raga mengenal wajah-wajah itu. Mereka adalah Wati dan Harno, pasangan muda yang sering bertengkar dengan warga desa. Mereka dikenal karena sering membangkang, enggan mengikuti tradisi lama, dan kerap mempertanyakan praktik-praktik kuno desa. Raga pernah mendengar selentingan bahwa mereka adalah satu-satunya di desa yang menolak untuk ikut serta dalam ritual nyanyian malam, menganggapnya sebagai takhayul kuno.
Seolah-olah, Sang Penguasa Bawah Tanah memilih mereka yang paling "berbeda", yang paling menentang. Atau, mungkin, mereka yang paling rapuh dalam barisan penjagaan.
Seorang wanita tua terisak lirih di dekat pohon, sementara beberapa pria menunduk, tak berani menatap boneka-boneka itu. Tidak ada yang berani menyentuh, apalagi melepasnya. Mereka hanya berdiri di sana, seperti patung, diliputi ketakutan dan keputusasaan.
"Wati... Harno..." bisik Raga, napasnya tercekat. Ia menoleh ke arah kerumunan kecil itu, mencari Mbah Wirya. Ia melihat tetua desa itu berdiri agak jauh, membelakangi pohon, seolah tak sanggup melihat pemandangan di depannya. Wajahnya semakin keriput, seolah beban Desa Lengang kini terpampang jelas di wajahnya.
Raga menghampiri Mbah Wirya. "Mbah... ini... ini kenapa lagi?" tanyanya, suaranya parau.
Mbah Wirya menoleh, matanya merah. "Kau masih bertanya, Nak Raga? Kau sudah tahu jawabannya." Suaranya terdengar berat, penuh kepahitan. "Boneka jerami ini... adalah buah dari ketidaktaatan. Bukan hanya ketidaktaatanmu, tapi juga ketidaktaatan mereka yang tidak ikut menyanyi. Mereka pikir mereka bisa lari dari takdir, tapi Sang Penguasa tidak pernah lupa."
Raga merasakan nyeri di dadanya. "Jadi, karena saya membuat kesalahan, Sang Penguasa merasa... tidak diakui lagi?"
Mbah Wirya mengangguk pelan. "Lebih dari itu, Nak Raga. Ia merasa terhina. Kau telah merusak simpul yang mengikatnya. Kau telah menunjukkan kepadanya bahwa janji itu telah longgar. Dan kini, ia mengambil siapa pun yang menurutnya pantas." Ia menunjuk ke arah boneka Wati dan Harno. "Mereka yang tidak percaya, yang tidak mau ikut menyanyi, adalah yang pertama dicengkramnya."
Ketegangan di desa terasa semakin pekat. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan, kini menjadi raungan dalam hati setiap warga. Mereka tahu, Sang Penguasa telah bangkit. Mereka tahu, segel telah retak. Dan mereka tahu, kesalahan Raga telah menjadi pemicunya.
Raga melihat ke sekeliling, ke wajah-wajah lesu para warga. Ia melihat tatapan kosong yang penuh pasrah. Tidak ada yang melawan. Tidak ada yang berteriak. Mereka hanya menerima takdir mereka, satu per satu, karena sebuah lagu yang salah.
Ia kembali menatap boneka jerami Wati dan Harno yang bergoyang pelan. Angin berdesir, membawa aroma tanah basah dan rasa dingin yang semakin menusuk. Desa Lengang kini telah berubah menjadi kuburan massal yang menunggu, dan ia, Raga, adalah penggali liang pertama.
Tidak Ada Lagi Suara Malam
Malam-malam di Desa Lengang kini menjadi mimpi buruk yang berulang. Tidak ada lagi nyanyian. Keheningan yang dulunya menenangkan, kini menjadi jurang ketakutan yang menganga. Setiap malam, Raga meringkuk di sudut kamarnya, mendengarkan. Bukan suara lagu, melainkan suara desisan angin yang terdengar seperti bisikan ancaman, atau suara retakan samar dari tanah yang bergetar.
Masyarakat desa kini hidup dalam ketakutan yang tak terucap. Mereka mengunci diri di rumah, tidak ada yang berani keluar setelah senja. Anak-anak yang tadinya bermain riang di siang hari, kini diam seribu bahasa, tatapan mereka kosong, mencerminkan ketakutan orang dewasa. Raga melihat seorang ibu mengikatkan jimat di leher anaknya, sementara seorang pria tua menaburkan garam di ambang pintu. Itu adalah usaha putus asa untuk melindungi diri dari sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang mereka tahu telah dilepaskan.
Ketakutan itu tidak berlebihan. Tanda-tanda kemurkaan Sang Penguasa Bawah Tanah semakin nyata, semakin mengerikan.
Pertama, adalah tanah yang retak. Retakan-retakan kecil mulai muncul di halaman rumah, di jalan setapak, bahkan di tengah sawah. Awalnya hanya garis-garis tipis, seperti urat-urat bumi yang kelelahan. Namun, perlahan-lahan, retakan itu membesar, melebar, seolah ada sesuatu yang bergerak, menggeliat, di bawah sana. Dari celah-celah itu, kadang tercium bau anyir seperti tanah basah bercampur darah.
Yang kedua, dan ini yang paling menghantui, adalah sumur berdarah. Sumur umum di tengah desa, yang selama ini menjadi sumber kehidupan, tiba-tiba berubah warna. Airnya menjadi keruh, merah pekat, seperti darah segar yang diencerkan. Bau amis yang menyengat menyeruak dari dalam sumur, membuat warga tidak berani mendekat. Seolah-olah, sumber air kehidupan desa telah diracuni oleh kebencian dari bawah tanah. Rasa haus bukanlah yang paling menakutkan, melainkan simbol bahwa kehidupan desa sedang dikikis, ditarik ke dalam kegelapan.
Dan yang ketiga, suara yang paling mengoyak batin, adalah suara tangisan yang terdengar dari bawah tanah. Terkadang sayup-sayup, terkadang jelas, suara itu adalah tangisan yang dalam, pilu, dan penuh amarah. Bukan tangisan manusia, melainkan tangisan yang terdada-dada, seolah bumi itu sendiri yang menangis, atau entitas di dalamnya merintih kesakitan dan kemarahan. Suara itu seringkali terdengar di malam hari, bergema dari retakan tanah atau dari dalam sumur berdarah, membuat bulu kuduk berdiri dan tidur menjadi mustahil.
Raga semakin terpuruk dalam rasa bersalah. Ia melihat semua kehancuran ini, semua ketakutan ini, dan ia tahu penyebabnya adalah dirinya. Ia telah merusak janji abadi, ia telah membuka portal kegelapan. Ia telah menafsirkan lagu itu sebagai penenang, padahal kenyataannya...
Dalam keputusasaan, ia kembali ke gudang balai desa. Ia harus membaca lagi catatan kuno itu, mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Ia menggali lagi tumpukan perkamen, matanya menelusuri setiap aksara yang menguning. Dan akhirnya, ia menemukannya. Sebuah paragraf kecil yang ia lewatkan sebelumnya, mungkin karena tulisan yang samar atau pemahamannya yang belum lengkap.
Paragraf itu menjelaskan bahwa "Lagu Pengantar Mati" bukanlah sekadar lagu penenang. Itu adalah segel. Sebuah segel suara yang diciptakan oleh para leluhur untuk menahan kekuatan Sang Penguasa Bawah Tanah, setelah entitas itu bangkit dan mengancam untuk menghancurkan segalanya. Setiap malam, nyanyian itu adalah ritual penguncian, sebuah mantera yang terus-menerus menekan Sang Penguasa agar tetap terperangkap di kedalaman bumi.
"Bukan penenang," bisik Raga, matanya melotot. "Melainkan penjara."
Jika lagu itu tidak dinyanyikan, atau dinyanyikan dengan salah, maka segel itu akan melemah, retak, dan akhirnya terbuka. Itulah mengapa Mbah Wirya begitu ketakutan, mengapa seluruh desa kini bersembunyi dalam bayang-bayang. Kesalahan Raga bukan hanya membangunkan kemarahan, tetapi juga melemahkan penahanan terhadap makhluk yang telah lama terkurung.
Kini ia mengerti segalanya. Boneka jerami itu, tanah yang retak, sumur berdarah, dan tangisan dari bawah tanah—semuanya adalah tanda-tanda bahwa Sang Penguasa sedang berusaha membebaskan diri. Dan jika itu terjadi, Desa Lengang akan lenyap, terkubur di bawah murka yang tak tertahankan. Raga merasakan beban yang tak terlukiskan menimpanya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia adalah satu-satunya yang bisa memperbaiki ini, meskipun ia tidak tahu bagaimana.
Pengorbanan dan Pengakuan
Raga tidak bisa lagi makan atau tidur nyenyak. Setiap helaan napas di Desa Lengang terasa seperti napas terakhir. Tanah terus retak, suara tangisan dari bawah tanah semakin keras, dan bahkan sumur berdarah itu kini mengeluarkan gelembung-gelembung aneh. Ia melihat wajah-wajah putus asa para warga, dan di mata mereka, ia melihat tuduhan yang tak terucap. Mereka tidak perlu mengatakan apa-apa; Raga tahu ini semua adalah salahnya.
Ia memutuskan untuk mencari Mbah Wirya lagi. Kali ini, bukan untuk bertanya, melainkan untuk menyatakan tekadnya. Ia menemukan tetua desa itu duduk di balai pertemuan, memimpin doa bersama beberapa warga yang tersisa. Suasana khusyuk namun penuh keputusasaan menyelimuti ruangan itu.
Ketika Raga masuk, semua mata menoleh padanya. Ada campuran ketakutan, kemarahan, dan bahkan sedikit harapan yang tersirat dalam pandangan mereka. Raga merasakan beban tatapan itu, namun ia tidak gentar. Ia sudah mengambil keputusan.
"Mbah Wirya," kata Raga, suaranya mantap meskipun ada getaran samar. "Saya datang untuk bertanya apa yang harus saya lakukan. Saya tahu ini salah saya. Saya harus memperbaikinya."
Mbah Wirya menatapnya dalam-dalam. Tidak ada lagi kemarahan di mata tua itu, hanya kelelahan yang mendalam. "Apa yang bisa kau lakukan, Nak Raga? Segel itu sudah rusak. Kemurkaan Sang Penguasa sudah terlepas. Kita hanya bisa menunggu..."
"Tidak!" potong Raga. "Pasti ada cara! Ada yang harus saya lakukan. Saya akan melakukan apa pun."
Para warga saling berpandangan. Bisik-bisik mulai terdengar, namun Mbah Wirya mengangkat tangan, membungkam mereka. Ia menatap Raga sekali lagi, sebuah percikan harapan yang sangat samar kini terlihat di matanya.
"Hanya ada satu cara," kata Mbah Wirya, suaranya nyaris berbisik, seolah takut didengar oleh angin. "Satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan yang kau sebabkan, untuk menutup kembali portal kegelapan yang terbuka."
Raga merasakan debaran di dadanya. "Apa itu, Mbah? Katakan!"
"Kau harus menyanyikan lagu itu. Lagu Pengantar Mati. Dengan lirik aslinya, tanpa salah satu suku kata pun," jelas Mbah Wirya. "Tapi bukan di luar. Bukan di rumahmu."
Ia berhenti, menatap Raga dengan tatapan serius. "Kau harus menyanyikannya di dalam sumur tua."
Raga tersentak. Sumur tua. Sumur berdarah yang kini mengeluarkan bau anyir. Sumur yang menjadi pusat dari semua kengerian ini.
"Sumur tua itu... adalah tempat Sang Penguasa dikurung oleh para leluhur kami," lanjut Mbah Wirya. "Lagu itu adalah mantera pengunci yang paling kuat jika dinyanyikan di dalam sarangnya. Itu akan menjadi pengorbanan suaramu, sebuah pengakuan langsung kepada Sang Penguasa bahwa janji itu tidak dilanggar, bahwa kami masih menghormatinya. Kau harus memperbaiki kesalahanmu di tempat ia bersemayam."
Raga merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. Pengorbanan. Bukan hanya waktu atau tenaga, tapi dirinya sendiri. Ia tahu, masuk ke dalam sumur itu sama saja dengan masuk ke dalam mulut neraka. Tidak ada jaminan ia akan keluar hidup-hidup.
"Bagaimana saya bisa tahu lirik aslinya?" tanya Raga. Ia ingat betapa sulitnya ia memahami lirik samar itu malam itu.
Mbah Wirya menoleh ke arah salah satu warga tua, seorang wanita yang gemetar namun mengangguk. "Kami akan memberimu rekamannya. Setiap malam, ada seorang anak yang disuruh merekam suara nyanyian kami, untuk memastikan tidak ada perubahan dari generasi ke generasi. Rekaman itu adalah yang paling murni, yang paling asli."
Sebuah harapan tipis menyelinap dalam keputusasaan Raga. Ia bisa melakukannya. Ia bisa memperbaiki ini. Jika ia bisa menyelamatkan desa ini, bahkan jika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri, ia akan melakukannya.
"Aku akan melakukannya," kata Raga, suaranya tegas. Tidak ada keraguan. Tidak ada ketakutan. Hanya tekad yang membara. "Aku akan menyanyikan lagu itu di dalam sumur."
Mbah Wirya mengangguk, sebuah senyum tipis yang penuh kesedihan terukir di wajahnya. "Kami akan mendoakanmu, Nak Raga. Semoga Sang Penguasa menerima pengakuanmu, dan mengembalikan kedamaian pada Desa Lengang."
Para warga desa menatap Raga dengan mata penuh harap, sebuah secercah cahaya muncul di tengah kegelapan mereka. Raga tahu, inilah kesempatan terakhir mereka. Dan ini, kemungkinan besar, adalah akhir dari kisahnya.
Lagu Terakhir
Malam itu, Desa Lengang diselimuti ketegangan yang pekat. Bukan lagi keheningan yang mencekam, melainkan hening yang penuh penantian. Seluruh warga berkumpul di sekitar sumur tua, obor-obor yang mereka bawa memercikkan cahaya oranye yang menari-nari di wajah-wajah pucat. Suara tangisan dari bawah tanah terasa lebih dekat, lebih nyata, seolah Sang Penguasa sudah berada di ambang kebebasan.
Raga berdiri di samping Mbah Wirya. Di tangannya, ia memegang sebuah pemutar kaset tua. Rekaman suara warga yang menyanyikan "Lagu Pengantar Mati" semalam telah disiapkan. Ia telah mendengarkannya berulang kali, menghafal setiap lirik, setiap nada, setiap intonasi. Ia tidak boleh salah. Kali ini, tak ada ruang untuk kesalahan.
Mbah Wirya menatapnya. "Kau yakin, Nak Raga?" suaranya bergetar.
Raga mengangguk. Tatapannya mantap, meskipun jantungnya berdentum kencang di dada. "Ini satu-satunya cara, Mbah."
Sumur tua itu tampak seperti lubang hitam yang menganga di tengah bumi. Bau anyir dan amis darah yang keluar darinya semakin kuat. Dari kedalamannya, terdengar erangan rendah yang membuat bulu kuduk berdiri. Sebuah tangga kayu lapuk telah diturunkan ke dalam sumur, mengarah ke kegelapan yang tak terhingga.
"Kami akan menunggu di sini, Nak Raga," kata Mbah Wirya, menepuk bahu Raga. "Semoga leluhur dan Sang Penguasa menerima pengakuanmu."
Raga menarik napas dalam. Ia menyalakan pemutar kaset, membiarkan suara warga yang terpadu memenuhi udara sejenak. Itulah panduannya. Dengan tekad membara, ia melangkahkan kaki pertama ke anak tangga yang licin.
Satu per satu, ia menuruni tangga, merasakan dingin yang menusuk dan kelembapan yang mencekik. Cahaya obor dari atas semakin redup, digantikan oleh kegelapan yang absolut. Aroma busuk semakin pekat, dan suara tangisan itu kini terasa mengelilinginya, seolah entitas di bawah sana sudah merasakan kehadirannya.
Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, Raga menyalakan senter ponselnya. Lingkaran cahaya kecil itu menampakkan dinding sumur yang lembap, dipenuhi lumut dan akar-akar pohon yang menjuntai. Air di dasar sumur berwarna merah pekat, mengeluarkan gelembung-gegelembung kecil yang pecah dengan suara aneh.
Raga meletakkan ponselnya, mengarahkan senter ke atas agar ada sedikit cahaya yang masuk ke dalam rekaman suara. Ia menutup mata, memejamkan diri dari kengerian di sekitarnya. Ia memutar tombol play pada pemutar kaset.
Dan kemudian, ia mulai bernyanyi.
"Duh Gusti kang agung..."
Suaranya, meskipun awalnya sedikit gemetar, berangsur-angsur menjadi kuat. Ia mengikuti setiap nada, setiap suku kata dari rekaman itu. Itu bukan sekadar lagu; itu adalah ritual, sebuah jembatan suara yang ia bangun antara dirinya dan kegelapan. Udara di dalam sumur terasa bergetar, seolah nyanyiannya membelah kegelapan yang pekat.
"Sangkan paraning dumadi..."
Ia terus bernyanyi, membiarkan suaranya bergema di dinding sumur. Setiap kata terasa berat, sarat makna, seperti setiap baris adalah kunci yang mengunci kembali sebuah pintu. Keringat membasahi dahinya, bercampur dengan dingin yang menusuk. Ia bisa merasakan energi aneh yang berdenyut dari air di bawah kakinya, seolah Sang Penguasa mulai bereaksi terhadap suaranya.
Ketika ia mencapai pertengahan lagu, sebuah bayangan mulai terbentuk dari dalam air merah. Awalnya hanya samar, seperti asap hitam yang mengepul perlahan. Namun, bayangan itu semakin memadat, semakin jelas, membentuk siluet raksasa yang tidak memiliki bentuk pasti, namun memancarkan aura kemarahan dan kegelapan yang tak terbayangkan.
Itulah Sang Penguasa Bawah Tanah.
Raga melihatnya. Sebuah entitas tanpa mata, tanpa wajah yang jelas, hanya massa hitam pekat yang bergerak, menggeliat, seolah terbuat dari kegelapan itu sendiri. Dari tubuh bayangan itu, muncul tentakel-tentakel tak berbentuk yang mulai bergerak mendekat ke arah Raga, perlahan namun pasti.
Ketakutan menyergap Raga, namun ia tidak berhenti bernyanyi. Ia tahu ini adalah puncaknya. Jika ia berhenti, semuanya akan berakhir. Ia terus bernyanyi, suaranya kini semakin lantang, berpadu dengan nyanyian rekaman yang mengalir dari pemutar kaset.
"Mugi-mugi lestantun tentrem..."
Tentakel-tentakel hitam itu semakin dekat, melilit kakinya, lalu perlahan naik ke tubuhnya. Raga merasakan dingin yang membekukan dan kekuatan yang luar biasa. Ia tahu Sang Penguasa sedang menyeretnya, menariknya ke dalam kegelapan yang menjadi bagian dari dirinya.
Rasa sakit mulai menjalar, tapi Raga terus bernyanyi. Ia melihat ke arah pemutar kaset. Lagu itu hampir selesai. Ia harus bertahan. Ia harus menyelesaikan ini.
"Nyawiji marang panjenengan..."
Tentakel-tentakel itu kini melilit lehernya, mencekik, menariknya semakin dalam ke dalam bayangan Sang Penguasa. Matanya mulai berkunang-kunang, napasnya terputus-putus. Namun, bibirnya tetap bergerak, menyelesaikan baris terakhir dari lagu sakral itu.
"...Lagu Pengantar Mati."
Suara terakhir dari lagu itu selesai, nyaris bersamaan dengan suara batuk tertahan dari Raga. Dalam sepersekian detik, cahaya senter di ponsel Raga berkedip, lalu padam sepenuhnya. Kegelapan mutlak merayap, menelan dirinya.
Di atas, di mulut sumur, para warga menahan napas. Mereka mendengar suara lagu yang perlahan mereda. Lalu, hening. Hening yang berbeda. Bukan hening yang mencekam seperti sebelumnya, tapi hening yang damai. Udara terasa lebih ringan. Suara tangisan dari bawah tanah telah hilang. Bau amis berdarah dari sumur pun memudar.
Kemudian, dengan suara gemuruh yang keras, retakan-retakan di tanah desa mulai menutup. Satu per satu, celah-celah yang menganga rapat kembali, seolah bumi itu sendiri bernapas lega. Sumur berdarah pun kembali jernih, airnya bening seperti semula.
Desa Lengang kembali utuh.
Namun, Raga tidak pernah keluar lagi dari sumur itu. Ia telah memenuhi janjinya. Ia telah mengorbankan dirinya.
Boneka Jerami dan Lagu Baru
Minggu-minggu berlalu. Desa Lengang perlahan kembali bernapas. Retakan tanah telah menutup, sumur kembali jernih, dan tangisan mengerikan dari bawah tanah telah mereda. Suasana damai, seolah kutukan itu tidak pernah ada. Para warga desa mulai kembali beraktivitas, dengan senyum tipis di wajah mereka, sebuah senyum yang bercampur lega dan kesedihan mendalam. Mereka tahu, kedamaian ini harus dibayar mahal.
Nama Raga, si penulis asing, kini menjadi legenda. Kisahnya diceritakan dari mulut ke mulut, dihiasi bisik-bisik kagum dan horor. Ia adalah orang luar yang datang membawa malapetaka, namun pergi dengan pengorbanan yang menyelamatkan mereka. Setiap malam, begitu senja tiba, Lagu Pengantar Mati kembali dinyanyikan. Suara warga terpadu, penuh kekhusyukan, memastikan setiap nada dan lirik sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Mereka kini menyanyikannya dengan pemahaman yang lebih dalam, dengan ketakutan yang lebih nyata, dan dengan rasa syukur atas pengorbanan Raga.
Di sudut desa, dekat dengan sumur tua yang kini kembali sunyi, berdirilah sebuah boneka jerami. Bukan boneka jerami yang sama dengan yang menyerupai Bu Sarni atau Wati dan Harno. Boneka ini berdiri tegak, terbuat dari anyaman jerami yang lebih rapi, dan mengenakan pakaian sederhana yang serupa dengan yang terakhir kali dikenakan Raga. Wajahnya dilukis dengan detail yang menakutkan, menyerupai raut wajah Raga, lengkap dengan kumis tipis dan sorot mata yang entah bagaimana, terlihat lelah namun penuh tekad.
Boneka itu menghadap lurus ke arah sumur, seolah ia adalah penjaga abadi, sebuah monumen bisu atas pengorbanan yang telah terjadi. Warga desa tidak pernah berani memindahkannya. Mereka menganggapnya sebagai tanda penghormatan terakhir untuk Raga, dan mungkin juga, sebagai peringatan nyata akan konsekuensi dari kesalahan.
Kedamaian sejati, bisik sebagian orang, telah kembali ke Desa Lengang.
Namun, di tengah kedamaian yang baru ditemukan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh.
Di suatu siang yang cerah, ketika para ibu sedang menganyam dan para pria bekerja di sawah, seorang anak kecil, anak yang dulu memperingati Raga di malam pertamanya, terlihat sedang duduk di bawah pohon beringin tua. Di sekelilingnya, beberapa anak lain duduk melingkar, mendengarkan dengan saksama.
Anak itu, dengan wajah polos namun mata yang tajam, mulai bergumam. Bukan gumaman biasa, melainkan melodi yang familier. Sebuah melodi yang sangat mirip dengan Lagu Pengantar Mati, namun dengan sentuhan yang berbeda, sebuah nuansa yang sangat samar, nyaris tak kentara.
"Kini giliranku menyanyi..." bisik anak itu, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar. Ia mulai mengajarkan lirik-lirik baru kepada anak-anak lain. Lirik yang berbeda. Bukan perubahan besar, hanya sedikit penyesuaian di sana-sini, sebuah modifikasi kecil dari kata-kata asli.
Anak-anak itu, tanpa curiga, mengulanginya. Suara-suara kecil mereka menyanyikan lagu baru itu, sebuah versi yang dimodifikasi, sebuah lagu yang hanya mereka yang tahu. Orang dewasa terlalu sibuk dengan kehidupan baru mereka, terlalu lega dengan kedamaian yang kembali, untuk memperhatikan bisikan-bisikan kecil ini. Mereka terlalu percaya bahwa siklus telah kembali normal, bahwa bahaya telah teratasi.
Di sudut desa, boneka jerami dengan wajah Raga berdiri kokoh, menghadap sumur tua. Angin berdesir lembut, membawa suara bisikan lirih dari anak-anak yang menyanyikan lagu baru itu. Bisikan-bisikan itu terbawa angin, melintasi persawahan, dan menghilang ke dalam keheningan sumur.
"Kini giliranku menyanyi..."
Entah apakah itu bisikan angin, atau bisikan dari dalam sumur, atau mungkin, bisikan dari boneka jerami itu sendiri. Yang jelas, sebuah siklus baru telah dimulai. Dan horor yang baru, mungkin, hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali bangkit.