Masukan nama pengguna
Bab 1: Bisikan di Balik Dinding
Alia menatap rumah itu, sebuah siluet abu-abu yang menjulang di antara rimbunnya dedaunan. Bukan rumah idaman, jauh dari itu. Ini adalah warisan dari Nenek Sari, sebuah bangunan tua yang seolah menolak untuk modern, tersembunyi di balik pagar besi berkarat dan pepohonan lebat yang jarang terjamah gunting taman. Ia baru saja tiba, setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari hiruk pikuk Jakarta, membawa serta mimpi dan segala perbekalan seniman muda yang penuh ambisi. Udara di sini terasa berbeda, lebih dingin, lebih lembab, dan entah mengapa, lebih berat.
"Selamat datang di sarang laba-laba, Alia," bisiknya pada diri sendiri, menyeret koper besar melintasi jalan setapak yang ditumbuhi lumut. Setiap langkah terasa bergema, seolah tanah di bawah kakinya menyimpan rahasia. Rumah itu memang terpencil, di ujung jalan setapak yang sempit, dikelilingi hutan lebat yang membentang tanpa batas. Tidak ada tetangga terdekat, hanya bisikan angin yang berdesir di antara dedaunan pinus. Perfect, pikirnya, untuk fokus pada skripsi seninya yang menuntut ketenangan absolut. Atau, setidaknya, itulah yang ia harapkan.
Kunci yang ia dapatkan dari notaris terasa dingin di tangannya. Saat pintu kayu jati yang tebal itu terbuka dengan decitan engsel yang dramatis, aroma apak dan debu langsung menyergap indra penciumannya. Ruangan di dalamnya gelap, gorden tebal menghalangi cahaya matahari. Alia menyalakan sakelar lampu, dan bohlam tua di langit-langit berkedip-kedip sebelum akhirnya menyala, memancarkan cahaya kekuningan yang redup.
Rumah itu besar, lebih besar dari yang ia bayangkan. Ruang tamu luas dengan furnitur bergaya kolonial yang tertutup kain putih, meja marmer yang dingin, dan rak buku tinggi yang nyaris menyentuh langit-langit. Di sana-sini, bayangan-bayangan menari-nari di sudut ruangan, seolah-olah ada sesuatu yang bersembunyi. Alia mengabaikannya, mengatakan pada diri sendiri itu hanya efek cahaya. Ia lelah, sangat lelah.
Malam pertama di rumah itu terasa aneh. Setiap suara kecil membesar. Decitan lantai kayu, gemerisik dedaunan di luar, bahkan detak jam dinding tua di ruang tamu seolah berteriak. Alia berusaha tidur, memejamkan mata rapat-rapat, namun otaknya enggan tenang. Ia merasa diperhatikan. Perasaan itu tipis awalnya, seperti bulu yang menyentuh kulit, namun perlahan semakin nyata. Ia meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kelelahan, imajinasi yang terlalu aktif akibat membaca terlalu banyak kisah horor.
Namun, bisikan itu...
Awalnya hanya seperti gumaman tak jelas, samar-samar, seolah datang dari balik dinding. Seperti percakapan yang terlalu jauh untuk didengar dengan jelas. Alia mengangkat kepala dari buku sketsanya, pensilnya terhenti di tengah goresan. Ia menajamkan pendengaran. Kosong. Hanya suara jangkrik di luar. Ia kembali menggambar, mencoba mengabaikannya.
Beberapa hari berikutnya, bisikan itu kembali. Kali ini, sedikit lebih jelas. "Dia ada di sini..." atau "Lihatlah..." Ia bahkan sempat merasa mendengar namanya disebut, meskipun itu sangat samar. Alia menengok ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Ia mulai merasa sedikit gelisah. Rumah itu terlalu sunyi, terlalu sepi. Sunyi yang memekakkan telinga.
Ia mencoba menyibukkan diri. Membersihkan rumah, menata ulang beberapa barang, mencoba membuat tempat itu terasa lebih "miliknya". Ia menemukan banyak benda antik peninggalan neneknya: vas-vas keramik tua, cermin dengan ukiran rumit, dan sebuah lemari pakaian mahoni di kamarnya yang tampak begitu tua hingga hampir menyeramkan. Lemari itu besar, tingginya nyaris mencapai langit-langit, dengan ukiran bunga-bunga yang gelap dan suram.
Suatu sore, saat ia mencoba membersihkan bagian dalam lemari, tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan berdebu di sudut paling dalam. Ia menariknya keluar. Itu adalah boneka usang, terbuat dari kain perca lusuh, dengan rambut wol yang kusut. Yang paling mengerikan adalah matanya tercongkel, hanya menyisakan lubang kosong yang hitam. Boneka itu tampak seperti baru saja diletakkan di sana, debu di permukaannya tidak setebal debu di sekitar lemari.
Alia merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. Ia ingat lemari itu kosong ketika pertama kali ia memeriksanya. Ia yakin. Boneka itu pasti ada di sana sejak lama, tersembunyi. Tapi mengapa ia baru menemukannya sekarang? Dan mengapa matanya...tercongkel? Alia membuang boneka itu kembali ke dalam lemari dan menutupnya rapat-rapat, seolah ingin mengubur penemuan itu dalam kegelapan.
Malam itu, bisikan semakin intens. Ia tidak lagi yakin apakah itu hanya imajinasinya. Terkadang, ia melihat bayangan sekilas di sudut mata, seperti sesosok tubuh yang bergerak cepat, menghilang di balik pintu atau di antara furnitur. Ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa. Jantungnya berdebar kencang. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini rumah hantu? Neneknya tidak pernah bercerita tentang hal-hal supranatural di rumah ini. Atau mungkin, Neneknya memang tidak pernah berani bercerita?
Ia mencoba menenangkan diri. Ini hanya sugesti. Otaknya terlalu lelah, terlalu tertekan dengan tuntutan skripsi. Ia harus tetap rasional. Namun, di dalam hatinya, sebuah ketakutan mulai tumbuh, perlahan namun pasti. Ia merasa sendirian, sangat sendirian di rumah besar yang sunyi ini, dan entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang tidak sendirian bersamanya. Sesuatu yang mengawasinya, setiap gerak-geriknya.
Ia mematikan lampu kamar, berharap kegelapan akan membawa ketenangan. Namun, kegelapan justru memperkuat sensasi itu. Bisikan-bisikan itu seolah mengelilinginya, lebih dekat, lebih jelas. "Jangan tidur..." Alia menarik selimut hingga leher, matanya menatap langit-langit kosong. Ia tak bisa tidur.
Bab 2: Kehadiran yang Tak Kasat Mata
Mata Alia terasa berat, bengkak karena kurang tidur. Lingkaran hitam tercetak jelas di bawah matanya. Bisikan-bisikan itu kini tak lagi samar. Ia mulai mendengar suara langkah kaki di lantai atas ketika ia berada di bawah, dan di lantai bawah ketika ia berada di atas. Langkah kaki yang menyeret, lambat, seolah seseorang tengah berjalan dengan sengaja, mengukur setiap langkah.
"Ini tidak masuk akal," gumamnya, sambil membuat kopi hitam pekat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya suara rumah tua yang bergeser, atau mungkin, tikus. Tapi suara itu terlalu teratur, terlalu...manusiawi.
Barang-barang kecil mulai berpindah tempat. Pulpennya yang ia letakkan di meja dapur, tiba-tiba ditemukan di rak buku ruang tamu. Buku sketsa yang semalam ia tinggalkan di samping tempat tidur, keesokan paginya berada di atas meja rias. Awalnya, Alia mengira ia lupa meletakkannya. Tapi kemudian, kejadian itu semakin sering terjadi. Cangkir kopinya yang baru ia cuci, tiba-tiba muncul di wastafel dapur dengan bekas noda kopi kering.
Puncaknya adalah ketika ia tidak menemukan gunting kainnya di kotak peralatan menjahitnya. Ia yakin ia menaruhnya di sana. Setelah mencari di seluruh rumah, ia menemukannya di bawah bantalnya, dengan posisi ujung tajamnya mengarah ke kepalanya. Jantung Alia berdebar kencang. Ini bukan lagi kebetulan. Ini disengaja.
Ia mulai mengalami mimpi buruk berulang. Selalu sama. Ia berada di sebuah ruangan gelap yang pengap. Dindingnya terbuat dari beton yang lembab, dan tidak ada jendela. Di tengah ruangan, ada sesosok pria bertopeng. Topeng itu putih polos, tanpa ekspresi, tapi Alia bisa merasakan tatapan tajamnya. Pria itu tidak berbicara, hanya berdiri diam, memandangnya. Kemudian, pria itu akan mendekat, perlahan, dan menguncinya di dalam ruangan itu. Alia akan terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin, dan perasaan mencekam yang terus menghantuinya sepanjang hari.
Mimpi itu begitu nyata, begitu menghantui, hingga ia mulai takut untuk tidur. Setiap malam adalah pertarungan. Ia mencoba menunda tidur selama mungkin, membaca buku, menggambar, apa pun asalkan ia tidak harus menutup mata.
Kekhawatirannya yang tadinya hanya "apakah ini rumah hantu?", kini berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan. "Apakah ada orang di sini?" Bisikan-bisikan itu, bayangan-bayangan itu, barang-barang yang berpindah, dan terutama, mimpi buruk itu. Alia merasa seperti sedang diawasi.
Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah itu. Ia menghabiskan berjam-jam di depan laptopnya, mencari informasi di internet. Ia mencari nama Nenek Sari, mencoba menemukan catatan kepemilikan sebelumnya, apa pun yang bisa memberinya petunjuk. Namun, informasi yang ia temukan sangat sedikit. Sebagian besar hanya berupa listing properti lama atau artikel-artikel usang tentang pembangunan di daerah itu puluhan tahun lalu.
Ia memang menemukan beberapa berita tentang insiden kecil yang tidak signifikan. Sebuah artikel koran lama tentang kebakaran kecil di gudang belakang rumah sekitar dua puluh tahun lalu, yang cepat dipadamkan. Atau laporan polisi tentang kasus pencurian kecil di sekitar area itu. Tidak ada yang menjelaskan perasaan mencekam yang ia rasakan. Tidak ada kisah tentang kematian misterius, atau penghuni yang menjadi gila. Kosong.
Kecuali satu hal. Ada beberapa mention samar tentang "gangguan ketenangan" di lingkungan sekitar rumah itu beberapa kali di masa lalu, tapi tidak dijelaskan lebih lanjut. Hanya sekilas, lalu menghilang di antara berita-berita lain.
Frustrasi mulai merayap. Semakin ia mencari, semakin ia merasa terisolasi. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara tentang ini. Teman-temannya di Jakarta pasti akan menganggapnya gila. "Kamu terlalu banyak nonton film horor, Alia," pasti itu yang akan mereka katakan.
Ia mencoba menghubungi Maya, teman dekatnya yang selalu bisa ia percaya. Ia mengirim pesan, menelepon, tapi tidak ada jawaban. Maya sedang sibuk dengan proyek seni di luar kota, begitu pesan terakhirnya. Alia merasa sendirian. Sendiri dalam ketakutannya.
Suatu malam, ia sedang di dapur, membuat teh hangat. Tiba-tiba, ia mendengar suara decitan keras dari arah ruang tamu, seperti kursi yang diseret di lantai kayu. Jantungnya berdegup kencang. Ia menghentikan semua gerakannya, menahan napas. Sunyi.
Alia memberanikan diri melangkah pelan menuju ruang tamu. Lampu di sana mati. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan sakelar. Ruangan itu terang benderang. Tidak ada yang aneh. Semua furnitur pada tempatnya.
Namun, di tengah ruangan, di atas meja marmer yang biasanya kosong, kini tergeletak sebuah buku. Sebuah buku harian tua dengan sampul kulit yang usang. Buku itu tidak ada di sana sebelumnya. Alia yakin. Ia tidak pernah melihatnya.
Tangannya gemetar saat meraih buku itu. Debunya tebal, seolah sudah bertahun-tahun tidak tersentuh. Perlahan, ia membuka halaman pertamanya. Tulisan tangan kaligrafi yang rapi namun aneh memenuhi halaman. Kata-kata acak, coretan-coretan tak beraturan, dan terkadang, simbol-simbol yang tidak ia kenali. Sebagian besar tulisannya tidak dapat dibaca, terlalu buram atau coret-coretan yang tak berarti.
Namun, di salah satu halaman tengah, ada sebuah sketsa. Sketsa detail rumah itu, dengan denah lantai yang digambar dengan presisi. Yang lebih mengerikan, di beberapa bagian denah, ada tanda silang merah, dan tulisan tangan yang sama, terukir dengan tinta yang lebih gelap: "Dia melihatmu."
Alia menjatuhkan buku itu. Suara buku yang menghantam lantai kayu terdengar seperti dentuman di telinganya. Dingin menjalari sekujur tubuhnya. Ini bukan lagi imajinasi. Ini bukan lagi hantu. Ini nyata.
Seseorang, atau sesuatu, benar-benar ada di dalam rumah ini bersamanya. Seseorang yang tahu setiap sudut rumah, setiap gerakannya. Seseorang yang mengawasinya. Dan orang itu, atau sesuatu itu, sepertinya ingin bermain-main dengannya.
Malam itu, Alia tidak tidur sama sekali. Ia duduk meringkuk di sudut kamarnya, memeluk lutut, matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Setiap bayangan yang bergerak, setiap suara decitan, setiap hembusan angin yang masuk melalui celah jendela, terasa seperti ancaman.
Ia merasa terperangkap. Terperangkap di rumah tua yang dulunya ia pikir adalah tempat perlindungannya, kini berubah menjadi penjara yang mengerikan. Dan ia tahu, permainan ini, entah apa pun itu, baru saja dimulai. Ia tidak tahu siapa yang bermain, atau apa tujuannya, tapi ia tahu satu hal: ia adalah targetnya.
Ketakutan itu kini bukan lagi bisikan, tapi jeritan di dalam benaknya. Jeritan yang tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Ia sendirian. Sangat sendirian. Dan di luar sana, dalam kegelapan yang mengelilingi rumah, ia bisa merasakan kehadiran itu, menunggu, mengamati, dan bersiap untuk langkah selanjutnya.
Bab 3: Jejak yang Tersembunyi
Pagi itu, Alia bangun dengan perasaan campur aduk. Ketakutan masih mencengkeramnya, namun ada juga dorongan kuat untuk mencari tahu. Buku harian tua yang ia temukan semalam tergeletak di meja samping tempat tidurnya, persis seperti ia menjatuhkannya. Debunya tebal, seolah sudah bertahun-tahun tidak tersentuh. Sketsa denah rumah dengan tulisan "Dia melihatmu" masih terbayang jelas di benaknya. Alia tahu, ini bukan lagi tentang hantu. Ini tentang seseorang yang nyata, yang berada di rumah ini, bersamanya.
Ia menatap buku harian itu dengan tatapan jijik bercampur penasaran. Siapa pemiliknya? Dan mengapa ada denah rumah ini di dalamnya, dengan coretan mengerikan itu? Alia memberanikan diri mengambil buku itu kembali. Jemarinya menyentuh sampul kulit usang, merasakan dinginnya kertas-kertas tua. Ia membalik halaman-halaman yang penuh coretan, mencoba mencari konsistensi, sebuah pola. Sebagian besar tulisannya memang acak, seperti pikiran yang melompat-lompat, namun ada beberapa fragmen kalimat yang bisa ia tangkap.
"…merah…darah…dia pergi lagi…"
"…suara…mereka…tidak tahu…"
"…senyum itu…senyum iblis…"
Kalimat-kalimat itu tidak membentuk cerita yang jelas, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Alia berdiri. Buku itu seolah napas dari kegilaan seseorang. Ia menutup buku itu kembali, memutuskan untuk menyelidikinya nanti. Prioritasnya saat ini adalah mencari bukti keberadaan orang lain di rumah ini.
Alia melangkah ke ruang bawah tanah, tempat yang ia hindari sejak awal. Ia merasa ada aura tidak menyenangkan di sana, seolah tempat itu menyimpan rahasia kelam. Tangga kayu tua berdecit di bawah kakinya, seiring dengan langkahnya yang ragu. Udara di bawah sana lebih dingin, berbau apek dan lembab, aroma tanah basah bercampur sesuatu yang amis samar-samar. Cahaya matahari nyaris tidak bisa menembus jendela kecil yang tertutup lumut.
Ruangan itu luas, dindingnya terbuat dari batu bata merah yang ditumbuhi jamur. Ada tumpukan barang-barang usang di sudut, tertutup kain putih lusuh: meja bobrok, kursi rusak, dan beberapa peti kayu yang tampak sudah tidak terpakai. Alia menyalakan senter ponselnya, sinarnya menembus kegelapan, menari-nari di setiap sudut.
Ia mulai memeriksa setiap peti. Sebagian besar berisi perkakas tua yang berkarat, piring pecah, dan kain-kain usang. Alia mulai merasa putus asa. Mungkin ia terlalu terbawa suasana. Mungkin semua ini hanyalah paranoia belaka.
Namun, di peti terakhir, yang terletak agak tersembunyi di balik tumpukan karung goni, ia menemukan sesuatu. Sebuah kotak kayu tersembunyi. Kotak itu terkunci, tapi kuncinya tergantung di paku kecil di samping peti itu. Dengan tangan gemetar, Alia mengambil kunci itu dan membukanya.
Di dalamnya, tumpukan kliping koran lama. Alia menariknya keluar, napasnya tertahan. Kliping-kliping itu sudah menguning, tintanya pudar, namun judul-judulnya masih terbaca jelas.
"MAHASISWI HILANG DI KAWASAN PINGGIR KOTA: MISTERI YANG BELUM TERUNGKAP"
"Gadis Muda Menghilang Tanpa Jejak, Polisi Gelar Penyelidikan Intensif"
"Kecurigaan Jatuh pada 'Pemburu Malam', Korban Bertambah?"
Semua artikel itu memberitakan kasus orang hilang di daerah itu sekitar 30 tahun lalu. Yang lebih mengerikan, semua korban adalah wanita muda yang tinggal sendirian. Alia membaca setiap detail dengan cermat, jantungnya berdebar kencang. Nama-nama korban, deskripsi terakhir mereka, upaya polisi yang tak membuahkan hasil. Ini terlalu kebetulan. Rumah ini, daerah ini, dan sekarang, kliping-kliping ini.
Bersama kliping itu, ia juga menemukan beberapa lembar foto polaroid yang sudah pudar. Foto-foto itu buram, menunjukkan pemandangan hutan, bagian dalam sebuah ruangan yang gelap, dan yang paling mengerikan, siluet seseorang yang berdiri di balik tirai jendela, mengamati sesuatu di luar. Siluet itu tinggi, ramping, dan entah mengapa, terasa familiar, meski ia tidak bisa menunjuk alasannya.
Alia menutup kotak itu dengan tergesa-gesa, seolah barang-barang di dalamnya akan melompat keluar dan mencekiknya. Ia segera kembali ke atas, jantungnya masih berdebar kencang. Perasaan takut yang tadinya hanya bisikan kini berubah menjadi teriakan keras di kepalanya. Pemburu Malam. Nama itu terngiang-ngiang. Apakah orang itu masih ada? Dan apakah dia… ada di rumah ini?
Ia kembali memeriksa buku harian tua itu. Kali ini, ia membacanya dengan lebih teliti, menghubungkan setiap fragmen dengan informasi dari kliping koran. Ia menemukan beberapa tanggal yang sesuai dengan tanggal hilangnya para korban. Dan di salah satu halaman, ada sebuah catatan: "Dia suka mata yang kosong." Alia teringat boneka dengan mata tercongkel yang ia temukan di lemari. Ngeri.
Ia mencoba mencari informasi tentang Pemburu Malam di internet. Kali ini, pencariannya membuahkan hasil yang lebih spesifik. Ada beberapa forum online dan blog tentang kasus-kasus kriminal tak terpecahkan di Indonesia. Kasus Pemburu Malam ini memang menjadi legenda urban di daerah itu, sebuah misteri yang tak pernah terungkap. Ada teori bahwa pelakunya seorang psikopat lokal yang memiliki obsesi terhadap wanita muda.
Kekejian dari setiap kasus terungkap dalam detail-detail samar di forum. Korban ditemukan dalam keadaan mengenaskan, meskipun kebanyakan detailnya disensor. Namun, yang paling menonjol adalah bagaimana pelaku selalu meninggalkan semacam "tanda tangan" – sebuah boneka dengan mata tercongkel. Alia merasakan mual. Boneka yang ia temukan… itu adalah tanda tangan Pemburu Malam.
Pertanyaan yang terus menghantuinya adalah: siapa yang menaruh boneka itu di lemarinya? Jika kasus ini sudah 30 tahun lalu, apakah Pemburu Malam itu masih hidup? Atau apakah ada orang lain yang melanjutkan jejaknya? Dan mengapa boneka itu ada di rumah ini? Apakah rumah ini adalah tempat persembunyiannya? Atau, lebih buruk lagi, apakah rumah ini adalah tempat di mana semua itu terjadi?
Alia berjalan mondar-mandir di kamarnya, napasnya pendek-pendek. Paranoia semakin mencengkeram. Ia mulai memeriksa setiap sudut rumah dengan detail, mencari celah, mencari tempat persembunyian. Ia merasa setiap dinding menyimpan rahasia, setiap lantai memiliki rongga tersembunyi. Rumah yang awalnya terasa seperti tempat berlindung, kini berubah menjadi perangkap, dan ia adalah mangsanya.
Bab 4: Permainan Kucing dan Tikus
Ketegangan di dalam rumah mencapai puncaknya. Alia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu, atau seseorang, yang bermain-main dengannya. Bukan sekadar barang yang berpindah tempat lagi. Ini jauh lebih mengerikan.
Pagi itu, Alia bangun dan langsung merasakan hawa dingin di kamarnya. Ia menoleh ke jendela. Jendela itu terbuka lebar. Ia ingat dengan jelas, tadi malam ia sudah menguncinya rapat-rapat. Jendela itu memiliki kait pengunci ganda, sangat sulit untuk dibuka dari luar tanpa alat khusus. Angin dingin masuk, mengibaskan gorden. Alia merasakan bulu kuduknya meremang.
Tidak hanya sekali. Kejadian itu terulang beberapa kali dalam sehari. Jendela dapur yang baru ia tutup, tiba-tiba terbuka. Pintu belakang yang sudah ia pastikan terkunci, terkadang ditemukan sedikit terbuka. Seolah-olah ada tangan tak terlihat yang membuka dan menutupnya, hanya untuk menggodanya, memberitahunya, "Aku di sini."
Puncaknya adalah ketika Alia sedang mandi. Ia mendengar suara klik pintu kamar mandi terkunci dari dalam. Ia yakin ia tidak mengunci pintu itu. Bahkan, ia tidak pernah mengunci pintu kamar mandi. Dengan jantung berdebar kencang, ia buru-buru menyelesaikan mandinya dan mencoba membuka pintu. Terkunci.
"Halo?" suaranya bergetar. Tidak ada jawaban.
Alia mendorong pintu itu sekuat tenaga. Terkunci rapat. Panik mulai menyerang. Ia terperangkap di kamar mandi. Ia memukul-mukul pintu, berteriak, "Siapa di sana?! Buka pintunya!" Namun, hanya keheningan yang menjawab. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, tiba-tiba terdengar suara klik lagi, dan pintu terbuka. Tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya lorong yang gelap dan sunyi. Alia melangkah keluar dengan gemetar, matanya menyapu setiap sudut. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain. Ini adalah permainan, dan ia adalah bidak di dalamnya.
Perasaan diikuti semakin kuat. Setiap kali ia bergerak di dalam rumah, ia merasa ada mata yang mengawasinya. Ia mulai melihat pesan-pesan samar ditulis di cermin dengan uap atau embun setelah ia mandi. Awalnya hanya coretan acak, namun suatu pagi, ia melihat sebuah pesan yang jelas: "Aku tahu kamu di sini." Alia membasuh cermin itu dengan panik, seolah ingin menghapus keberadaan mengerikan yang menulis pesan itu.
Ketakutan Alia berubah menjadi paranoia. Ia tidak bisa lagi makan dengan tenang, tidur dengan nyenyak, atau bahkan sekadar duduk diam. Setiap bayangan, setiap suara, memicu respons takut dalam dirinya. Ia merasa otaknya mulai terkoyak, antara realitas dan ilusi yang diciptakan oleh kehadiran yang tak terlihat itu.
Ia mulai memasang kamera kecil di beberapa sudut rumah. Kamera-kamera murah yang ia beli online, ia sembunyikan di balik tanaman, di sudut rak buku, dan di atas lemari. Ia berharap rekaman itu akan memberinya bukti, membantunya untuk tetap waras. Ia harus punya bukti untuk menunjukkan kepada seseorang, siapa pun, bahwa ia tidak gila.
Alia mencoba menghubungi teman-temannya lagi. Ia mengirim pesan panjang kepada Maya, menceritakan semua yang ia alami. "Maya, kumohon, balas pesanku. Aku takut sekali. Ada yang tidak beres di sini." Tidak ada balasan. Maya seolah menghilang ditelan bumi. Alia merasa putus asa. Ia sendirian.
Paranoia Alia mencapai titik di mana ia mulai meragukan semua yang ia lihat dan dengar. Apakah ini semua hanya halusinasi? Akibat stres yang parlampau? Apakah ia benar-benar gila? Keraguan itu lebih menakutkan daripada apa pun. Jika ia gila, maka tidak ada harapan baginya.
Ia memeriksa rekaman kamera setiap beberapa jam. Hanya gambar statis dari sudut-sudut ruangan. Tidak ada pergerakan, tidak ada penampakan. Alia mulai merasa sedikit lega. Mungkin memang ia hanya terlalu banyak berimajinasi. Mungkin tekanan skripsi dan kesendirian membuatnya tergelincir.
Namun, di tengah malam, saat ia tidak bisa tidur, ia kembali memeriksa rekaman terbaru. Ia mempercepat rekamannya, matanya menatap layar laptop yang redup. Lalu, ia melihatnya.
Di rekaman dari kamera yang ia letakkan di lorong menuju dapur, ada sesosok bayangan bergerak cepat. Terlalu cepat untuk diidentifikasi, namun itu jelas bukan refleksi atau ilusi optik. Bayangan itu melintas dari satu sisi lorong ke sisi lain, hampir tak terlihat, namun Alia bisa merasakan hawa dingin yang menguar darinya. Ini bukan bayangan hantu. Ini bayangan manusia.
Alia mengulang rekaman itu beberapa kali, memperlambatnya. Sulit untuk melihat detail, tapi ia yakin. Seseorang telah melintas di lorongnya.
Ia beralih ke rekaman kamera di ruang tamu, yang ia sembunyikan di balik vas bunga. Ia kembali mempercepat rekaman. Dan kemudian, ia melihatnya lagi. Kali ini, lebih jelas. Di tengah malam, saat rumah itu gelap gulita, tirai jendela di ruang tamu bergerak. Perlahan, sedikit demi sedikit, tirai itu tergeser. Dan dari balik tirai, ia melihat bagian kecil dari wajah seseorang yang mengintip.
Wajah itu tidak terlihat jelas, hanya sebagian kecil dahi, mata, dan pipi. Namun, Alia bisa melihat sebuah senyuman tipis di bibirnya. Senyuman yang mengerikan, seolah mengejek, seolah tahu bahwa ia sedang diawasi. Dan yang paling mengerikan adalah, mata itu, meski samar, tampak menatap langsung ke arah kamera. Seolah-olah orang itu tahu kamera ada di sana. Seolah-olah ia sedang berpose.
Alia merasakan napasnya tertahan di tenggorokan. Jantungnya berdebar sangat kencang hingga terasa sakit di dadanya. Wajah itu... meskipun hanya sebagian kecil, itu familiar. Ia teringat kliping koran lama yang ia temukan di ruang bawah tanah. Foto-foto buram tentang kasus orang hilang. Ada satu foto seorang pria paruh baya yang diidentifikasi sebagai saksi kunci dalam kasus-kasus orang hilang bertahun-tahun lalu. Pria itu memberikan alibi yang sempurna, tidak pernah dicurigai serius. Alia tidak ingat wajahnya dengan jelas, hanya kesan samar. Tapi wajah di kamera itu… adalah kesan yang sama.
Ketakutan Alia kini berubah menjadi teror murni. Ini bukan lagi teka-teki, bukan lagi paranoia, bukan lagi hantu. Ini adalah nyata. Seseorang, Pemburu Malam itu, entah bagaimana, ada di rumah ini. Dia tahu Alia ada di sini. Dia mengawasinya. Dia telah berada di sini sejak awal, bersembunyi di sudut-sudut gelap, menikmati setiap ketakutan Alia, setiap jeritan bisu yang terperangkap di dadanya.
Dan yang paling mengerikan adalah kesadaran bahwa ia tidak pernah sendirian. Sejak ia menginjakkan kaki di rumah ini, sejak bisikan pertama, sejak bayangan pertama, ia telah diamati. Di setiap langkahnya, di setiap tidurnya, di setiap napasnya, ia tidak sendirian.
Kini, pertanyaan bukan lagi "apakah ada orang lain di rumah ini?", melainkan "Siapa dia dan apa yang akan dia lakukan?"
Alia mematikan laptopnya, merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia meringkuk di sudut kamar, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia tahu, ia harus melarikan diri. Tapi bagaimana? Jika orang itu sudah begitu lama bersembunyi di sini, ia pasti tahu setiap sudut rumah, setiap celah. Rumah ini adalah wilayahnya. Dan Alia, ia hanyalah mangsa yang baru.
Ia bisa mendengar bisikan itu lagi, lebih jelas dari sebelumnya, kali ini bukan di balik dinding, melainkan seolah tepat di samping telinganya.
"Kamu tidak bisa lari..."
Bab 5: Terungkapnya Sang Pemburu
Alia mematikan laptopnya, layar gelapnya memantulkan wajahnya yang pucat dan mata yang bengkak. Gambar samar wajah tersenyum di balik tirai itu terus berputar di benaknya, disusul kilasan foto buram dari kliping koran. Bukan lagi ilusi, bukan lagi hantu. Ini nyata. Ada seorang manusia, seorang psikopat, yang bersembunyi di rumah ini bersamanya, dan dia telah mengamati setiap gerak-geriknya sejak Alia tiba.
Dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, bukan dinginnya suhu ruangan, tapi dinginnya teror yang mencekam. Paranoia Alia mencapai puncaknya. Setiap bayangan yang menari di dinding, setiap decitan lantai, terasa seperti dia. Di mana dia bersembunyi? Di balik lemari? Di loteng? Di bawah lantai? Pikiran itu sendiri sudah cukup untuk membuat Alia nyaris kehilangan akal.
Ia mencoba berpikir rasional, mencoba melawan kepanikan yang menggerogoti. Jika dia tahu Alia memasang kamera, berarti dia cerdas. Dia tidak akan muncul di tempat yang jelas. Dia pasti memiliki tempat persembunyian yang tak terduga. Sebuah lubang tikus di antara dinding, sebuah ruang rahasia yang hanya dia ketahui.
Alia mulai memeriksa setiap sudut rumah dengan detail yang mengerikan. Ia menyisir setiap ruangan, mengetuk dinding, mencoba mencari suara kosong yang mengindikasikan ruang tersembunyi. Ia menggeser furnitur berat, membongkar tumpukan barang yang belum sempat ia sentuh. Di setiap langkahnya, jantungnya berdebar kencang, takut akan apa yang akan ia temukan. Atau lebih buruk, takut akan apa yang akan menemukan dia.
Ketika ia masuk ke dapur, ia melihat pisau-pisau di rak, berkilauan di bawah cahaya lampu yang redup. Sebuah pikiran dingin melintas di benaknya: pertahanan diri. Ia mengambil pisau dapur terbesar dan terberat, menggenggamnya erat-erat. Genggaman pisau itu terasa aneh, dingin dan asing, namun ada sedikit rasa aman yang timbul dari benda tajam itu. Ia harus bersiap.
Alia bergerak perlahan dari kamar ke kamar, matanya tajam, telinganya waspada. Ia memeriksa loteng, yang gelap dan penuh sarang laba-laba. Tidak ada siapa-siapa, hanya debu dan barang-barang usang. Ia turun ke lantai dasar, memeriksa lemari di bawah tangga, mengecek kembali gudang di belakang rumah. Semua terasa kosong, sunyi, namun perasaan diawasi itu tidak pernah hilang.
Saat ia melewati ruang tamu, matanya tertuju pada sebuah lukisan tua neneknya yang tergantung di dinding. Lukisan itu berukuran besar, menutupi sebagian besar dinding. Alia tidak pernah terlalu memperhatikannya, menganggapnya hanya sebagai hiasan tua. Namun, kini, sesuatu menarik perhatiannya. Bingkai lukisan itu sedikit miring, lebih rendah di satu sisi.
Dengan tangan gemetar, Alia meraih sisi lukisan itu dan mendorongnya. Lukisan itu bergeser sedikit, mengungkapkan sesuatu di baliknya. Bukan dinding, tapi sebuah celah sempit, nyaris tak terlihat. Sebuah pintu rahasia.
Napas Alia tercekat. Ini dia. Ini pasti tempat persembunyiannya. Ia bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari balik celah itu, bau apek yang lebih kuat dari bau rumah tua itu sendiri. Dengan pisau di satu tangan dan senter ponsel di tangan lainnya, Alia memberanikan diri.
Ia mendorong lukisan itu lebih jauh, mengungkapkan sebuah pintu kayu tipis yang tersembunyi. Pintu itu nyaris tak terlihat, menyatu sempurna dengan dinding di sekitarnya. Seolah sengaja dirancang untuk tidak menarik perhatian. Alia membuka pintu itu perlahan, engselnya berdecit pelan.
Di baliknya, ada sebuah lorong gelap yang sempit, hanya cukup untuk satu orang. Udara di dalamnya pengap dan dingin, dengan bau yang lebih menyengat, campuran bau tanah basah, besi berkarat, dan sesuatu yang amis. Jantung Alia berdebar seperti genderang perang. Ini dia.
Ia melangkah masuk, kakinya gemetar. Senter ponselnya menyorot ke depan, mengungkapkan dinding-dinding yang lembab dan langit-langit rendah. Lorong itu berbelok tajam di ujungnya. Alia berjalan perlahan, setiap langkah terasa seperti menekan ranjau darat.
Saat ia mencapai ujung lorong dan berbelok, senternya menyinari sebuah ruangan kecil. Ruangan itu tampak seperti kamar, namun tanpa jendela. Sebuah kasur tipis tergeletak di lantai, selimut lusuh yang berantakan. Di salah satu sudut, ada tumpukan buku dan majalah yang terlihat sangat usang. Yang paling mengerikan, di dinding di atas kasur, ada beberapa foto yang tertempel. Foto-foto wanita muda. Sebagian besar buram dan sudah menguning, tapi Alia bisa mengenali beberapa wajah. Mereka adalah para korban dari kliping koran. Para korban Pemburu Malam.
Alia merasakan mual. Ini adalah tempatnya. Tempat di mana dia bersembunyi, tempat di mana dia hidup, tempat di mana dia merencanakan semua kengerian ini. Dan ini adalah rumah Nenek Sari. Apakah Neneknya tahu? Tidak mungkin. Neneknya adalah wanita yang lembut.
Ia menyorotkan senternya ke seluruh ruangan. Di meja kecil di samping kasur, ada sebuah cangkir kopi yang masih basah, seolah baru saja diminum. Sebuah buku terbuka tergeletak di sampingnya. Alia mendekat, merasakan hawa dingin yang aneh. Buku itu adalah salah satu buku Neneknya, sebuah novel roman lama. Alia yakin buku itu ada di rak buku di ruang tamu, dan ia belum pernah menyentuhnya.
Saat senter Alia menyinari lantai di dekat meja, ia melihat sesuatu yang membuatnya nyaris pingsan. Sebuah topeng putih polos tergeletak di lantai, sama persis dengan topeng yang muncul dalam mimpi buruknya. Topeng itu terbuat dari bahan yang kaku, tanpa ekspresi, dengan lubang mata yang gelap dan kosong. Ini adalah topeng yang digunakan oleh pria dalam mimpinya.
Alia mundur selangkah, napasnya terengah-engah. Ini bukan lagi sekadar bukti. Ini adalah konfirmasi. Pemburu Malam itu ada di sini, hidup bersamanya, bersembunyi di balik dinding rumah ini, dan dia adalah pria bertopeng dari mimpi buruknya.
Ia mendengar suara langkah kaki dari luar lorong. Suara itu bukan langkah kaki Alia. Suara itu berat, menyeret, dan semakin mendekat. Dia ada di sana. Dia tahu Alia sudah menemukan tempat persembunyiannya. Ia bersembunyi di balik pintu, jantungnya berdebar sangat kencang hingga ia bisa merasakannya di tenggorokan. Ia menggenggam erat pisau di tangannya, siap untuk membela diri.
Bab 6: Perangkap yang Menjebak
Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu rahasia. Alia menahan napas, matanya terpaku pada celah sempit di antara kusen pintu. Ketegangan menggantung di udara, seolah waktu berhenti. Ia bisa merasakan kehadirannya, hanya beberapa inci darinya.
Lalu, terdengar suara pintu terbuka perlahan. Alia menyentakkan pisau ke depan, siap menyerang. Namun, tidak ada siapa-siapa. Pintu itu hanya sedikit terbuka, lalu kembali tertutup dengan lembut. Sebuah permainan. Dia tahu Alia ada di sana, dia hanya menggodanya.
Alia tidak lagi bisa berpikir jernih. Otaknya hanya dipenuhi satu tujuan: melarikan diri. Ia harus keluar dari rumah ini, keluar dari neraka ini. Ia berlari keluar dari lorong rahasia, kembali ke ruang tamu. Dengan pisau di tangan, ia menuju pintu depan.
Pintu itu terkunci rapat dari luar. Alia menarik gagang pintu sekuat tenaga, memutar kuncinya berulang kali. Sia-sia. Kunci itu tidak bergerak. Ia menendang pintu itu, berteriak, "Buka! Buka pintu ini!" Suaranya serak karena ketakutan.
Ia berlari ke jendela terdekat, sebuah jendela besar di ruang tamu. Ia mencoba membukanya, menarik kaitnya, mendorong daun jendelanya. Terkunci. Semua jendela di rumah ini terkunci rapat, bahkan yang tadinya ia temukan terbuka. Ini adalah perangkap. Dia sudah merencanakannya. Dia sudah mengunci semua jalan keluar.
Alia merasa napasnya tersengal. Ia berlari dari satu jendela ke jendela lain, dari satu pintu ke pintu lain. Dapur, kamar tidur, ruang keluarga. Semua terkunci. Tidak ada jalan keluar. Rumah itu kini adalah penjara baginya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara tawa. Tawa yang rendah, serak, dan penuh kegembiraan. Suara itu berasal dari belakangnya. Alia berbalik dengan cepat, pisau teracung.
Di sana, di tengah ruang tamu, berdiri sesosok pria. Pria itu paruh baya, rambutnya sudah memutih di beberapa bagian, dan wajahnya dipenuhi kerutan. Matanya terlihat redup, namun ada kilatan aneh di dalamnya. Ia mengenakan pakaian biasa, kemeja lusuh dan celana panjang, seperti orang pada umumnya. Namun, senyum di bibirnya... senyum itu mengerikan. Senyum yang penuh kepuasan, seperti predator yang akhirnya menemukan mangsanya.
Alia mengenali wajah itu. Ini adalah Pak Suryo, tetangga barunya. Pria yang beberapa kali menyapa ramah saat Alia membersihkan halaman depan, pria yang menawarkan bantuan jika Alia membutuhkan sesuatu. Pria yang, sekarang ia ingat, mirip sekali dengan foto saksi kunci di kliping koran lama. Tubuh Alia membeku. Ini bukan halusinasi. Ini bukan mimpi buruk. Ini nyata.
"Kukira kamu tidak akan pernah menemukannya," kata Pak Suryo, suaranya tenang, datar, tanpa emosi yang jelas. "Aku sudah menyiapkan permainan ini sejak lama. Dan kamu... kamu adalah pemain yang sangat bagus."
Alia mundur selangkah, pisau di tangannya bergetar. "Apa mau Bapak?!" teriaknya, suaranya putus asa.
Pak Suryo tertawa lagi, tawa yang membuat tulang punggung Alia bergidik. "Mauku? Hmm. Mauku adalah menikmati. Menikmati permainan ini. Permainan kucing dan tikus. Dan sekarang, tikusnya sudah terpojok."
Ia melangkah maju perlahan, matanya tidak pernah lepas dari Alia. Alia terus mundur, kakinya menyentuh sesuatu yang keras. Ia tersandung dan jatuh ke lantai. Pisau di tangannya terlepas, meluncur jauh.
Pak Suryo mendekat, membungkuk. Ia tidak menyentuh Alia, hanya menatapnya dengan tatapan yang dingin dan menilai. "Ternyata, kamu cukup pintar. Menemukan ruang rahasiaku, bahkan memasang kamera. Sayang sekali, aku sudah tahu sejak awal."
Alia merasakan seluruh tubuhnya dingin. Dia tahu. Dia tahu semuanya. Semua yang Alia lakukan, setiap upayanya untuk mencari tahu, hanya menjadi bagian dari permainannya.
"Aku sudah lama menunggu penghuni baru di rumah ini," lanjut Pak Suryo, suaranya semakin rendah. "Nenekmu... dia dulu sangat ketat. Tapi sekarang, rumah ini kosong. Ideal untuk permainanku."
Alia teringat semua korban dari kliping koran. Wanita-wanita muda yang tinggal sendirian. Sama seperti dirinya.
"Kamu adalah yang paling menarik," kata Pak Suryo, senyumnya semakin lebar, menunjukkan deretan gigi yang tidak rapi. "Kamu punya rasa ingin tahu. Itu membuat permainan ini semakin seru."
Pak Suryo mengangkat tangannya, bukan untuk menyerang, tapi untuk menunjuk ke arah sudut ruangan. "Apakah kamu melihat itu?"
Alia menoleh ke arah yang ditunjuknya. Di sana, di balik sebuah lemari tua yang besar, ada sebuah pintu jebakan. Pintu kayu yang rata dengan lantai, nyaris tak terlihat, hanya ada sebuah lingkaran besi kecil sebagai pegangan. Alia tidak pernah menyadari keberadaannya. Ia memang tidak pernah terlalu memperhatikan sudut itu.
"Itu adalah pintu menuju level selanjutnya dari permainan kita," kata Pak Suryo. "Sudah kubangun sejak lama. Sebuah tempat yang sempurna untuk kita berdua."
Ketakutan Alia berubah menjadi teror ketika ia menyadari apa yang dimaksudnya. Ruang bawah tanah. Ia sudah pernah ke sana, tapi ia tidak pernah melihat pintu jebakan itu. Ia merangkak mundur, menjauhi pintu jebakan itu.
"Jangan takut," kata Pak Suryo, suaranya terdengar merendah, seolah menghibur. Tapi di matanya, tidak ada sedikit pun kehangatan. "Ini hanya awal. Permainan sesungguhnya baru akan dimulai."
Ia melangkah maju, meraih Alia. Alia mencoba berteriak, menendang, memukul, tapi tenaganya terlalu lemah, tubuhnya terlalu gemetar. Pak Suryo dengan mudah mengangkatnya, seolah Alia hanyalah boneka ringan. Ia tidak menyakitinya secara fisik, hanya memegang erat, memaksanya untuk menatap matanya yang dingin.
"Kamu akan menyukai tempat itu," bisik Pak Suryo. "Sangat sunyi. Tidak ada yang akan mendengar teriakanmu."
Ia menyeret Alia menuju pintu jebakan itu. Alia terus meronta, air mata mengalir deras di pipinya. "Tolong! Jangan! Jangan lakukan ini!"
Pak Suryo hanya tersenyum. Ia dengan mudah membuka pintu jebakan itu. Di bawahnya, tangga sempit yang curam menurun ke dalam kegelapan yang pekat. Udara dingin dan bau apek yang sangat kuat menyeruak dari bawah.
"Selamat datang," kata Pak Suryo, mendorong Alia ke dalam lubang gelap itu. "Selamat datang di tempat di mana kamu akan mengenali dirimu yang sebenarnya."
Alia jatuh ke bawah, tubuhnya menghantam tanah yang keras. Gelap. Gelap total. Ia mencoba bangkit, tapi kepalanya terasa pusing. Ia mendengar suara pintu jebakan menutup di atasnya, suara kunci yang berputar, dan kemudian, kegelapan dan keheningan yang absolut. Ia terperangkap. Benar-benar terperangkap.
Ia mendengar suara langkah kaki menjauh di atas. Tawa yang samar, meremehkan. Lalu, sunyi. Hanya napasnya sendiri yang terdengar, terengah-engah dalam kegelapan yang mencekik. Ia sendirian.
Atau tidak.
Ia bisa merasakan sesuatu di kegelapan. Sebuah kehadiran. Dingin, menakutkan, dan... menunggu.
Bab 7: Wajah di Balik Tirai
Alia terbaring di lantai bawah tanah yang dingin, napasnya terengah-engah, bau tanah basah dan apek menusuk hidungnya. Kegelapan total mencekiknya, lebih pekat dari malam tergelap di luar sana. Ia mencoba bangkit, tangannya meraba-raba di sekitar mencari pijakan, namun hanya menemui dinding lembap dan lantai yang kasar. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan kini berubah menjadi raungan memekakkan di benaknya. Ia terperangkap. Ia sendirian.
Atau tidak.
Ia bisa merasakan sesuatu di kegelapan. Sebuah kehadiran. Dingin, menakutkan, dan... menunggu. Alia mundur merangkak, punggungnya menabrak dinding batu bata yang kasar dan dingin. Ia meringkuk, memeluk lututnya, berusaha sekecil mungkin, seolah dengan begitu ia bisa menghilang.
Tiba-tiba, suara klik terdengar. Sebuah cahaya kecil muncul di kejauhan, menembus kegelapan pekat. Cahaya itu berasal dari sebuah senter yang dipegang oleh sesosok siluet. Siluet itu bergerak mendekat, perlahan, membesar seiring langkahnya. Alia mencoba berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan, hanya erangan lemah yang keluar.
Cahaya senter itu akhirnya menyorot wajahnya. Alia menyipitkan mata, menahan silau. Di balik cahaya itu, ia melihatnya. Wajah yang sama yang ia lihat di rekaman kamera, wajah yang sama yang ia kenali dari kliping koran. Wajah Pak Suryo.
Senyum di bibirnya mengembang, lebar dan mengerikan, menyingkap deretan gigi yang tidak rapi. Matanya, yang tadinya terlihat redup, kini memancarkan kilatan aneh, seperti api yang menari-nari di kegelapan. Tidak ada emosi yang jelas di sana, hanya kekosongan yang menakutkan.
"Selamat datang, Alia," suara Pak Suryo terdengar tenang, datar, seolah ia sedang menyambut tamu di acara minum teh. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti belati yang menusuk. "Aku tahu kamu akan sampai di sini pada akhirnya."
Alia tidak bisa berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, tubuhnya gemetar tak terkendali.
"Dulu, tempat ini adalah gudang bawah tanah," lanjut Pak Suryo, mengayunkan senternya perlahan, menyorot setiap sudut ruangan. Alia bisa melihat lebih jelas sekarang. Ruangan itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Dindingnya terbuat dari beton yang lembap, di sana-sini ditumbuhi lumut dan jamur. Ada beberapa tumpukan barang-barang usang di sudut, tertutup kain putih lusuh: meja bobrok, kursi rusak, dan beberapa peti kayu.
Dan di salah satu sudut ruangan, Alia melihatnya. Sebuah jeruji besi. Jeruji itu tampak kokoh, terbuat dari besi tua yang berkarat, cukup besar untuk menampung satu orang dewasa. Di dalamnya, ada sebuah kasur tipis dan selimut kusam. Alia merasakan hawa dingin yang lebih parah menjalari tubuhnya. Ini adalah sel. Penjaranya.
"Aku sudah lama merencanakan ini," kata Pak Suryo, berjalan mendekati jeruji itu, lalu membukanya dengan sebuah kunci yang ia keluarkan dari sakunya. Bunyi gesekan besi itu terasa menusuk telinga Alia. "Kamu tahu, hidup ini membosankan. Rutinitas yang sama setiap hari. Aku butuh sesuatu yang... menarik."
Ia menatap Alia, senyumnya tidak pernah pudar. "Dan kamu, Alia, kamu adalah kanvas yang sempurna. Penuh emosi, penuh ketakutan. Kamu membuatku merasa... hidup."
Alia mencoba mundur, namun ia sudah terpojok. Pak Suryo melangkah mendekat, perlahan, setiap langkahnya terasa seperti gema kematian. Alia bisa mencium bau apek dan sesuatu yang manis, seperti bau darah kering, bercampur dengan parfum murahan dari tubuhnya.
"Kamu ingin tahu mengapa aku melakukan ini?" tanya Pak Suryo, seolah membaca pikiran Alia. Ia tidak menunggu jawaban. "Aku suka melihat mata mereka. Mata yang penuh ketakutan. Mata yang perlahan-lahan kehilangan harapan. Itu adalah karya seni terindah bagiku."
Ia menunjuk ke tumpukan kain putih di sudut ruangan. "Di sana, ada beberapa koleksiku. Peninggalan dari pemain-pemain sebelumnya."
Alia melihat tumpukan kain itu dengan ngeri. Ia tahu apa yang ada di baliknya. Barang-barang pribadi korban yang hilang. Perhiasan, pakaian, dan mungkin... boneka-boneka dengan mata tercongkel.
"Kamu menemukan boneka di lemarimu, bukan?" kata Pak Suryo, suaranya tenang. "Itu adalah salam dariku. Sebuah isyarat bahwa permainan sudah dimulai. Aku suka mengamati dari jauh, melihat bagaimana ketakutan itu tumbuh. Melihat bagaimana paranoia itu menggerogoti mereka. Dan kamu, Alia, kamu melakukannya dengan sangat baik."
Ia berhenti di depan Alia, matanya menatap tajia ke dalam mata Alia. "Dan buku harian itu... Itu adalah milikku. Aku ingin kamu menemukannya. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu sedang bermain dalam permainanku."
Pak Suryo membungkuk, meraih lengan Alia yang gemetar. Alia mencoba meronta, menendang, namun cengkeraman pria itu begitu kuat. Ia menyeret Alia, bukan dengan kasar, melainkan dengan kekuatan yang tak tergoyahkan, menuju jeruji besi.
"Sekarang, saatnya kamu masuk ke tempat barumu," kata Pak Suryo, dengan senyum yang mengerikan. "Ini adalah tahap selanjutnya. Di sini, kita akan bermain lebih dekat."
Ia membuka jeruji itu lebar-lebar, lalu mendorong Alia ke dalamnya. Tubuh Alia menghantam kasur tipis yang bau. Pak Suryo segera menutup jeruji itu, dan bunyi klik kunci yang berputar bergema di seluruh ruangan bawah tanah yang pengap.
Alia berdiri di dalam jeruji, memegang jeruji besi yang dingin, wajahnya menempel pada bilah-bilah besi. Matanya menatap Pak Suryo, yang berdiri di luar, mengamatinya.
"Selamat datang di tempat persembunyianmu, Alia," kata Pak Suryo, dengan suara yang penuh kepuasan. Ia mematikan senternya, dan ruangan itu kembali gelap gulita. "Kita akan bersenang-senang di sini."
Dan Alia, terperangkap dalam kegelapan, hanya bisa mendengar langkah kaki Pak Suryo yang menjauh, meninggalkan dirinya sendirian dalam kegelapan dan kengerian yang tak terbatas.
Bab 8: Siksaan Psikologis
Kegelapan total mencekik Alia. Ia tidak bisa melihat apa-apa, tidak bisa merasakan apa-apa kecuali hawa dingin dan kelembapan yang menusuk tulang. Ia mendengar suara langkah kaki Pak Suryo yang menjauh, lalu suara pintu jebakan di atasnya yang menutup dengan bunyi tumpul. Kemudian, sunyi. Hanya napasnya sendiri yang terdengar, terengah-engah dalam kegelapan yang mencekik.
Waktu terasa berhenti. Alia tidak tahu sudah berapa lama ia terperangkap di sana. Jam berlalu tanpa batas, menit dan detik melebur menjadi satu. Ia mencoba tidur, namun setiap kali ia menutup mata, wajah Pak Suryo dengan senyum mengerikannya muncul di benaknya. Mimpi buruknya kini menjadi kenyataan. Pria bertopeng itu, yang sekarang ia tahu adalah Pak Suryo, telah menguncinya.
Ia merasakan lapar yang menyiksa, haus yang membakar tenggorokannya. Setiap kali ia mencoba berdiri, kepalanya terasa pusing. Ia meringkuk di sudut jeruji, tubuhnya gemetar kedinginan.
Tiba-tiba, lampu menyala. Bukan lampu terang, hanya sebuah bohlam kecil yang menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya kuning redup. Alia menyipitkan mata, menatap ke arah sumber cahaya.
Pak Suryo berdiri di luar jeruji, menatapnya dengan senyum yang sama. Ia membawa sepiring makanan dan segelas air. Alia segera merangkak mendekat, tangan meraih ke arahnya, namun Pak Suryo hanya tersenyum tipis dan meletakkan piring dan gelas itu di lantai, sedikit jauh dari jeruji.
"Oh, kamu lapar?" tanya Pak Suryo, suaranya mengejek. "Aku punya ini. Tapi, kita punya cara sendiri di sini."
Ia tidak memberikan makanan itu kepada Alia. Ia hanya meletakkannya di sana, di luar jangkauan Alia, seolah menyiksanya dengan aroma makanan yang menggoda.
"Aku tidak suka menyakiti fisik," kata Pak Suryo, matanya menatap Alia dengan tatapan menilai. "Itu terlalu mudah. Aku lebih suka bermain dengan pikiran. Dengan emosi. Itu jauh lebih... artistik."
Alia menatap makanan itu dengan putus asa, air liurnya menetes.
"Kamu tahu, setiap orang punya titik lemah," lanjut Pak Suryo, suaranya tenang dan dingin. "Ada yang takut gelap, ada yang takut sendirian. Dan ada yang takut... kehilangan harapan."
Ia mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya. Ia memutar sesuatu. Suara-suara samar mulai memenuhi ruangan. Alia menajamkan pendengarannya. Itu adalah... rintihan. Rintihan pelan, putus asa, yang perlahan berubah menjadi tangisan, lalu jeritan yang memilukan. Alia merasakan darahnya membeku. Itu adalah suara korban-korban sebelumnya.
Pak Suryo memutar rekaman itu berulang kali, suaranya memenuhi ruangan bawah tanah yang pengap. Rintihan, tangisan, jeritan, dan kemudian, suara-suara aneh yang Alia tidak bisa identifikasi, namun terasa begitu mengerikan. Alia menutup telinganya dengan kedua tangan, mencoba memblokir suara-suara itu, namun mereka terus menembus gendang telinganya, menari-nari di benaknya.
"Mereka semua datang ke sini," kata Pak Suryo, menghentikan rekaman. "Sama sepertimu. Awalnya menolak, lalu memohon, dan akhirnya... mereka mengerti."
Ia mulai menceritakan detail-detail mengerikan tentang bagaimana ia "bermain" dengan mereka. Bukan kekerasan fisik, melainkan siksaan mental. Ia menceritakan bagaimana ia membiarkan mereka kelaparan dan kehausan, bagaimana ia memanipulasi harapan mereka, bagaimana ia memecah belah pikiran mereka, seolah-olah sedang menceritakan resep masakan. Suaranya datar, tanpa emosi, seolah-olah ia sedang berbicara tentang hal yang paling biasa di dunia.
"Ada yang berteriak selama berhari-hari," kata Pak Suryo, tersenyum kecil. "Ada yang menangis tanpa henti. Dan ada yang, setelah beberapa waktu, hanya menatap kosong. Itu adalah favoritku. Ketika mata mereka kehilangan semua cahaya."
Alia merasa mual, perutnya bergejolak. Ia ingin muntah, namun tidak ada apa-apa di dalam perutnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Pak Suryo adalah pukulan telak ke jiwanya. Ia tidak hanya menyiksa fisik, tapi juga mental. Ia menghancurkan harapan.
Ia sering meninggalkan Alia sendirian dalam kegelapan total lagi. Alia tidak tahu siang atau malam. Ia hanya merasakan waktu berlalu, diperburuk oleh rasa lapar, haus, dan ketakutan yang terus-menerus. Terkadang, Pak Suryo akan tiba-tiba muncul di kegelapan, menyalakan senternya, dan berbicara tentang cara-cara mengerikan yang akan ia lakukan pada Alia. Ia akan menceritakan skenario-skenario penyiksaan psikologis, tentang bagaimana ia akan membuat Alia gila, bagaimana ia akan mematahkan semangatnya, bagaimana ia akan melihat cahaya di mata Alia perlahan-lahan padam.
"Aku akan membuatmu bernyanyi untukku," bisik Pak Suryo, berdiri di luar jeruji, suaranya menggelegar di dalam kegelapan. "Aku akan membuatmu memohon padaku. Aku akan membuatmu mencintaiku, karena akulah satu-satunya yang tersisa di duniamu."
Siksaannya tidak hanya berhenti pada ancaman dan cerita. Pak Suryo juga menunjukkan Alia foto-foto teman-teman Alia yang berhasil ia lacak. Foto Maya, teman dekatnya. Foto-foto teman-teman kuliahnya, yang sedang tersenyum ceria di sebuah kafe. Alia merasakan darahnya membeku. Bagaimana dia bisa mendapatkan foto-foto ini?
"Mereka semua sangat peduli padamu, bukan?" kata Pak Suryo, memegang foto Maya di tangannya. "Sangat mudah untuk melacak mereka. Satu per satu. Jika kamu tidak 'bermain' dengan baik, jika kamu tidak 'menikmati' permainanku, maka aku akan mengunjungi mereka. Dan percaya padaku, permainan yang aku siapkan untuk mereka akan jauh lebih mengerikan daripada ini."
Ancaman itu adalah pukulan telak bagi Alia. Ia tidak peduli jika dirinya sendiri yang tersiksa, tapi ia tidak bisa membayangkan teman-temannya mengalami hal serupa. Pak Suryo tahu betul bagaimana menargetkan titik kelemahannya. Ia tidak peduli menyiksa secara fisik. Ia menyiksa jiwa.
Pak Suryo juga sering menunjukkan Alia buku harian lama itu. Ia akan membaca beberapa halaman yang penuh coretan, lalu menunjuk pada sketsa rumah itu. "Lihat, Alia," katanya, menunjuk ke bagian yang disilang. "Di sini, aku membayangkanmu. Bersembunyi. Ketakutan."
Ia akan menjelaskan obsesinya terhadap mata yang kosong, bagaimana ia menikmati melihat seseorang kehilangan harapan hidup. "Kamu tahu, aku ini seperti seniman," kata Pak Suryo, memandangi Alia dengan tatapan aneh. "Dan matamu... matamu adalah karya seniku. Aku akan melihatnya kosong pada akhirnya."
Alia mencoba melawan. Ia mencoba berteriak, memukul jeruji, memaki Pak Suryo. Namun, setiap kali ia melakukannya, Pak Suryo hanya tersenyum lebih lebar, seolah ia menikmati perlawanan Alia. Ia akan membiarkan Alia berteriak hingga serak, memukul hingga tangannya sakit, dan kemudian, ia akan mematikan lampu, meninggalkan Alia dalam kegelapan total, sendirian dengan ketakutan dan putus asanya.
Suatu kali, Pak Suryo meninggalkan sebuah boneka di luar jeruji Alia. Boneka itu persis seperti boneka yang Alia temukan di lemari: terbuat dari kain perca, dengan mata tercongkel. Alia menatap boneka itu dengan ngeri. Itu adalah tanda tangan Pemburu Malam. Sebuah peringatan. Sebuah janji.
Alia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Setiap menit terasa seperti jam. Setiap jam terasa seperti hari. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, mencoba menjaga kewarasannya. Ia mencoba mengingat wajah teman-temannya, suara Neneknya, aroma rumahnya sebelum semua ini terjadi. Namun, ingatan itu mulai memudar, digantikan oleh kegelapan dan wajah tersenyum Pak Suryo.
Ia merasa pikirannya mulai buyar. Batasan antara kenyataan dan ilusi mulai kabur. Ia tidak tahu apakah ia sedang bermimpi atau terjaga. Ini adalah neraka psikologis. Sebuah siksaan yang dirancang khusus untuk memecah belah jiwanya. Dan Pak Suryo, sang psikopat, menikmati setiap detiknya.
Bab 9: Secercah Harapan yang Semu
Alia tidak tahu sudah berapa lama ia terkurung di dalam jeruji besi, di bawah tanah yang gelap dan lembap itu. Hari-hari dan malam-malam telah melebur menjadi satu siksaan tanpa henti. Rasa lapar, haus, dan dingin telah menjadi teman setianya, namun yang paling menggerogoti adalah siksaan psikologis Pak Suryo. Setiap bisikan ancaman, setiap cerita mengerikan tentang korban-korban sebelumnya, dan terutama, setiap ancaman terhadap teman-temannya, telah mengukir bekas luka yang dalam di jiwanya. Alia merasa warasnya mulai goyah, seperti sehelai benang tipis yang hampir putus.
Mata Alia yang bengkak dan merah menatap jeruji besi di depannya. Tiba-tiba, pandangannya terpaku pada sesuatu yang aneh. Di salah satu bilah besi di sudut paling jauh jeruji, ada sebuah goresan samar. Bukan goresan baru, melainkan tanda yang sudah ada sejak lama, namun sekarang terlihat lebih jelas di bawah cahaya bohlam redup yang terkadang dinyalakan Pak Suryo. Alia merangkak mendekat, mengulurkan tangannya yang gemetar. Jemarinya menyentuh bilah besi itu, merasakan tekstur kasar dan dinginnya.
Goresan itu bukan sekadar goresan. Itu adalah retakan kecil di sambungan las. Sangat kecil, nyaris tak terlihat, namun Alia bisa merasakan sedikit pergerakan ketika ia mendorongnya. Sebuah harapan yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, mulai tumbuh di benaknya. Bisa jadi ini hanya imajinasinya, tapi saat ini, imajinasi adalah satu-satunya pelindungnya.
Alia mulai mendorong bilah besi itu, perlahan namun pasti. Ia menggunakan seluruh sisa tenaganya, otot-ototnya yang lemah mengejan. Setiap dorongan adalah perjuangan, setiap inci adalah kemenangan. Pak Suryo sering datang dan pergi, kadang-kadang berbicara panjang lebar tentang kegilaannya, kadang-kadang hanya menatap Alia dengan senyum puas. Setiap kali Pak Suryo muncul, Alia akan menghentikan gerakannya, berpura-pura putus asa, menyembunyikan semua tanda-tanda usahanya. Ia tidak ingin Pak Suryo tahu tentang harapannya. Itu adalah rahasianya, senjatanya.
Berjam-jam Alia berusaha, tanpa henti. Otot-ototnya menjerit kesakitan, jari-jarinya lecet dan berdarah, namun ia terus mendorong. Ada saat-saat ia merasa putus asa, saat air mata mengalir deras di pipinya, saat ia ingin menyerah. Namun, bayangan wajah Maya, senyum teman-temannya, dan ancaman Pak Suryo yang mengerikan, mendorongnya untuk terus maju. Ia tidak boleh menyerah. Tidak untuk dirinya sendiri, tidak untuk mereka.
Ia juga tahu bahwa Pak Suryo akan menyadari pergerakan itu cepat atau lambat. Ia harus cepat. Sangat cepat.
Akhirnya, setelah perjuangan yang terasa abadi, terdengar suara 'krek' yang samar. Bilah besi itu bergerak lebih jauh, menciptakan celah yang cukup lebar untuk tubuh kurusnya bisa lewat. Alia merasakan lonjakan adrenalin. Ini nyata! Ia bisa keluar!
Ia tidak membuang waktu. Ia merangkak keluar dari jeruji, tubuhnya bergetar dan kaku, merasakan dinginnya lantai beton di bawahnya. Ia nyaris tidak bisa berdiri, kakinya terlalu lemah. Namun, dorongan untuk melarikan diri jauh lebih kuat dari rasa sakit.
Alia bergerak perlahan dan hati-hati, berpegangan pada dinding yang lembap, menaiki tangga yang curam menuju pintu jebakan di atas. Jantungnya berdebar kencang, setiap detak terasa seperti gong yang memekakkan telinga dalam kesunyian. Ia mendengar suara-suara samar dari atas, seolah Pak Suryo sedang berjalan di lantai rumah. Ini adalah kesempatannya. Sekarang atau tidak sama sekali.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Alia mendorong pintu jebakan itu. Untungnya, Pak Suryo tidak menguncinya dari luar malam itu, mungkin karena ia terlalu percaya diri dengan jeruji besi di bawah. Pintu itu terbuka dengan decitan samar. Udara segar dari lantai atas terasa seperti oksigen paling murni yang pernah ia hirup.
Ia menyelinap keluar dari ruang bawah tanah, kembali ke ruang tamu yang gelap gulita. Rumah itu sunyi, hanya suara detak jam dinding yang berirama. Alia mencoba bergerak sebisik mungkin, setiap langkahnya seperti gerakan hantu. Ia harus menemukan jalan keluar.
Namun, saat ia mencapai pintu depan, ia menyadari kesalahannya. Semua pintu dan jendela masih terkunci rapat dari luar. Ia terperangkap lagi. Keputusasaan menyerangnya, air mata kembali mengalir. Ia sudah begitu dekat.
Tiba-tiba, ia mendengar suara. Suara itu berasal dari belakangnya, dekat sekali. Suara itu adalah batuk kecil.
Alia membeku. Pak Suryo.
Ia berbalik perlahan, tubuhnya gemetar. Di sana, berdiri di ambang pintu dapur, adalah Pak Suryo. Ia tampak tidak terkejut, bahkan tidak marah. Senyum mengerikan yang sama menghiasi wajahnya. Di tangannya, ia memegang sebuah obor kecil, nyala api menari-nari, memantulkan bayangan di wajahnya yang keriput.
"Kukira kamu akan mencoba," kata Pak Suryo, suaranya tenang, nyaris lembut. "Aku tahu kamu punya semangat juang. Itu bagus. Membuat permainan ini semakin menarik."
Alia tidak lagi bisa berpikir. Otaknya hanya dipenuhi satu kata: lari. Ia berbalik, mencoba mencari jalan keluar lain. Jendela. Dapur. Pintu belakang. Tidak ada yang terbuka.
Pak Suryo melangkah maju, obor di tangannya memantulkan bayangan Alia yang memanjang dan menakutkan di dinding. "Ke mana kamu mau lari, Alia? Rumah ini adalah milikku. Setiap sudutnya, setiap celahnya. Kamu tidak bisa lari dariku."
Alia melihat sekilas sesuatu di meja dapur, berkilauan di bawah cahaya redup dari obor Pak Suryo. Sebuah pisau dapur. Pisau yang sama yang ia genggam tadi pagi, sebelum ia jatuh. Dorongan naluri mengambil alih. Ia melompat ke arah meja, meraih pisau itu dengan tangan gemetar.
"Oh, kamu mau bermain dengan pisau?" kata Pak Suryo, senyumnya semakin lebar. "Itu menarik. Aku suka perlawanan."
Alia mengacungkan pisau itu ke depan, memeganginya erat-erat, meskipun tangannya bergetar hebat. "Jangan mendekat!" teriaknya, suaranya serak.
Pak Suryo hanya tertawa. Tawa yang rendah, serak, dan penuh kegembiraan. Tawa itu membuat bulu kuduk Alia berdiri. "Ini baru seru. Permainan kucing dan tikus ini akan berakhir dengan klimaks yang indah."
Ia melangkah maju perlahan, seolah ia menikmati setiap detik ketakutan Alia. Alia mundur selangkah demi selangkah, pisau teracung, matanya menatap tajam ke arah Pak Suryo. Ia tahu ia tidak punya kesempatan untuk menang dalam pertarungan fisik. Kekuatannya sudah terkuras, tubuhnya lemah. Tapi ia akan berjuang. Ia akan berjuang sampai napas terakhirnya. Untuk dirinya sendiri, untuk teman-temannya.
Bab 10: Akhir yang Menggantung
Alia tidak tahu ke mana ia harus lari. Setiap pintu terkunci, setiap jendela tertutup. Rumah ini telah menjadi labirin yang dirancang untuk menjebaknya. Pak Suryo terus melangkah maju, obornya menerangi lorong-lorong gelap, memantulkan bayangan Alia yang memanjang dan bergetar.
"Kamu tidak punya tempat untuk bersembunyi," kata Pak Suryo, suaranya tenang, namun penuh ancaman. "Aku tahu setiap sudut rumah ini. Setiap retakan di dinding, setiap papan lantai yang berderit. Ini adalah rumahku."
Alia mundur, kakinya tersandung karpet. Ia memutar tubuhnya, mencari jalan keluar, putus asa. Matanya tertuju pada pintu belakang, yang menuju ke halaman belakang dan hutan lebat di luar. Ia yakin pintu itu terkunci. Tapi ia harus mencoba. Ia tidak punya pilihan lain.
Ia berlari ke arah pintu belakang, mendorongnya dengan seluruh kekuatannya. Ajaibnya, pintu itu tidak terkunci. Mungkin Pak Suryo sengaja membiarkannya terbuka, sebuah jebakan baru dalam permainannya. Alia tidak peduli. Ini adalah satu-satunya kesempatan.
Ia menerobos keluar, napasnya terengah-engah, merasakan udara malam yang dingin membelai kulitnya. Di belakangnya, ia mendengar suara langkah kaki yang berat, diikuti oleh cahaya obor yang menari-nari. Pak Suryo.
Alia berlari melintasi halaman belakang yang gelap, pepohonan tinggi menjulang di sekelilingnya, siluetnya yang menakutkan terlihat jelas di antara dedaunan. Ia tidak peduli arah, ia hanya ingin menjauh dari rumah itu, dari pria itu. Hutan lebat di belakang rumah seolah memanggilnya, menawarkan perlindungan dalam kegelapan yang pekat.
Ia berlari sekuat tenaga, paru-parunya serasa terbakar, otot-ototnya menjerit kesakitan. Pisau di tangannya terasa berat, namun ia tidak melepaskannya. Itu adalah satu-satunya pegangan pada kenyataan, satu-satunya simbol perlawanannya.
Pak Suryo mengejarnya, langkahnya teratur, seolah ia tidak terpengaruh oleh kelelahan. Tawa seraknya kadang-kadang terdengar, menusuk ke dalam kegelapan. Obor di tangannya memantulkan bayangan dirinya yang menakutkan di antara pepohonan, seolah ia adalah iblis yang keluar dari hutan.
Alia tidak tahu sudah berapa jauh ia berlari. Kakinya tersandung akar pohon, tubuhnya menghantam semak-semak berduri. Ia jatuh, pisau di tangannya terlepas, meluncur jauh ke dalam kegelapan. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa mati rasa. Tenaganya habis.
Ia bisa mendengar napas Pak Suryo semakin dekat. Aroma aneh yang selalu menyertainya kini tercium jelas. Alia mendongak, matanya menatap ke arah Pak Suryo yang semakin mendekat. Wajahnya yang keriput terlihat jelas di bawah cahaya obor, senyumnya menyeringai dalam kegelapan. Mata redupnya memancarkan kemenangan yang dingin.
"Sudah waktunya," bisik Pak Suryo, suaranya rendah, nyaris tak terdengar. "Akhirnya, permainan ini mencapai klimaksnya."
Alia menutup matanya, merasakan ketakutan yang absolut mencengkeramnya. Ini adalah akhirnya. Ia sudah berjuang, tapi ia kalah.
Namun, di tengah kegelapan yang mencekik itu, ia melihatnya. Sebuah cahaya terang di kejauhan. Cahaya itu bukan dari obor Pak Suryo. Cahaya itu stabil, kuat, dan semakin terang. Lampu mobil.
Alia merasakan secercah harapan kecil yang berkedip-kedip di dalam dirinya yang putus asa. Kekuatan yang entah dari mana datangnya muncul. Ia membuka matanya, menatap cahaya itu, lalu menatap Pak Suryo yang kini hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Alia berteriak. Jeritan itu serak, parau, dan penuh keputusasaan. "TOLONG! TOLONG AKU!"
Suaranya pecah di udara malam, menembus keheningan hutan.
Pak Suryo menghentikan langkahnya. Senyumnya menghilang dari wajahnya, digantikan oleh kerutan kemarahan. Ia menoleh ke arah cahaya.
Cahaya lampu mobil itu semakin terang, semakin dekat. Suara mesin mobil terdengar samar-samar. Alia melihat siluet mobil itu bergerak perlahan di jalan setapak yang sempit.
Alia tergeletak di tanah, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal-sengal. Matanya terpaku pada cahaya yang semakin mendekat, sebuah mercusuar harapan di tengah lautan teror. Di depannya, siluet Pak Suryo berdiri tegak, membelakanginya, seolah terkejut, namun kemudian senyum itu kembali ke wajahnya, lebih menyeramkan dari sebelumnya. Ia menoleh kembali ke Alia, tatapan matanya dipenuhi janji kekejaman yang tak terhingga.