Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,767
Dari Aku Untukku
Misteri

BAB 1 – Kota Sunyi, Rumah Sepi

Rino menatap refleksi dirinya di kaca spion, mencoba menemukan jejak-jejak masa lalu yang mengendap di sana. Namun, yang terlihat hanyalah tatapan kosong dan memar samar di pelipis, sisa dari kecelakaan fatal yang merenggut sebagian besar ingatannya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit dan terapi, ia memutuskan untuk memulai hidup baru, jauh dari hiruk-pikuk masa lalunya yang buram. Pilihan jatuh pada Sentarum, sebuah kota kecil yang tersembunyi di Kalimantan Barat, dikelilingi hutan lebat dan diselimuti ketenangan yang hampir mencekam. Ia mencari kedamaian, dan Sentarum tampak menawarkan itu – atau setidaknya, sebuah pelarian.

Rumah yang disewanya adalah sebuah bangunan tua dengan arsitektur kolonial, berdiri sendirian di tepi hutan. Catnya sudah mengelupas di sana-sini, dan dedaunan kering berserakan di halaman depan yang tidak terawat. Ada aura melankolis yang melekat pada rumah itu, seolah ia menyimpan cerita-cerita lama yang tak terucapkan. Rino tidak terlalu memedulikannya. Baginya, ini hanyalah tempat untuk berteduh, sebuah kanvas kosong untuk melukis kembali hidupnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana, ia merasakan sesuatu yang janggal. Udara terasa lebih berat, dan setiap suara kecil – gesekan daun, decitan lantai – terasa diperbesar, seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari balik bayangan.

Keesokan harinya, saat Rino mencoba membersihkan halaman depan, seorang wanita tua bertubuh ringkih dengan rambut beruban sebahu muncul dari rumah di sebelah. Ia mengenakan daster batik lusuh dan tersenyum ramah, meskipun matanya memancarkan kesedihan yang sulit dijelaskan.

"Nak Rino, ya? Saya Bu Marni, tetangga sebelah," sapanya dengan suara serak namun hangat. "Sudah lama rumah ini kosong. Senang ada yang menempati lagi."

Rino membalas senyum Bu Marni, sedikit lega ada keramahan di tengah keheningan kota. "Iya, Bu. Saya Rino. Mohon bantuannya kalau ada apa-apa."

Bu Marni hanya mengangguk, namun kemudian pandangannya terpaku pada rumah Rino. "Dulu... orang yang tinggal di sini sebelum kamu, dia juga suka menyendiri. Sering berbicara sendiri di halaman belakang," bisiknya, seolah mengatakan rahasia. Kalimat itu sedikit membuat Rino merinding, namun ia menepisnya sebagai keanehan orang tua. "Kadang-kadang, masa lalu itu seperti hantu, Nak. Datang menghantui mereka yang lemah," lanjut Bu Marni, tatapannya menerawang ke arah hutan.

Keanehan Bu Marni tak berhenti sampai di situ. Beberapa hari berikutnya, Bu Marni sering terlihat duduk di teras rumahnya, menatap lurus ke arah rumah Rino dengan tatapan aneh. Pernah sekali, Rino melihatnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat. Rino mencoba mengabaikannya, menganggapnya sebagai efek usia atau mungkin kesepian. Namun, di balik semua itu, ia mulai merasakan pengawasan. Bukan hanya dari Bu Marni, tetapi dari kota itu sendiri.

Setiap kali ia pergi ke pasar, ke toko kelontong, atau sekadar berjalan-jalan sore, ia merasa ada mata-mata yang mengikutinya. Bayangan-bayangan sekilas di sudut mata, tatapan yang terlalu lama dari orang asing, atau langkah kaki yang tiba-tiba berhenti di belakangnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya paranoia pasca-trauma, efek samping dari ingatannya yang hilang. Namun, firasat itu semakin kuat. Terkadang, ia merasakan sensasi aneh di kepala, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam benaknya, berusaha mencapai permukaannya. Itu bukan ingatan, melainkan semacam desakan, bisikan yang samar, seringkali disertai dengan perasaan cemas yang tiba-tiba muncul tanpa sebab.

Malam hari adalah waktu terburuk. Rumah tua itu seolah hidup di kegelapan. Suara-suara kecil di dinding, desiran angin yang masuk melalui celah jendela, semuanya terasa seperti bisikan. Rino sering terbangun tengah malam dengan keringat dingin, jantung berdebar kencang, setelah mimpi-mimpi yang samar dan fragmentaris. Dalam mimpi-mimpi itu, ia tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi orang lain, di tempat yang asing, melakukan hal-hal yang tidak ia kenali. Wajah-wajah buram, tangan-tangan yang bergerak sendiri, dan perasaan dingin di tengkuk. Ia mencoba mengingat detailnya, tetapi setiap kali ia bangun, detail-detail itu melarut seperti kabut.

Suatu malam, saat Rino duduk di beranda, menikmati keheningan, ia melihat siluet seseorang berdiri di balik semak-semak di tepi hutan, tak jauh dari rumahnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia menggosok matanya, mencoba memastikan, tetapi ketika ia melihat lagi, siluet itu sudah tidak ada. Apakah itu hanya imajinasinya? Atau memang ada seseorang yang mengawasinya? Ia tidak bisa menjawabnya. Semakin lama ia tinggal di Sentarum, semakin dalam ia merasakan bahwa ketenangan kota itu hanyalah topeng. Di baliknya, ada sesuatu yang bersembunyi, sesuatu yang entah bagaimana, terhubung dengannya. Sebuah rahasia, mungkin, yang pelan-pelan mulai merayap keluar dari kegelapan. Ia berharap menemukan kedamaian, namun yang ia temukan hanyalah sebuah jaring laba-laba yang semakin erat menjeratnya, menariknya ke dalam misteri yang tak ia pahami.

Rino mulai sering memeriksa pintu dan jendela, memastikan semuanya terkunci rapat, bahkan di siang hari. Ia mulai menghindari Bu Marni, merasa tidak nyaman dengan tatapan wanita tua itu. Kecurigaan yang samar-samar mulai berakar di benaknya. Ia tidak tahu siapa yang mengawasinya, atau mengapa. Apakah itu terkait dengan kecelakaannya? Atau dengan ingatannya yang hilang? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya, semakin membuatnya gelisah. Ia merasa seperti seorang aktor dalam sebuah drama yang ia tidak ingat alur ceritanya, dan setiap orang di sekelilingnya tampak mengetahui naskahnya kecuali dirinya sendiri. Keheningan Sentarum bukan lagi ketenangan, melainkan sebuah ancaman, sebuah jeda sebelum badai. Dan Rino, entah bagaimana, berada di tengah-tengah badai yang akan datang itu.

BAB 2 – Surat Pertama & Teman Baru

Pagi itu, saat Rino membuka kotak surat usang di depan rumahnya, ia menemukan amplop berwarna cokelat tanpa perangko, hanya tulisan tangan rapi yang mengeja namanya. Tidak ada alamat pengirim, tidak ada cap pos. Firasat aneh menyelimutinya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas putih bersih terlipat rapi. Ia membentangkannya dan membaca barisan kata-kata yang ditulis dengan tinta hitam legam:

"Aku telah melakukannya. Darah membasahi tanganku, dan suaranya masih terngiang. Aku adalah pembunuh. Dan kamu, kamu akan tahu mengapa."

Jantung Rino mencelos. Dingin menjalar di tulang punggungnya. Pembunuhan? Ini pasti lelucon yang sangat kejam. Ia meremas surat itu, melemparkannya ke lantai. Siapa yang tega melakukan hal seperti ini? Kota Sentarum yang sepi ini, siapa pun pelakunya, pasti sangat membosankan hingga mencari hiburan dengan mengganggu orang baru. Ia mencoba menenangkan diri, meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah kenakalan remaja, atau mungkin ulah seseorang yang ingin mengusirnya dari rumah itu.

Namun, perasaan gelisah itu tak hilang. Sepanjang hari, bayangan surat itu terus menghantuinya. Ia mencoba fokus membersihkan rumah, menata buku-buku, tetapi konsentrasinya terus buyar. Pikiran-pikiran liar melintas di benaknya. Bagaimana jika ini bukan lelucon? Bagaimana jika ini nyata? Siapa yang akan mengirim surat pengakuan pembunuhan kepada orang asing?

Sore harinya, Rino memutuskan untuk berjalan-jalan ke pusat kota kecil Sentarum untuk mencari persediaan makanan dan alat tulis. Ia ingin membeli sebuah jurnal, berharap bisa mulai menuliskan apa pun yang samar-samar ia ingat, atau sekadar mencatat perasaannya. Ia menemukan sebuah toko buku kecil yang tampak kuno namun nyaman, dengan rak-rak kayu yang penuh dengan buku-buku beraneka ragam. Aroma kertas dan kopi langsung menyambutnya. Di balik meja kasir, seorang wanita muda dengan rambut sebahu dan kacamata bertengger di hidungnya tersenyum ramah. Matanya memancarkan kehangatan dan kecerdasan.

"Selamat datang," sapanya dengan suara lembut. "Mencari buku apa?"

"Eh, saya mencari jurnal, atau buku kosong untuk menulis," jawab Rino, merasa sedikit kikuk. "Dan mungkin beberapa pena."

Wanita itu mengangguk, lalu menunjuk ke rak di sudut. "Ada di sana. Kita juga punya koleksi pena gel dan tinta warna-warni kalau Anda suka."

Rino mengamati toko itu. Ada poster-poster kampanye kesehatan mental di dinding, dan beberapa brosur tentang dukungan psikologis. Ia meraih sebuah jurnal bersampul kulit dan beberapa pena. Saat ia kembali ke meja kasir, wanita itu memperhatikannya dengan saksama.

"Nama saya Arina," katanya, mengulurkan tangan. "Saya pemilik toko ini. Dan juga relawan di LSM kesehatan mental di kota ini."

"Rino," balas Rino, menjabat tangannya. "Baru pindah ke sini."

Arina tersenyum. "Oh ya? Dari mana?"

"Saya... tidak terlalu ingat," jawab Rino, sedikit ragu. "Kecelakaan. Ingatan saya sebagian hilang."

Ekspresi Arina berubah menjadi sedikit prihatin. "Oh, saya turut prihatin mendengarnya. Pasti sulit sekali."

Mereka mulai mengobrol ringan. Arina bertanya tentang kesan Rino terhadap Sentarum, dan Rino menceritakan sedikit tentang keheningan kota itu. Namun, saat Arina menanyakan alasannya memilih Sentarum, Rino mendadak merasa gelisah. Ia mengalihkan pandangan, menggaruk tengkuknya. Arina menangkap kegelisahan itu.

"Anda terlihat sedikit... tegang," kata Arina lembut. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?"

Rino ragu sejenak. Entah mengapa, ia merasa bisa mempercayai Arina. Mungkin karena kehangatan matanya, atau aura empatik yang terpancar darinya. Ia akhirnya memutuskan untuk menceritakan tentang surat misterius itu.

"Tadi pagi, saya menerima surat aneh," Rino memulai, suaranya sedikit bergetar. "Isinya... pengakuan pembunuhan. Saya pikir itu hanya lelucon, tapi... entah kenapa, saya merasa tidak tenang."

Arina mendengarkan dengan saksama, ekspresinya serius. "Pembunuhan? Tanpa nama pengirim? Itu memang sangat aneh. Apakah ada ancaman di dalamnya?"

"Tidak secara langsung, hanya... pernyataan bahwa 'aku adalah pembunuh' dan 'kamu akan tahu mengapa'," Rino menjelaskan.

Arina mengernyitkan dahi. "Hm. Itu bisa jadi banyak hal. Tapi kalau itu membuat Anda tidak nyaman, mungkin sebaiknya Anda melaporkannya ke polisi. Meskipun kelihatannya seperti lelucon, tetap saja mengganggu."

Rino menghela napas. "Saya sudah memikirkannya, tapi rasanya terlalu konyol untuk dilaporkan."

"Tidak ada yang konyol jika itu menyangkut ketenangan pikiran Anda," Arina menasihati. "Terlebih lagi dengan kondisi ingatan Anda yang belum pulih. Stres bisa memperburuknya."

Obrolan itu berlanjut, dan Rino merasa sedikit lega setelah berbagi bebannya. Arina tidak menghakimi, justru menunjukkan empati yang tulus. Ia juga memberitahu Rino tentang kegiatan LSM-nya, dan bagaimana mereka sering mengadakan sesi dukungan bagi individu yang mengalami trauma atau kesulitan mental.

"Kalau Anda merasa perlu bicara kapan saja, jangan sungkan," kata Arina saat Rino hendak pulang. "Saya sering di sini, atau Anda bisa datang ke pusat LSM kami. Mungkin berbagi cerita bisa membantu."

Sepulang dari toko buku, Rino merasa sedikit lebih baik. Kehadiran Arina yang hangat dan pengertian sedikit meredakan kecemasannya. Ia bahkan mulai berpikir untuk mengikuti saran Arina, melaporkan surat itu ke polisi, meskipun ia masih merasa enggan.

Namun, saat malam tiba, perasaan tidak tenang itu kembali. Ia menatap jurnal baru yang tergeletak di meja. Ia membuka halaman pertama, pena di tangan, mencoba menuliskan sesuatu. Tapi benaknya kosong, hanya bayangan surat itu yang terus muncul. Ia memutuskan untuk menulis tentang perasaannya saat itu, tentang ketakutannya yang samar, tentang ingatannya yang hilang, dan tentang kehadiran Arina yang seolah menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan yang mulai menyelimutinya. Rino tidak menyadari, bahwa pertemuannya dengan Arina, pemilik toko buku yang peduli ini, akan menjadi kunci penting dalam misteri yang jauh lebih besar dari sekadar surat lelucon. Ia tidak tahu bahwa Arina, dengan naluri relawan kesehatan mentalnya, sudah mulai mencurigai ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kegelisahan biasa pada diri Rino. Kegelisahan itu, Arina yakini, berasal dari trauma yang terpendam, trauma yang belum tersentuh oleh kesadaran Rino sendiri. Dan surat itu, mungkin adalah petunjuk pertama menuju inti dari trauma tersebut.

BAB 3 – Surat Kedua dan Ketiga

Beberapa hari setelah surat pertama, Rino mulai mencatat kegiatan hariannya dalam jurnal yang disarankan Arina. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri, dan mungkin pada Arina, bahwa ia tidak gila. Namun, justru dari catatan itulah, kegelisahan Rino semakin menjadi-jadi. Ada bagian-bagian waktu yang hilang. Ia akan menulis, misalnya, "Pukul 10 pagi, sedang membaca buku di teras," dan kemudian catatan berikutnya adalah "Pukul 3 sore, terbangun di sofa, tidak ingat apa yang terjadi di antaranya." Jam demi jam yang terhapus dari ingatannya, seolah ada jeda dalam rekaman kehidupannya. Ia mencoba mengisi kekosongan itu, memutar ulang ingatannya, tapi semua sia-sia. Hanya ada kekosongan yang mengerikan.

Pada suatu pagi yang mendung, Rino menemukan surat kedua di kotak pos. Amplopnya sama persis dengan yang pertama—tanpa perangko, tulisan tangan rapi yang menyeramkan. Jantung Rino berdebar kencang. Kali ini, surat itu lebih spesifik. Tertulis di sana:

"Yang kedua sudah pergi. Di sana, di dekat sungai yang mengalir tenang, tempat kenangan buruk terkubur. Kamu akan segera mengingatnya."

Kengerian merayapi Rino. "Sungai yang mengalir tenang"? Dimana itu? Apakah ini merujuk pada Sentarum? Ia mencengkeram surat itu, napasnya tersengal. Ini bukan lelucon lagi. Ini semakin nyata, semakin mengancam. Ia merasa seperti ada jebakan yang sedang dipasang, dan ia adalah targetnya.

Ia mencoba menghubungi Arina, tetapi Arina sedang sibuk dengan kegiatan LSM. Rino semakin panik. Ia merasa kesepian dan terisolasi. Siapa yang harus ia percaya?

Keesokan harinya, seolah belum cukup penderitaan, surat ketiga tiba. Kali ini, sebuah sketsa kasar disertakan: gambar samar sebuah jembatan tua di atas sungai, dan sebuah titik silang di dekatnya. Di bawah sketsa itu, tulisan tangan yang sama berbunyi:

"Yang ketiga. Jangan berpikir kamu bisa lari dari bayanganmu sendiri. Dia selalu ada di sana, menunggu."

Rino ambruk di kursi. Seluruh tubuhnya gemetar. Surat-surat ini bukan lagi lelucon. Ini adalah bukti. Bukti dari kejahatan, dan entah bagaimana, ia terhubung dengannya. Ia menatap sketsa jembatan itu. Ada rasa familiar yang aneh, seperti ia pernah melihatnya entah di mana. Namun, ia tidak bisa mengingatnya. Kekosongan di kepalanya terasa semakin besar, mengancam untuk menelannya.

Ia memutuskan untuk mengunjungi Arina di toko bukunya. Wajah Rino pucat pasi, matanya cekung. Arina yang melihatnya langsung menghampiri.

"Rino, ada apa? Kau terlihat tidak sehat," kata Arina prihatin.

Rino menunjukkan ketiga surat itu pada Arina, tangannya gemetar tak terkendali. Arina membaca setiap surat dengan serius, keningnya berkerut.

"Ini... ini lebih serius dari yang saya kira," gumam Arina. "Apakah Anda sudah melaporkannya ke polisi?"

Rino menggeleng. "Belum. Saya... saya tidak tahu harus bagaimana. Setiap kali saya mencoba berpikir jernih, pikiran saya buyar. Dan ada bagian-bagian waktu yang hilang. Saya tidak ingat apa yang saya lakukan selama berjam-jam."

Arina memandangnya dengan pandangan khawatir. "Bagian waktu yang hilang? Apa maksudmu?"

Rino menjelaskan tentang catatannya di jurnal, tentang lubang-lubang dalam ingatannya. Arina mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk.

"Rino," kata Arina lembut, "kondisi Anda ini... mengingatkan saya pada beberapa kasus yang pernah saya tangani di LSM. Gejala-gejala disosiasi, trauma yang belum tertangani. Ini bisa jadi respons otak Anda terhadap stres ekstrem atau trauma masa lalu."

Ia menarik napas dalam-dalam. "Saya sarankan Anda untuk terus mencatat, dan detailkan sebanyak mungkin. Bahkan jika itu hanya hal kecil, atau perasaan yang Anda alami. Semakin banyak data, semakin baik. Dan yang paling penting, saya sarankan Anda mencari bantuan profesional. Ada sahabat saya, seorang psikiater yang sangat baik, dr. Ardy. Saya bisa menjadwalkan pertemuan untuk Anda."

Rino merasa sedikit lega mendengar saran Arina. Setidaknya, ada seseorang yang percaya padanya dan tidak menganggapnya gila. "Terima kasih, Arina. Saya... saya akan mempertimbangkannya."

Dalam perjalanan pulang, Rino melewati rumah Bu Marni. Wanita tua itu sedang menyirami bunga di halaman depan. Saat Rino melintas, Bu Marni mendongak, matanya yang tua menatap Rino dengan intens.

"Nak Rino," bisiknya, suaranya pelan dan serak, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Dulu, orang sebelum kamu di rumah itu juga suka bicara sendiri. Sering terlihat bingung, seperti mencari sesuatu yang hilang."

Rino berhenti, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Bu Marni terasa seperti pukulan. "Bicara sendiri?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.

Bu Marni hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Ya. Dan kadang-kadang, dia menulis. Banyak sekali surat. Mungkin... surat untuk dirinya sendiri," tambahnya, tatapannya menyapu ke arah rumah Rino, lalu ke kotak surat usang.

Rino terpaku di tempatnya. Surat untuk dirinya sendiri? Apa maksudnya? Mungkinkah Bu Marni tahu sesuatu tentang surat-surat ini? Atau tentang siapa "orang sebelum kamu" itu? Dan mengapa Bu Marni terus mengamati rumahnya? Firasatnya tentang pengawasan semakin kuat, namun kini disertai dengan kengerian baru. Bu Marni seolah menjadi saksi bisu dari sesuatu yang kelam, sesuatu yang mungkin terulang kembali di rumah itu.

Ia melanjutkan perjalanannya pulang, pikiran-pikiran bercampur aduk di benaknya. Surat-surat itu, bagian waktu yang hilang, dan sekarang, komentar Bu Marni. Semuanya terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang aneh, membentuk gambaran yang mengerikan tentang dirinya sendiri. Ia merasa terjebak dalam lingkaran kebingungan dan ketakutan. Siapa sebenarnya yang mengirim surat-surat itu? Dan mengapa ingatan Rino sendiri yang menjadi sasaran utama dari semua ini? Keinginan untuk mencari kebenaran semakin kuat, namun ketakutan akan apa yang akan ia temukan juga tak kalah besar. Rino mulai menyadari, ia bukan hanya korban, tapi mungkin juga bagian dari misteri yang ia coba pecahkan.

BAB 4 – Laporan, Tapi Terjebak

Didorong oleh saran Arina dan rasa putus asa yang semakin memuncak, Rino akhirnya memberanikan diri. Ia menumpuk ketiga surat misterius itu di meja Kantor Polisi Sentarum. Aroma disinfektan dan kopi pahit memenuhi ruangan. Di hadapannya, duduk seorang polisi paruh baya dengan seragam rapi dan kumis tebal, bernama Inspektur Wisnu. Ia mendengarkan cerita Rino dengan ekspresi skeptis.

"Jadi, Anda bilang surat-surat ini pengakuan pembunuhan, dan Anda tidak tahu siapa pengirimnya?" tanya Inspektur Wisnu, alisnya terangkat.

"Benar, Pak. Saya baru pindah ke sini, tidak punya musuh. Dan isinya sangat mengganggu," jawab Rino, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia menjelaskan tentang bagian waktu yang hilang, tentang mimpi-mimpi aneh, dan tentang saran Arina untuk mencatat segala aktivitasnya.

Inspektur Wisnu mengambil surat-surat itu, membolak-baliknya. "Tulisan tangannya rapi sekali. Tidak ada sidik jari yang jelas, sepertinya sudah dipegang berkali-kali. Dan amplopnya... tidak ada cap pos."

Rino hanya mengangguk. Ia sudah menduga ini tidak akan mudah.

"Bisa saya lihat laptop Anda?" tanya Inspektur Wisnu tiba-tiba.

Rino terkejut. "Untuk apa, Pak?"

"Standar prosedur, Tuan Rino. Kami perlu memeriksa apakah ada jejak digital yang relevan, mungkin ada riwayat email atau pesan yang terkait. Atau mungkin Anda pernah menerima surat semacam ini sebelumnya?" jawabnya dengan nada datar, namun ada tatapan curiga yang tak luput dari penglihatan Rino.

Rino ragu, namun ia tidak punya pilihan. Ia memberikan laptopnya kepada Inspektur Wisnu. Selama beberapa jam berikutnya, Rino duduk gelisah di ruang tunggu, sementara Inspektur Wisnu dan seorang teknisi forensik sibuk memeriksa laptopnya di ruangan terpisah. Rino merasa semakin tidak nyaman. Seharusnya ia merasa lega setelah melapor, tapi yang ada justru perasaan dijebak yang semakin kuat.

Akhirnya, Inspektur Wisnu kembali. Wajahnya kini bukan lagi skeptis, melainkan dingin dan penuh kecurigaan.

"Tuan Rino," katanya, suaranya menusuk. "Kami menemukan sesuatu di laptop Anda. Sangat menarik, sebenarnya."

Jantung Rino mencelos. "Apa itu, Pak?"

"Ketiga surat ini," Inspektur Wisnu menunjuk surat-surat di meja, "kami periksa struktur penulisannya, gaya bahasa, dan bahkan penggunaan tanda baca. Dan kami menemukan kemiripan yang mencolok dengan beberapa file dokumen yang tersimpan di laptop Anda."

Rino mengerutkan kening. "Saya tidak mengerti, Pak. Saya tidak pernah menulis surat seperti ini."

"Bukan hanya itu," lanjut Inspektur Wisnu, "kami juga menemukan folder tersembunyi yang berisi template surat. Template yang sama persis dengan yang digunakan untuk mencetak surat-surat ini. Bahkan, font dan formatnya identik."

Dunia Rino runtuh. "Tidak mungkin! Saya tidak pernah melihat template itu! Saya bersumpah!"

Inspektur Wisnu menyilangkan tangan di dada. "Sumpah Anda tidak mengubah fakta, Tuan Rino. Semuanya menunjuk pada satu hal: surat-surat ini diketik dari laptop Anda. Dengan template yang hanya ada di laptop Anda."

Rino merasakan gelombang kepanikan. Ia merasa dijebak, dituduh, padahal ia tidak melakukan apa pun. Siapa yang menaruh itu di laptopnya? Kapan? Mengapa? Lubang-lubang dalam ingatannya terasa seperti lubang hitam yang siap menelannya.

"Ini... ini tidak masuk akal," gumam Rino, suaranya bergetar. "Saya tidak ingat melakukan itu. Sama sekali tidak."

"Ketidakingatan Anda, Tuan Rino, bukanlah alibi," kata Inspektur Wisnu dingin. "Untuk saat ini, kami akan menyimpan surat-surat ini sebagai barang bukti. Anda bebas pulang, tapi perlu Anda ketahui, kami akan mulai mengawasi Anda. Setiap gerakan Anda."

Rino meninggalkan kantor polisi dengan perasaan hancur. Ia merasa dunia berbalik melawannya. Orang yang seharusnya melindunginya, justru mencurigainya. Ia kini bukan lagi korban, melainkan tersangka. Ia merasa terjebak dalam jaring laba-laba yang ia tidak tahu siapa yang merajutnya.

Ia langsung menuju toko buku Arina. Wajahnya yang tegang membuat Arina langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Rino menceritakan semua yang terjadi di kantor polisi. Arina mendengarkan dengan raut wajah khawatir.

"Mereka menemukan template surat di laptopku, Arina," kata Rino, nyaris menangis. "Mereka pikir aku yang menulisnya. Mereka akan mengawasiku!"

Arina berpikir keras. "Ini... ini memang rumit. Tapi satu hal yang pasti, Rino, Anda tidak berbohong padaku. Saya percaya itu. Ada sesuatu yang tidak beres di sini."

Sebagai relawan LSM kesehatan mental, Arina punya naluri tajam dalam mengenali tanda-tanda trauma dan kondisi psikologis. Ia mulai menganalisis informasi yang Rino berikan. Bagian waktu yang hilang, mimpi-mimpi aneh, ketidakingatan terhadap template di laptopnya, dan sekarang, surat-surat yang seolah sengaja dihubung-hubungkan dengannya. Ini semua menunjuk pada satu kemungkinan: trauma berat yang menyebabkan disosiasi identitas.

"Rino," kata Arina, menatap mata Rino dalam-dalam. "Saya mulai curiga bahwa ini bukan hanya tentang surat pengakuan pembunuhan. Ini mungkin tentang diri Anda sendiri. Trauma masa lalu Anda, yang mungkin belum tersentuh oleh kesadaran Anda, bisa jadi penyebab semua ini."

Arina menyadari bahwa polisi tidak akan memahami ini sebagai masalah psikologis. Mereka akan melihatnya sebagai kasus kriminal. Ia harus bergerak cepat.

"Saya akan mencoba menyelidiki sendiri," kata Arina. "Saya punya beberapa koneksi di perpustakaan kota dan di rumah sakit lama di sini. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa menjelaskan mengapa surat-surat ini muncul sekarang, atau mengapa Anda merasa bagian waktu Anda hilang."

Rino menatap Arina dengan tatapan penuh harapan. "Maksudmu... kau akan membantuku?"

"Tentu saja," jawab Arina tegas. "Saya tidak akan membiarkan Anda menghadapi ini sendiri. Ini lebih dari sekadar kasus polisi. Ini tentang menemukan kebenaran tentang siapa Anda, Rino. Dan saya akan membantu Anda menemukannya."

Di sisi lain, Inspektur Wisnu memang telah memulai pengawasan ketat terhadap Rino. Ia memerintahkan beberapa anggota timnya untuk memantau rumah Rino, mencatat setiap gerakannya. Bagi Inspektur Wisnu, Rino adalah tersangka utama. Surat-surat itu, meskipun aneh, adalah bukti fisik yang kuat. Ia percaya Rino mungkin menderita amnesia palsu atau sengaja berpura-pura tidak ingat. Dan ia bertekad untuk membongkar kebenaran di balik surat-surat pengakuan pembunuhan itu, tidak menyadari bahwa kebenaran yang akan ia temukan jauh lebih kompleks dan mengerikan daripada yang bisa ia bayangkan. Sementara itu, di tengah kota yang sunyi, Arina mulai menggerakkan jaring informasinya, mencari jejak-jejak masa lalu yang mungkin menghubungkan Rino dengan misteri yang melingkupinya. Ia tahu, Rino sedang dalam bahaya, bukan hanya dari hukum, tetapi juga dari dirinya sendiri.

BAB 5 – Cermin, Mimpi, dan Rey

Kehidupan Rino semakin kacau setelah kunjungan ke kantor polisi. Ia merasa terpojok, diawasi, dan lebih dari segalanya, ia merasa asing dengan dirinya sendiri. Lubang-lubang waktu dalam ingatannya semakin sering terjadi, terkadang berjam-jam, terkadang bahkan sehari penuh. Ia akan terbangun di tempat yang tidak ia ingat bagaimana ia sampai di sana, dengan pakaian yang berbeda, atau bahkan dengan benda-benda asing di tangannya.

Mimpi-mimpi buruknya pun semakin intens dan nyata. Rino sering terbangun dengan jantung berdebar kencang, napas tersengal-sengal, dari mimpi di mana ia bukan dirinya sendiri. Ia menjadi orang lain, seorang pria dengan aura gelap dan tatapan tajam yang dingin. Pria itu melakukan hal-hal yang mengerikan, mengucapkan kata-kata kasar, dan tertawa dengan suara yang bukan suara Rino. Dalam mimpinya, ia melihat wajah-wajah orang yang ketakutan, ia merasakan darah di tangannya, dan ia mendengar jeritan. Setiap kali ia bangun, ia merasakan mual dan ketakutan yang mendalam.

Suatu pagi, Rino berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap refleksi dirinya. Namun, kali ini, ada yang berbeda. Untuk sepersekian detik, ia melihatnya. Sosok pria lain yang sangat mirip dengannya, namun dengan rahang yang lebih tegas, tatapan mata yang lebih dingin dan tajam, serta senyum sinis yang asing. Aura pria itu gelap, nyaris mengancam. Rino terkesiap, mundur selangkah. Saat ia berkedip, sosok itu menghilang, digantikan oleh wajahnya sendiri yang pucat dan ketakutan.

"Rey..." bisik Rino, tanpa sadar. Nama itu muncul begitu saja di benaknya, seolah selalu ada di sana, menunggu untuk diucapkan. Nama itu terasa seperti jarum es yang menusuk ingatannya. Siapa Rey? Mengapa wajah itu begitu familiar, namun asing pada saat yang sama?

Rino memutuskan untuk mencari tahu. Ia mulai menggeledah rumah tua itu dengan lebih teliti, mengikuti firasat yang aneh. Ia membongkar setiap lemari, membuka setiap laci, dan menggeser setiap perabotan. Pencariannya membawanya ke loteng yang gelap dan berdebu. Udara di sana pengap dan dipenuhi aroma kayu lapuk. Di sudut paling belakang, tertutup kain usang, ia menemukan sebuah koper kulit tua.

Koper itu terkunci, tapi Rino merasakan desakan kuat untuk membukanya. Ia mencoba beberapa kunci yang ia temukan di laci kamar tidur, dan salah satunya ternyata cocok. Saat koper itu terbuka, bau apek dan logam segera menyeruak. Di dalamnya, Rino menemukan isi yang mengerikan:

* Sebuah pisau lipat besar dengan gagang hitam, bilahnya tampak kusam dan terdapat noda gelap yang Rino coba yakinkan dirinya hanya karat, namun ia tahu itu bukan karat.

* Beberapa helai pakaian – sebuah kemeja hitam dan celana jeans – yang terlihat lusuh dan ada bercak-bercak kecoklatan di sana-sini. Bercak itu tampak seperti... darah kering.

* Sebuah dompet kulit yang usang. Dengan tangan gemetar, Rino membukanya. Di dalamnya, ada beberapa lembar uang lama dan sebuah SIM. Foto di SIM itu adalah wajahnya sendiri, namun dengan ekspresi yang lebih gelap, lebih dingin, sama seperti sosok yang ia lihat di cermin. Dan nama di SIM itu... REY SUTRISNA. Tanggal lahirnya sama dengan Rino.

Rino terhuyung mundur, koper itu jatuh dari tangannya. Rey Sutrisna. Sosok di cermin. Nama yang ia bisikkan. Itu dia. Rasa dingin yang ia rasakan selama ini bukan hanya paranoia, tetapi kehadiran nyata dari seseorang. Tapi siapa dia? Mengapa ia sangat mirip dengannya? Dan mengapa barang-barang mengerikan ini ada di kopernya?

Selain itu, ia juga menemukan sebuah jurnal tua dengan sampul lusuh di bawah tumpukan baju. Jurnal itu terbuka di halaman tengah, dan di sana, dengan tulisan tangan yang berbeda dari tulisan Rino—lebih tegas, lebih kasar—tertulis sebuah kalimat yang menusuk jiwanya:

"Reno itu lemah. Aku yang menjaga tubuh ini. Aku yang akan menyelesaikan semua yang dia mulai, dan semua yang dia takuti untuk diselesaikan."

"Reno itu lemah." Kalimat itu berulang di benaknya. Siapa Reno yang dimaksud? Apakah itu dirinya? Dan siapa yang menulis ini? Ketakutan yang lebih besar mencengkeramnya. Ketakutan bahwa Rey Sutrisna bukan hanya sosok di cermin, bukan hanya nama di SIM, tetapi bagian dari dirinya sendiri. Sebuah entitas, sebuah kepribadian lain yang hidup di dalam dirinya, tanpa ia sadari.

Rino teringat kembali kata-kata Arina tentang disosiasi dan trauma. Mungkinkah ini yang terjadi padanya? Mungkinkah ingatan yang hilang, bagian waktu yang terhapus, adalah saat Rey mengambil alih? Mungkinkah Rey yang menulis surat-surat itu, dengan sengaja menjebaknya?

Ia mulai melihat semua tanda-tanda yang sebelumnya ia abaikan. Perasaan diawasi yang konstan, bisikan-bisikan samar di kepalanya, bahkan keanehan Bu Marni yang mengatakan orang sebelum dia "suka bicara sendiri" dan "menulis surat untuk dirinya sendiri". Semua itu kini mulai membentuk pola yang mengerikan.

Rino mencoba menghubungi Arina lagi, ingin menceritakan semua penemuan ini. Ia membutuhkan penjelasannya, butuh seseorang untuk membantunya memahami kegilaan yang kini nyata di hadapannya. Ia merasa terjebak di dalam tubuhnya sendiri, dikelilingi oleh rahasia yang tidak ia ciptakan, dan kini ia tahu, rahasia itu telah berlumuran darah.

Di kejauhan, Inspektur Wisnu yang sedang mengawasi rumah Rino melihat lampu di loteng Rino menyala hingga larut malam. Ia mencatat aktivitas yang tidak biasa ini dalam laporannya, tanpa mengetahui bahwa di dalam loteng itu, Rino baru saja menemukan kunci yang akan membuka pintu neraka pribadinya. Kunci itu bukan hanya untuk koper tua, tetapi juga untuk kebenaran yang mengerikan tentang identitasnya sendiri.

BAB 6 – Koneksi Kota & Masa Lalu

Penemuan koper dan jurnal Rey mengguncang Rino hingga ke inti jiwanya. Ia tidak bisa lagi menyangkal keberadaan Rey. Ini bukan sekadar mimpi atau halusinasi; Rey adalah nyata, dan sepertinya, hidup di dalam dirinya. Dengan dorongan Arina, Rino memutuskan untuk melacak jejak Rey. Ia memulai dengan alamat yang tertera di SIM Rey Sutrisna. Alamat itu membawanya ke sebuah kota kecil di pesisir, berjarak ratusan kilometer dari Sentarum.

Rino melakukan perjalanan itu seorang diri, meskipun Arina sempat menawarkan diri untuk menemaninya. Ia merasa perlu menghadapi ini sendiri. Sesampainya di kota pesisir itu, Rino menanyakan alamat tersebut kepada penduduk lokal. Orang-orang di sana menatapnya dengan pandangan aneh, seperti mengenalinya, namun dengan cara yang berbeda.

"Oh, Anda Tuan Rey, ya?" kata seorang pemilik warung kopi tua. "Sudah lama tidak kelihatan. Dulu sering mampir ke sini."

Rino terkesiap. "Rey?"

"Iya, Anda kan Rey Sutrisna. Sering pakai jaket kulit hitam, kan? Lumayan temperamental orangnya," kata pemilik warung itu, seolah berbicara dengan kenalan lama.

Rino merasakan dingin di tulang punggungnya. Ia memang sering memakai jaket kulit hitam yang ia temukan di lemari rumah tua itu, meskipun ia tidak ingat pernah membelinya. Dan deskripsi "temperamental" itu... cocok dengan sosok Rey yang ia lihat di cermin.

Ia mengunjungi alamat yang tertera di SIM. Itu adalah sebuah apartemen kumuh. Tetangga di sana juga mengenali wajah Rino sebagai Rey. Mereka bercerita bahwa Rey adalah seorang penyendiri, jarang bersosialisasi, dan seringkali terlihat murung atau marah. Beberapa dari mereka juga menyebutkan bahwa Rey pernah bekerja di sebuah pabrik pengolahan ikan, tetapi dipecat karena sering terlibat perkelahian.

Rino terus berkeliling, mengunjungi kota-kota lain yang ia kenali dari peta lama yang ditemukan di koper Rey. Di setiap kota itu, cerita yang sama berulang: Rino dikenal sebagai Rey. Seorang Rey yang berbeda dari dirinya sendiri – kasar, pendiam, dan seringkali bermasalah. Ada kesaksian-kesaksian samar tentang keributan di bar, argumen panas di jalan, bahkan laporan polisi yang menyebutkan nama Rey Sutrisna dalam kasus-kasus kecil seperti pengeroyokan atau perusakan. Rino melihat foto dirinya di kantor polisi setempat, dengan tatapan yang dingin dan jauh berbeda dari dirinya yang sekarang. Rey adalah versi dirinya yang gelap, yang melakukan hal-hal yang tidak ia ingat.

Sementara Rino melakukan perjalanan mencari jejak Rey, Arina tidak tinggal diam. Ia pergi ke perpustakaan kota dan mulai mencari arsip lama tentang rumah Rino di Sentarum. Ia menemukan beberapa catatan kuno yang menyebutkan bahwa rumah itu pernah dimiliki oleh keluarga Sutrisna. Sutrisna. Nama belakang Rey. Ada koneksi!

Arina kemudian melacak nama keluarga Sutrisna ke rumah sakit jiwa terdekat. Dengan koneksinya sebagai relawan LSM, ia berhasil mendapatkan akses ke arsip pasien lama. Dan di sana, ia menemukan sebuah berkas yang mengejutkan: berkas ayah Rino, bernama Aditya Sutrisna, yang pernah dirawat di RSJ itu karena masalah kejiwaan serius. Aditya Sutrisna didiagnosis menderita skizofrenia dengan paranoid delusi. Yang lebih mengejutkan lagi, Aditya Sutrisna tercatat menghilang dari RSJ saat Rino (yang saat itu berusia sekitar 7 tahun) masih sangat kecil.

Arina merasa ada benang merah yang terentang dari masa lalu. Ia terus mencari, dan ia menemukan catatan tentang sebuah kecelakaan tragis di dekat Sentarum sekitar 19 tahun yang lalu. Sebuah kecelakaan mobil yang menewaskan seorang wanita dan seorang pria. Saksi mata melaporkan adanya seorang anak kecil yang selamat dari kecelakaan itu, ditemukan merangkak keluar dari mobil yang ringsek. Anak itu kemudian dibawa ke rumah sakit dan setelah pulih, ia diasuh oleh keluarga angkat. Nama anak itu tidak tercatat jelas, hanya inisial 'R.S.'. Arina mencari lebih jauh dan menemukan bahwa Rino sebenarnya bukan nama aslinya saat diasuh oleh keluarga angkat tersebut, melainkan nama panggilan yang diberikan untuk memberinya identitas baru setelah trauma.

Arina menyatukan semua potongan teka-teki itu: keluarga Sutrisna, ayah Rino yang sakit jiwa, kecelakaan tragis, nama Rey Sutrisna, dan sekarang, Rino yang bukan nama asli. Ini bukan kebetulan. Ini adalah sebuah kisah yang tersembunyi di balik amnesia Rino.

Saat Rino kembali ke Sentarum, lelah namun dengan banyak pertanyaan baru, Arina menunggunya di toko buku. Wajah Arina serius.

"Rino," kata Arina, "saya menemukan sesuatu. Sesuatu tentang masa lalu Anda yang mungkin menjelaskan semua ini."

Arina menceritakan semua penemuannya: tentang keluarga Sutrisna, tentang ayahnya, Aditya Sutrisna, yang menderita sakit jiwa dan menghilang, tentang kecelakaan tragis belasan tahun lalu, dan tentang bahwa "Rino" bukanlah nama aslinya, melainkan nama yang diberikan oleh keluarga angkatnya setelah kecelakaan untuk membantunya memulai hidup baru dan melepaskan trauma masa lalu. Arina bahkan menemukan bukti foto lama Rino saat kecil, di samping seorang wanita yang ia duga adalah ibunya, dan seorang pria yang sangat mirip dengan gambar Rey – ayahnya, Aditya Sutrisna.

Rino mendengarkan dengan syok. Ayahnya sakit jiwa? Ibunya meninggal dalam kecelakaan? Ia diasuh oleh keluarga angkat? Itu terlalu banyak informasi untuk dicerna. Dunia yang ia bangun untuk dirinya sendiri hancur berkeping-keping. Firasatnya selama ini benar. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang tersembunyi di balik ingatannya yang hilang. Dan Rey... Rey Sutrisna... mungkin terhubung langsung dengan trauma masa lalu itu. Sebuah cerminan, atau mungkin, sebuah manifestasi dari warisan kelam keluarganya.

Arina memegang tangan Rino yang gemetar. "Ini pasti berat, Rino. Tapi ini penting. Saya percaya, untuk bisa sembuh, kita harus tahu apa yang kita lawan. Dan dalam kasus ini, sepertinya Anda melawan ingatan yang terkubur, dan mungkin, bagian dari diri Anda yang terbentuk dari trauma itu."

Rino menatap kosong ke depan. Kehadiran Rey, surat-surat, dan sekarang, kebenaran tentang masa lalunya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Namun, di tengah keputusasaan itu, ia merasakan secercah harapan. Harapan bahwa dengan bantuan Arina, ia mungkin bisa memahami siapa dirinya sebenarnya, dan mengapa Rey ada. Dan yang lebih penting, ia berharap bisa menghentikan Rey, sebelum Rey menghancurkan segalanya, termasuk dirinya sendiri.

BAB 7 – Diagnosis & Patah

Dengan semua penemuan baru tentang masa lalu Rino dan keberadaan Rey, Arina merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mempertemukan Rino dengan sahabatnya, dr. Ardy, seorang psikiater terkemuka yang sangat ia percayai. Arina telah menceritakan garis besar masalah Rino kepada dr. Ardy, tanpa mengungkapkan terlalu banyak detail sensitif, hanya cukup untuk memberikan gambaran awal.

Pertemuan itu diadakan di klinik dr. Ardy yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Dr. Ardy adalah pria paruh baya dengan kacamata berbingkai tipis dan sorot mata yang menenangkan. Ia mendengarkan cerita Rino dengan sabar dan penuh perhatian, sesekali mencatat di buku kecilnya. Rino menceritakan tentang amnesianya, surat-surat misterius, bagian waktu yang hilang, mimpi-mimpi mengerikan tentang sosok lain, penemuan koper berisi pisau dan SIM Rey, serta jurnal dengan tulisan tangan Rey. Ia juga berbagi informasi yang Arina temukan tentang keluarganya – ayah yang sakit jiwa, kematian ibunya dalam kecelakaan, dan kenyataan bahwa ia bukan Rino yang asli.

Dr. Ardy tidak menunjukkan reaksi terkejut. Ia hanya mengangguk pelan. "Rino, dari semua yang Anda ceritakan, ini sangat mengindikasikan kasus yang kompleks dari Gangguan Identitas Disosiatif (DID), atau yang dulu dikenal sebagai kepribadian ganda. Otak Anda, sebagai mekanisme pertahanan diri dari trauma yang luar biasa, telah menciptakan kepribadian alternatif untuk menghadapi apa yang tidak sanggup Anda hadapi."

"Trauma apa?" tanya Rino, suaranya serak.

Dr. Ardy menjelaskan, "Berdasarkan informasi tentang masa lalu Anda, ada kemungkinan besar trauma itu terjadi saat Anda masih sangat kecil. Kematian ibu Anda dalam kecelakaan, ditambah dengan kondisi kejiwaan ayah Anda yang mungkin Anda saksikan sendiri... itu adalah beban emosional yang sangat besar untuk anak usia tujuh tahun."

Ia kemudian melanjutkan, "Otak Anda, untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak tertahankan itu, menciptakan sebuah 'pelindung'. Dalam kasus Anda, pelindung itu adalah Rey. Rey mengambil alih untuk menghadapi realitas yang mengerikan, sementara Anda, sebagai kepribadian asli, melarikan diri ke dalam amnesia dan ketidaktahuan."

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, dr. Ardy mengusulkan sesi hipnosis. Rino ragu pada awalnya, tetapi Arina meyakinkannya. "Ini bisa membantu Anda mengakses ingatan yang terkunci, Rino. Ini bisa menjadi langkah pertama menuju penyembuhan."

Rino setuju. Di bawah bimbingan lembut dr. Ardy, Rino dibawa ke alam bawah sadar. Ia mulai melihat kilasan-kilasan yang samar namun mengerikan.

* Suara-suara pertengkaran yang keras.

* Pecahan kaca.

* Tangisan.

* Wajah ibunya yang pucat, berlumuran darah.

* Siluet ayahnya, Aditya Sutrisna, berdiri di atas tubuh ibunya, memegang sesuatu yang berkilauan di tangannya. Matanya kosong, tidak mengenalinya.

* Rino kecil bersembunyi di balik sofa, ketakutan, gemetar.

* Kemudian, datanglah suara lain, bukan suara ayahnya, bukan suara ibunya. Suara itu berbisik, "Jangan takut. Aku akan melindungimu. Aku akan membereskan ini."

* Kilasan selanjutnya, ia melihat dirinya (atau Rey?) menyeret sesuatu yang berat, menyembunyikannya.

* Lalu kecelakaan mobil yang mengerikan, suara benturan, kegelapan.

Rino terkesiap dalam hipnosis. Ia melihat semuanya, fragmen-fragmen kebenaran yang mengerikan. Ia menyaksikan ibunya dibunuh oleh ayahnya. Ayahnya, dengan gangguan jiwanya, telah melakukan tindakan brutal itu. Dan Rey, sosok yang kini menghantuinya, muncul di saat itu sebagai mekanisme pertahanan. Rey muncul sebagai "pelindung," yang mengambil alih untuk membersihkan kekacauan dan menyingkirkan bukti. Rey yang kuat, yang kejam, yang tidak takut. Rey yang kemudian mengendalikan tubuh Rino, melakukan pembunuhan lain yang disembunyikan, dan terus bersembunyi di balik amnesia Rino.

"Tidak... tidak mungkin..." gumam Rino dalam hipnosis, air mata mengalir dari matanya yang terpejam.

"Itu hanya ingatan, Rino," suara dr. Ardy menenangkan. "Anda aman sekarang."

Saat dr. Ardy perlahan menariknya dari kondisi hipnosis, Rino merasakan gelombang emosi yang luar biasa. Syok, kesedihan yang mendalam, ketakutan, dan kemarahan. Semua ingatan yang terkubur itu kini menyeruak, menghancurkan benteng pertahanan yang selama ini melindunginya. Ia tahu mengapa Rey ada. Rey adalah manifestasi dari rasa sakitnya, dari trauma masa kecil yang tak tertahankan.

Rino merasakan pusing yang luar biasa, seluruh tubuhnya gemetar. Ia mencoba berbicara, tetapi kata-kata tercekat di tenggorokannya. Pandangannya kabur, dan detik berikutnya, semuanya gelap. Rino pingsan.

Arina dan dr. Ardy sigap menanganinya. Dr. Ardy memeriksa denyut nadi Rino. "Dia syok. Otaknya kewalahan dengan semua ingatan yang mendadak muncul."

Namun, saat Rino terbaring tak sadarkan diri, sesuatu yang menakutkan terjadi. Secara perlahan, kelopak matanya mulai bergerak, lalu terbuka. Matanya menatap tajam ke langit-langit, namun sorotnya berbeda – lebih gelap, lebih dingin, lebih tajam. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis yang bukan senyum Rino.

"Sudah saatnya," bisik suara serak, namun bukan suara Rino. "Kau sudah cukup tahu, Reno. Sekarang giliranku."

Dr. Ardy dan Arina saling pandang, terkejut. Mereka mengenali suara itu dari kisah Rino. Rey. Entitas itu, pelindung itu, kini mengambil alih tubuh Rino, sepenuhnya. Rino telah patah, dan Rey telah mengambil alih kemudi. Pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai.

BAB 8 – Surat Terakhir Rey

Setelah Rino pingsan dan Rey mengambil alih tubuhnya, suasana di klinik dr. Ardy menjadi tegang. Rey, dalam tubuh Rino, bangkit dari tempat tidur dengan tatapan dingin yang asing. Ia mengabaikan panggilan Arina dan dr. Ardy, bergerak dengan cepat dan pasti, seolah tahu persis apa yang harus dilakukan. Kekuatan dan determinasi yang terpancar dari gerak-geriknya sangat kontras dengan kerentanan Rino sebelumnya.

"Sudah cukup. Kalian tidak perlu repot-repot lagi," suara Rey keluar dari mulut Rino, namun dengan intonasi yang lebih dalam dan tegas. "Dia tidak akan mengganggu lagi."

Rey langsung menuju meja kerja dr. Ardy, mengambil pena dan kertas yang bersih tanpa ragu. Dengan tangan yang kini menulis lebih cepat dan kasar, Rey menulis sebuah surat. Bukan surat pengakuan pembunuhan seperti sebelumnya, melainkan sebuah proklamasi, sebuah deklarasi niat:

"Sudah cukup. Aku yang akan hidup. Reno hanya luka yang harus dibungkus. Dia terlalu lemah untuk menghadapi dunia ini, terlalu rapuh untuk menerima kebenaran. Aku adalah kekuatannya, pelindungnya. Dan sekarang, aku akan mengambil alih sepenuhnya. Kalian tidak akan bisa menemukannya lagi. Biarkan dia tidur selamanya, dalam damai yang dia inginkan. Aku akan menyelesaikan apa yang dia takuti."

Rey meletakkan pena dengan kasar, lalu dengan tenang melipat surat itu. Matanya menyapu Arina dan dr. Ardy, tatapan kosong namun penuh ancaman. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan mereka terperangah.

"Rey!" panggil Arina, mencoba mengejarnya, tetapi dr. Ardy menahannya.

"Biarkan dia pergi dulu, Arina," kata dr. Ardy, suaranya tenang namun ada kekhawatiran yang mendalam. "Mencoba menahannya sekarang hanya akan memprovokasi. Kita harus memikirkan strategi yang lebih baik."

Rey, dalam tubuh Rino, tidak kembali ke rumah di Sentarum. Ia menghilang. Ia mengambil sedikit uang yang disimpan Rino, mengumpulkan beberapa barang seadanya, dan mulai menyamar sebagai pengembara. Ia memotong rambut Rino menjadi lebih pendek dan acak-acakan, memakai pakaian yang lebih gelap dan usang, bahkan mengubah sedikit gaya jalannya agar tidak terlalu dikenali. Ia bergerak dari satu kota ke kota lain, menghindari tempat-tempat yang pernah ia kunjungi sebagai Rey sebelumnya, atau sebagai Rino di Sentarum. Rey adalah sosok yang licin, cerdik, dan sangat waspada. Ia tahu polisi sedang mengintai Rino, dan ia tidak akan membiarkan dirinya tertangkap. Ia adalah versi gelap dari Rino yang telah bersembunyi selama ini, dan kini ia bebas.

Sementara itu, Arina, yang masih terpukul dengan kejadian di klinik, mulai menganalisis surat-surat yang diterima Rino sebelumnya. Ia membaca ulang setiap baris, setiap kata. Dan kemudian, sebuah pemikiran melintas di benaknya.

"Dr. Ardy," kata Arina, matanya membesar, "surat-surat ini... mereka bukan hanya pengakuan pembunuhan."

"Apa maksudmu?" tanya dr. Ardy.

"Lihat ini," Arina menunjuk pada surat pertama: "Di sana, di dekat sungai yang mengalir tenang, tempat kenangan buruk terkubur." Lalu surat kedua: "Di sebuah rumah kosong dengan kebun melati putih." Dan surat ketiga, dengan sketsa jembatan tua. "Ini bukan sekadar deskripsi lokasi. Ini... ini adalah kode lokasi mayat tersembunyi!"

Dr. Ardy mengambil surat-surat itu dan mempelajarinya. Wajahnya berubah serius. "Anda benar, Arina. Ini terlalu spesifik untuk sekadar deskripsi. Dan Rey... dia adalah 'pelindung' yang tugasnya 'membereskan' masalah. Itu bisa berarti menghilangkan bukti, termasuk mayat."

Arina segera menghubungi Inspektur Wisnu. Ia meyakinkan Inspektur Wisnu untuk melihat surat-surat itu dari sudut pandang yang berbeda. Awalnya, Inspektur Wisnu skeptis, masih mencurigai Rino sebagai pelaku. Namun, desakan Arina yang kuat, ditambah dengan fakta bahwa Rino menghilang tak lama setelah pertemuan terakhir mereka, membuat Inspektur Wisnu akhirnya setuju untuk menyelidiki lokasi-lokasi yang tertera di surat.

Dengan petunjuk dari Arina, tim kepolisian dikerahkan untuk mencari di lokasi-lokasi yang disebutkan. Mereka memulai pencarian di dekat sungai yang mengalir tenang di pinggiran kota. Beberapa jam kemudian, sebuah penemuan mengerikan terjadi. Di bawah gundukan tanah yang ditutupi semak belukar di dekat sungai, mereka menemukan sesosok mayat. Identifikasi awal menunjukkan mayat itu adalah seorang pria yang dilaporkan hilang beberapa bulan lalu, seorang gelandangan yang tidak memiliki keluarga.

Penemuan itu mengejutkan Inspektur Wisnu. Ia tak bisa lagi mengabaikan kemungkinan bahwa Arina benar. Surat-surat itu memang kode.

"Temukan yang kedua dan ketiga," perintah Inspektur Wisnu kepada anak buahnya, dengan nada yang kini dipenuhi urgensi.

Pencarian berlanjut, dan di sebuah rumah kosong yang dikelilingi kebun melati putih di luar kota, mereka menemukan mayat kedua, seorang wanita muda yang juga dilaporkan hilang setahun lalu. Dan akhirnya, di dekat jembatan tua yang sketsanya digambar di surat ketiga, di bawah tumpukan bebatuan, ditemukan mayat ketiga. Mayat seorang pria paruh baya yang tak dikenal.

Berita penemuan mayat-mayat itu menyebar cepat. Publik gempar. Inspektur Wisnu menyadari kesalahannya. Rino bukan hanya tersangka, tetapi ia juga adalah kunci untuk mengungkap serangkaian pembunuhan. Dan Rey, sosok yang mengendalikan tubuh Rino, adalah pelakunya. Rey yang selama ini hidup dalam bayangan, kini telah menunjukkan eksistensinya melalui surat-surat dan mayat-mayat yang ia sembunyikan. Pertarungan kini bukan hanya tentang kebenaran Rino, tetapi juga tentang keadilan bagi para korban. Dan yang paling penting, pertarungan untuk menyelamatkan Rino dari cengkeraman Rey.

BAB 9 – Penangkapan & Percakapan Diri

Rey, yang bergerak cepat dan cerdik sebagai pengembara, akhirnya tertangkap di sebuah terminal bus kecil di perbatasan provinsi. Deteksi wajah melalui CCTV di kota-kota tempat mayat ditemukan, dipadukan dengan laporan saksi mata dari kota-kota tempat Rey pernah muncul, membuat jaring yang dirajut Inspektur Wisnu semakin ketat. Saat ia hendak menaiki bus, sekelompok polisi berpakaian preman yang telah mengawasinya selama beberapa waktu, langsung menyergapnya.

Rey melawan dengan sengit. Kekuatan dan kegesitan yang ia tunjukkan bukan kekuatan Rino yang lemah. Ia menendang, memukul, mencoba melarikan diri dengan brutal. Butuh beberapa polisi untuk akhirnya melumpuhkannya dan memborgolnya. Wajah Rey, dalam tubuh Rino, menunjukkan kemarahan yang dingin dan frustrasi. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun saat dibawa ke markas polisi.

Inspektur Wisnu sendiri yang menginterogasinya. Rey, dalam tubuh Rino, duduk di kursi interogasi dengan tenang, sorot matanya tajam dan menghina. Ia menolak berbicara, hanya tersenyum sinis setiap kali Inspektur Wisnu mencoba mengorek informasi.

"Jadi, Rey Sutrisna, ya?" kata Inspektur Wisnu. "Kami tahu Anda. Kami tahu apa yang Anda lakukan."

Rey hanya mendengus. "Anda tidak tahu apa-apa tentang saya. Atau tentang kami."

"Kami?" Inspektur Wisnu mencoba memancing.

"Ya. Kami," jawab Rey, senyum sinisnya semakin lebar.

Interogasi berlangsung berjam-jam, tetapi Rey tetap bungkam. Akhirnya, ia dibawa ke ruang isolasi, sebuah sel kecil dengan dinding yang dilapisi bantalan dan sebuah cermin satu arah di salah satu sisinya. Cermin itu sejatinya adalah jendela observasi bagi petugas dan psikiater.

Begitu pintu sel tertutup, Rey berdiri di tengah ruangan. Ia memandang refleksi dirinya di cermin, senyum sinisnya menghilang, digantikan oleh ekspresi yang lebih rumit – campuran kelelahan, kemarahan, dan entah mengapa, kesedihan yang samar.

"Kau melihatnya, Reno?" suara Rey, kini lebih lirih, bergema di dalam sel. Ia berbicara pada cermin, seolah ada orang lain di sana. "Ini harga yang harus kita bayar. Kau ingin kebenaran? Ini kebenaranmu. Lihatlah."

Ia mendekati cermin, menempelkan telapak tangannya di permukaan dingin itu. "Kau selalu lemah, Reno. Selalu menangis, selalu lari. Aku yang melakukan semua pekerjaan kotor, agar kau bisa tidur nyenyak. Agar kau tidak perlu mengingat."

Suaranya berubah, menjadi lebih seperti bisikan. "Tapi sekarang, mereka tahu. Mereka tahu tentang kita. Kau yang memulai ini, kau yang membiarkan dia (Arina) menggalinya. Dan sekarang, kau terjebak bersamaku."

Rey mengamati refleksi dirinya, atau lebih tepatnya, refleksi tubuh yang mereka bagi. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, hah? Menangis lagi? Merangkak kembali ke dalam dirimu?"

Sejenak, keheningan menyelimuti sel. Kemudian, suara Rey kembali, lebih keras, lebih dingin. "Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan ini. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil kembali kendali. Aku yang akan tetap hidup. Aku yang akan menghadapi konsekuensi ini. Kau hanya perlu tidur."

Di sisi lain cermin, dr. Ardy dan Arina mengamati. Mereka terkejut mendengar Rey berbicara pada dirinya sendiri, mengonfirmasi keberadaan Rino. Dr. Ardy mencatat setiap kata.

"Ini adalah percakapan internal yang sangat jelas antara alter," bisik dr. Ardy kepada Arina. "Rey sedang mencoba mempertahankan kendalinya atas Rino. Dia tidak ingin Rino muncul kembali."

Arina merasakan hatinya berdesir. Rino masih ada. Ia tidak hilang. Ia ada di suatu tempat, di dalam tubuh itu, di balik mata Rey yang dingin.

Dengan izin Inspektur Wisnu, Arina diperbolehkan mengunjungi Rey di ruang isolasi. Inspektur Wisnu berharap Arina bisa memancing informasi atau setidaknya memahami dinamika antara Rino dan Rey.

Arina masuk ke sel. Rey mengangkat kepalanya, tatapannya membeku. "Kau lagi. Belum puas menghancurkan hidup kami?"

"Saya tidak menghancurkan apa pun, Rey," jawab Arina dengan suara tenang dan lembut. "Saya hanya ingin membantu. Membantu Rino."

Mendengar nama Rino, mata Rey sedikit berkedip, menunjukkan kilasan emosi yang sulit diartikan.

"Reno sudah tidak ada," kata Rey dingin. "Dia sudah mati. Aku yang di sini sekarang."

Arina melangkah mendekat, perlahan. "Tidak, Rey. Saya tahu dia masih ada. Saya melihatnya. Saya mendengar ceritanya. Dia tidak mati. Dia hanya terluka dan ketakutan."

Rey mendengus. "Ketakutan adalah sifatnya. Itu sebabnya aku harus ada."

Arina menatap mata Rino, mencoba menemukan jejak Rino di dalamnya. "Kalau kamu masih di sana, Rino," bisiknya, suaranya dipenuhi empati dan kehangatan. "Bertahanlah. Aku tahu ini sulit. Tapi kamu tidak sendirian. Jangan menyerah."

Rey tertawa pahit. "Omong kosong! Tidak ada yang bisa membantunya. Dia harus tetap di dalam, di tempatnya yang seharusnya."

Namun, saat Arina mengatakan itu, sebuah perubahan tipis terjadi. Mata Rey, untuk sepersekian detik, melembut. Ada riak di permukaan ekspresinya. Dan kemudian, Rino, yang selama ini terperangkap di dalam tubuhnya sendiri, yang hanya bisa menjadi penonton bisu atas tindakan Rey, merasakan dorongan yang kuat. Dorongan untuk merespons, untuk menunjukkan bahwa ia masih ada.

Di tengah tatapan dingin Rey, tanpa disadari Rey, setetes air mata mengalir dari sudut mata Rino. Air mata itu membasahi pipi yang keras dan dingin. Bukan air mata Rey, tapi air mata Rino. Air mata kesedihan, air mata pengakuan, air mata harapan. Itu adalah tanda. Tanda yang sangat kecil, namun signifikan. Tanda bahwa Rino masih ada, jauh di dalam tubuhnya, berjuang untuk kembali. Pertarungan antara dua jiwa dalam satu tubuh kini mencapai klimaksnya.

BAB 10 – Satu Tubuh, Dua Jiwa

Penangkapan Rey, dan bukti-bukti mengerikan berupa mayat-mayat yang ditemukan berdasarkan surat-suratnya, telah menggemparkan publik. Rino, atau lebih tepatnya Rey yang mengendalikan tubuh Rino, secara hukum akan menghadapi konsekuensi serius. Namun, berkat kesaksian Arina dan analisis dr. Ardy yang menjelaskan kondisi Rino sebagai penderita Gangguan Identitas Disosiatif, kasus ini menjadi sangat kompleks. Pengadilan memutuskan Rino harus ditempatkan di rumah sakit jiwa berkeamanan tinggi untuk evaluasi dan perawatan intensif, bukan langsung di penjara, setidaknya untuk saat ini.

Di dalam kamar rumah sakit jiwa yang serba putih dan steril, Rey terkurung. Ia sesekali berbicara pada refleksi dirinya di cermin yang tahan pecah. Namun, percakapannya kini lebih sering dipenuhi argumen internal, perdebatan sengit dengan Rino yang perlahan-lahan mulai mendapatkan kembali kesadarannya, meskipun masih sangat lemah.

"Kau melihat, Reno? Ini semua salahmu," suara Rey membentak. "Kau terlalu lemah untuk hidup, dan kau terlalu keras kepala untuk mati."

Sebaliknya, Rino, yang kini bisa merasakan kembali emosinya, meskipun samar, mulai melawan. Melalui batasan tubuh yang sama, ia membalas, "Ini bukan salahku! Kau yang mengendalikan! Kau yang melakukan semua ini!"

"Aku melindungimu, bodoh!" Rey menggeram. "Dari rasa sakit. Dari kebenaran. Sekarang lihat, di mana kita? Terjebak di sini, karena kelemahanmu."

Perawat yang bertugas memantau dari balik cermin mencatat setiap detail percakapan Rino yang tampak berbicara sendiri. Dr. Ardy dan Arina sering mengunjunginya, meskipun mereka tahu berbicara dengan Rey adalah sebuah tantangan. Mereka mencoba membangun koneksi dengan Rino, memancingnya untuk keluar.

Suatu hari, entah bagaimana, Rino berhasil mendapatkan selembar kertas dan pensil yang ditinggalkan oleh seorang perawat yang lalai. Dengan tubuh yang masih dikuasai Rey, namun dengan kekuatan tekad yang luar biasa, Rino mulai menulis. Gerakan tangannya gemetar, berbeda dari tulisan tangan Rey yang tegas. Dan yang paling mengejutkan, surat itu ditulis dengan tangan kiri, gaya tulisan Rino yang asli, bukan Rey yang dominan menggunakan tangan kanan. Ini adalah sebuah upaya perlawanan yang luar biasa, sebuah sinyal dari dalam kegelapan.

Isi surat itu singkat, namun memilukan:

"Jika aku tak bisa mengalahkan Rey, maka aku akan tidur selamanya. Biarkan aku pergi. Aku lelah bertarung."

Surat itu ditemukan oleh perawat saat pergantian shift. Segera, surat itu diserahkan kepada dr. Ardy dan Arina. Hati Arina hancur membaca tulisan tangan Rino yang lemah itu. Ini adalah pesan terakhirnya, pengakuan kekalahan.

"Dia menyerah," bisik Arina, matanya berkaca-kaca.

"Tidak sepenuhnya," koreksi dr. Ardy, menunjuk pada tulisan tangan kiri. "Ini adalah tanda bahwa Rino masih berjuang, meskipun di ambang keputusasaan. Dia ingin keluar, tetapi kekuatan Rey sangat dominan. Pesan ini adalah permohonan, dan juga ancaman terhadap dirinya sendiri."

Arina bertekad tidak akan membiarkan Rino menyerah. Ia tahu pertarungan belum berakhir.

Beberapa hari kemudian, Rey ditemukan di kamarnya, sedang menggambar di dinding dengan pensil yang ia sembunyikan. Gambaran itu mengerikan: dua sosok yang sangat mirip, namun satu lebih gelap dari yang lain, saling menyerang dengan pisau. Darah berceceran. Itu adalah gambaran metafora dari pertarungan internal antara Rino dan Rey. Rey, sebagai 'pelindung', ingin menghancurkan Rino sepenuhnya untuk mengambil alih kendali, sementara Rino, di ambang keputusasaan, mungkin ingin mengakhiri semua ini, bahkan jika itu berarti mengakhiri keberadaannya sendiri.

Rino ditempatkan dalam pengawasan ketat, menerima berbagai terapi, termasuk terapi bicara dan hipnoterapi lanjutan di bawah bimbingan dr. Ardy. Terapi ini bertujuan untuk mengintegrasikan kepribadian Rino dan Rey, atau setidaknya, membantu Rino mendapatkan kendali kembali atas dirinya sendiri.

Namun, siapa yang akan bangun besok pagi?

Apakah Rino yang akan kembali, rapuh namun dengan pemahaman baru tentang traumanya, siap untuk menghadapi kebenaran dan memulai proses penyembuhan yang panjang dan sulit?

Atau akankah Rey tetap berkuasa, terus memenjarakan Rino di sudut gelap pikiran mereka, dan menjalani sisa hidup di balik jeruji besi atau di institusi kejiwaan, membawa serta semua rahasia kelamnya?

Atau mungkin, apakah Rino akan menepati janjinya dalam surat itu, dan memutuskan untuk "tidur selamanya," meninggalkan tubuh itu kosong, atau menyerah sepenuhnya pada Rey, membiarkan identitas Rino lenyap selamanya?


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)