Cerpen
Disukai
0
Dilihat
887
Retak
Horor

Clara tidak pernah menyangka bahwa pameran seni "Persepsi Tersembunyi" akan mengubah hidupnya. Itu adalah malam yang dingin, tapi ruangan galeri dipenuhi kehangatan lampu sorot yang menyoroti kanvas-kanvas. Aroma cat minyak dan kopi yang baru diseduh menyatu, menciptakan suasana yang akrab dan merangsang. Clara, seorang seniman muda dengan bakat yang tak terbantahkan namun dihantui oleh keraguan diri, berdiri di depan salah satu karyanya—sebuah potret abstrak yang menggambarkan badai emosi dalam palet warna biru dan ungu gelap. Karya itu adalah cerminan jiwanya yang sedang bergejolak, dan Clara merasa telanjang di hadapan setiap orang yang melihatnya.

Dia merasa cemas. Karyanya dipajang di samping seniman-seniman yang lebih mapan. Dia mengamati orang-orang yang lewat, berharap bisa mendengar satu komentar positif. Namun, yang dia dengar hanyalah bisik-bisik yang tidak dia mengerti, atau tatapan sekilas yang membuatnya merasa tidak berarti. Dia merasa ingin melarikan diri, kembali ke studio kecilnya yang penuh dengan bau terpentin, di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut dihakimi.

"Karya itu... sangat jujur," sebuah suara berat namun lembut membuyarkan lamunannya.

Clara berbalik dan menemukan seorang pria berdiri di sampingnya. Dia tinggi, dengan bahu lebar yang pas di jas abu-abu gelapnya. Rambutnya hitam legam, ditata rapi, dan matanya... matanya adalah hal pertama yang menarik perhatian Clara. Mata itu berwarna cokelat tua, seolah menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Ada kerlingan nakal di sana, namun juga kehangatan yang meyakinkan. Dia tersenyum, dan senyum itu menjangkau matanya, membuat Clara merasa seolah-olah dia adalah satu-satunya orang di ruangan itu.

"Saya Leo," katanya, mengulurkan tangannya yang hangat.

"Clara," jawabnya, sedikit terkejut. Tangan mereka bersentuhan, dan untuk sesaat, Clara merasa seolah-olah arus listrik kecil mengalir melalui dirinya.

"Aku sangat menyukai caramu menggunakan warna. Biru itu... ada kesedihan yang indah di sana, tapi juga kekuatan. Seperti ombak yang siap menelan segalanya, namun juga menahan dirinya. Itu... sangat puitis," Leo melanjutkan, tatapannya tidak pernah lepas dari kanvas.

Pujian itu bukan pujian yang biasa. Bukan sekadar "bagus" atau "menarik." Leo melihat sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang hanya Clara sendiri yang tahu ada di sana. Keraguan Clara perlahan mencair, digantikan oleh rasa penasaran dan kelegaan. Seseorang akhirnya melihatnya, bukan hanya melihat karyanya.

"Terima kasih," bisik Clara, suaranya hampir tidak terdengar. "Itu... itu yang ingin aku sampaikan."

"Aku bisa merasakannya," Leo mengangguk, lalu menoleh padanya. "Kau tahu, banyak orang yang melihat seni hanya dari permukaannya. Mereka melihat bentuk, warna, tapi tidak melihat jiwa di baliknya. Tapi karyamu... karyamu memiliki jiwa yang bergejolak. Aku suka itu."

Mereka berbicara selama hampir satu jam. Leo tidak hanya berbicara tentang seni. Dia berbicara tentang kehidupan, tentang kota, tentang buku-buku yang dia baca. Dia berbicara dengan pengetahuan yang luas dan semangat yang tulus. Dia membuat Clara merasa cerdas, menarik, dan berharga. Dia memberinya validasi yang Clara damba-dambakan selama bertahun-tahun.

"Aku harus pergi," kata Leo, dengan nada penyesalan yang terlihat jelas. "Tapi aku akan senang jika kita bisa bertemu lagi. Aku ingin melihat lebih banyak karyamu, dan mendengarkan lebih banyak ceritamu."

Dia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. Kartu itu sederhana, hanya nama dan nomor telepon, tanpa jabatan yang mencolok. "Hubungi aku kapan saja," katanya, dengan senyum terakhirnya yang menghangatkan.

Setelah Leo pergi, Clara memegang kartu itu di tangannya. Tulisannya rapi dan elegan. Kartu itu terasa berat, seolah-olah berisi sebuah janji. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Clara merasakan secercah harapan. Mungkin, pikirnya, dia akhirnya menemukan seseorang yang bisa melihatnya seutuhnya, seseorang yang bisa memahaminya, seseorang yang bisa menuntunnya keluar dari kabut keraguan.

Beberapa hari kemudian, Clara memberanikan diri untuk mengirim pesan pada Leo. Tanggapan Leo datang hampir seketika. Dia mengajak Clara makan malam, di sebuah restoran kecil yang tenang dengan pencahayaan lembut. Itu adalah kencan yang sempurna. Leo mendengarkan Clara dengan penuh perhatian, tidak pernah menyela, hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan bahwa dia benar-benar tertarik. Dia memuji setiap detail kecil pada Clara, dari cara dia menata rambutnya hingga tawa kecilnya yang malu-malu.

Dalam beberapa minggu berikutnya, mereka menjadi tak terpisahkan. Leo memperkenalkan Clara pada dunianya. Ia menunjukkan padanya sisi kota yang hanya diketahui oleh orang dalam. Mereka menghabiskan waktu di kafe-kafe tersembunyi, mendengarkan musik jazz, dan mengunjungi museum-museum kecil yang tidak dikenal. Leo mendorong Clara untuk melukis, untuk mengekspresikan dirinya tanpa rasa takut. Dia selalu menjadi orang pertama yang melihat karyanya, dan pujiannya selalu tulus, membuat Clara merasa percaya diri.

"Kau harus lebih percaya pada dirimu sendiri," kata Leo suatu sore, sambil membelai rambut Clara. "Kau adalah seniman yang luar biasa, Clara. Dan aku akan selalu ada di sini untuk mengingatkanmu akan hal itu."

Clara merasa hatinya membengkak karena kebahagiaan. Dia merasa akhirnya menemukan tempatnya di dunia. Leo adalah segalanya baginya—inspirasi, kekasih, dan sahabat terbaik. Dia tidak lagi merasa sendiri. Keraguan diri yang dulunya menghantuinya mulai menghilang, digantikan oleh rasa aman yang baru ditemukan.

Namun, perlahan-lahan, Leo mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya. Awalnya, itu adalah hal-hal kecil. Komentar halus tentang teman-teman Clara.

"Aku tidak yakin kenapa kau menghabiskan begitu banyak waktu dengan Sarah," katanya suatu hari, saat Clara sedang bersiap-siap untuk bertemu temannya. "Dia terlihat... sedikit negatif. Aku tidak ingin dia menarikmu kembali ke masa lalumu yang penuh keraguan."

Clara, yang sangat percaya pada Leo, mulai berpikir bahwa Leo benar. Dia mulai membatalkan janji dengan teman-temannya, menghabiskan lebih banyak waktu dengan Leo. Leo menjadi satu-satunya orang yang dia butuhkan. Hubungannya dengan teman-temannya perlahan-lahan memudar.

Leo juga mulai mengomentari pakaian Clara.

"Baju itu sangat cantik," katanya, menunjuk gaun yang dipakai Clara. "Tapi aku pikir... aku lebih suka kau memakai pakaian yang aku berikan padamu. Kau tahu, aku ingin kau terlihat yang terbaik."

Clara, yang tidak pernah terlalu peduli dengan pakaian, melihat ini sebagai tanda cinta. Dia merasa Leo hanya ingin yang terbaik untuknya. Dia mulai hanya memakai pakaian yang diberikan Leo, atau yang disetujui Leo. Keputusannya sendiri, perlahan-lahan, mulai terkikis.

Pada suatu malam, Clara menerima telepon dari ibunya.

"Clara, sudah lama kita tidak bertemu," kata ibunya, suaranya terdengar sedih. "Apa kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, Bu," jawab Clara, mencoba terdengar ceria. "Aku hanya sangat sibuk dengan proyek baruku."

"Proyek apa?" tanya ibunya. "Kau tidak pernah menceritakannya padaku. Dan aku juga tidak lagi melihatmu melukis. Kau tidak pernah mengirimiku foto-foto karyamu lagi."

Clara merasa bersalah. Dia menyadari bahwa dia terlalu asyik dengan dunia Leo, sehingga dia melupakan orang-orang yang mencintainya. Dia membuat janji untuk bertemu ibunya pada akhir pekan, namun Leo menentangnya.

"Aku sudah merencanakan makan malam romantis untuk kita," kata Leo, memeluknya dari belakang. "Bukankah kau mau menghabiskan waktu denganku?"

"Tapi, ini ibuku," protes Clara, dengan lembut.

"Aku tahu," kata Leo, suaranya melembut. "Tapi ibumu sudah punya waktu bertahun-tahun bersamamu. Sekarang, giliran kita. Lagipula... ibumu tidak pernah benar-benar mengerti senimu, kan? Aku tidak ingin dia mengatakan sesuatu yang akan membuatmu ragu lagi."

Kata-kata itu menyentuh ketakutan terdalam Clara. Dia membatalkan janji dengan ibunya. Dia merasa tidak enak, tapi Leo meyakinkannya bahwa ini adalah pilihan yang benar.

"Aku adalah keluargamu sekarang," kata Leo, menatap matanya dengan intens. "Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Clara, yang haus akan pengakuan dan cinta, memercayai kata-kata itu sepenuhnya. Dia tidak menyadari bahwa di bawah semua kehangatan dan pujian itu, Leo perlahan-lahan mengukir dirinya menjadi satu-satunya sumber validasi Clara, satu-satunya orang yang Clara butuhkan. Dia tidak menyadari bahwa dia sedang ditarik ke dalam labirin yang Leo bangun khusus untuknya, labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Dia tidak melihat bahwa pria yang dia pikir adalah penyelamatnya, sebenarnya adalah jebakan. Dia hanya melihat cinta, tanpa menyadari bahwa cinta itu dibangun di atas manipulasi dan kontrol. Malam itu, saat Clara tertidur dalam pelukan Leo, dia merasa damai. Dia tidak tahu bahwa damai itu hanyalah ketenangan sebelum badai. Dia tidak menyadari bahwa kaca retak dalam jiwanya, yang tadinya hanya celah kecil, kini siap untuk pecah berkeping-keping.

Ketenangan yang Clara rasakan dalam pelukan Leo perlahan mulai terkikis. Awalnya, itu hanya percikan kecil, seperti riak di air yang tenang. Clara mulai menyadari bahwa setiap pujian dari Leo selalu diiringi dengan sebuah syarat. "Aku suka bajumu hari ini, tapi akan lebih cantik kalau kamu pakai yang itu," atau "Lukisanmu yang ini bagus sekali, tapi menurutku kamu terlalu banyak menggunakan warna cerah, itu tidak merefleksikan dirimu yang sebenarnya." Kata-kata itu terdengar seperti saran yang membangun, namun lama-kelamaan, Clara merasa dirinya terperangkap dalam kotak yang dibuat oleh Leo.

Hubungan Clara dengan teman-temannya semakin menjauh. Setiap kali Clara mencoba untuk menghubungi mereka, Leo akan selalu punya alasan untuk mengalihkan perhatiannya. Suatu sore, ponsel Clara berdering. Nama Sarah muncul di layar. Clara merasa bersalah karena sudah lama tidak berbicara dengan sahabatnya itu. Dia mengangkat telepon.

"Clara! Akhirnya kamu angkat juga," suara Sarah terdengar lega. "Aku khawatir, kamu jarang sekali membalas pesanku. Apa kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, Sarah," jawab Clara, mencoba terdengar meyakinkan. "Aku hanya sedang sibuk."

"Oh ya? Sibuk dengan apa? Aku lihat di media sosial, kamu selalu bersama pacar barumu itu. Dia kelihatannya..." Sarah ragu-ragu.

"Dia kelihatannya apa?" tanya Clara.

"Dia kelihatannya... terlalu mengendalikan. Aku merasa aneh melihat kamu tidak lagi melukis dengan gaya lamamu. Karyamu sekarang jadi sangat gelap dan suram, seolah kamu kehilangan cahayamu."

Kata-kata Sarah menghantam Clara seperti pukulan. Di satu sisi, Clara merasa ada benarnya. Dia memang hanya melukis dengan palet warna yang disukai Leo, dan semua lukisannya mencerminkan kegelapan yang mulai ia rasakan. Namun, di sisi lain, Clara teringat kata-kata Leo yang selalu mengatakan bahwa Sarah adalah orang yang negatif. Clara membela Leo.

"Dia tidak mengendalikan aku, Sarah. Dia hanya memberiku inspirasi. Dia membantuku menemukan sisi diriku yang lain," jawab Clara, suaranya dingin.

"Clara, tolong dengarkan aku," desak Sarah. "Aku mengenalmu. Kamu selalu melukis dengan palet warna cerah, penuh harapan. Kamu tidak seperti ini. Kamu harus hati-hati dengan pria itu."

Tiba-tiba, Leo masuk ke dalam kamar. Dia melihat Clara sedang menelepon dengan ekspresi tegang. Dia mendekat dan mengambil ponsel Clara dari tangannya.

"Halo, ini Leo," katanya, dengan nada ramah namun dingin. "Clara sedang sibuk. Dia tidak bisa diganggu sekarang."

Clara terkejut. Dia mencoba mengambil kembali ponselnya, namun Leo menepisnya dengan lembut. Leo mematikan panggilan dan memblokir nomor Sarah.

"Kenapa kamu lakukan itu?" tanya Clara, suaranya bergetar.

"Aku melakukannya demi kebaikanmu, Sayang," jawab Leo, menatap Clara dengan tatapan yang intens. "Dia adalah energi negatif. Aku tidak ingin dia meracunimu dengan kata-kata tidak pentingnya. Kamu harus fokus pada dirimu dan pada kita."

Clara merasa marah, namun kemarahan itu segera padam. Leo memeluknya, membelai rambutnya dengan lembut, dan berbisik di telinganya. "Aku di sini untukmu. Aku yang paling mengerti kamu. Tidak ada yang bisa mengerti kamu seperti aku." Kata-kata itu adalah mantra yang selalu berhasil menenangkan Clara, dan membuatnya merasa aman.

Namun, kejadian itu meninggalkan bekas. Clara mulai merasa bahwa dia tidak memiliki privasi. Leo selalu tahu apa yang dia lakukan, siapa yang dia ajak bicara, dan ke mana dia pergi. Leo memasang aplikasi pelacak di ponsel Clara dengan alasan "untuk berjaga-jaga jika kamu tersesat." Leo juga menyuruhnya untuk selalu membagikan lokasinya. Clara, yang merasa Leo adalah pria yang sangat protektif, tidak pernah curiga.

Suatu malam, Clara sedang melukis di studionya. Dia merasa rindu dengan gaya melukisnya yang dulu. Dia mengambil palet warna cerah dan mulai melukis bunga-bunga liar. Dia merasa bahagia dan bebas. Lukisan itu terasa seperti napas segar yang telah lama dia tahan. Dia tersenyum, merasa dirinya kembali.

Namun, Leo masuk ke studio dan melihat lukisan itu. Senyum di wajahnya menghilang. Dia mendekati kanvas dan menatapnya dengan dingin.

"Apa ini?" tanyanya, suaranya datar.

"Aku... aku hanya mencoba sesuatu yang baru," jawab Clara, suaranya bergetar.

"Ini bukan 'sesuatu yang baru'," kata Leo, suaranya meninggi. "Ini kembali ke dirimu yang lama. Dirimu yang lemah, yang penuh keraguan. Aku tidak menyukainya."

Leo mengambil kuas dan mulai menggores lukisan Clara dengan warna hitam. Dia melukis dengan marah, menutupi bunga-bunga yang cerah dengan kegelapan. Clara hanya bisa menatap, tidak bisa berkata apa-apa. Air mata mengalir di pipinya.

"Kamu terlalu sensitif," kata Leo, melihat Clara menangis. "Aku hanya membantumu. Kamu harus menjadi seniman yang kuat, bukan seniman yang lemah. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."

Clara tidak berani membantah. Dia merasa hancur. Lukisan yang membawa kembali kebahagiaannya kini telah hancur, sama seperti dirinya. Dia menyadari bahwa Leo bukanlah penyelamatnya. Leo adalah penghancurnya. Namun, pada titik ini, Clara sudah terlalu jauh terperangkap. Leo telah berhasil mengisolasi Clara dari orang-orang yang mencintainya, menghancurkan kepercayaan dirinya, dan membuatnya percaya bahwa satu-satunya yang bisa dia andalkan adalah Leo.

Hubungan mereka menjadi sebuah siklus yang mengerikan: Leo akan melakukan sesuatu yang menyakiti Clara, lalu ia akan memanipulasi Clara dengan kata-kata manis dan pujian, lalu ia akan kembali menyakiti Clara. Clara merasa seperti boneka yang digerakkan oleh Leo. Setiap tindakannya, setiap ucapannya, harus sesuai dengan keinginan Leo. Dia tidak lagi memiliki suara, tidak lagi memiliki dirinya sendiri.

Hingga suatu hari, Clara menemukan selembar kertas di laci meja Leo. Itu adalah daftar nama-nama perempuan, dengan catatan-catatan kecil di sampingnya. "Sangat mudah dikendalikan," "terlalu sensitif, mudah dimanipulasi," "memiliki masalah dengan harga diri."

Clara melihat namanya ada di sana. Dan di samping namanya, tertulis sebuah catatan: "Seniman yang rapuh. Perlu waktu lebih lama untuk dihancurkan, tapi hasil akhirnya akan sangat memuaskan."

Tangan Clara bergetar. Dia tidak bisa bernapas. Semua potongan puzzle yang selama ini ia abaikan kini menyatu dalam gambaran yang mengerikan. Leo bukanlah pria yang mencintainya. Leo adalah seorang predator. Dia adalah seorang psikopat. Dan Clara hanyalah korban berikutnya.

Clara sadar, ia harus melarikan diri. Dia tidak bisa lagi tinggal di bawah bayang-bayang pria ini. Dia harus menemukan kembali dirinya. Dia harus membebaskan dirinya. Malam itu, Clara menunggu Leo tertidur, lalu ia mengambil tasnya dan mencoba melarikan diri. Namun, saat ia membuka pintu, Leo sudah berdiri di sana. Matanya tidak lagi hangat, melainkan dingin dan menusuk. Senyumnya tidak lagi menawan, melainkan sebuah seringai mengerikan.

"Mau ke mana, Sayang?" tanya Leo, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Kamu pikir kamu bisa lari dari aku?"

Clara terperangkap. Dia melihat matanya sendiri di pantulan mata Leo. Mata yang penuh ketakutan, mata yang sudah kehilangan cahayanya. Dan ia tahu, malam itu, ia tidak akan bisa melarikan diri. Ia akan kembali ke dalam sangkar yang Leo buat untuknya. Dan kali ini, pintu sangkar itu akan terkunci selamanya.

Clara kembali ke dalam, tubuhnya bergetar hebat. Leo menutup pintu dengan pelan, suaranya terdengar seperti gema yang menakutkan di dalam keheningan apartemen. Wajahnya yang biasanya penuh pesona kini menjadi topeng kosong, matanya dingin dan tak berperasaan.

"Kamu pikir kamu mau ke mana, Clara?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun terdengar lebih mengancam daripada teriakan. "Kamu pikir kamu bisa lari dari aku? Tidak ada tempat untukmu pergi."

Clara tidak bisa berkata-kata. Dia merasa semua darah mengering di nadinya. Dia menatap Leo, dan untuk pertama kalinya, dia melihat kebenaran yang mengerikan di balik persona yang Leo ciptakan. Pria di depannya bukanlah Leo yang lembut, yang memujanya, yang dia pikir telah jatuh cinta padanya. Pria ini adalah monster, dan dia baru saja terperangkap dalam sangkarnya.

Leo berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa berat dan terukur, seperti seekor predator yang mengejar mangsanya. Clara mundur, punggungnya membentur dinding yang dingin. Leo mengangkat tangannya, dan Clara memejamkan mata, menunggu pukulan yang tak terhindarkan. Namun, yang dia rasakan hanyalah sentuhan lembut di pipinya.

"Aku tidak akan menyakitimu, Sayang," bisik Leo. "Aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku hanya ingin kamu mengerti. Kita berdua. Hanya kita. Tidak ada orang lain. Kamu tidak butuh orang lain. Aku adalah satu-satunya orang yang bisa memahamimu."

Kata-kata itu adalah racun yang dicampur dengan madu. Clara membukakan matanya dan melihat Leo. Leo tersenyum, senyum itu kembali, tapi kali ini Clara bisa melihat kekosongan di baliknya. Itu bukanlah senyum yang hangat, melainkan sebuah topeng yang dipasang dengan sempurna.

Mulai malam itu, hidup Clara berubah menjadi neraka. Leo mengendalikan setiap aspeknya. Dia menghapus semua kontak Clara di ponselnya. Dia memasang kamera pengintai kecil di apartemen, dengan alasan "untuk keamanan kita." Dia memaksakan dirinya untuk ikut serta dalam setiap aktivitas yang Clara lakukan. Melukis, berbelanja, bahkan hanya sekadar duduk dan membaca buku, Leo selalu ada di sana, mengawasi setiap gerakannya.

Clara mencoba untuk melawan. Suatu sore, ketika Leo sedang keluar, Clara berhasil mengambil ponselnya, yang disembunyikan Leo. Dia menelepon ibunya, berharap bisa meminta bantuan. Namun, Leo kembali lebih cepat dari yang ia perkirakan.

"Siapa yang kamu telepon?" tanyanya, suaranya tenang, namun tatapannya tajam.

Clara merasa terdesak. "Aku... aku hanya menelepon ibuku," jawabnya, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takutnya.

"Ibumu?" Leo mengambil ponsel itu dari tangan Clara dan melihat riwayat panggilan. "Kenapa kamu harus menelepon ibumu? Apa yang kamu ceritakan padanya?"

Clara terdiam, tidak bisa menjawab. Leo menghela napas, seolah ia adalah orang yang disakiti.

"Clara... kenapa kamu melakukan ini padaku? Aku sudah memberimu segalanya. Aku sudah memberimu cinta, inspirasi, dan keamanan. Tapi kamu... kamu masih mencari orang lain. Kamu masih belum percaya padaku."

Leo mulai menangis. Tangisannya terdengar tulus dan menyayat hati. Clara, yang merasa bersalah, langsung memeluknya. Dia tidak bisa memercayai dirinya sendiri. Dia tahu Leo adalah monster, tapi air mata Leo terasa begitu nyata, dan Clara merasa dirinya seperti orang jahat.

"Maafkan aku, Leo," bisik Clara. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya... merindukan ibuku."

"Aku tahu," kata Leo, sambil memeluknya erat. "Aku mengerti. Tapi ibumu tidak mengerti kita. Dia tidak mengerti hubungan kita. Dia akan memisahkan kita. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

Leo menghapus riwayat panggilan itu dan membuang ponsel Clara. "Sekarang, kamu tidak akan tergoda lagi," katanya, dengan nada yang kembali normal.

Peristiwa ini adalah titik balik. Clara menyadari bahwa Leo adalah seorang ahli manipulasi. Dia bisa berubah dari monster menjadi korban dalam hitungan detik. Dan yang paling menakutkan, Clara menyadari bahwa dia masih terlalu lemah untuk melawan. Dia masih bisa terperangkap dalam jaring manipulasi Leo.

Sementara itu, ibu Clara merasa ada yang tidak beres. Clara tidak pernah membalas pesannya. Panggilan terakhir mereka terdengar aneh dan terputus di tengah jalan. Dia mencoba menelepon Clara lagi, namun nomornya tidak aktif. Ibu Clara adalah seorang wanita yang tajam dan protektif. Dia selalu memiliki firasat buruk tentang Leo. Dia ingat tatapan mata Leo saat mereka bertemu—dingin dan penuh perhitungan, bukan tatapan mata seorang pria yang mencintai putrinya.

Ibu Clara mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Leo. Dia mencari namanya di internet. Awalnya, dia tidak menemukan apa-apa. Namun, ia tidak menyerah. Ia menghubungi teman lamanya yang bekerja di kepolisian. Setelah beberapa hari, dia mendapatkan informasi yang mengejutkan. Leo pernah memiliki riwayat kekerasan dalam hubungan, namun tidak pernah terbukti. Mantan-mantan pacarnya semua memiliki cerita yang sama: hubungan yang dimulai dengan indah dan berakhir dengan trauma emosional yang parah. Salah satu dari mantan pacarnya bahkan bunuh diri. Namun, polisi tidak pernah bisa menemukan bukti yang cukup untuk menuntut Leo.

Hati ibu Clara mencelos. Ketakutannya menjadi kenyataan. Leo adalah monster. Dia tahu bahwa Clara berada dalam bahaya besar. Dia mencoba menghubungi Leo, berpura-pura ingin berdamai.

"Halo, Leo," katanya, mencoba menekan kemarahan di suaranya. "Ini ibu Clara. Aku minta maaf atas semua kesalahpahaman. Aku hanya ingin bertemu denganmu dan Clara untuk makan malam. Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik."

Leo, yang selalu ingin terlihat sempurna di mata orang lain, setuju. Dia melihat ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan kepada ibu Clara bahwa dia adalah pria yang sempurna untuk putrinya. Dia ingin mengendalikan narasi.

"Tentu saja, Tante," jawab Leo, dengan suara yang ramah dan penuh hormat. "Aku akan mengajak Clara. Kita akan bertemu minggu depan."

Ketika Leo menceritakan tentang pertemuan itu kepada Clara, Clara merasa sedikit lega. Mungkin ini adalah kesempatan untuk melarikan diri, untuk meminta bantuan kepada ibunya. Namun, Leo mengancamnya dengan tatapan dinginnya.

"Jangan pernah berpikir untuk menceritakan apa pun padanya," bisik Leo. "Jika kamu berani menceritakan satu hal buruk tentangku, aku akan membuat hidupmu lebih buruk dari neraka. Aku akan menghancurkan karir senimu, aku akan menghancurkan reputasimu, dan aku akan memastikan kamu tidak pernah bisa melukis lagi. Kamu mengerti?"

Clara mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Dia tahu Leo tidak main-main. Dia tahu Leo akan melakukan apa pun yang dia katakan. Dan sekarang, dia tahu bahwa dia benar-benar sendirian. Tidak ada yang bisa membantunya. Ibu Clara mungkin bisa melihat kebenaran, tapi Leo telah mengancam untuk menghancurkan segalanya jika ia berani berbicara.

Sore hari di restoran yang tenang, ibu Clara melihat perubahan pada putrinya. Clara terlihat kurus, matanya kosong, dan dia hampir tidak berbicara. Ketika ibunya mencoba memegang tangannya, Clara menariknya kembali, seolah takut.

"Apakah kamu baik-baik saja, sayang?" bisik ibunya, suaranya penuh kekhawatiran.

Clara hanya mengangguk. Dia tidak berani menatap mata ibunya, karena dia tahu ibunya akan melihat kebohongan di baliknya. Leo duduk di seberang mereka, tersenyum, dan menceritakan bagaimana "sempurna" hubungan mereka. Dia bercerita bagaimana Clara telah "berkembang" sebagai seniman, dan bagaimana mereka berdua adalah "belahan jiwa."

Ibu Clara mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia melihat kebohongan di mata Leo. Dia melihat senyum palsunya. Dia tahu Leo sedang memanipulasi situasi. Namun, dia juga tahu bahwa putrinya terlalu takut untuk berbicara.

Malam itu, di akhir makan malam, ibu Clara memberikan sebuah catatan kecil kepada Clara saat ia memeluknya. "Jangan menyerah," tertulis di catatan itu. "Kamu adalah pejuang. Aku tahu kamu kuat. Hubungi aku saat kamu sudah siap. Aku akan selalu ada untukmu."

Clara menyimpan catatan itu, sebuah harapan kecil di tengah kegelapan yang menguasai hidupnya. Ia tahu bahwa ibunya tidak akan pernah menyerah padanya. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Tapi ia juga tahu bahwa perjuangan untuk melarikan diri dari Leo baru saja dimulai, dan ia tidak tahu apakah ia akan selamat dari pertempuran ini.

Catatan kecil dari ibunya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan yang menguasai hidup Clara. Kata-kata "Jangan menyerah" terpatri di benaknya, memberinya kekuatan yang selama ini ia pikir telah hilang. Dia menyembunyikan catatan itu di dalam sebuah buku sketsa lamanya, di antara halaman-halaman yang penuh dengan gambar-gambar yang melambangkan kebahagiaan dan kebebasan yang pernah ia rasakan.

Sejak pertemuan dengan ibunya, Leo menjadi lebih posesif. Dia membatasi Clara dari dunia luar. Ponsel Clara, yang telah dihancurkan, tidak pernah diganti. Laptopnya hanya bisa diakses saat Leo ada di sampingnya, mengawasi setiap ketikan. Leo bahkan mengunci studio seni Clara, hanya mengizinkannya masuk saat dia sedang mood, dan hanya untuk melukis potret-potret gelap yang dia suka. Clara merasa seperti tawanan di apartemennya sendiri.

Namun, di balik semua ketakutan itu, sebuah bara api perlawanan mulai menyala di dalam diri Clara. Dia menyadari bahwa dia tidak bisa terus-menerus menjadi korban. Dia harus melakukan sesuatu. Dia harus mencari cara untuk melarikan diri, untuk mengungkap kebenaran tentang Leo.

Suatu malam, Clara berpura-pura sakit kepala. Leo, yang selalu ingin terlihat sebagai kekasih yang sempurna, langsung panik dan menyuruh Clara untuk istirahat. Clara berbaring di tempat tidur, menunggu Leo tertidur. Saat hening mulai merayap, Clara perlahan-lahan bangun. Dia berjalan dengan hati-hati ke meja kerja Leo. Dia ingat Leo pernah mengatakan bahwa dia menyimpan semua dokumen pentingnya di sebuah hard disk eksternal yang tersembunyi.

Clara mencari di laci, di balik buku-buku, di bawah karpet. Jantungnya berdebar kencang. Dia merasa seperti seorang pencuri di rumahnya sendiri. Akhirnya, dia menemukannya—sebuah hard disk kecil berwarna hitam, tersembunyi di dalam sebuah kotak jam tangan.

Dia mengambil hard disk itu dan kembali ke kamarnya. Dengan tangan gemetar, dia memasang hard disk itu ke laptop Leo. Dia berdoa agar hard disk itu tidak dilindungi kata sandi. Keberuntungan tampaknya berpihak padanya. Hard disk itu langsung terbuka. Di dalamnya, Clara menemukan folder-folder yang diberi nama dengan inisial-inisial perempuan, termasuk folder dengan inisialnya sendiri, "C. A."

Clara membuka folder-folder itu satu per satu. Setiap folder berisi foto-foto, rekaman suara, dan email. Dia menemukan bukti-bukti yang mengerikan. Leo telah mengumpulkan informasi tentang setiap perempuan yang dia dekati, memanipulasi mereka, dan menghancurkan hidup mereka. Setiap folder seperti sebuah studi kasus, sebuah catatan rinci tentang bagaimana Leo menghancurkan jiwa seseorang.

Clara membuka folder dengan inisial "A. P." Di dalamnya, ada email-email yang dikirim Leo kepada bos perempuan itu, berisi kebohongan tentang perilakunya di tempat kerja. Ada rekaman suara di mana Leo merayu perempuan itu, lalu tiba-tiba berubah menjadi ancaman dingin. Ada sebuah artikel berita tentang kematian seorang perempuan muda bernama Annelise Prawira, yang diduga bunuh diri. Tepat di bawah artikel itu, ada sebuah catatan dari Leo, "Target berhasil dieliminasi."

Clara merasa mual. Dia menyadari bahwa Leo tidak hanya menghancurkan emosi orang, tapi juga nyawa. Dia melihat namanya sendiri di daftar itu, dan dia tahu, jika dia tidak melakukan sesuatu, dia akan menjadi Annelise berikutnya.

Dia melanjutkan pencariannya. Dia menemukan satu folder lagi, yang diberi nama "C. V." Di dalamnya ada sebuah email dari seorang perempuan bernama Chintya Valerino. Email itu dikirim ke sebuah organisasi korban kekerasan.

"Aku takut," tulis Chintya. "Pacarku, Leo, mengendalikan setiap aspek hidupku. Dia memanipulasi aku, mengisolasi aku dari teman-teman dan keluargaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa dia akan melakukan sesuatu yang buruk kepadaku."

Tepat di bawah email itu, ada balasan dari Leo yang dikirim dari email palsu. "Aku tahu apa yang kamu lakukan," tulis Leo. "Aku akan pastikan tidak ada yang akan percaya padamu. Aku akan menghancurkan reputasimu."

Clara membaca setiap baris, air matanya membasahi pipinya. Dia tidak sendirian. Ada banyak perempuan lain yang telah menjadi korban Leo. Dan Leo telah berhasil membungkam mereka semua.

Clara tiba-tiba mendengar suara Leo yang berbalik di tempat tidur. Panik melandanya. Dia dengan cepat menyalin semua folder itu ke flash drive kecil yang ia sembunyikan di laci. Dia tahu dia tidak punya banyak waktu. Dia mengambil hard disk itu dan mengembalikannya ke tempat asalnya. Dia lalu menyembunyikan flash drive itu di balik sebuah bingkai foto yang pecah. Bingkai itu adalah foto dirinya saat ia masih menjadi Clara yang bahagia.

Saat Clara kembali ke tempat tidur, jantungnya berdebar tak terkendali. Dia berbaring, pura-pura tidur. Leo terbangun dan melirik ke arahnya. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya kembali ke mode yang lembut dan mengkhawatirkan.

"Aku sudah lebih baik," bisik Clara, suaranya serak.

"Bagus," kata Leo, memeluknya. "Sekarang tidurlah. Aku di sini. Aku akan menjagamu."

Clara membiarkan Leo memeluknya. Di dalam pelukan itu, Clara tahu bahwa ia adalah boneka yang rapuh, terperangkap di dalam cengkeraman seorang monster. Namun, dia juga tahu bahwa dia tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan. Dia memiliki bukti. Dia memiliki flash drive. Dia memiliki harapan. Dia memiliki rencana. Dia akan menggunakan bukti ini untuk menjebak Leo. Dia tidak akan lagi menjadi korban, melainkan seorang penyintas. Dia akan membebaskan dirinya, dan juga membebaskan korban-korban lain Leo. Dia akan membuat Leo membayar atas semua penderitaan yang ia sebabkan.

Clara tidak lagi merasa takut. Dia merasa marah. Dia merasa kuat. Dia melihat bayangannya di kaca jendela, dan dia melihat Clara yang lama, Clara yang kuat dan berani. Dia tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai, dan kali ini, ia akan menang. Tapi ia juga tahu bahwa di balik semua rencananya, ada kemungkinan Leo akan mengetahui apa yang ia lakukan. Clara tahu, ini adalah sebuah permainan hidup atau mati, dan ia akan melakukan segalanya untuk bertahan hidup.

Sinar matahari pagi yang menembus celah gorden tidak lagi terasa hangat bagi Clara. Hari itu terasa dingin dan kelabu, mencerminkan kekosongan yang kini ia rasakan. Dalam benaknya, ia terus memutar kembali setiap detail dari flash drive yang kini tersembunyi di balik bingkai foto. Bukti-bukti kejahatan Leo, catatan-catatan mengerikan, dan nasib tragis para korban—semua itu seperti sebuah film horor yang terus berputar di kepalanya. Clara tahu, ia tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan. Ia harus bertindak.

Rencana Clara sangat berisiko, namun ia merasa ini satu-satunya cara. Dia harus mengonfrontasi Leo, menggunakan bukti-bukti itu sebagai tameng. Ia tahu Leo akan marah, namun Clara juga sadar, kemarahan Leo bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kekuatan kebenaran yang ia pegang.

Ia menunggu waktu yang tepat. Leo selalu pergi ke pusat kebugaran setiap sore, meninggalkan Clara sendirian selama satu atau dua jam. Itu adalah satu-satunya jendela kebebasan yang ia miliki. Pukul 4 sore, Leo bersiap-siap. Ia mencium kening Clara, dengan senyum yang terlihat sempurna. "Aku akan segera kembali, Sayang," katanya, nada suaranya seperti biasa, penuh kasih sayang yang dibuat-buat.

Setelah pintu apartemen tertutup dan suara langkah kaki Leo menghilang, Clara bergegas mengambil flash drive itu dari persembunyiannya. Ia juga mengambil ponsel lamanya yang hancur. Ia tidak akan lari. Ia akan menghadapi Leo.

Jantung Clara berdebar kencang saat ia menunggu. Setiap menit terasa seperti satu jam. Ketika suara kunci berputar di pintu, Clara berdiri tegak di tengah ruang tamu, memegang flash drive itu dengan erat. Wajahnya tidak lagi menunjukkan rasa takut, melainkan tekad yang membara.

Leo masuk dengan senyumnya yang biasa, namun senyum itu langsung memudar saat ia melihat ekspresi Clara. "Ada apa?" tanyanya, nada suaranya berubah menjadi dingin.

"Kita harus bicara," jawab Clara, suaranya tenang, namun penuh ketegasan.

"Bicara tentang apa?" Leo meletakkan tasnya di sofa dan berjalan mendekat. "Kau tahu aku tidak suka ekspresi itu di wajahmu, Clara. Aku pikir kita sudah sepakat bahwa aku yang akan memberimu inspirasi."

Clara mengabaikan kata-katanya. Ia mengangkat flash drive itu. "Aku tahu segalanya," katanya. "Aku tahu siapa kau sebenarnya."

Wajah Leo berubah. Topengnya hancur. Matanya yang tadinya terlihat hangat kini menjadi sepasang mata predator yang siap menyerang. "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya, suaranya datar. "Kau tidak tahu apa-apa."

"Aku tahu tentang Annelise Prawira," kata Clara, suaranya bergetar. "Aku tahu tentang Cynthia Valerino. Aku tahu tentang daftar korban-korbanmu. Aku tahu kau bukan hanya seorang pacar yang posesif, Leo. Kau adalah monster."

Leo terdiam. Selama beberapa detik, tidak ada yang bersuara selain detak jantung Clara yang memekakkan telinga. Lalu, Leo mulai tertawa. Tawanya tidak keras, namun terdengar sangat mengerikan.

"Kau pikir kau sudah menang?" kata Leo, melangkah mendekat. "Kau pikir dengan sebuah flash drive kotor, kau bisa menjebakku? Kau naif sekali, Clara."

"Flash drive ini berisi semua yang kau lakukan," jawab Clara, mencoba untuk tetap berani. "Aku sudah menyalin semua file. Aku akan memberikan ini kepada polisi, dan mereka akan melihat betapa menjijikkannya kau."

"Polisi?" Leo menghela napas, seolah-olah ia sedang berhadapan dengan anak kecil. "Kau pikir mereka akan memercayai seorang wanita histeris yang tidak stabil sepertimu? Terutama, setelah aku menunjukkan kepada mereka pesan-pesan yang kau kirimkan kepadaku, di mana kau terlihat tidak waras. Atau rekaman suaramu yang berteriak-teriak kepadaku, mengancamku. Aku sudah merencanakan ini, Clara. Aku sudah mempersiapkan alibi. Aku sudah merekam setiap ucapan marahmu, setiap teriakan histerismu. Jika kau berani ke polisi, mereka akan menganggapmu gila. Mereka akan menganggapmu penipu. Dan kau akan berakhir di rumah sakit jiwa."

Clara merasa lututnya lemas. Dia tidak pernah memikirkan hal itu. Leo tidak hanya menyebarkan kebohongan, dia juga membuat bukti-bukti palsu. Dia adalah seorang ahli strategi yang kejam, yang selalu selangkah lebih maju.

"Tapi aku punya bukti-bukti ini," kata Clara, suaranya putus asa.

"Bukti-bukti yang bisa aku hancurkan dalam hitungan detik," Leo mencibir. "Aku bisa membuat email-email itu terlihat seperti editan. Aku bisa bilang itu semua hanya khayalanmu. Dan kau tahu apa yang akan terjadi, Clara? Kau akan kehilangan segalanya. Karir senimu, teman-temanmu, bahkan ibumu. Aku akan memastikan tidak ada yang akan memercayaimu."

Mendengar nama ibunya, Clara merasa amarahnya kembali memuncak. Ia tidak akan membiarkan Leo menghancurkan orang-orang yang ia cintai.

"Kau tidak bisa mengancamku lagi!" teriak Clara. "Aku tidak takut padamu!"

Clara melemparkan flash drive itu ke arah Leo, berharap ia akan tertangkap basah. Namun, Leo dengan cekatan menangkapnya, lalu mematahkan flash drive itu menjadi dua di hadapan Clara.

"Permainan selesai, Clara," kata Leo, dengan nada dingin yang menusuk. "Kau kalah."

Clara merasa dunianya hancur berkeping-keping. Leo telah menghancurkan satu-satunya harapannya, satu-satunya senjatanya. Ia merasa putus asa, lemah, dan tak berdaya. Ia melihat wajah Leo, yang kini penuh dengan seringai kemenangan.

"Sekarang," kata Leo, melangkah mendekat. "Kita akan bermain permainanku. Permainan yang aku ciptakan untukmu. Dan kau tidak akan pernah bisa lari lagi."

Leo menarik tangan Clara dan mendorongnya ke dalam kamar tidur. Ia mengunci pintu, lalu menyalakan televisi. Di layar, ada sebuah rekaman. Itu adalah Clara, di studio seninya, sedang melukis. Rekaman itu menunjukkan Clara berbicara sendirian, lalu tiba-tiba berteriak histeris, seolah-olah ada orang lain di sana. Namun, Clara tahu, itu semua adalah editan. Leo telah mengambil rekaman suara dari percakapan mereka, dan menggabungkannya dengan rekaman video Clara yang sedang melukis, menciptakan sebuah narasi palsu yang menakutkan.

Clara tidak lagi bisa menahan air matanya. Dia menyadari, Leo tidak hanya mengendalikan hidupnya, tapi juga realitasnya. Leo telah menciptakan sebuah dunia di mana dia adalah korban yang tidak bersalah, dan Clara adalah seorang wanita gila yang perlu "diselamatkan". Dan tidak ada yang akan memercayai ceritanya, karena Leo telah merencanakan segalanya dengan sempurna.

Clara terperosok ke lantai, menangis tanpa suara. Ia tahu bahwa konfrontasinya adalah sebuah kesalahan. Ia telah memberikan Leo kesempatan untuk menghancurkan harapan terakhirnya. Ia tidak lagi memiliki apa-apa. Ia tidak lagi memiliki dirinya sendiri.

Setelah konfrontasi yang menghancurkan itu, Clara merasa jiwanya kosong. Ia tidak lagi memiliki harapan, tidak ada lagi kekuatan untuk melawan. Leo telah berhasil menghancurkan segala yang ia miliki: keberanian, harapan, dan bahkan realitasnya sendiri. Ia seperti boneka yang tali-talinya telah putus, tergeletak tak berdaya di lantai apartemen yang dulunya ia sebut rumah.

Leo, di sisi lain, tampak puas. Ia kembali ke persona yang menawan dan penuh kasih sayang, seolah-olah konfrontasi itu tidak pernah terjadi. Ia menggendong Clara yang menangis dan membaringkannya di tempat tidur. Ia membelai rambutnya dengan lembut, berbisik kata-kata manis yang kini terdengar seperti mantra kosong. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Jangan pernah mencoba melawan lagi. Aku tidak ingin melihatmu sedih."

Keesokan harinya, Leo mulai menjalankan rencana berikutnya. Ia tahu Clara masih memiliki satu hal yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri—pameran seni yang sudah lama ia persiapkan di Galeri Aurora. Pameran itu adalah impian Clara, titik balik dalam karirnya yang ia pikir akan membawanya ke puncak. Dan Leo tahu, dengan menghancurkan impian itu, ia akan menghancurkan jiwa Clara sepenuhnya.

Leo mulai mengirimkan email anonim ke pemilik Galeri Aurora, Tuan Julian. Ia menggunakan email palsu yang dibuat dengan nama samaran, dan menuliskan cerita-cerita mengerikan tentang Clara. Ia menuduh Clara sebagai penipu, pencuri, dan seorang seniman yang tidak stabil secara mental.

"Saya kenal Clara," tulis Leo dalam email itu, "dan saya ingin memperingatkan Anda. Dia adalah seorang seniman yang tidak stabil. Dia mencuri ide-ide dari seniman lain dan mempresentasikan karyanya sebagai miliknya. Dia juga memiliki riwayat kekerasan dan seringkali mengancam orang-orang di sekitarnya. Jika Anda membiarkan pameran ini terjadi, reputasi galeri Anda akan hancur."

Leo tidak hanya berhenti di situ. Ia juga mengedit rekaman video Clara yang ia buat sebelumnya, rekaman yang menunjukkan Clara berbicara dan berteriak sendirian di studionya. Ia lalu mengirimkan video itu ke Tuan Julian sebagai bukti. Video itu adalah sebuah manipulasi yang brilian, dan Tuan Julian, yang tidak tahu apa-apa, mulai merasa ragu.

Tuan Julian mencoba menghubungi Clara, namun Leo selalu ada di sana, menjawab teleponnya, dan memberikan alasan-alasan palsu. Ia mengatakan bahwa Clara sedang sakit dan tidak bisa diganggu. "Saya akan menyampaikan pesan Anda," kata Leo, dengan nada yang ramah dan meyakinkan. "Clara pasti akan sangat bersemangat mendengar Anda menelepon."

Clara, yang terperangkap di apartemen, tidak tahu apa-apa tentang apa yang sedang terjadi. Leo masih membiarkannya melukis, namun hanya lukisan-lukisan gelap yang ia suka. Clara melukis dengan tangan kosong, matanya kosong, jiwanya kosong. Lukisan-lukisannya menjadi cerminan dari kehancuran yang ia alami. Namun, dalam lukisan-lukisan itu, ada sebuah pesan tersembunyi. Clara melukis sebuah mata yang tersembunyi di balik kegelapan, sebuah mata yang menatap Leo dengan penuh kebencian dan tekad untuk melawan. Leo tidak menyadarinya. Ia hanya melihat kegelapan yang ia ciptakan.

Suatu sore, Leo pulang dengan senyum lebar di wajahnya. Ia melihat Clara sedang melukis di studio. Ia mendekat, memeluk Clara dari belakang, dan berbisik di telinganya. "Ada kabar baik, Sayang. Pameranmu di Galeri Aurora... dibatalkan."

Clara menjatuhkan kuasnya. Jantungnya berhenti berdetak. "Apa... apa maksudmu?" tanyanya, suaranya bergetar.

"Tuan Julian meneleponku," jawab Leo, dengan nada palsu yang penuh simpati. "Dia bilang dia harus membatalkan pameranmu. Dia bilang dia mendapatkan beberapa informasi yang tidak menyenangkan tentangmu. Tapi jangan khawatir, Sayang. Aku di sini untukmu. Aku akan memberimu pameran yang lebih baik. Pameran yang hanya untuk kita. Pameran yang hanya akan aku lihat."

Clara merasa dunia di sekitarnya hancur. Impian yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, hancur dalam hitungan detik. Ia menatap Leo, dan ia melihat seringai kemenangan di balik senyum palsunya. Leo telah berhasil. Ia telah menghancurkan satu-satunya hal yang Clara miliki.

"Kau... kau yang melakukannya, kan?" bisik Clara, air matanya mengalir di pipinya. "Kau yang mengirimkan email-email itu. Kau yang menghancurkan pameranku."

Leo melepaskan pelukannya dan berjalan mundur, matanya dingin. "Aku? Kenapa aku harus melakukan itu? Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Pameran itu hanya akan membawamu ke dunia yang penuh dengan orang-orang jahat. Aku hanya melindungimu."

Clara tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ia melihat kebohongan yang terpampang di wajah Leo. Ia melihat betapa kejam dan mengerikannya Leo. Dalam keputusasaan yang mendalam, ia meraih sebuah palet warna yang penuh dengan cat minyak. Ia tidak lagi melihat cat itu sebagai alat untuk melukis, melainkan sebagai senjata. Ia tidak lagi melihat Leo sebagai kekasih, melainkan sebagai musuh yang harus dihancurkan.

Ia bangkit dan melemparkan palet itu ke wajah Leo. Cat-cat warna-warni membasahi wajahnya, menutupi senyum palsunya. Leo terkejut, namun kemarahan dengan cepat menguasai dirinya. Ia menatap Clara, matanya menyala.

"Kau berani," bisik Leo, suaranya penuh ancaman. "Kau berani melakukan ini kepadaku."

Clara tidak peduli. Ia merasa kekuatan baru, kekuatan dari kemarahan yang sudah lama ia tahan. Ia meraih sebuah kuas cat, yang memiliki ujung yang tajam, dan ia melompat ke arah Leo. Ia tidak lagi melihat Leo sebagai manusia, melainkan sebagai monster yang harus ia bunuh. Ia menusuk Leo dengan kuas itu, tepat di bahunya. Darah mengalir, dan Leo berteriak kesakitan.

Clara terus menusuknya, memukulnya, berteriak, mengeluarkan semua rasa sakit dan amarah yang ia rasakan selama ini. Leo, yang terkejut dengan keberanian Clara, hanya bisa mencoba melindunginya. Ia akhirnya berhasil mendorong Clara hingga ia terjatuh dan kepalanya membentur sudut meja.

Clara tergeletak tak sadarkan diri, darah mengalir dari kepalanya. Leo, yang kini terluka dan berlumuran darah, menatap Clara dengan pandangan dingin. Ia mengambil ponselnya dan menelepon polisi. Ia menyeka darahnya dan mulai mengedit rekaman kamera pengintai di apartemennya, merekam adegan itu.

Ia akan membuat cerita yang baru. Cerita di mana ia adalah korban, dan Clara adalah seorang wanita gila yang menyerangnya tanpa alasan. Dan tidak ada yang akan memercayai Clara. Tidak ada yang akan menyelamatkannya. Karena dunia telah sepenuhnya ia kendalikan.

Kesunyian yang memekakkan telinga merayap di apartemen. Hanya suara tetesan darah yang jatuh dari kening Clara yang membentur lantai yang memecah keheningan. Clara tergeletak tak sadarkan diri, genangan darah perlahan melebar di bawah kepalanya. Leo, dengan bahu yang berlumuran cat dan darah, menatap Clara dengan pandangan dingin dan perhitungan. Tidak ada jejak kemarahan, hanya ketenangan mengerikan dari seorang arsitek yang sedang mengamati hasil karyanya.

Ia melangkah mundur, mengambil ponselnya. Dengan jari-jari yang tenang, ia memutar nomor polisi. Suaranya terdengar panik yang dibuat-buat, namun di balik itu, ada kepuasan yang tersembunyi. "Tolong! Ada keadaan darurat! Pacarku... pacarku mengamuk dan menyerangku!"

Sambil menunggu polisi datang, Leo dengan cepat memulai operasinya. Ia mengambil lap dan membersihkan cat dari wajahnya, lalu membersihkan darah dari bahunya. Ia memastikan bahwa luka di bahunya tidak terlalu besar, cukup untuk terlihat seperti ia diserang, namun tidak terlalu parah sehingga ia harus dibawa ke rumah sakit. Ia lalu mengambil kamera pengintai yang ia pasang di studio dan mulai mengedit rekaman. Ia memotong bagian di mana Clara menyerangnya, dan hanya meninggalkan adegan di mana Clara terlihat histeris, berteriak, dan memukul-mukul dirinya sendiri, seolah-olah ia adalah orang yang tidak waras.

Clara, yang kini sedikit sadar, merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Ia mencoba bangkit, namun kegelapan kembali menelannya. Ia melihat Leo berdiri di atasnya, wajahnya yang penuh topeng terlihat samar. Ia mencoba berteriak, mencoba meminta bantuan, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah rintihan lemah.

Ketika sirene polisi terdengar dari kejauhan, Leo kembali ke sisi Clara. Ia berlutut di sampingnya, dengan raut wajah yang penuh kepalsuan. Ia memegang tangan Clara, berbisik di telinganya. "Lihat, Sayang. Lihat apa yang kau lakukan. Kau membuatku terluka. Aku tidak ingin ini terjadi."

Clara merasa mual. Ia tahu Leo sedang membangun narasi, narasi di mana ia adalah korban yang tidak bersalah. Ketika polisi masuk, mereka melihat pemandangan yang dibuat Leo: Leo yang terlihat terluka, Clara yang tergeletak tak sadarkan diri dengan luka di kepala, dan studio yang berantakan.

Seorang petugas polisi mendekati Leo, yang sedang berpura-pura panik. "Apa yang terjadi di sini?" tanya petugas itu.

"Dia... dia mengamuk," jawab Leo, suaranya gemetar. "Dia tiba-tiba menjadi histeris dan menyerangku. Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya mencoba menenangkannya, tapi dia memukul kepalanya sendiri."

Petugas yang lain mendekati Clara. Mereka melihat luka di kepalanya dan darah yang mengalir. Mereka memanggil ambulans. Sementara itu, petugas polisi yang lain memeriksa apartemen. Leo mengarahkan mereka ke rekaman kamera pengintai yang sudah ia edit.

"Ini buktinya," kata Leo. "Dia sudah tidak stabil sejak beberapa waktu lalu. Aku sudah berusaha membantunya, tapi dia menolak. Aku tidak tahu harus berbuat apa."

Polisi melihat rekaman itu. Mereka melihat Clara yang terlihat gila, berteriak-teriak dan memukul-mukul dirinya sendiri. Mereka melihat Leo yang terlihat mencoba menenangkannya, namun Clara terus melawan. Rekaman itu adalah bukti yang sempurna, bukti yang membuat Clara terlihat seperti penjahat, dan Leo sebagai korban.

Ketika ambulans datang, Clara dibawa pergi. Ia tidak sadarkan diri selama perjalanan. Leo mengikutinya, berpura-pura menjadi kekasih yang khawatir. Di rumah sakit, dokter mendiagnosis Clara dengan trauma kepala dan syok berat. Ia juga diperiksa oleh psikiater, yang mendengarkan cerita Leo.

Psikiater itu, yang terpengaruh oleh narasi Leo, menyimpulkan bahwa Clara menderita gangguan mental yang serius. Ia merekomendasikan agar Clara dirawat di rumah sakit jiwa. Leo, dengan wajah yang penuh kesedihan palsu, setuju. "Lakukan apa pun yang terbaik untuknya," kata Leo, dengan suara yang bergetar. "Aku akan selalu ada untuknya."

Ketika Clara sadar, ia berada di sebuah ruangan yang serba putih. Ia tidak bisa melukis, tidak bisa bertemu dengan teman-temannya. Ia tidak memiliki ponsel, tidak memiliki laptop. Ia terisolasi dari dunia luar. Ia mencoba menjelaskan kepada para suster dan dokter apa yang sebenarnya terjadi, namun tidak ada yang memercayainya. Mereka semua hanya melihatnya sebagai pasien yang tidak stabil, yang sedang berhalusinasi.

Sementara itu, Leo memberikan pernyataan resmi kepada polisi, mengatakan bahwa ia telah menjadi korban kekerasan yang mengerikan. Ia menunjukkan luka di bahunya, dan rekaman video yang ia edit. Polisi, yang telah melihat bukti-bukti itu, menutup kasus itu sebagai "serangan yang dilakukan oleh individu yang tidak stabil secara mental."

Leo, dengan persona yang sempurna, menjadi sorotan media. Ia tampil di beberapa acara berita, menceritakan "kisah pilu" nya. Ia menceritakan bagaimana ia mencoba membantu pacarnya, Clara, yang ternyata menderita gangguan mental. Ia bahkan menangis di depan kamera, meminta agar masyarakat tidak menghakimi Clara. Ia terlihat seperti pahlawan, kekasih yang sempurna, yang telah melakukan segalanya untuk orang yang dicintainya.

Clara, yang terperangkap di rumah sakit jiwa, mendengar cerita-cerita itu. Ia melihat berita di televisi, melihat wajah Leo yang penuh kepalsuan. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya kalah dalam pertempuran fisik, tapi juga dalam pertempuran narasi. Leo telah berhasil memenangkan hati masyarakat, dan ia, Clara, adalah pecundang yang tidak waras.

Malam itu, Clara melihat bayangannya di kaca jendela. Bayangan itu terlihat lemah, rapuh, dan penuh kehancuran. Tapi di matanya, ada sesuatu yang lain. Ada tekad yang dingin dan membara. Ia tahu bahwa ia telah kalah dalam satu pertempuran, tapi perang belum berakhir. Ia akan keluar dari tempat ini. Ia akan membalas dendam. Dan ia akan memastikan Leo membayar atas semua penderitaan yang ia sebabkan. Ia tidak lagi merasa takut. Ia hanya merasa marah. Dan kemarahan itu akan menjadi bahan bakar untuk perjuangan terakhirnya.

Rumah sakit jiwa adalah tempat yang dingin dan asing bagi Clara. Dinding-dinding putih, lorong-lorong sepi, dan tatapan penuh iba dari para perawat adalah pemandangan sehari-hari yang menyambutnya. Namun, di balik semua ketenangan yang dipaksakan itu, di dalam diri Clara, badai amarah berkecamuk. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai korban yang tak berdaya, melainkan sebagai seorang pejuang yang sedang mengumpulkan kekuatannya. Setiap detik di tempat itu adalah bahan bakar untuk rencananya, setiap detik adalah janji untuk membalas dendam.

Leo, di sisi lain, menikmati perannya sebagai pahlawan. Ia sering berkunjung ke rumah sakit jiwa, membawa bunga dan cokelat, berpura-pura menjadi kekasih yang penuh kasih. Ia berbicara dengan para dokter, meyakinkan mereka bahwa Clara membutuhkan perawatan jangka panjang. Ia bahkan berjanji akan membayar semua biaya pengobatan. Di mata semua orang, Leo adalah pria yang sempurna. Namun, di mata Clara, ia adalah iblis yang sedang menikmati kemenangan.

Pada salah satu kunjungan Leo, Clara menyambutnya dengan senyum palsu yang meniru senyumnya. Ia memeluk Leo, berbisik di telinganya. "Aku sangat merindukanmu, Sayang. Maafkan aku."

Leo terkejut, namun ia merasa puas. Ia mengira Clara telah hancur sepenuhnya, dan kini ia bisa kembali mengendalikan Clara dengan mudah. "Aku juga merindukanmu, Clara," katanya, dengan nada yang penuh kepalsuan. "Tapi kamu butuh waktu di sini. Kamu butuh bantuan."

Clara mengangguk, menatapnya dengan mata yang kosong. "Aku tahu. Tapi aku merasa aku sudah lebih baik. Aku merasa aku sudah sembuh."

Clara mulai berakting. Ia melukis dengan warna-warna cerah, berbicara dengan tenang kepada para perawat, dan bahkan ikut serta dalam terapi kelompok. Ia berpura-pura menjadi pasien yang patuh dan kooperatif, pasien yang sedang dalam proses penyembuhan. Para dokter dan perawat, yang terbiasa dengan pasien yang memberontak, terkesan dengan perubahan drastis Clara. Mereka mulai percaya bahwa Clara benar-benar sudah membaik.

Tiga bulan kemudian, Clara diizinkan pulang. Leo yang menjemputnya. Ia membawa Clara kembali ke apartemen mereka, apartemen yang kini terasa seperti penjara. Leo merasa senang. Ia mengira ia telah memenangkan pertempuran terakhirnya, namun ia tidak tahu, Clara baru saja memulai perangnya.

Clara kembali ke rutinitasnya. Ia melukis, namun lukisannya kini penuh dengan pesan tersembunyi. Ia melukis potret Leo, namun di balik setiap garisnya, ada sebuah mata yang menatap Leo dengan penuh kebencian. Leo tidak menyadarinya. Ia hanya melihat lukisan itu sebagai tanda bahwa Clara telah "sembuh" dan kembali ke jalannya.

Suatu malam, saat Leo sedang tertidur, Clara mengambil ponsel lama Leo yang ia temukan di laci. Ponsel itu dilindungi kata sandi, namun Clara telah mengingatnya dari saat ia masih di rumah sakit jiwa. Leo pernah memberitahu Clara kata sandi itu, dengan alasan "Agar kita tidak memiliki rahasia." Clara membuka ponsel itu dan menemukan sebuah email yang belum terkirim. Email itu dikirim ke sebuah organisasi korban kekerasan, dari akun email palsu yang Leo buat. Di dalam email itu, Leo mencoba untuk memanipulasi organisasi itu, mengatakan bahwa Clara sedang dalam kondisi kritis dan membutuhkan bantuan. Namun, di dalam email itu, ada sebuah kesalahan kecil. Leo lupa menghapus alamat emailnya sendiri dari riwayat email.

Clara menyalin email itu ke flash drive yang baru ia beli dari toko terdekat. Ia juga menyalin alamat email Leo yang asli. Clara tahu, ini adalah bukti yang ia butuhkan. Bukti yang akan menjebak Leo.

Keesokan harinya, Clara mengirimkan email ke ibunya. Email itu berisi semua bukti yang ia miliki: email Leo yang belum terkirim, alamat email Leo yang asli, dan sebuah pesan yang berisi semua cerita tentang manipulasi dan kekerasan Leo. Clara meminta ibunya untuk memberikan bukti-bukti itu kepada polisi, dan meminta agar polisi menyelidiki Leo.

Ibu Clara, yang telah menunggu kabar dari putrinya selama berbulan-bulan, menangis saat membaca email itu. Ia segera menghubungi polisi dan memberikan semua bukti yang ia miliki. Polisi, yang telah melihat kasus Clara dan Leo, merasa ragu. Namun, bukti-bukti yang diberikan ibu Clara terlalu kuat untuk diabaikan. Mereka mulai menyelidiki Leo.

Leo, yang tidak tahu apa-apa, sedang menikmati hidupnya. Ia berpikir ia telah memenangkan segalanya. Namun, suatu sore, polisi datang ke apartemennya. Mereka membawa surat perintah penangkapan. Leo, yang terkejut, mencoba memanipulasi mereka. Ia mencoba mengatakan bahwa ini adalah semua konspirasi Clara, bahwa Clara masih tidak stabil. Namun, polisi tidak mendengarkannya. Mereka memiliki semua bukti yang mereka butuhkan. Mereka memiliki email Leo, mereka memiliki alamat emailnya yang asli, dan mereka memiliki kesaksian dari mantan-mantan pacar Leo yang kini berani berbicara.

Leo ditangkap, dan ia dibawa pergi. Clara berdiri di sana, melihat Leo dibawa pergi, dengan senyum kemenangan yang terpampang di wajahnya. Ia akhirnya membebaskan dirinya, dan juga membebaskan korban-korban Leo yang lain. Ia akhirnya bisa bernapas lega.

Namun, di dalam diri Clara, kehancuran masih ada. Kemenangan ini tidak menghapus trauma yang ia alami. Ia masih melihat bayangan Leo di setiap sudut, ia masih merasa takut setiap kali mendengar suara langkah kaki. Ia masih tidak bisa melukis dengan warna-warna cerah. Jiwanya telah retak, dan tidak ada yang bisa memperbaikinya.

Cerita berakhir dengan Clara yang kembali ke studio seninya, sebuah tempat yang dulunya ia cintai, kini terasa seperti tempat yang asing. Ia melihat kanvas kosong, dan ia mencoba melukis. Namun, yang keluar dari kuasnya hanyalah kegelapan. Ia melukis mata-mata yang kosong, wajah-wajah yang hancur, dan jiwa-jiwa yang retak.

Tepat saat ia selesai melukis, ponselnya berdering. Itu adalah nomor yang tidak dikenal. Clara menjawab, dan ia mendengar suara yang familiar. Suara itu adalah suara Leo.

"Kau pikir kau menang, Clara?" bisik Leo, suaranya terdengar dingin dan mengancam. "Kau pikir dengan menjebakku, kau sudah bebas? Aku akan keluar dari sini. Dan aku akan kembali untukmu. Aku akan memastikan hidupmu menjadi neraka yang sesungguhnya. Dan kau tahu, tidak ada yang akan bisa menyelamatkanmu."

Clara menjatuhkan ponselnya. Ia menyadari, meski Leo berada di penjara, perang belum berakhir. Perang yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia menatap lukisannya, dan ia melihat wajahnya sendiri, dengan mata yang kosong dan jiwa yang hancur. Ia tahu, kehancuran yang ia alami tidak akan pernah sembuh. Dan ia tahu, ia akan hidup dalam ketakutan selamanya. Akhir yang tragis, yang hanya menyisakan pertanyaan, "Apakah akan ada babak baru bagi Clara?"



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)