Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,866
Teman Kamar Yang Kasat Mata
Horor

Bab 1 – Kost Baru, Harapan Baru

Rafi tiba di kota metropolitan seperti seorang musafir modern, hanya saja bekalnya bukan tongkat dan jubah, melainkan ransel punggung yang terasa berat dan koper usang yang menyeret di belakangnya. Di dalam tas itu, terbungkus rapi harapannya untuk masa depan yang lebih baik, dan sedikit kecemasan akan kehidupan baru di Ibukota. Ia baru saja diterima di jurusan ilmu komunikasi universitas negeri ternama, sebuah impian yang kini menjadi kenyataan. Namun, di balik euforia itu, ada satu kendala besar yang membayanginya: biaya hidup yang selangit.

Setelah berhari-hari mencari, menelusuri situs kost online, dan menanyai kenalan, akhirnya ia menemukan sebuah iklan yang tampak terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. "Kost Murah Blok Tiga – Fasilitas Lengkap – Lingkungan Tenang." Fotonya menunjukkan sebuah rumah berlantai dua yang didominasi warna putih, meski catnya sedikit mengelupas di beberapa sisi, namun tampak bersih dan terawat. Lokasinya memang agak pelosok, di kawasan tua bernama Blok Tiga, jauh dari keramaian pusat kota, tapi bagi Rafi, harga sewa yang tertera adalah magnet yang tak tertahankan.

Hari itu, matahari Jakarta yang terik menyengat kulitnya saat Rafi melangkah menapaki jalanan beraspal yang retak-retak menuju alamat kost yang dimaksud. Gangnya sempit, hanya cukup dilewati dua motor berpapasan. Di kanan-kiri, rumah-rumah tua berhimpitan, beberapa dengan jendela kayu yang tertutup rapat, beberapa lagi dengan jemuran yang menggantung lesu. Aroma lembap tanah bercampur bau sampah samar-samar tercium, namun tidak terlalu mengganggu indranya.

Ketika akhirnya ia tiba di depan rumah kost itu, ia terhenti. Bangunan itu memang tampak sepi, terlalu sepi malah. Tidak ada suara tawa, tidak ada musik yang keluar dari jendela, hanya keheningan yang menyelimuti. Namun, kesan seram itu sirna begitu ia melihat pot-pot bunga kamboja yang tertata rapi di teras depan dan lantai keramik yang bersih mengilap. Jendela-jendela kayu berwarna cokelat tampak terawat, memantulkan sedikit cahaya matahari sore.

Seorang wanita tua muncul dari balik pintu yang sedikit terbuka, seperti menyadari kedatangan Rafi. Ia mengenakan daster batik lusuh dan rambutnya disanggul asal-asalan. Wajahnya yang keriput dihiasi senyum ramah yang agak lesu, namun matanya memancarkan kehangatan. Itulah Bu Retno, pemilik kost.

"Oh, kamu Rafi ya?" sapa Bu Retno, suaranya pelan dan serak, namun terasa nyaman di telinga Rafi yang lelah. "Ayo masuk, Nak. Ibu sudah menunggumu."

Rafi mengangguk, meletakkan ranselnya dan menyeret koper masuk ke dalam. Ruang tamu terasa dingin dan remang-remang, dengan sebuah sofa tua berpelapis beludru yang agak usang. Sebuah vas bunga kosong berdiri di atas meja kayu di tengah ruangan.

"Kamarmu di atas, di Blok Tiga," ujar Bu Retno, menunjuk deretan pintu di lantai atas dengan jari telunjuknya yang keriput.

Rafi mengernyitkan dahi. "Blok Tiga?"

"Iya, itu sebutan kami di sini," jawab Bu Retno sambil tersenyum tipis. "Kamar nomor tiga itu. Jangan khawatir, Nak. Kamu sekamar sama Arif, ya. Anak itu pendiam kok. Rajin juga. Jadi kamu enggak sendirian."

Ucapan itu membuat Rafi sedikit terkejut. Ia ingat jelas telah meminta kamar sendiri saat menghubungi Bu Retno lewat telepon. Ia seorang introvert yang lebih suka privasi, apalagi untuk tidur dan belajar. Namun, melihat betapa ramahnya Bu Retno dan betapa murahnya harga sewa yang sudah disepakati, Rafi memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing. Mungkin Arif adalah mahasiswa yang sedang KKN atau pulang kampung, pikirnya. Atau mungkin Bu Retno salah paham. Ia mengangguk dan tersenyum, mencoba menyamarkan rasa herannya.

Bu Retno mengantarnya menaiki tangga kayu yang sedikit berderit. Lorong di lantai atas terasa lebih dingin dan sunyi dibandingkan lantai bawah. Pintu-pintu kamar di sepanjang lorong semuanya tertutup rapat, tanpa suara. Kamar nomor tiga terletak di ujung lorong, sebuah posisi yang cukup strategis. Saat Bu Retno membuka kuncinya, sebuah ruangan berukuran sedang dengan dua tempat tidur single yang sama persis, dua meja belajar kayu sederhana, dan dua lemari pakaian menyambutnya. Jendela kamarnya menghadap halaman belakang yang ditumbuhi pohon mangga tua yang rimbun.

"Ini kuncinya, Nak. Kalau ada apa-apa, panggil saja Ibu di bawah," ujar Bu Retno. "Selamat istirahat ya. Maaf kalau Arif lagi tidak di tempat, dia memang kadang suka pergi mendadak."

Setelah Bu Retno pergi, Rafi meletakkan tasnya di salah satu tempat tidur, yang paling dekat dengan jendela. Ia memeriksa lemari dan meja di sisi lain kamar, yang seharusnya milik "Arif". Namun, tidak ada barang pribadi milik Arif sama sekali. Tidak ada buku, pakaian, alat tulis, atau bahkan sikat gigi di kamar mandi dalam. Kamar itu terasa kosong, seolah hanya ia yang akan menempatinya. Hanya ada tempat tidur yang terpasang sprei bersih, rapi, dan sebuah bantal kosong. Sebuah kejanggalan kecil yang Rafi abaikan, menganggap mungkin Arif memang sangat minimalis atau sedang tidak di tempat. Ia membuka jendela, membiarkan angin sore yang sejuk masuk, mengusir sedikit kelembapan. Ia mulai menata barang-barangnya, masih merasakan sisa kelelahan perjalanan, namun setidaknya, ia punya tempat berteduh.

Bab 2 – Kamar yang Hening

Minggu pertama Rafi di kost berjalan cukup normal, atau setidaknya, terlihat normal di permukaan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal kuliahnya yang padat, dengan keramaian kampus yang kontras dengan keheningan kostnya. Di malam hari, ia akan kembali ke kamar yang selalu hening. Keheningan itu sebenarnya cocok untuknya yang memang seorang introvert, memungkinkannya untuk fokus belajar atau sekadar menikmati ketenangan setelah hiruk-pikuk kampus.

Tempat tidur di sebelahnya selalu rapi, seolah-olah memang ada seseorang yang menempatinya, namun tidak pernah ia lihat. Setiap pagi, sprei di kasur itu tetap terbentang sempurna, bantalnya tidak bergeser sedikit pun. Terkadang, ketika Rafi sedang membaca buku atau mengerjakan tugas di meja belajarnya, ia merasa seolah ada seseorang yang memperhatikannya dari sudut matanya. Perasaan itu datang dan pergi, seperti hembusan angin yang menyentuh tengkuknya. Rafi akan berhenti menulis, menolehkan kepalanya, dan mencari. Setiap kali ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Hanya dinding yang bercat putih kusam, lemari kosong yang tampak dingin, dan kasur di sebelahnya yang selalu tertata rapi, seperti baru selesai dirapikan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya efek dari kelelahan atau mungkin paranoia karena lingkungan baru.

Rafi mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Arif. Ia mencoba bertanya pada Bu Retno, namun wanita tua itu hanya tersenyum samar dan berkata, "Arif memang jarang terlihat, Nak. Anak itu sibuk sekali. Dia rajin kuliah." Jawaban itu tidak memuaskan, tapi Rafi tidak punya alasan untuk mendesak.

Di sela-sela aktivitasnya di kost, Rafi mulai berinteraksi dengan beberapa penghuni lain. Ada Budi, mahasiswa teknik yang selalu memakai kacamata tebal, jarang bicara kecuali jika ditanya, dan selalu terlihat membawa buku-buku tebal. Ada juga Siti, seorang mahasiswi keperawatan yang ramah dan sering tersenyum, dengan rambut dikepang dua. Mereka sesekali berpapasan di lorong yang sunyi, di dapur umum yang selalu bersih, atau di kamar mandi yang agak remang-remang.

Suatu sore, saat Rafi sedang mengambil air minum di dispenser yang terletak di sudut lorong, Siti dan Budi kebetulan lewat. Mereka menyapanya dengan senyum.

"Eh, itu Arif ya?" tanya Siti, matanya melirik ke arah pintu kamar nomor tiga yang sedikit terbuka di mana Rafi baru saja keluar. "Jarang kelihatan ya orangnya."

Rafi tertegun. "Arif?"

"Iya, teman sekamarmu kan?" sambung Budi, yang saat itu sedang mencuci piring di samping mereka. "Orangnya pendiam, tapi baik kok. Dia memang jarang keluar kamar kalau enggak penting banget."

Rafi hanya bisa mengangguk, mencoba menyembunyikan kebingungannya yang semakin besar. Bagaimana mereka tahu tentang Arif? Kenapa mereka semua bersikap seolah Arif itu nyata, padahal Rafi sendiri belum pernah melihatnya? Mereka berbicara seolah Arif adalah teman mereka, akrab dan nyata, seperti tetangga sebelah kamar. Firasat aneh mulai mengusik benaknya. Apakah ia yang terlalu tidak peka? Ataukah ada sesuatu yang lain?

Ia kembali ke kamarnya, keheningan itu terasa semakin pekat, dan perasaan diawasi semakin sering muncul. Terkadang, ia bahkan merasa hembusan napas dingin di lehernya saat ia tertidur. Rafi sering mendapati jendela kamarnya sedikit terbuka, padahal ia yakin sudah menutupnya rapat-rapat sebelum berangkat kuliah. Atau, bantal di kasur Arif sedikit bergeser, seolah baru saja digunakan. Rafi mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya angin atau karena ia yang pelupa. Namun, keraguan itu mulai membesar di benaknya. Ia mulai merasa tidak nyaman.

Bab 3 – Suara di Tengah Malam

Suara-suara itu semakin sering dan semakin jelas. Tidak hanya di tengah malam, tapi kadang di sore hari saat ia sedang tidur siang, atau bahkan saat ia fokus belajar. Gesekan kursi menjadi lebih keras, seperti ada yang benar-benar menariknya, seolah seseorang sedang duduk di meja belajar Arif. Suara air mengalir dari kamar mandi terdengar seperti seseorang sedang mandi, lengkap dengan gemericik air dan kadang suara orang berkumur. Dan yang paling mengganggu, langkah kaki itu terasa semakin dekat, seolah mondar-mandir di antara tempat tidurnya dan tempat tidur kosong di sebelahnya. Langkah kaki itu kadang terdengar berat, kadang ringan, seolah ada lebih dari satu pasang kaki yang bergerak.

Rafi mulai kesulitan tidur nyenyak. Ia sering terbangun di tengah malam dengan jantung berdebar kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menyalakan lampu kamar, berharap bisa menangkap basah 'Arif' atau siapapun yang membuat suara-suara itu, namun kamar itu selalu kosong, hanya dirinya sendiri dan barang-barangnya. Keheningan yang mengikuti suara-suara itu terasa lebih menyeramkan daripada suara itu sendiri. Lampu di koridor kadang berkedip-kedip, seolah ada gangguan listrik, menambah kesan suram di malam hari. Rafi mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya, efek kelelahan akibat jadwal kuliah yang padat, atau mungkin suara dari kamar sebelah. Namun, firasat aneh mulai tumbuh dan mengakar di benaknya.

Suatu pagi, saat sarapan di dapur umum yang sepi, Rafi memberanikan diri bertanya kepada penghuni lain tentang suara-suara aneh ini. Ia melihat Budi sedang menyiapkan mie instan, uap panas mengepul dari mangkuknya, dan Siti baru saja selesai mencuci piring, menyeka tangannya dengan lap lusuh. Mereka berdua adalah yang paling sering ia temui di kost.

"Kalian enggak dengar suara aneh gitu dari kamar?" tanya Rafi, mencoba terdengar santai, meski nada suaranya sedikit gemetar. "Misalnya, suara kursi digeser, atau air mengalir dari kamar mandi di malam hari?"

Budi menoleh, mengernyitkan dahi di balik kacamatanya yang tebal. "Oh, itu... Biasalah, Arif suka begadang. Mungkin dia lagi ngerjain tugas atau ke kamar mandi." Budi mengatakannya dengan nada santai, seolah hal itu adalah kejadian sehari-hari.

Siti ikut menimpali sambil tersenyum, senyumannya terlalu lebar, hampir tidak alami. "Iya, Arif memang gitu. Orangnya rajin, mungkin skripsinya berat. Dia kan mahasiswa teknik, Rafi."

Jawaban mereka membuat Rafi tercengang. "Tapi... aku enggak pernah lihat Arif. Kalian pernah lihat dia?" Suara Rafi sedikit meninggi, tidak bisa lagi menyembunyikan kebingungannya.

Budi dan Siti saling pandang sejenak, lalu Budi tertawa kecil, suara tawanya terdengar kering dan aneh di telinga Rafi. "Ya, kamu kan tahu dia pendiam. Jarang keluar kamar kalau enggak penting."

"Paling ketemu di lorong pas dia mau ke toilet umum," tambah Siti, ekspresi wajahnya datar, meskipun bibirnya tersenyum. "Atau pas subuh-subuh dia balik dari masjid. Dia rajin salat subuh berjamaah di masjid ujung gang."

Rafi merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres. Bagaimana bisa semua orang begitu yakin tentang keberadaan Arif, bahkan sampai tahu kebiasaan salatnya, padahal Rafi yang sekamar dengannya tidak pernah melihat sosok itu? Mereka berbicara seolah-olah Arif adalah teman mereka, akrab dan nyata, sementara bagi Rafi, Arif hanyalah nama dan serangkaian suara misterius.

Perasaan diawasi semakin kuat, bukan hanya di dalam kamar, tapi juga di lorong, di dapur, bahkan di kamar mandi. Setiap kali ia merasa ada "kehadiran" lain di sekitarnya, ia akan menoleh cepat, namun selalu nihil. Hanya ada dinding kosong, bayangan lampu yang berkedip, atau udara dingin yang tiba-tiba menyergap.

Rafi mulai merasa kewarasannya dipertanyakan. Apakah ia terlalu lelah? Apakah ia berhalusinasi? Ia bahkan mulai curiga, jangan-jangan penghuni lain sengaja mengerjainya. Namun, melihat ekspresi polos mereka, senyum yang dingin, dan mata yang kadang terlihat kosong, Rafi tahu itu bukan lelucon. Ada keseriusan dalam setiap ucapan mereka tentang Arif. Keringat dingin mulai membasahi punggung Rafi setiap kali ia memasuki kamarnya. Keheningan yang dulu terasa menenangkan kini berubah menjadi kefanaan yang mencekam. Ia merasa seperti ada di sebuah panggung, dan ia adalah satu-satunya aktor yang tidak tahu naskahnya, bermain di antara bayangan-bayangan yang tak kasat mata.

Bab 4 – Peringatan dari Penjual Makanan

Kecemasan Rafi semakin memuncak. Ia mulai menghindari kamar kost sebisa mungkin. Setelah kuliah, ia akan menghabiskan waktu lebih lama di perpustakaan, menenggelamkan diri di antara rak-rak buku tua, atau di kafe yang ramai, menunda kepulangannya sampai malam larut. Ia mencoba mencari jawaban di internet, mengetikkan "kost Blok Tiga Jakarta" atau "kost angker Blok Tiga", namun tidak menemukan apa-apa yang spesifik, hanya iklan-iklan kost lain atau cerita urban legend yang tidak relevan.

Suatu sore, karena terlalu lapar untuk menunda kepulangan, dan dompetnya mulai menipis untuk makan di kafe, Rafi memutuskan membeli makan di warung nasi goreng langganannya yang terletak beberapa blok dari kost. Warung itu sederhana, hanya sebuah gerobak dengan beberapa meja plastik di pinggir jalan, namun nasi gorengnya terkenal lezat. Penjualnya seorang bapak tua dengan rambut memutih dan wajah berkerut yang sudah lama berjualan di sana. Rafi sering mendengar obrolan bapak itu dengan pelanggan lain, tentang sejarah daerah sekitar, tentang masa lalu Blok Tiga yang dulu sangat sepi.

Saat nasi gorengnya sedang disiapkan di wajan besar yang berasap, Rafi, yang masih gelisah, tanpa sengaja mengarahkan pandangannya ke arah kostnya yang tampak dari kejauhan. Warung itu memang strategis, bisa melihat sebagian besar bangunan di Blok Tiga, termasuk atap kost yang berwarna putih kusam.

"Bapak sudah lama jualan di sini?" tanya Rafi, mencoba memecah keheningan, suaranya sedikit serak.

"Waduh, Nak," jawab bapak itu sambil mengaduk nasi goreng di wajan besar, tanpa menghentikan gerakannya. "Dari muda Bapak jualan di sini. Sudah puluhan tahun. Dulu ini gang sepi banget, gelap gulita kalau malam."

"Berarti Bapak tahu banyak dong tentang daerah sini?" Rafi melanjutkan, nada suaranya sedikit gemetar karena gugup, sebuah harapan kecil mulai menyala di hatinya.

"Tentu saja," sahut bapak itu. "Dari yang awalnya sepi sampai sekarang lumayan ramai begini. Banyak perubahan. Banyak yang bangun rumah baru, tapi ada juga yang tetap kayak dulu."

Rafi mengambil napas dalam-dalam. Ini mungkin kesempatannya untuk mendapatkan jawaban yang selama ini menghantuinya. "Pak, saya mau tanya," ucapnya pelan, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Itu... rumah kost yang warna putih di ujung sana, yang saya tempati sekarang. Bapak tahu ceritanya?" Rafi menunjuk ke arah kostnya.

Bapak penjual itu tiba-tiba berhenti mengaduk nasi goreng. Wajahnya yang keriput berubah masam. Senyum di bibirnya menghilang. Ia menoleh perlahan ke arah Rafi, matanya yang sudah tua memancarkan ekspresi yang sulit diartikan—campuran terkejut, sedih, dan sedikit ketakutan. Ia menatap Rafi seolah baru pertama kali melihatnya.

"Oh, rumah itu ya, Nak," kata bapak itu, suaranya kini terdengar lebih rendah, lebih berat, dan penuh nada kesedihan. Ia menyingkirkan wajan sebentar, lalu menyenderkan tubuhnya ke gerobak, memijat pelipisnya. "Masih ada aja ya yang tinggal di rumah kosong itu, ya?"

Jantung Rafi berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. "Kosong? Maksud Bapak?" ia bertanya, napasnya tertahan di kerongkongan.

Bapak penjual itu mendesah panjang, sebuah desahan yang penuh penyesalan. "Sudah lama rumah itu kosong, Nak. Sejak tragedi 30 tahun lalu. Tidak ada yang berani menempati. Pemiliknya juga tidak pernah kelihatan lagi. Katanya sih jadi rumah hantu. Jadi sarang makhluk halus."

Kepala Rafi terasa pening, seperti dipukul benda tumpul. Darah berdesir dingin di sekujur tubuhnya. "Tragedi apa, Pak?" ia bertanya lagi, nyaris berbisik.

"Kebakaran, Nak. Atau... pembantaian. Berita lama, tapi masih sering disebut-sebut warga sini," jelas bapak itu, matanya menerawang jauh, seolah melihat kembali kejadian masa lalu. "Delapan mahasiswa tewas terbakar di sana. Gosong. Tidak ada yang selamat. Termasuk Bu Retno, ibu kostnya. Katanya sih, jasadnya ditemukan di bawah tangga. Salah satunya, katanya, ada yang namanya Arif, mahasiswa teknik. Orangnya pendiam, sering terlihat belajar di kamarnya. Kamar nomor tiga."

Dunia Rafi seolah runtuh dalam sekejap. Arif. Mahasiswa teknik. Pendiam. Kamar nomor tiga. Bu Retno. Semua detail itu menusuk telinganya seperti ribuan jarum. Rasa dingin menjalari seluruh tubuhnya, bukan dingin karena angin malam, tapi dinginnya ketakutan yang mencekam. Ia menelan ludah susah payah, tenggorokannya terasa kering dan kaku. Nasi goreng di depannya sudah tidak terasa lapar lagi. Rumah itu kosong? Selama 30 tahun? Lalu siapa Bu Retno yang ramah itu? Siapa Budi dan Siti yang selalu menyapanya? Dan siapa yang selama ini berbagi kamar dengannya?

Rafi hanya mampu terdiam, menatap bapak penjual yang kini kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah ia baru saja menceritakan sesuatu yang biasa saja. Pikiran-pikiran mengerikan mulai berputar di benaknya, membangun skenario yang paling menakutkan. Kebenaran yang selama ini samar, kini mulai terbentuk dalam bayangan yang mengerikan, menjeratnya dalam perangkap yang tak terlihat.

Bab 5 – Kebenaran yang Terlupakan

Malam itu, Rafi tidak kembali ke kost. Ia memilih menginap di sebuah losmen murah yang tak jauh dari warung nasi goreng. Kamar losmen yang sempit dan pengap itu terasa lebih aman dibandingkan dengan kamar kostnya yang kini terbayang sebagai sarang hantu. Pikiran tentang percakapannya dengan bapak penjual terus menghantuinya, berputar-putar tanpa henti seperti kaset rusak. Ia tidak bisa tidur, hanya berbaring gelisah di ranjang reyot, menatap langit-langit yang kusam. Rasa takut yang nyata mulai menggantikan kebingungan.

Dengan tangan gemetar, ia membuka laptopnya. Layar laptop yang memancarkan cahaya biru terang terasa seperti satu-satunya jembatan penghubung ke dunia nyata. Ia memulai pencarian yang lebih spesifik. Kata kunci yang ia masukkan kini lebih tajam: "kebakaran kost Blok Tiga 1995" atau "pembantaian mahasiswa Blok Tiga Jakarta". Hasil pencarian mulai bermunculan, satu per satu, seperti tabir yang perlahan tersingkap. Arsip berita lama dari surat kabar-surat kabar digital yang buram, beberapa artikel blog tentang urban legend di kota tersebut, bahkan forum diskusi lokal tentang kejadian misterius.

Satu per satu, kepingan puzzle mulai tersusun, membentuk gambaran yang mengerikan. Sebuah laporan berita dari surat kabar terkemuka yang terbit tahun 1995 menjadi fokus utamanya. Judulnya mencolok, membuat jantung Rafi berdebar kencang: "Tragedi Horor di Blok Tiga: Delapan Mahasiswa Tewas Terpanggang dalam Kebakaran Misterius."

Artikel itu menjelaskan secara rinci. Pada suatu malam yang nahas di tahun 1995, sebuah rumah kost di Blok Tiga dilalap api. Penyebabnya tidak pernah jelas, ada yang bilang korsleting listrik, ada yang bilang kesengajaan, ada pula rumor tentang perampokan yang berujung pada pembantaian. Yang pasti, delapan penghuni kost tewas mengenaskan, terjebak di dalam kobaran api. Jasad mereka ditemukan hangus di kamar masing-masing. Gambar-gambar yang menyertainya sangat buram, hitam-putih, namun cukup untuk membuat perut Rafi mual dan tenggorokannya tercekat. Rumah itu, tanpa diragukan lagi, adalah rumah kost yang sama persis tempat ia tinggal sekarang. Bahkan, di foto lama, tampak jendela dan pintu yang sama persis dengan yang ada di kamarnya.

Ia menemukan daftar nama-nama korban. Dan di antara nama-nama itu, ada satu nama yang membuatnya tercekat, seolah ada tangan dingin yang mencekik napasnya: Arif Hidayat, mahasiswa Teknik Elektro, usia 20 tahun, ditemukan tewas di kamar nomor tiga. Kamar yang sama persis dengan kamar yang ia tempati sekarang. Kamar di mana ia merasa diawasi, di mana suara-suara aneh muncul setiap malam, di mana ada kasur kosong yang selalu rapi.

Air mata mulai mengalir di pipi Rafi. Bukan air mata sedih, melainkan air mata ketakutan yang luar biasa, rasa ngeri yang merayap hingga ke tulang sumsum. Semua kejanggalan yang ia alami selama ini, semua interaksi dengan "penghuni kost" lainnya, semuanya menjadi masuk akal dalam cahaya yang mengerikan ini. Arif Hidayat, teman sekamarnya, telah meninggal 30 tahun lalu. Suara-suara itu bukan imajinasi. Kehadiran yang ia rasakan adalah nyata.

Ia melihat gambar denah rumah kost yang disertakan dalam artikel. Di setiap kamar, ada tanda silang merah, dan nama korban ditulis di sampingnya. Kamar nomor satu (Budi), dua (Siti), empat (Rina), lima (Toni), enam (Dedi), tujuh (Maya), delapan (Adi). Dan di kamar nomor tiga, nama Arif Hidayat terpampang jelas. Nama-nama yang sama dengan "penghuni kost" yang selama ini ia kenal, yang menyapanya, yang mengobrol dengannya. Termasuk nama Bu Retno, ibu kost, yang jasadnya ditemukan di bawah tangga, tempat ia biasa menyambut Rafi.

Rafi mencoba menelepon Bu Retno, namun nomornya tidak aktif. Ia mencoba mencari alamat Bu Retno yang tercantum di kontrak sewa, namun alamat itu adalah alamat kost itu sendiri. Ia memeriksa kembali kontrak sewa, nama pemilik tercantum "Ny. Retno Suryati", dengan alamat yang sama persis dengan kost itu. Tidak ada nomor telepon darurat lain. Ketakutan itu mencengkeramnya erat, membuatnya tak bisa bernapas. Ia tidak bisa kembali ke sana. Namun, semua barang-barangnya, semua dokumen pentingnya, ada di sana. Uang hasil kerja kerasnya untuk kuliah, ijazah, dan semua kenangan masa kecilnya. Ia terjebak dalam dilema yang mematikan, terperangkap di antara ketakutan dan kebutuhan.

Bab 6 – Semua Penghuni Tak Bernyawa

Setelah malam yang penuh teror di losmen, Rafi tahu ia harus kembali. Bukan karena ia berani, melainkan karena semua hartanya, termasuk kartu identitas dan sejumlah uang tunai, ada di sana. Dengan jantung berdebar-debar seperti genderang perang dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, ia kembali ke rumah kost di Blok Tiga keesokan paginya, tepat saat matahari mulai memancarkan sinarnya.

Rumah itu tetap sama, berdiri kokoh di ujung gang yang sepi. Warna putih kusamnya, pot-pot bunga kamboja di teras, semuanya tampak tak berubah. Namun kini, di mata Rafi, setiap sudutnya memancarkan aura kematian, seperti rumah-rumah kosong yang ditinggalkan. Aroma apak yang dulu samar kini terasa pekat, seperti bau tanah kuburan yang baru digali, menusuk hidungnya.

Saat ia melangkah masuk melalui pintu depan yang sedikit terbuka, Bu Retno sudah berdiri di sana, seperti biasa, menyambutnya di teras. Senyumnya masih ramah, namun di mata Rafi, senyum itu kini tampak hampa, seperti topeng yang dipasang pada wajah patung. Matanya cekung, kulitnya terlihat terlalu pucat. "Kenapa baru pulang, Nak? Dicariin Arif lho," ujar Bu Retno, suaranya tetap pelan dan serak, namun kini terdengar seperti bisikan angin yang lewat.

Rafi hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia mencoba melarikan pandangannya dari Bu Retno, seolah jika ia tidak melihatnya, keberadaan Bu Retno akan lenyap. Ia berjalan cepat, menaiki tangga dengan langkah berat, berharap tidak bertemu siapa pun lagi.

Namun, di lorong lantai atas, ia berpapasan dengan Budi dan Siti yang baru saja keluar dari kamar mandi, seolah mereka memang menunggunya. Mereka tersenyum padanya, menyapa seperti biasa. "Eh, Rafi! Dari mana aja? Arif nanyain tuh, tumben enggak kelihatan di kamar," kata Siti riang, senyumnya yang terlalu lebar kini terlihat mengerikan.

Rafi menatap mereka. Wajah Budi yang kaku dengan kacamatanya, senyum Siti yang terlihat datar dan dingin. Kini, di mata Rafi, mereka terlihat pucat, transparan di beberapa bagian, seperti bayangan yang memudar, dan mata mereka tampak kosong, tanpa kehidupan, hanya memancarkan cahaya aneh yang dingin. Ia bahkan merasa bisa melihat tembus beberapa bagian tubuh mereka, seperti cahaya yang menembus kabut. Ia menyadari sebuah kebenaran yang mengerikan: mereka semua adalah hantu. Mereka bukan penghuni kost. Mereka adalah sisa-sisa dari tragedi 30 tahun lalu.

Ia mulai memperhatikan detail-detail kecil yang selama ini ia abaikan, namun kini terlihat jelas dan mencolok. Tidak ada satu pun dari mereka yang pernah terlihat keluar dari gerbang kost. Mereka tidak pernah membawa tas kuliah, tidak ada suara motor atau mobil yang mereka gunakan, tidak ada kendaraan pribadi yang parkir di halaman. Tidak ada tetangga yang berinteraksi dengan mereka selain dirinya. Bahkan suara-suara bising dari jalan raya yang seharusnya terdengar jelas, terasa teredam begitu masuk ke dalam area kost, seolah ada dinding tak kasat mata yang membatasi dunia ini. Ini adalah dunia mereka, dunia para arwah, dan ia terjebak di dalamnya.

Rafi mencoba menghubungi keluarganya. Ia mengeluarkan ponselnya, mencoba mengirim pesan atau menelepon. Namun, begitu ia menginjakkan kaki di dalam area kost, sinyal ponselnya selalu hilang, total tanpa sinyal. Ia bahkan mencoba keluar sebentar, sinyalnya kembali normal, namun begitu ia mencoba menelepon, sinyalnya langsung hilang lagi ketika ia melewati gerbang masuk kost. Seolah ada penghalang tak kasat mata yang menjebaknya di dalam, memutuskan segala kontak dengan dunia luar.

Kepala Rafi berdenyut hebat. Ia merasa paranoid. Setiap suara angin yang menderu, setiap bayangan yang melintas di depannya, setiap keramaian di luar jendela yang hanya bisa ia dengar tanpa bisa ia raih, membuatnya terlonjak. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini tidak nyata, bahwa ini hanya mimpi buruk. Namun, suara-suara di kamarnya, yang kini menjadi lebih sering dan lebih keras, terus membuktikan sebaliknya. Ia melihat bayangan bergerak di sudut mata, mendengar bisikan samar yang memanggil namanya, seperti melodi yang menyeretnya ke dalam kegilaan. Kewarasannya mulai terkikis, lapis demi lapis. Ia merasa seperti sehelai daun kering yang diterbangkan angin, tanpa arah dan tanpa daya.

Bab 7 – Pelarian yang Terlambat

Rafi tidak tahan lagi. Rasa takut telah melumpuhkannya, menguras seluruh energi dan semangat hidupnya. Ia tidak bisa makan, tidak bisa tidur, hanya berbaring di kasurnya yang dingin, menatap kosong ke langit-langit. Berat badannya menyusut drastis, matanya cekung, dan wajahnya pucat pasi. Setiap bisikan, setiap gesekan, setiap langkah kaki yang terdengar di kamar, bagai cambuk yang terus menghantam jiwanya. Ia tahu ia harus pergi, bagaimanapun caranya. Ia akan meninggalkan semua barangnya jika perlu, asalkan ia bisa keluar dari tempat terkutuk itu, dari dunia para arwah yang menjebaknya.

Dengan tangan gemetar, ia menunggu hingga dini hari, saat keheningan kost begitu pekat, begitu mencekam, seolah alam semesta menahan napas. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul tiga pagi. Ia memasukkan beberapa barang penting ke dalam tas kecil yang ia bawa: dompetnya, ponselnya (yang ia tahu tidak akan berfungsi di sini), dan kunci-kunci rumahnya. Keringat dingin membasahi keningnya, menetes di alisnya.

Saat ia mengendap-endap menuju pintu kamar, setiap langkah kakinya terasa memekakkan telinga dalam keheningan yang menakutkan. Ia menahan napas, berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara. Jemarinya yang dingin meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan. Pintu itu terkunci rapat.

Rafi mencoba lagi, memutar gagang pintu dengan seluruh kekuatannya, mendorong dan menarik daun pintu yang terasa begitu kokoh. Ia mendorongnya dengan bahu, menendangnya dengan frustrasi, namun pintu itu seolah menyatu dengan kusennya, tak bergeming sedikit pun. Panik mulai mencengkeramnya, memeras jantungnya hingga terasa nyeri. Ia menabrakkan bahunya ke pintu, menendangnya berkali-kali dengan seluruh tenaganya. Suara benturan itu memekakkan telinga dalam keheningan pagi yang menakutkan, memantul di dinding-dinding yang terasa dingin.

"Tolong! Tolong!" teriak Rafi, suaranya parau dan putus asa, bercampur dengan isak tangis. Ia meninju pintu berkali-kali, menggedornya dengan telapak tangan, berharap ada yang mendengar. Berharap ada penghuni lain yang masih hidup, tetangga, atau siapapun yang bisa menolongnya. Namun, tidak ada jawaban. Lorong tetap gelap dan sunyi, hanya ada gema suaranya sendiri yang kembali padanya, memperkuat rasa sendiriannya.

Dalam keputusasaan yang melanda, ia menoleh ke belakang. Gelap. Namun, dari sudut kamar, bayangan hitam yang samar mulai terbentuk. Bayangan itu perlahan-lahan memadat, melingkar, membentuk siluet seorang pria. Aroma apak dan bau gosong yang samar-samar mulai tercium, bukan lagi samar, tapi pekat, memenuhi ruangan.

Sebuah suara bisikan, seperti desahan napas berat yang dingin, terdengar tepat di belakang telinganya. Bisikan itu menyeramkan, parau, dan sangat dekat, seolah seseorang berdiri persis di belakangnya.

"Kenapa mau pergi?"

Rafi terlonjak, membalikkan badan dengan cepat, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali. Sosok itu kini berdiri beberapa langkah di belakangnya. Bukan lagi bayangan, melainkan wujud transparan seorang pemuda, dengan wajah yang pucat dan mata cekung, seperti arwah yang baru saja bangkit dari liang lahat. Rambutnya tampak acak-acakan, dan ada bekas luka bakar samar di sisi lehernya. Pakaiannya adalah kemeja kotak-kotak usang yang tampak gosong di beberapa bagian. Ini adalah Arif. Wujudnya yang transparan namun jelas, membuat Rafi kehilangan keseimbangan.

Rafi mundur terhuyung, menabrak pintu yang tetap terkunci di belakangnya. Ia mencoba berteriak lagi, namun suaranya tercekat di tenggorokan, hanya keluar berupa erangan pilu.

Arif melangkah maju, perlahan, dengan senyum tipis yang mengerikan di bibirnya yang pucat. "Aku baru saja mau mengenal kamu." Suaranya terdengar berbisik, namun jelas, dan dingin hingga menusuk tulang, membuat Rafi merasakan nyeri tajam di dadanya. "Kita akan jadi teman baik, Rafi. Sama seperti yang lain. Kita semua di sini. Selamanya."

Rafi menatap mata Arif. Di mata yang cekung itu, ia melihat kehampaan yang tak terbatas, namun juga keinginan yang kuat. Keinginan untuk tidak sendirian. Keinginan untuk memiliki teman, untuk memiliki kehidupan yang telah direnggut darinya 30 tahun lalu. Rafi tahu, ia tidak akan pernah bisa keluar. Ia akan menjadi bagian dari mereka, penghuni abadi di Kamar Kosong di Blok Tiga. Tubuhnya lemas, ia ambruk ke lantai, air mata mengalir deras membasahi pipinya.

Bab 8 – Kamar Terakhir

Waktu menjadi konsep yang kabur bagi Rafi. Hari berganti malam, dan malam berganti hari, namun di dalam kamar nomor tiga, tidak ada yang berubah. Ia masih di sana, terjebak dalam lingkaran tanpa akhir. Arif tidak pernah pergi. Ia selalu ada, berdiri di sudut kamar, duduk di meja belajar yang kosong, atau bahkan berbaring di kasur di sebelahnya, mengawasi setiap gerakannya dengan mata cekung yang tak berkedip. Terkadang, "Arif" akan mendekat, berdiri di samping kasur Rafi, dan hanya menatapnya tanpa suara, membuat bulu kuduk Rafi merinding.

Rafi mencoba melawan, berteriak hingga tenggorokannya sakit, menendang pintu hingga kakinya memar dan berdarah. Namun, pintu itu tetap terkunci, kokoh seperti batu nisan. Ia mencoba memecahkan jendela, mengambil vas bunga kosong yang ada di kamar dan membantingnya ke kaca, namun kaca itu seolah terbuat dari baja, tak mampu dihancurkan. Setiap usahanya hanya membuahkan kelelahan yang luar biasa dan keputusasaan yang lebih dalam. Kekuatan fisiknya terkuras habis, dan semangat hidupnya padam.

Arif tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Terornya adalah teror psikologis yang kejam. Ia akan terus berbicara, bisikannya menusuk sanubari Rafi, menceritakan kenangan-kenangan masa lalu yang ia alami di kamar itu, di kost itu, bersama teman-temannya yang kini juga menjadi hantu. Rafi mendengar cerita tentang Budi yang selalu belajar hingga larut malam, Siti yang selalu menyiapkan makan malam untuk mereka semua, Rina yang sering tertawa riang, dan berbagai cerita hidup lainnya. Cerita-cerita itu terdengar normal, tentang kehidupan mahasiswa pada umumnya, namun diucapkan oleh bibir pucat seorang hantu, dengan mata cekung yang tak berkedip, membuat bulu kuduk Rafi merinding, membayangkan kengerian kematian yang mereka alami.

Perlahan, Rafi mulai menyerah. Suaranya menjadi serak karena terus berteriak. Matanya cekung karena kurang tidur, dipenuhi lingkaran hitam. Ia berhenti mencoba melarikan diri. Ia hanya duduk di sudut kamarnya, memeluk lututnya yang gemetar, menatap kosong ke dinding yang kusam. Ia mulai berhalusinasi, melihat bayangan-bayangan lain muncul dan menghilang di sekeliling kamar. Ia mendengar suara tawa riang, suara musik yang diputar dari radio tua yang tidak ada wujudnya, suara obrolan santai yang mengisi kost di masa lalu. Ia bahkan melihat "Bu Retno" datang membawakan makanan, "Budi" mengajaknya belajar bersama, "Siti" menceritakan hari-harinya, semuanya terasa nyata di benaknya yang kacau.

Kewarasannya terkikis, sedikit demi sedikit. Batas antara kenyataan dan ilusi mulai kabur. Ia mulai tersenyum sendiri, terkadang tertawa tanpa sebab, atau menangis tanpa suara. Ia berbicara dengan "Arif" seolah-olah ia nyata, seolah-olah mereka benar-benar berteman. Ia menerima keberadaan para hantu di sekitarnya sebagai teman-teman barunya. Ia tidak lagi ketakutan. Hanya ada penerimaan.

Suatu pagi, cahaya matahari yang redup masuk melalui jendela yang berdebu, menerangi partikel-partikel debu yang menari-nari di udara. Rafi duduk di tempat tidurnya, matanya terbuka lebar namun kosong, tanpa ekspresi. Rambutnya acak-acakan, tubuhnya kurus kering, seperti mayat hidup. Di sampingnya, kasur Arif masih rapi, namun kini terasa lebih berat, seolah ada yang berbaring di sana, berbagi keheningan abadi. Rafi tersenyum, menatap lurus ke depan, ke arah kasur kosong itu, seolah ia melihat Arif di sana.

"Iya, Rif," bisiknya, suaranya parau dan nyaris tak terdengar. "Aku di sini. Kita enggak akan pernah sendirian lagi. Kita akan selamanya bersama."

Ia meraih tangannya ke samping, seolah menggapai tangan yang tidak ada. Wajahnya menunjukkan ekspresi damai yang mengerikan, sebuah kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam kegilaan.

Pagi datang, tapi tidak ada siapa pun yang keluar dari kamar nomor tiga.

Tamat.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)