Masukan nama pengguna
Arga terbangun. Punggungnya terasa nyeri, kepalanya berdenyut, dan di sekitarnya, keheningan terasa seperti jerat yang mencekik. Bau karat dan lumut menguar dari dinding-dinding batu yang dingin dan lembap. Kabut tebal menyeruak dari jendela-jendela tinggi yang berjejer, meresap ke dalam ruangan seperti napas raksasa yang dingin. Arga memijat pelipisnya. Ingatan akan kecelakaan itu kembali, tajam dan menyakitkan.
Kecelakaan itu terjadi di tengah malam. Hujan deras, jalanan licin, dan sebuah truk yang datang dari arah berlawanan entah bagaimana kehilangan kendali. Saat ia tersadar, mobilnya sudah ringsek, teronggok di pinggir jalan seperti kaleng sarden yang penyok. Di sampingnya, istrinya, Aura, terbaring tak bergerak. Wajahnya yang damai, rambutnya yang basah, dan mata yang tertutup rapat, semuanya masih jelas terukir dalam ingatan Arga. Itulah gambaran terakhir yang ia lihat dari istrinya.
Setelah kecelakaan, Arga memutuskan untuk pindah. Ia tidak sanggup lagi tinggal di rumah lamanya, di mana setiap sudut, setiap celah, dan setiap perabotnya berteriak-teriak tentang kehadiran Aura. Ia membutuhkan tempat baru, tempat yang kosong, tempat yang tidak memiliki kenangan. Dan di sinilah ia sekarang, di sebuah rumah tua di pinggir kota yang nyaris tak berpenghuni. Rumah itu didapatnya dari seorang agen properti yang menawarkan harga sangat murah. Kata agen properti itu, pemilik sebelumnya sudah meninggal dan tidak ada ahli waris.
Rumah itu jauh dari kata nyaman. Dinding-dindingnya mengelupas, lantai kayunya berderit, dan banyak sarang laba-laba yang tergantung di sudut-sudut ruangan. Kabut tebal selalu menyelimuti hutan di sekelilingnya, menciptakan suasana yang suram dan mencekam. Namun, Arga menyukainya. Ia merasa bahwa suasana suram itu selaras dengan perasaannya.
Hari-hari Arga berlalu dengan monoton. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan kecil di rumah itu, dikelilingi oleh buku-buku tua yang berdebu. Suatu sore, saat ia sedang membersihkan rak buku di sudut ruangan, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tersembunyi. Kotak itu tidak terkunci. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku harian tua. Halaman-halamannya yang menguning terlihat lusuh, dan sampulnya sudah sobek di beberapa bagian.
Rasa ingin tahu yang begitu kuat mendorongnya untuk membuka buku harian itu. Awalnya, ia tidak menyadari apa yang ia baca. Ia hanya membaca tulisan tangan yang indah, dengan kalimat-kalimat yang puitis dan mengalir. Namun, semakin ia membaca, semakin ia menyadari bahwa buku harian itu bukanlah buku harian biasa. Itu adalah catatan dari seorang psikopat.
Pemilik buku harian itu menceritakan obsesinya pada kecantikan wanita. Ia mendeskripsikan betapa indahnya mata wanita saat menatapnya, betapa lembutnya rambut mereka saat dipegang, dan betapa merdunya suara tawa mereka saat ia membuat lelucon. Ia menggambarkan wanita-wanita itu sebagai “karya seni” yang harus diabadikan, harus disimpan selamanya, sehingga kecantikan mereka tidak akan pernah pudar.
Deskripsi itu membuat Arga merinding. Ia menyadari bahwa “mengabadikan” yang dimaksud bukanlah dalam arti yang positif. Pemilik buku harian itu menceritakan dengan rinci bagaimana ia menculik wanita-wanita itu, bagaimana ia menyiksa mereka, dan bagaimana ia akhirnya membunuh mereka. Ia menggambarkan pembunuhan-pembunuhan itu sebagai sebuah “ritual” yang sakral. Ia menceritakan bagaimana ia menguliti kulit mereka, memisahkan tulang-tulang mereka, dan menyatukan kembali potongan-potongan tubuh mereka menjadi sebuah “karya seni” yang sempurna.
Arga merasa mual. Ia merasa tangannya gemetar, dan ia hampir menjatuhkan buku harian itu. Ia harusnya berhenti, ia harusnya membuang buku itu ke dalam api, ia harusnya melupakannya. Namun, entah kenapa, ia tidak bisa. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang menahannya, sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Arga kembali ke tempat tidurnya, mengambil buku harian itu, dan membacanya lagi. Ia membacanya dari awal sampai akhir, mengulang-ulangnya, mencoba memahami setiap kata, setiap kalimat. Ia membaca tentang obsesi sang psikopat, tentang hasratnya yang tak terbendung, tentang kepuasan yang ia rasakan saat membunuh. Semakin ia membaca, semakin ia merasa bahwa buku harian itu bukan hanya sekadar buku harian. Itu adalah sebuah manifesto, sebuah panduan, sebuah undangan.
Suatu malam, Arga sedang membaca buku harian itu di ruang tengah, saat ia melihat sebuah bayangan wanita di sudut ruangan. Bayangan itu samar-samar, tetapi ia dapat melihat lekuk tubuhnya, rambutnya yang panjang, dan gaunnya yang putih. Bayangan itu mirip dengan Aura, istrinya. Arga terdiam, napasnya tertahan di tenggorokan. Ia mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi bayangan itu tetap ada, menatapnya dengan tatapan kosong.
Arga mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya halusinasi. Ia masih belum pulih dari trauma kecelakaan, dan wajar jika ia berhalusinasi. Namun, setiap malam, bayangan itu selalu muncul. Kadang di sudut ruangan, kadang di balik jendela, kadang di depan pintu kamar. Bayangan itu tidak pernah mendekat, tetapi selalu ada, mengawasinya, menunggu.
Ketakutan Arga berubah menjadi obsesi. Ia mulai mencari tahu tentang pemilik rumah tua itu, tentang psikopat yang menulis buku harian itu. Ia pergi ke perpustakaan kota, mencari-cari arsip koran lama, dan ia menemukan apa yang ia cari. Pemilik rumah itu adalah seorang pria bernama Aldo, seorang seniman yang menghilang secara misterius bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya, dan banyak yang percaya bahwa ia telah meninggal.
Namun, yang membuat Arga terkejut adalah deskripsi tentang Aldo. Ia digambarkan sebagai seorang pria yang karismatik, cerdas, dan tampan. Ia dikenal sebagai seorang seniman yang eksentrik, yang memiliki obsesi pada kecantikan wanita. Banyak wanita yang mengaguminya, tetapi tidak ada yang tahu bahwa ia adalah seorang pembunuh.
Arga kembali ke rumah, membawa buku harian itu. Ia merasakan sebuah hubungan yang aneh dengan Aldo. Ia merasa bahwa ia dan Aldo memiliki persamaan, sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh sesuatu yang mengerikan. Ia merasa bahwa ia sedang berjalan di sebuah jalan yang sama, sebuah jalan yang gelap, sebuah jalan yang mengerikan.
Ia mencoba melawan. Ia mencoba membuang buku harian itu, membakarnya, atau menguburnya. Namun, setiap kali ia mencoba, sebuah kekuatan aneh menghentikannya. Tangannya gemetar, pikirannya berteriak, dan sebuah suara bisikan halus terngiang di telinganya. Suara itu berbisik, “Jangan… Jangan buang… Jangan lupakan…”
Arga tidak tahu siapa yang membisikkan kata-kata itu. Apakah itu suara hati nuraninya yang rusak? Atau apakah itu suara dari roh Aldo yang telah merasukinya? Arga tidak tahu. Yang ia tahu, ia tidak bisa lagi membuang buku harian itu. Buku harian itu telah menjadi bagian dari dirinya.
Suatu hari, saat Arga sedang membaca buku harian itu, ia melihat bayangan wanita yang lain. Bayangan itu bukan lagi bayangan istrinya. Kali ini, bayangan itu memiliki rambut pirang dan mata biru. Arga terdiam. Ia tahu bahwa bayangan itu adalah salah satu korban Aldo. Ia merasa takut, ia merasa mual, ia merasa bahwa ia telah terjebak dalam sebuah mimpi buruk.
Arga mencoba melarikan diri dari rumah itu. Ia mengemasi barang-barangnya, mengambil kunci mobil, dan berlari keluar. Namun, saat ia membuka pintu depan, kabut tebal di luar terasa lebih pekat, lebih dingin, lebih mencekik. Ia tidak bisa melihat apa pun, ia tidak bisa mendengar apa pun. Kabut itu seperti dinding, yang mengurungnya di dalam rumah itu.
Ia kembali ke dalam, menjatuhkan dirinya di sofa. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa melarikan diri. Ia terperangkap di dalam rumah itu, di dalam kabut itu, di dalam buku harian itu. Arga memeluk lututnya, menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu bagaimana caranya melarikan diri dari kegelapan ini.
Saat ia sedang menangis, ia melihat sebuah bayangan yang lain. Bayangan itu memiliki rambut hitam dan senyum yang manis. Bayangan itu adalah Maya, wanita yang baru saja pindah ke rumah di seberangnya. Arga terdiam. Hatinya berdegup kencang, dan sebuah pikiran aneh muncul di benaknya. Sebuah pikiran yang sama dengan apa yang tertulis dalam buku harian Aldo.
“Karya seni… Karya seni yang sempurna…”
Arga menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir pikiran itu. Namun, pikiran itu tetap ada, kuat, dan menggerogoti setiap sel di dalam tubuhnya. Ia menatap ke jendela, di mana ia bisa melihat Maya sedang menyirami tanamannya. Wanita itu terlihat cantik, ceria, dan penuh kehidupan.
Arga mengambil buku harian itu, membukanya, dan membaca kata-kata yang ditulis oleh Aldo. “Setiap karya seni membutuhkan sebuah pengorbanan…”
Arga menutup buku harian itu. Ia merasa bahwa ia telah mencapai sebuah titik balik. Ia harus memilih, antara menjadi dirinya sendiri, atau menjadi Aldo. Arga tidak tahu apa yang akan ia pilih. Yang ia tahu, ia sudah tidak bisa lagi kembali. Jalan yang ia pijak telah menjadi terlalu gelap, terlalu dalam, terlalu jauh. Ia telah terjebak dalam sebuah labirin yang tak berujung, di mana setiap sudut, setiap celah, dan setiap jalan mengarah pada kehancuran.
Kabut pagi itu terasa lebih tebal, lebih berat. Arga menatap jendela kamarnya, melihat dunia luar yang seakan lenyap ditelan awan kelabu. Di dalam, keheningan rumah tua itu kini terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang nyaman, melainkan keheningan yang berisi bisikan-bisikan halus, bisikan yang hanya bisa ia dengar. Arga mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan itu semakin kuat, seperti melodi yang terus diputar di dalam kepalanya.
Bisikan itu menceritakan tentang Maya, wanita yang tinggal di rumah seberang. Bisikan itu menggambarkan rambutnya yang pirang bagai emas, matanya yang biru seperti langit, dan tawanya yang merdu bagai lonceng. Arga mencoba melawan. Ia berteriak, “Pergi! Pergi dari kepalaku!” Tetapi bisikan itu tidak pergi. Ia hanya tertawa, tawa yang terdengar seperti tawa Aldo, sang psikopat dari buku harian.
Arga mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia seringkali menemukan dirinya berdiri di depan jendela, menatap rumah Maya. Ia mengamati setiap gerak-gerik wanita itu, dari saat ia menyirami tanaman di halaman hingga saat ia membaca buku di teras. Ia merasa seolah-olah ia adalah seorang pengamat, seorang penikmat, seorang penggemar. Perasaan ini membuatnya takut. Ia merasa bahwa ia tidak lagi menjadi Arga, melainkan menjadi Aldo.
Suatu sore, Arga memberanikan diri untuk keluar rumah. Ia berjalan ke arah rumah Maya. Jantungnya berdebar kencang, tangannya berkeringat. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan, atau apa yang akan ia katakan. Ia hanya tahu bahwa ia harus mendekati wanita itu.
Ia melihat Maya sedang memotong bunga mawar di halaman. Wanita itu terlihat sangat cantik, seperti lukisan yang hidup. Arga berjalan mendekat, dan Maya mengangkat kepalanya. Matanya yang biru menatap Arga, dan senyum manisnya merekah di bibirnya.
“Halo,” kata Maya dengan suara lembut. “Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Apakah Anda penghuni baru di sini?”
Arga merasa lidahnya kelu. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menatap mata biru itu, dan merasakan sebuah dorongan aneh di dalam dirinya. Dorongan itu adalah dorongan untuk menyentuh Maya, untuk merasakan kulitnya, untuk mencium rambutnya yang pirang.
“Ya,” jawab Arga, akhirnya. “Nama saya Arga.”
“Senang berkenalan dengan Anda, Arga. Nama saya Maya,” kata Maya. “Apakah ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak,” jawab Arga. “Saya hanya… Saya hanya ingin berkenalan.”
Maya tersenyum. “Tentu. Saya juga.”
Mereka mengobrol selama beberapa saat. Mereka berbicara tentang rumah tua itu, tentang kabut yang selalu menyelimuti hutan, dan tentang pekerjaan mereka. Maya adalah seorang pelukis. Ia melukis pemandangan alam, tetapi juga sering melukis potret. Saat ia mengatakan itu, Arga merasakan sebuah getaran aneh di dalam dirinya. “Pelukis… Seperti Aldo…” pikirnya.
Sejak saat itu, Arga dan Maya sering bertemu. Mereka sering mengobrol di teras rumah Maya, minum kopi, dan berbagi cerita. Maya adalah seorang wanita yang cerdas, baik hati, dan penuh dengan kehidupan. Semakin Arga mengenalnya, semakin ia merasa bahwa Maya adalah sebuah anugerah, sebuah cahaya di dalam kegelapan hidupnya.
Namun, di saat yang sama, ia merasakan sebuah dorongan yang semakin kuat untuk menyakiti Maya. Setiap kali ia melihat senyumnya, ia membayangkan bagaimana senyum itu akan hilang saat ia mencekiknya. Setiap kali ia mendengar tawanya, ia membayangkan bagaimana tawa itu akan berubah menjadi jeritan. Pikiran-pikiran ini membuatnya takut, membuatnya jijik pada dirinya sendiri.
Arga mencoba menjauhi Maya. Ia berhenti datang ke rumahnya, ia mengabaikan sapaannya, ia berpura-pura bahwa ia tidak ada. Tetapi Maya adalah wanita yang gigih. Ia sering datang ke rumah Arga, membawakan kue, atau sekadar mengajak Arga untuk mengobrol. Arga tidak bisa menolak. Ia merasa bahwa ia adalah seekor tikus yang sedang terjebak di dalam jebakan, dan Maya adalah sepotong keju yang tak bisa ia hindari.
Suatu malam, Arga sedang membaca buku harian Aldo. Ia membaca tentang obsesi Aldo pada mata wanita, bagaimana ia mengabadikan mata-mata itu, bagaimana ia menyimpannya di dalam stoples. Tiba-tiba, ia melihat sebuah bayangan lain yang lebih gelap, lebih menyeramkan. Bayangan itu adalah bayangan Aldo. Bayangan itu berdiri di depan Arga, menatapnya dengan senyum licik.
“Kau tidak bisa lari dariku,” bisik bayangan itu. “Kau adalah aku. Aku adalah kau.”
Arga berteriak. Ia melempar buku harian itu ke dinding. Ia berdiri dan mencoba memukul bayangan itu, tetapi tangannya hanya menembus udara. Ia jatuh ke lantai, napasnya tersengal. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa bahwa ia telah mencapai batasnya.
Ia mengambil buku harian itu lagi, membacanya. Ia membaca tentang sebuah ritual yang dilakukan oleh Aldo. Ritual itu dilakukan di malam hari, di bawah cahaya bulan purnama. Ritual itu membutuhkan sebuah persembahan, sebuah “karya seni” yang hidup, yang cantik, yang sempurna.
Saat ia membaca itu, ia menatap ke jendela. Ia melihat bulan purnama yang bersinar terang, dan ia melihat rumah Maya. Ia merasa bahwa sebuah kekuatan aneh sedang mengendalikannya. Ia berdiri, mengambil pisau tajam dari dapur, dan berjalan menuju pintu. Ia tahu apa yang akan ia lakukan. Ia akan mengikuti jejak Aldo, ia akan menyelesaikan “ritual” yang sudah lama tertunda.
Ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Ia hanya bisa melihat tubuhnya bergerak, tangannya yang gemetar memegang pisau tajam, kakinya yang melangkah menuju rumah Maya. Air mata mengalir di pipinya. Ia tidak mau melakukannya. Ia tidak mau menjadi pembunuh. Tetapi suara bisikan di dalam kepalanya terlalu kuat, dan dorongan di dalam dirinya terlalu kuat.
Arga mengetuk pintu rumah Maya. Maya membuka pintu, dan ia tersenyum. “Arga! Saya senang Anda datang,” katanya. “Saya baru saja membuat teh. Mari masuk.”
Arga masuk ke dalam rumah. Ia melihat sekeliling. Rumah Maya bersih, rapi, dan hangat. Sebuah lukisan yang belum selesai teronggok di atas kanvas, sebuah pemandangan hutan yang diselimuti kabut. Arga menatap lukisan itu, dan ia tersadar. Lukisan itu adalah lukisan yang sama dengan pemandangan di sekitar rumahnya.
“Anda melukis ini?” tanya Arga.
“Ya,” jawab Maya. “Bukankah indah? Kabut itu… Ia seperti memeluk kita, menyelimuti kita dari dunia luar.”
Arga terdiam. Ia melihat matanya yang biru, senyumnya yang manis, dan ia merasakan sebuah perasaan yang campur aduk. Ia merasa bahwa ia adalah seekor monster, dan Maya adalah seorang malaikat.
“Ada apa, Arga?” tanya Maya. “Anda terlihat pucat.”
Arga tidak menjawab. Ia hanya menatap pisau tajam di tangannya. Ia melihat bayangan dirinya sendiri di pisau itu, bayangan yang memiliki mata merah menyala dan senyum licik. Bayangan itu bukan dirinya. Bayangan itu adalah Aldo.
Ia mencoba melawan. Ia mencoba menjatuhkan pisau itu. Tetapi tangannya menolak untuk melepaskannya. Ia berteriak di dalam hatinya, “Jangan! Jangan lakukan ini!” Tetapi suaranya tidak keluar. Suara bisikan di dalam kepalanya terlalu kuat.
“Arga?” tanya Maya lagi, dengan nada yang khawatir.
Arga mengangkat kepalanya. Ia melihat Maya, dan ia melihat sebuah pilihan. Pilihan untuk membunuh, atau pilihan untuk mati. Ia tahu bahwa ia tidak bisa membunuh Maya. Ia tidak bisa menjadi seperti Aldo.
Dengan sisa kekuatannya, ia menunjuk pisau itu ke arah dirinya sendiri. Maya berteriak ketakutan. Arga menutup matanya, dan ia mendorong pisau itu ke dalam dadanya sendiri. Ia merasa bahwa ia telah kalah, bahwa ia telah mati, tetapi ia mati sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai Aldo.
Arga terbangun. Ia terbaring di ranjang, napasnya tersengal. Kepalanya berdenyut, dan di sekelilingnya, keheningan rumah tua itu terasa seperti jerat yang mencekik. Kabut tebal menyeruak dari jendela-jendela tinggi, meresap ke dalam ruangan seperti napas raksasa yang dingin.
Arga memegang dadanya. Ia tidak merasakan sakit. Ia tidak melihat luka. Ia melihat tangannya, dan ia menyadari bahwa ia masih hidup. Ia melihat pisau tajam itu, tergeletak di samping tempat tidurnya, dan ia menyadari bahwa ia telah bermimpi.
Tetapi, apakah itu benar-benar mimpi? Arga tidak tahu. Ia tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ia tidak tahu apakah ia masih hidup, atau apakah ia sudah mati. Ia hanya tahu bahwa ia telah kalah, ia telah kalah dalam pertarungan melawan dirinya sendiri, melawan Aldo.
Ia berdiri, mengambil buku harian itu, dan membacanya lagi. Kali ini, ia membaca kata-kata yang ditulis oleh Aldo dengan senyum di bibirnya. Senyum itu bukan senyum Arga. Senyum itu adalah senyum Aldo.
Ia melihat ke jendela. Di sana, ia melihat rumah Maya. Ia melihat Maya sedang menyiram tanamannya, dan ia melihat keindahan yang sempurna. Ia melihat sebuah karya seni yang harus diabadikan, harus disimpan selamanya.
Arga tidak lagi takut. Ia tidak lagi jijik. Ia hanya merasa sebuah kepuasan yang aneh. Ia merasa bahwa ia telah menemukan tujuannya, ia telah menemukan sebuah alasan untuk hidup.
Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus menyelesaikan ritual yang telah lama tertunda. Ia harus membuat “karya seni” yang sempurna. Ia harus menjadi Aldo.
Malam itu, kabut di luar jendela terasa lebih tebal, lebih pekat, seolah-olah alam itu sendiri sedang bersekongkol dengan kegelapan yang merasuk ke dalam diri Arga. Di ruang tamu, Arga duduk di kursi tua, buku harian Aldo tergeletak di pangkuannya. Namun, kali ini, ia tidak membacanya. Ia hanya membelai-belai sampulnya yang usang, seakan membelai sahabat lama. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi ketakutan dan kebimbangan, kini digantikan oleh ketenangan yang dingin, sebuah senyum tipis yang tak sampai ke mata. Senyum itu adalah senyum puas seorang psikopat yang telah menemukan tujuannya.
Arga tidak lagi mendengar bisikan-bisikan. Ia telah menjadi bisikan itu sendiri. Suara Aldo yang dulu terasa asing dan menakutkan, kini terdengar seperti suaranya sendiri, seperti suara hati nuraninya yang baru. Suara itu memberitahunya bahwa ia harus mempersiapkan segala sesuatunya. Ia harus memastikan “karya seni” yang akan ia ciptakan sempurna, abadi, dan tak tertandingi.
Ia mulai mengamati Maya dari jendela, bukan lagi dengan rasa takut, melainkan dengan rasa kagum yang gila. Setiap gerak-gerik Maya, setiap detail dari penampilannya, ia rekam di dalam pikirannya. Rambut pirangnya yang panjang, mata birunya yang seakan menyimpan seluruh samudera, dan tawa renyahnya yang seringkali terdengar hingga ke rumahnya. Arga melihat Maya sebagai sebuah kanvas kosong yang siap untuk diukir, sebuah patung marmer yang siap untuk dibentuk, sebuah “karya seni” yang siap untuk diabadikan.
Namun, ia juga tahu, ia harus berhati-hati. Aldo, dalam buku hariannya, telah menjelaskan betapa pentingnya kesabaran. Seorang seniman sejati tidak terburu-buru. Seorang seniman sejati meluangkan waktu, mempersiapkan segalanya dengan hati-hati, memastikan bahwa tidak ada cacat, tidak ada kesalahan, tidak ada kejanggalan.
Arga mulai mempersiapkan segalanya. Ia berjalan ke gudang tua di belakang rumah, yang dulunya digunakan oleh Aldo sebagai studio seninya. Di sana, ia menemukan banyak peralatan tua, pisau pahat, palu, dan berbagai macam alat yang tidak ia kenal. Ia juga menemukan sebuah ruangan bawah tanah yang gelap, lembap, dan pengap. Di ruangan itu, ia menemukan sebuah meja operasi tua, yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dengan noda-noda gelap yang mengering di permukaannya. Noda-noda itu adalah sisa dari “karya seni” Aldo yang sebelumnya. Arga menyentuh noda-noda itu dengan jemarinya, merasakan sebuah hubungan yang aneh dengan sang pendahulu.
Ia membersihkan ruangan bawah tanah itu, menyalakan lilin, dan mempersiapkan semuanya. Ia merasa bahwa ia sedang membangun sebuah kuil, sebuah tempat suci di mana ia akan melakukan ritualnya. Ia merasa bahwa ia tidak lagi seorang Arga, ia adalah seorang pendeta, seorang seniman yang akan menciptakan karya agung terakhirnya.
Hari-hari berlalu. Arga dan Maya masih sering bertemu. Namun, kini Arga tidak lagi merasa canggung. Ia berbicara dengan Maya dengan penuh percaya diri, dengan senyum yang manis, dengan tatapan mata yang dalam dan misterius. Ia tahu bahwa ia sedang menarik Maya ke dalam jaringnya, sebuah jaring yang tidak akan bisa wanita itu lepas.
Maya, di sisi lain, merasa bahwa Arga telah berubah. Ia merasa bahwa Arga yang sebelumnya pemalu dan pendiam, kini menjadi lebih karismatik dan menarik. Ia tidak tahu, bahwa perubahan itu adalah perubahan dari seorang korban menjadi seorang predator. Ia tidak tahu, bahwa tatapan mata Arga yang dalam itu bukanlah tatapan cinta, melainkan tatapan seorang kolektor yang mengagumi sebuah barang antik yang berharga.
Suatu sore, saat Maya sedang melukis di terasnya, Arga datang menghampirinya. Ia melihat lukisan Maya, sebuah lukisan pemandangan hutan yang diselimuti kabut. Namun, kali ini, lukisan itu terlihat berbeda. Di tengah-tengah lukisan, Maya menambahkan sebuah figur wanita, seorang wanita yang memiliki rambut pirang dan mata biru. Arga tersentak. Figur itu adalah Maya sendiri.
“Cantik,” kata Arga, dengan suara yang lembut. “Lukisan ini benar-benar hidup.”
“Terima kasih, Arga,” kata Maya, tersenyum. “Saya melukis ini karena saya merasa bahwa kabut ini… ia seperti sebuah misteri. Saya ingin memecahkannya, ingin masuk ke dalamnya.”
“Itu ide yang bagus,” jawab Arga. “Tapi tahukah kamu, sebuah misteri akan lebih indah jika ia tetap menjadi misteri. Sebuah lukisan akan lebih indah jika ia tetap menjadi lukisan.”
Maya menatap Arga dengan bingung. “Maksudmu?”
“Maksud saya,” kata Arga, dengan senyum yang ganjil, “ada beberapa hal yang harus tetap berada di tempatnya. Seperti… kecantikanmu.”
Maya merasa merinding. Ia merasakan sebuah getaran aneh di dalam dirinya. Tatapan Arga terasa berbeda. Itu bukan tatapan cinta, itu adalah tatapan seorang pemuja. Pemuja yang gila, pemuja yang berbahaya.
Malam itu, Arga kembali ke rumah. Ia duduk di ruang tamu, dan ia membuka buku harian Aldo lagi. Ia membaca sebuah paragraf yang menceritakan tentang bagaimana Aldo menculik korbannya. Aldo tidak menggunakan kekerasan. Ia menggunakan pesonanya, ia menggunakan kata-katanya. Ia membuat korbannya percaya bahwa mereka adalah satu-satunya, bahwa mereka adalah takdirnya. Ia membuat korbannya jatuh cinta padanya, dan saat mereka jatuh cinta, mereka tidak bisa menolak.
Arga menutup buku harian itu. Ia menatap ke luar jendela, melihat rumah Maya. Ia merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat. Dorongan untuk membunuh, dorongan untuk menghancurkan, dorongan untuk menciptakan. Ia tahu bahwa ia sudah tidak bisa lagi kembali. Ia telah melewati garis batas, ia telah menjadi Aldo.
Ia mengambil teleponnya, dan ia menelepon Maya. Suaranya terdengar lembut, hangat, dan penuh dengan rayuan. “Maya,” katanya. “Bisakah kamu datang ke rumahku? Ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan.”
“Ada apa, Arga?” tanya Maya.
“Aku ingin menunjukkan padamu… sebuah karya seni yang belum selesai,” jawab Arga. “Sebuah karya seni yang aku buat khusus untukmu.”
Maya terdiam sejenak. Ia merasa ragu. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar dengan Arga. Namun, suara Arga yang penuh rayuan itu terlalu sulit untuk ditolak. Ia merasa bahwa ia harus datang. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Baiklah, Arga,” kata Maya. “Aku akan datang.”
Arga tersenyum. Senyum itu bukan senyum Arga, senyum itu adalah senyum Aldo. Ia menutup telepon, dan ia berjalan ke dapur. Ia mengambil pisau tajam, dan ia mengasahnya hingga ujungnya berkilau. Ia merasa bahwa ia sedang mempersiapkan sebuah perayaan, sebuah upacara yang sakral.
Ia kembali ke ruang bawah tanah, menyalakan lilin, dan menunggu. Ia tidak merasa takut, ia tidak merasa khawatir. Ia hanya merasa sebuah kegembiraan yang gila, kegembiraan yang mendalam, kegembiraan yang mengerikan.
Ia mendengar suara ketukan di pintu. Jantungnya berdegup kencang, sebuah degupan yang bukan lagi degupan ketakutan, melainkan degupan antisipasi. Ia tahu bahwa “karya seni” terakhirnya akan segera hadir.
Arga membuka pintu, dan ia melihat Maya. Wanita itu terlihat cantik, mengenakan gaun putih yang sederhana. Rambut pirangnya terurai, dan matanya yang biru menatap Arga dengan tatapan yang penuh dengan kebingungan.
“Arga,” katanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Arga tersenyum. Ia tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, dan ia memegang tangan Maya. Tangannya dingin, tetapi genggamannya kuat. Maya merasa merinding. Ia mencoba melepaskan tangannya, tetapi Arga tidak melepaskannya.
“Mari, Maya,” kata Arga, dengan suara yang lembut. “Aku akan tunjukkan padamu… karya seni yang terakhir.”
Arga membawa Maya ke ruang bawah tanah. Maya melihat lilin yang menyala, meja operasi yang berkarat, dan pisau tajam yang tergeletak di atas meja. Matanya membelalak, dan ia menyadari apa yang akan terjadi. Ia menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam sarang seekor singa.
“Arga, apa yang kamu lakukan?” teriak Maya.
Arga tersenyum. Ia mengunci pintu, dan ia memegang pisau tajam itu. “Aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Arga. “Aku hanya… Aku hanya ingin membuatmu abadi.”
Maya berteriak. Ia mencoba lari, tetapi Arga terlalu kuat. Arga memeluknya dari belakang, dan ia membekap mulut Maya. Maya mencoba melawan, tetapi usahanya sia-sia. Ia melihat mata Arga yang merah menyala, dan ia tahu bahwa Arga yang ia kenal telah pergi.
Arga membaringkan Maya di atas meja operasi. Ia membelai rambutnya, ia mencium keningnya. Air mata menetes dari matanya, tetapi itu bukan air mata kesedihan, itu adalah air mata kegembiraan, air mata kepuasan.
“Jangan khawatir, Maya,” bisik Arga di telinganya. “Kau akan menjadi karya seni yang paling indah yang pernah ada.”
Maya hanya bisa menangis, dan menangis. Ia tidak bisa melarikan diri, ia tidak bisa berteriak. Ia tahu bahwa hidupnya akan segera berakhir. Dan di akhir hidupnya, ia tidak bisa menjadi seorang pahlawan, ia hanya bisa menjadi sebuah karya seni.
Arga melihat Maya, yang terbaring tak bergerak di meja operasi. Sebuah perasaan aneh merasukinya, sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Itu bukan kesedihan, bukan penyesalan, melainkan sebuah kepuasan yang mendalam, sebuah kebahagiaan yang gila.
Ia mengambil pisau tajam, dan ia mengayunkannya. Ia mengayunkannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk menciptakan. Ia mengukir wajah Maya, ia memahat matanya, ia memotong rambutnya. Ia merasa bahwa ia tidak lagi membunuh, ia sedang menciptakan. Ia sedang membangun sebuah monumen yang akan abadi.
Arga tidak peduli dengan dunia luar. Ia tidak peduli dengan waktu. Ia hanya peduli dengan karya seninya. Ia bekerja dengan hati-hati, dengan teliti, dengan penuh cinta. Ia merasa bahwa ia dan Maya telah menjadi satu, sebuah entitas yang tak terpisahkan.
Di akhir cerita, Arga selesai. Ia melihat karyanya, dan ia tersenyum. Senyum itu bukan senyum Arga. Senyum itu adalah senyum Aldo, seorang seniman yang telah menemukan magnum opus-nya, sebuah karya seni yang akan abadi selamanya.
Arga duduk di samping meja operasi, memandangi karyanya. Di tangannya, ia memegang buku harian Aldo. Ia membukanya, dan ia menulis sebuah kalimat.
“Karya seni yang paling indah adalah karya seni yang diciptakan dengan cinta, dan diakhiri dengan kematian.”
Di luar, kabut masih menyelimuti rumah tua itu, menyelimuti hutan, menyelimuti dunia. Namun, di dalam rumah itu, kegelapan telah menemukan rumahnya, dan keindahan telah menemukan akhir tragisnya.
Udara di ruang bawah tanah terasa kental, dipenuhi bau anyir dan wangi lilin yang menyengat. Arga duduk di kursi tua, memandangi Maya yang kini telah menjadi "karya seni" terakhirnya. Matanya yang merah menyala kini kembali normal, tetapi di dalamnya, tidak ada lagi jejak kesedihan atau penyesalan. Yang ada hanyalah kepuasan yang dingin dan mendalam. Ia telah mencapai apa yang ia inginkan. Ia telah mengabadikan kecantikan yang sempurna.
Di tangannya, ia memegang buku harian Aldo. Kali ini, ia tidak membacanya. Ia hanya membelai-belai setiap halamannya, merasakan tekstur kertas yang usang dan tulisan tangan yang indah. Buku itu kini terasa seperti sebuah panduan, sebuah kitab suci yang telah menuntunnya pada pencerahan. Arga tidak lagi merasa sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai seorang murid yang telah berhasil melampaui gurunya.
Waktu terasa berhenti di ruang bawah tanah itu. Arga duduk di sana selama berjam-jam, memandangi karyanya. Ia tidak merasa lapar, tidak merasa haus, tidak merasa lelah. Ia hanya merasa penuh, utuh, dan puas. Di luar, fajar menyingsing, kabut perlahan menghilang, dan dunia kembali ke rutinitasnya yang biasa. Namun, di dalam rumah itu, dunia Arga telah berubah selamanya.
Pagi itu, Arga membersihkan ruang bawah tanah. Ia membersihkan meja operasi, ia memadamkan lilin, dan ia menutup buku harian Aldo. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus berada di sana. Ia harus kembali ke dunia luar, ke dunia yang penuh dengan manusia normal. Ia harus kembali ke dalam penyamarannya.
Ia berjalan ke atas, ke kamarnya. Ia mandi, ia mengenakan pakaiannya yang bersih, dan ia mencoba untuk kembali menjadi Arga yang lama, penulis yang pemalu, pendiam, dan pemurung. Namun, ia tahu bahwa itu hanya sebuah peran, sebuah topeng yang ia kenakan untuk menipu orang-orang. Di dalam hatinya, ia tetap seorang Aldo, seorang psikopat yang puas.
Ia berjalan ke dapur. Ia membuat secangkir teh, dan ia duduk di teras rumahnya. Di luar, matahari bersinar terang, burung-burung berkicau, dan kabut telah menghilang. Arga melihat rumah Maya. Di sana, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pintu rumahnya tertutup rapat, dan halaman yang biasanya dipenuhi bunga mawar kini terlihat sepi dan kosong. Arga tersenyum. Ia tahu bahwa ia telah berhasil menyembunyikan kejahatannya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari arah jalan. Ia melihat seorang polisi yang berjalan ke arahnya. Jantung Arga berdebar kencang, tetapi ia berhasil mengendalikan dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa panik. Ia harus tetap tenang, ia harus tetap santai.
Polisi itu adalah seorang perwira muda bernama Bram. Ia adalah seorang perwira yang baru saja dipindahkan ke kota itu. "Selamat pagi, Pak," sapa Bram. "Apakah Anda Arga?"
"Ya, saya Arga," jawab Arga, dengan suara yang tenang. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Bram, dari kepolisian setempat," kata Bram. "Kami menerima laporan bahwa ada seorang wanita yang menghilang dari rumah di seberang sana. Apakah Anda melihatnya?"
Arga menggelengkan kepalanya. "Tidak, saya tidak melihatnya. Saya sibuk menulis di dalam rumah. Saya tidak terlalu sering keluar."
Bram menatap Arga dengan tatapan yang tajam. "Apakah Anda yakin? Tetangga lain mengatakan bahwa Anda dan wanita itu sering terlihat bersama."
"Kami memang sering mengobrol," jawab Arga. "Tetapi beberapa hari ini, saya tidak melihatnya. Mungkin ia sedang pergi berlibur."
Bram tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk, dan ia menatap ke arah rumah Maya. Arga merasa bahwa Bram tidak mempercayainya. Ia merasa bahwa Bram memiliki firasat, sebuah firasat yang bisa menghancurkannya.
"Baiklah, Pak," kata Bram. "Terima kasih atas informasinya. Jika Anda melihat sesuatu, atau mengingat sesuatu, tolong hubungi saya."
"Tentu," jawab Arga. "Tentu saja."
Bram pergi. Arga kembali ke dalam rumahnya, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu bahwa ia telah lolos kali ini, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan bisa lolos selamanya. Bram adalah seorang perwira yang cerdas, dan ia akan kembali.
Beberapa hari kemudian, Bram kembali. Kali ini, ia membawa beberapa perwira lain bersamanya. Mereka memasuki rumah Maya, dan mereka mulai menggeledah. Arga melihat dari jendela kamarnya. Ia melihat mereka mencari-cari, melihat mereka mencoba memecahkan misteri hilangnya Maya. Arga tersenyum. Ia tahu bahwa mereka tidak akan menemukan apa-apa. Ia telah menyembunyikan "karya seninya" dengan sangat baik.
Namun, saat ia sedang memandang, ia melihat Bram datang ke rumahnya. Arga membuka pintu, dan ia melihat wajah Bram yang serius. "Bolehkah saya masuk, Pak?" tanya Bram.
"Tentu," jawab Arga. "Silakan."
Bram masuk. Ia melihat sekeliling, dan ia melihat rak buku yang dipenuhi buku-buku tua. Ia melihat meja kerja yang dipenuhi kertas-kertas, dan ia melihat Arga yang sedang berdiri di depannya.
"Kami tidak menemukan apa-apa di rumah Maya," kata Bram. "Semuanya bersih, rapi, dan tidak ada tanda-tanda perlawanan."
"Mungkin ia memang pergi berlibur," jawab Arga.
"Mungkin," kata Bram. "Tapi ada satu hal yang membuat saya bingung. Maya adalah seorang pelukis, dan di rumahnya, kami menemukan sebuah lukisan yang belum selesai. Lukisan itu adalah lukisan Anda, Pak. Lukisan itu sepertinya baru saja dimulai."
Jantung Arga berdebar kencang. Ia tidak menyadari bahwa Maya sedang melukis potret dirinya. Ia merasa bahwa ia telah membuat sebuah kesalahan, sebuah kesalahan yang bisa menghancurkannya.
"Saya tidak tahu," jawab Arga. "Saya tidak tahu bahwa ia sedang melukis saya."
Bram menatap Arga dengan tatapan yang tajam. "Apakah Anda yakin, Pak? Apakah Anda yakin bahwa Anda tidak tahu apa-apa tentang hilangnya Maya?"
"Saya yakin," jawab Arga. "Saya tidak tahu apa-apa."
Bram tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk, dan ia berjalan ke luar. Sebelum ia pergi, ia menoleh ke arah Arga, dan ia mengatakan, "Saya akan kembali, Pak. Saya akan kembali."
Arga menutup pintu. Ia berjalan ke dapur, mengambil sebotol anggur, dan ia menuangkannya ke dalam gelas. Ia tidak merasa takut, ia tidak merasa khawatir. Ia hanya merasa bahwa ia sedang bermain sebuah permainan, sebuah permainan yang seru, sebuah permainan yang berbahaya.
Ia duduk di sofa, meminum anggurnya, dan ia tersenyar. Ia melihat ke jendela, dan ia melihat kabut yang mulai menyelimuti hutan. Di dalam kabut itu, ia melihat bayangan Aldo. Bayangan itu tersenyum, dan ia mengangguk.
Arga tahu bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menjadi Arga. Ia harus kembali ke dirinya yang asli, ke dirinya yang baru. Ia harus menjadi Aldo, seorang psikopat yang akan bermain sebuah permainan yang akan berakhir dengan tragis, tanpa penyelesaian. Ia tahu bahwa ia akan menang. Ia akan menang, dan tidak ada yang akan bisa menghentikannya.
Arga tersenyum, senyum yang dingin, senyum yang mengerikan. Ia meminum anggurnya, dan ia menunggu. Ia menunggu Bram, ia menunggu polisi, ia menunggu akhir dari permainan ini. Ia tahu bahwa ia akan menang. Ia tahu bahwa ia adalah takdir.
Tiga hari berlalu. Tiga hari yang terasa seperti keabadian bagi Arga. Ketegangan menggantung di udara, setebal kabut di luar jendela. Setiap kali telepon berdering, setiap kali ada ketukan di pintu, jantung Arga berdebar kencang. Namun, itu bukan lagi debaran ketakutan, melainkan debaran antisipasi. Ia merasa seperti seorang aktor yang menunggu gilirannya di atas panggung. Ia tahu, permainannya dengan Bram akan segera mencapai klimaks.
Polisi muda itu benar-benar mengganggu. Ia tidak menyerah. Arga melihat mobil patroli Bram terparkir di depan rumahnya di malam hari, dan ia tahu, Bram sedang mengamatinya. Ia merasa bahwa ia adalah tikus yang sedang dijebak, tetapi ia tahu bahwa ia adalah singa yang sedang berpura-pura menjadi tikus.
Arga tidak lagi menulis. Buku harian Aldo kini menjadi satu-satunya buku yang ia baca. Ia membolak-balik halamannya, membaca setiap kata, setiap kalimat, mencoba menemukan sebuah petunjuk, sebuah ide baru, sebuah inspirasi. Ia menemukan sebuah paragraf yang menceritakan tentang bagaimana Aldo, saat ia sedang terpojok, menggunakan sebuah trik untuk mengalihkan perhatian polisi. Aldo, dalam catatannya, mengatakan bahwa seorang psikopat sejati tidak pernah meninggalkan jejak. Namun, ia juga mengatakan bahwa seorang psikopat sejati tahu bagaimana menciptakan jejak palsu, jejak yang akan menuntun polisi pada kesimpulan yang salah.
Sebuah ide gila muncul di benak Arga. Ia akan menciptakan sebuah jejak palsu. Ia akan membuat Bram percaya bahwa ia adalah korban, bukan pelaku. Ia akan menggunakan kecelakaan mobilnya, kematian istrinya, dan buku harian Aldo sebagai alatnya. Ia akan membuat sebuah cerita yang begitu rumit, begitu meyakinkan, sehingga Bram tidak akan memiliki pilihan lain selain mempercayainya.
Arga mulai bekerja. Ia pergi ke gudang, mencari-cari barang-barang lama milik istrinya. Ia menemukan sebuah kotak yang dipenuhi foto-foto Aura, surat-surat cinta, dan beberapa perhiasan. Ia melihat foto-foto itu, dan ia tersenyum. Bukan senyum kerinduan, melainkan senyum puas seorang manipulator yang telah menemukan alatnya.
Ia kembali ke ruang tamu, dan ia mulai merangkai ceritanya. Ia akan mengatakan bahwa ia dan Aura sering bertengkar, bahwa Aura berselingkuh, dan bahwa ia membunuhnya karena cemburu. Ia akan mengatakan bahwa ia telah menyembunyikan buku harian Aldo, dan bahwa ia telah menjadi gila setelah membaca buku itu. Ia akan mengatakan bahwa ia telah membunuh Maya karena ia melihat bayangan Aura di dalam Maya. Ia akan membuat sebuah cerita yang begitu emosional, begitu tragis, sehingga Bram tidak akan memiliki pilihan lain selain bersimpati padanya.
Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya sendirian. Ia membutuhkan bantuan. Ia membutuhkan seseorang yang bisa ia jadikan kambing hitam, seseorang yang bisa ia salahkan. Dan ia menemukan orang itu. Orang itu adalah Aldo.
Arga berjalan ke ruang bawah tanah. Ia mengambil buku harian Aldo, dan ia membacanya lagi. Ia membaca tentang ritual yang dilakukan Aldo, tentang bagaimana Aldo memotong-motong tubuh korbannya, dan bagaimana ia menyembunyikan potongan-potongan tubuh itu di berbagai tempat. Arga tahu bahwa ia bisa menggunakan informasi ini untuk keuntungannya.
Ia akan mengatakan bahwa ia telah menemukan buku harian ini, dan bahwa ia telah menemukan lokasi-lokasi tersembunyi yang disebutkan dalam buku itu. Ia akan mengatakan bahwa ia telah menemukan potongan-potongan tubuh korbannya, dan bahwa ia telah menyembunyikan potongan-potongan tubuh itu di tempat yang berbeda. Ia akan membuat Bram percaya bahwa ia adalah orang yang tidak bersalah, orang yang telah terjebak di dalam sebuah konspirasi gila.
Arga tersenyum. Rencananya sempurna. Tidak ada celah, tidak ada kelemahan, tidak ada kesalahan. Ia akan menjadi pahlawan yang telah memecahkan sebuah misteri, dan ia akan lolos tanpa hukuman.
Ia mengambil teleponnya, dan ia menelepon Bram. Suaranya terdengar gemetar, panik, dan penuh dengan keputusasaan. "Bram," katanya. "Saya menemukan sesuatu. Saya menemukan sebuah buku harian, dan saya pikir saya tahu apa yang terjadi dengan Maya."
Bram datang ke rumah Arga dalam waktu kurang dari lima menit. Wajahnya serius, tetapi matanya dipenuhi rasa ingin tahu. "Apa yang Anda temukan?" tanyanya.
Arga menunjukkan buku harian Aldo. "Ini," katanya. "Ini adalah buku harian dari pemilik rumah ini sebelumnya, seorang psikopat yang dikenal kejam. Saya menemukannya di gudang. Saya pikir ia adalah orang yang membunuh Maya."
Bram mengambil buku harian itu, dan ia mulai membacanya. Wajahnya berubah dari rasa ingin tahu menjadi terkejut, menjadi ngeri. Ia membaca tentang ritual-ritual yang dilakukan Aldo, tentang bagaimana ia memotong-motong tubuh korbannya, dan bagaimana ia menyembunyikan potongan-potongan tubuh itu di berbagai tempat.
"Saya tidak percaya ini," kata Bram. "Bagaimana bisa Anda menyembunyikan ini dari kami?"
"Saya takut," jawab Arga. "Saya takut jika saya menyerahkannya kepada Anda, saya akan menjadi tersangka. Saya tidak bisa… Saya tidak bisa menjadi pembunuh."
Bram tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya terus membaca. Semakin ia membaca, semakin ia percaya pada cerita Arga. Ia melihat bukti di depan matanya.
"Di mana Maya?" tanya Bram, dengan suara yang gemetar.
"Saya tidak tahu," jawab Arga. "Saya tidak tahu di mana ia berada. Saya hanya tahu bahwa ia adalah karya seni terakhirnya. Saya hanya tahu bahwa ia… telah dimutilasi."
Bram terdiam. Ia melihat Arga yang sedang duduk di depannya, seorang pria yang tampak hancur, seorang pria yang tampak gila. Bram merasa kasihan padanya. Ia merasa bahwa Arga adalah korban, bukan pelaku.
"Apakah Anda punya bukti?" tanyanya. "Apakah Anda punya bukti yang bisa membuktikan apa yang Anda katakan?"
Arga tersenyum. Bukan senyum sedih, melainkan senyum puas. "Ya," jawabnya. "Saya punya bukti. Saya punya bukti yang bisa membuktikan bahwa saya tidak bersalah."
Arga membawa Bram ke gudang. Di sana, ia menunjukkan sebuah kotak yang dipenuhi foto-foto Aura, surat-surat cinta, dan beberapa perhiasan. "Ini," katanya. "Ini adalah barang-barang milik istri saya. Saya menemukannya di gudang ini, di tempat yang sama di mana saya menemukan buku harian itu."
"Apa hubungannya dengan ini?" tanya Bram.
"Aldo," jawab Arga. "Aldo adalah pria yang obsesif. Ia menyimpan barang-barang milik korbannya sebagai trofi. Saya pikir ia… ia menyembunyikan barang-barang itu di gudang ini sebagai bukti kejahatannya."
Bram terdiam. Ia melihat ke arah kotak itu, dan ia melihat foto-foto Aura. Ia melihat senyum Aura yang manis, dan ia melihat kesedihan di mata Arga. Bram merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan sebuah misteri yang begitu rumit, sebuah misteri yang tidak akan bisa ia pecahkan.
"Bagaimana dengan Maya?" tanya Bram.
"Maya," jawab Arga. "Saya tidak tahu. Saya tidak tahu di mana ia berada. Saya hanya tahu bahwa ia telah menjadi korban. Ia telah menjadi korban dari seorang psikopat yang gila."
Bram tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengambil buku harian itu, ia mengambil kotak itu, dan ia pergi. Ia pergi, dan Arga tahu bahwa ia telah menang.
Arga kembali ke dalam rumahnya, jantungnya berdegup kencang, sebuah degupan yang bukan lagi degupan ketakutan, melainkan degupan kemenangan. Ia merasa bahwa ia telah memenangkan sebuah pertandingan, sebuah pertandingan yang begitu berbahaya, sebuah pertandingan yang begitu seru.
Ia duduk di sofa, ia meminum anggurnya, dan ia tersenyum. Ia melihat ke luar jendela, ia melihat kabut yang kembali menyelimuti hutan. Di dalam kabut itu, ia melihat bayangan Aldo. Bayangan itu tersenyum, dan ia mengangguk. Arga tersenyum kembali. Ia tahu bahwa ia tidak lagi sendiri. Ia memiliki teman, ia memiliki guru, ia memiliki dirinya yang baru.
Arga merasa bahwa ia telah menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak lagi seorang penulis yang pemalu, pendiam, dan pemurung. Ia adalah seorang psikopat yang cerdas, karismatik, dan berbahaya. Ia adalah seorang manipulator yang ulung, seorang aktor yang brilian. Ia adalah Arga. Ia adalah Aldo. Ia adalah takdir.
Di kantor polisi, Bram duduk di mejanya, memandangi buku harian Aldo. Ia membacanya lagi dan lagi, mencoba mencari sebuah petunjuk, sebuah celah, sebuah kesalahan. Namun, ia tidak menemukan apa-apa. Buku itu begitu sempurna, begitu meyakinkan, begitu… mengerikan.
Ia melihat ke arah kotak yang berisi barang-barang milik Aura. Ia melihat foto-foto Aura yang tersenyum, ia melihat surat-surat cintanya, ia melihat perhiasannya. Ia merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan sebuah misteri yang tidak akan bisa ia pecahkan. Ia tidak bisa membuktikan bahwa Arga adalah pelaku. Ia tidak bisa membuktikan bahwa Aldo adalah pelaku. Ia hanya bisa menduga, ia hanya bisa berspekulasi.
Bram merasa bahwa ia telah gagal. Ia merasa bahwa ia telah membiarkan seorang pembunuh lolos. Ia merasa bahwa ia telah membiarkan seorang monster lolos. Ia merasa bahwa ia telah membiarkan seorang psikopat lolos.
Namun, saat ia sedang melihat-lihat barang-barang milik Aura, ia menemukan sebuah foto. Foto itu adalah foto pernikahan Arga dan Aura. Di belakang foto itu, ada sebuah tulisan. Tulisan itu adalah tulisan tangan Aura. "Cintaku, Arga. Aku akan selalu bersamamu, bahkan setelah kematian."
Bram terdiam. Ia melihat foto itu, dan ia melihat tulisan itu. Ia melihat ke arah buku harian Aldo, dan ia melihat sebuah tulisan yang berbeda. Bram merasa bahwa ia telah menemukan sebuah petunjuk. Ia merasa bahwa ia telah menemukan sebuah kesalahan. Ia merasa bahwa ia telah menemukan kebenaran.
Bram tersenyum. Senyum itu bukan senyum kemenangan. Senyum itu adalah senyum seorang detektif yang telah menemukan sebuah teka-teki yang sulit, sebuah teka-teki yang berbahaya. Ia tahu bahwa ia akan memecahkannya. Ia tahu bahwa ia akan menang. Ia tahu bahwa ia akan menangkap Arga.
Arga duduk di sofa, meminum anggurnya, dan ia tersenyum. Ia tidak tahu, bahwa di luar sana, permainan itu belum berakhir. Ia tidak tahu, bahwa Bram telah menemukan sebuah petunjuk. Ia tidak tahu, bahwa ia telah membuat sebuah kesalahan, sebuah kesalahan yang akan menghancurkannya.
Ia hanya tahu bahwa ia adalah pemenang. Ia hanya tahu bahwa ia telah lolos. Ia hanya tahu bahwa ia telah menjadi takdir. Namun, ia tidak tahu, bahwa di dalam takdir itu, ada sebuah kesalahan kecil, sebuah kesalahan yang akan menghancurkannya.
Suara derit pintu depan memecah keheningan rumah tua itu. Arga, yang sedang duduk di sofa dengan segelas anggur di tangan, tidak bergerak. Ia tahu siapa yang datang. Ia tahu permainannya telah berakhir.
Di depan pintu, berdiri Bram. Wajahnya tidak lagi serius, melainkan dingin, setajam pisau. Di tangannya, ia memegang sebuah foto pernikahan. Foto Arga dan Aura, istrinya.
“Anda membuat kesalahan, Arga,” kata Bram, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Sebuah kesalahan kecil yang akhirnya membongkar semua kebohongan Anda.”
Arga tertawa pelan. Ia tidak merasa takut, hanya merasa kagum pada detektif muda di depannya. “Setiap seniman pasti membuat kesalahan, Bram. Itu yang membuat karyanya otentik,” jawab Arga, suaranya dipenuhi arogansi.
“Foto ini,” Bram mengacungkan foto itu. “Di belakangnya ada tulisan tangan istri Anda. Saya membandingkannya dengan tulisan tangan di buku harian Aldo. Mereka identik. Tulisan Aura dan tulisan Aldo adalah tulisan yang sama, karena... Aura adalah Aldo.”
Mendengar itu, Arga membeku. Anggur di tangannya tumpah. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi dengan kebingungan dan ketidakpercayaan. Selama ini, ia pikir ia telah dirasuki oleh roh seorang psikopat tua bernama Aldo. Ia pikir ia adalah korban, boneka dari sang pembunuh. Tapi kenyataannya jauh lebih mengerikan.
Bram melanjutkan, “Saat kecelakaan itu, istri Anda tidak meninggal. Ia mengalami cedera kepala parah yang mengubah kepribadiannya. Ia kehilangan sebagian besar ingatannya, tetapi kepribadian psikopatnya, obsesinya pada 'karya seni' yang sempurna, bangkit kembali. Ia menulis buku harian itu, bukan sebagai Aldo, tetapi sebagai dirinya sendiri. Sebuah cara untuk mengabadikan pemikiran gilanya. Nama 'Aldo' hanyalah identitas yang ia ciptakan di masa lalunya yang gelap, dan Anda, Arga, menemukan buku itu dan menganggapnya sebagai orang lain. Istri Anda adalah sang psikopat yang Anda kagumi.”
Arga menggelengkan kepalanya. Otaknya berputar, mencoba memproses informasi yang baru saja ia dengar. Aura, istrinya yang baik hati, lembut, dan penuh kasih, adalah seorang pembunuh berantai? Semua kenangan indahnya bersama Aura, semua cinta yang ia rasakan, semua itu adalah sebuah kebohongan? Sebuah topeng yang dipakai oleh seorang monster?
“Tidak mungkin,” bisik Arga, suaranya serak. “Aura… tidak mungkin…”
“Di hari kecelakaan itu, Aura yang berada di balik kemudi,” jelas Bram, suaranya dingin dan lugas. “Ia memang tidak sengaja, tapi ia tahu setelah kecelakaan, Anda akan menjadi amnesia dan tidak akan mengingat apapun. Dan Anda tidak akan mengingat bahwa ialah yang menyebabkan kecelakaan itu. Ia hanya pura-pura koma, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Ia ingin melihat Anda, suaminya, hancur. Ia ingin melihat Anda mencari-cari kebenaran, dan kemudian menemukan buku harian yang ia tulis. Ia ingin Anda membacanya, dan menjadi dirinya.”
Bram mengeluarkan sebuah pistol dari sarungnya. “Anda adalah korban. Korban dari seorang psikopat yang gila. Tapi Anda memilih untuk mengikuti jejaknya. Anda memilih untuk membunuh Maya. Anda tidak bisa lari dari kejahatan Anda, Arga.”
Arga menatap pistol di tangan Bram, lalu menatap matanya. Ia melihat di sana, bukan kebencian, tetapi sebuah kesedihan yang mendalam. Bram mengerti. Ia mengerti bahwa Arga telah menjadi korban dari sebuah kejahatan yang tidak terbayangkan. Namun, ia juga tahu bahwa Arga telah menjadi monster.
“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Arga, suaranya kembali normal, penuh ketenangan. “Apakah Anda akan menangkap saya? Apakah Anda akan membunuh saya?”
“Saya tidak tahu,” jawab Bram, matanya masih menatap mata Arga. “Saya hanya tahu bahwa Anda harus membayar atas apa yang telah Anda lakukan.”
Arga tersenyum. Senyum itu bukan senyum kemenangan, bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum kehancuran. Ia menyadari bahwa ia telah kehilangan segalanya. Ia telah kehilangan istri yang ia cintai, ia telah kehilangan akal sehatnya, dan ia telah kehilangan dirinya. Ia telah menjadi sebuah boneka, sebuah alat, sebuah mainan yang dimainkan oleh seorang psikopat yang gila.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Bram dan Arga menoleh. Di sana, berdiri seorang wanita. Rambutnya pirang, matanya biru, dan gaun putihnya berlumuran darah. Wanita itu adalah Maya.
Bram terkejut. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Maya. “Maya? Anda hidup?”
Maya tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Senyum itu bukan senyum manis yang Arga kenal. Senyum itu adalah senyum dingin, senyum licik, senyum yang sama dengan senyum yang Arga lihat pada bayangan Aldo.
“Tentu saja,” kata Maya, suaranya lembut namun mengerikan. “Saya adalah 'karya seni' yang paling sempurna yang pernah dibuat. Saya adalah 'karya seni' yang tidak bisa dimatikan.”
Arga dan Bram saling pandang, mencoba memahami apa yang terjadi. Maya melangkah maju, tangannya diangkat. Di tangannya, ia memegang sebuah pisau kecil yang berlumuran darah. Ia memegang pisau itu ke arah dirinya sendiri, dan ia tersenyum.
“Aku ingin menunjukkan padamu, Arga,” katanya, suaranya berbisik. “Bahwa aku tidak bisa mati. Aku tidak bisa mati, karena aku adalah kamu. Kamu adalah aku.”
Dengan cepat, Maya menusuk dadanya sendiri. Arga dan Bram terkejut. Mereka melihat Maya jatuh ke lantai, napasnya tersengal. Darah mengalir dari dadanya, membasahi gaun putihnya. Namun, di matanya, tidak ada rasa sakit, hanya sebuah kepuasan yang aneh.
Bram berjalan mendekat, ia berlutut di samping Maya. Ia memeriksa denyut nadinya, dan ia tidak menemukan apa-apa. Maya telah mati. Namun, saat Bram menyentuh wajahnya, ia merasakan sebuah getaran aneh. Ia melihat matanya, dan ia melihat sesuatu yang mengerikan. Di dalam mata Maya, ia melihat bayangan Arga. Ia melihat dirinya, Arga, yang sedang tersenyum, dengan mata yang merah menyala.
Bram kembali ke Arga, ia menatapnya dengan tatapan yang dingin. “Maya… dia… dia sama seperti kamu. Dia juga korban. Korban dari seorang psikopat yang gila.”
Arga hanya tersenyum. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu bahwa permainannya telah berakhir. Ia telah kalah. Ia telah kehilangan segalanya.
Polisi datang. Mereka menggeledah rumah Arga, mereka menemukan ruang bawah tanah, mereka menemukan meja operasi, mereka menemukan buku harian Aldo. Mereka menemukan bukti-bukti yang tidak terbantahkan. Arga ditangkap.
Di kantor polisi, Arga tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak membela dirinya. Ia hanya duduk diam, dengan senyum di bibirnya. Senyum itu bukan senyum penyesalan. Senyum itu adalah senyum kekalahan, senyum seorang pria yang telah kehilangan segalanya, tetapi telah menemukan dirinya.
Di luar, kabut kembali menyelimuti kota. Bram berdiri di depan kantor polisi, menatap kabut itu. Ia merasa bahwa ia telah memecahkan sebuah misteri, tetapi ia juga merasa bahwa ia telah kalah. Ia tidak bisa menyelamatkan Maya. Ia tidak bisa menghentikan Arga. Ia hanya bisa melihat kehancuran yang terjadi.
Bram tidak tahu apa yang akan terjadi pada Arga. Ia tidak tahu apakah Arga akan dihukum mati, atau apakah ia akan dikirim ke rumah sakit jiwa. Ia hanya tahu bahwa Arga telah menjadi sebuah misteri, sebuah misteri yang tidak akan pernah bisa ia pecahkan. Ia tahu bahwa Arga akan selamanya menjadi korban, selamanya menjadi penjahat, selamanya menjadi Aldo.
Dan di dalam penjara, Arga duduk di selnya, sendirian. Ia tidak merasa sedih. Ia tidak merasa takut. Ia hanya merasa sebuah kepuasan yang mendalam. Ia telah menjadi karya seni yang sempurna. Sebuah karya seni yang diciptakan oleh seorang psikopat yang gila, sebuah karya seni yang berakhir dengan kehancuran.
Arga tersenyum. Ia menatap ke dinding, dan ia melihat bayangan Maya. Bayangan itu tersenyum, dan ia mengangguk. Arga tersenyum kembali. Ia tahu bahwa ia tidak lagi sendiri. Ia memiliki teman, ia memiliki keluarga, ia memiliki dirinya yang baru. Ia tahu bahwa ia akan selamanya berada di sana, di dalam kegelapan, di dalam keheningan, di dalam kehancuran.
Ia tahu bahwa cerita ini tidak akan pernah berakhir. Ia tahu bahwa ia akan selamanya menjadi sebuah cerita horor, sebuah cerita tragis, sebuah cerita tanpa penyelesaian.