Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,192
Cermin Kegelapan
Horor

 


Malam itu pekat, tanpa cahaya bulan menembus tirai awan tebal yang menggantung di atas Hutan Cemara. Di dalam rumah terpencil yang berdiri sendiri di tepi hutan itu, Clara terbangun. Bukan oleh dering jam alarm yang biasanya menyentakkannya dari mimpi, melainkan oleh sesuatu yang jauh lebih halus, namun jauh lebih meresahkan: sebuah bisikan. Bukan bisikan kata-kata, melainkan bisikan keberadaan. Suara aneh, gesekan pelan, seperti langkah kaki yang diseret, datang dari lantai bawah.


Jantung Clara langsung berpacu, memukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Dia tinggal sendirian di rumah ini sejak orang tuanya pindah ke kota lain beberapa bulan lalu. Sebuah rumah warisan yang seharusnya menjadi tempat nyaman, kini terasa dingin dan luas, penuh dengan sudut-sudut gelap yang menyimpan bayangan. Ketakutan pertamanya, yang paling rasional, adalah maling. Kota kecil tempat dia tinggal, Windfall Creek, jarang sekali terjadi kejahatan serius, tapi insiden kecil seperti pembobolan rumah sesekali terjadi.


Dia menahan napas, telinganya menajam. Suara itu berulang, lebih jelas kali ini. Gesek… gesek… seperti sesuatu yang berat diseret di atas lantai kayu ruang tamu. Clara meraih ponselnya di nakas, tangannya gemetar saat mencari ikon senter. Cahaya putih pucat menyinari kamarnya, menyingkirkan bayangan di sudut. Dia memaksa kakinya turun dari ranjang, merasakan dinginnya lantai kayu di telapak kakinya. Setiap serat kayu berderit di bawah bobotnya, suaranya terasa begitu keras di keheningan malam.


"Siapa di sana?" suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyesakkan, diperparah oleh detak jantungnya sendiri yang menggila.


Dia melangkah perlahan menuju pintu kamarnya, mendorongnya sedikit. Ruang tamu di lantai bawah tampak gelap gulita. Hanya ada celah cahaya remang-remang dari jendela dapur yang terbuka sedikit, membiarkan angin malam berembus masuk, membawa serta aroma pinus dan tanah basah. Clara menelan ludah, otaknya berteriak untuk tetap di kamar, mengunci diri. Tapi rasa ingin tahu, atau mungkin naluri pertahanan diri yang primitif, mendorongnya maju. Dia harus tahu.


Senter di tangan kirinya, memancarkan lingkaran cahaya yang menari-nari di dinding, Clara mulai menuruni tangga. Setiap anak tangga terasa seperti jebakan. Derit kayu di bawah kakinya bagai jeritan pelan yang menggaung di seluruh rumah. Di setiap bayangan, dia membayangkan sosok mengintai, sepasang mata mengawasinya dari kegelapan. Sensasi dingin yang aneh ini, bukan hanya dinginnya malam, melainkan sensasi dingin yang lebih dalam, merayapi tulang punggungnya. Ini bukan sekadar maling. Ini… sesuatu yang lain.


Ketika kakinya menapak di lantai dasar, suara gesekan itu berhenti. Hening. Clara mengarahkan senternya ke ruang tamu. Sofa-sofa tertata rapi, meja kopi di tengahnya, perapian yang dingin. Semuanya tampak normal. Dia menghela napas lega, namun napas itu tertahan di tenggorokannya.


Di tengah karpet Persia tua yang memenuhi lantai ruang tamu, sebuah benda aneh tergeletak. Lingkaran cahaya senter Clara menyinarinya. Itu adalah sebuah boneka anak-anak.


Bukan boneka miliknya. Clara yakin. Dia tidak pernah memiliki boneka seperti itu. Boneka itu duduk tegak, kaki ditekuk, tangan terlipat di pangkuan. Pakaiannya lusuh, gaun kapas biru yang pudar. Wajahnya terbuat dari porselen retak, dengan mata biru yang besar, namun kosong, menatap lurus ke arahnya. Senyum tipis yang terukir di bibir boneka itu tampak menyeramkan di bawah cahaya senter yang bergetar.


Napas Clara tercekat. Bagaimana boneka ini bisa ada di sini? Jendela-jendela terkunci dari dalam, pintu terkunci. Dia merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Ini bukan pekerjaan maling. Maling akan mencari barang berharga, bukan meninggalkan boneka usang. Ini adalah pesan. Sebuah ancaman.


Ketakutan yang dingin dan mencengkeram merayapi setiap inci tubuhnya. Dia mundur selangkah, pandangannya terpaku pada mata kosong boneka itu. Seolah-olah boneka itu hidup, mengawasinya. Tiba-tiba, tanpa peringatan, lampu utama di ruang tamu berkedip sekali, lalu mati total. Seluruh rumah tenggelam dalam kegelapan mutlak. Senter di tangan Clara juga mati.


Kegelapan itu menelan segalanya, lebih pekat daripada malam di luar. Clara tidak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang menekan, dan bayangan boneka itu masih terasa nyata di retina matanya. Udara di sekitarnya terasa menipis, menyesakkan. Sensasi dingin yang tadi hanya merayap, kini memeluknya erat, membekukannya di tempat.


Lalu, dari suatu tempat di kegelapan itu, sebuah suara pelan terdengar. Suara itu bukan bisikan gesekan lagi. Kali ini, itu adalah tawa. Tawa pelan, serak, seperti daun kering yang dihancurkan. Tawa itu terdengar begitu dekat, seolah-olah seseorang berdiri tepat di sampingnya, di dalam kegelapan yang sama.


Clara tidak bisa menahannya lagi. Sebuah jeritan lolos dari tenggorokannya, melengking, memecah kesunyian malam yang mencekam. Dia berputar, mencoba melarikan diri, namun dalam kegelapan total itu, dia kehilangan arah. Dia tersandung sesuatu yang tidak terlihat, terhuyung, dan jatuh. Kepalanya terbentur sesuatu yang keras. Pandangannya berputar, kegelapan menjadi lebih gelap, dan bisikan tawa itu menjadi lebih nyaring sebelum semuanya menghilang.


 


Beberapa hari setelah malam mengerikan itu, kehidupan Clara terasa seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Polisi datang, menyelidiki. Mereka memeriksa setiap sudut rumah, setiap jendela, setiap pintu. Mereka tidak menemukan jejak intrusi yang jelas. Tidak ada jendela yang pecah, tidak ada pintu yang terbuka paksa. Mereka bahkan memeriksa sistem listrik rumah, yang mereka anggap sebagai penyebab matinya lampu, namun tidak menemukan masalah berarti.


“Mungkin hanya kelelahan, Nona Clara,” kata seorang polisi muda dengan nada simpati yang terdengar agak meremehkan. “Kadang hal-hal aneh terjadi saat kita terlalu stres.”


Clara mencoba menjelaskan tentang boneka itu, tentang suara-suara, tentang tawa yang dia dengar. Polisi melihat sekeliling, tidak ada boneka. Clara bersumpah boneka itu ada di sana, di tengah karpet. Dia bahkan bisa mengingat detail gaun dan mata porselennya. Namun, polisi hanya mencatatnya dengan tatapan skeptis. Mereka menganggapnya halusinasi akibat syok.


“Mungkin Anda hanya perlu istirahat, Nona,” ujar polisi senior, suaranya lebih tegas. “Jika ada sesuatu yang benar-benar terjadi, kami pasti akan menemukan buktinya.”


Mereka pergi, meninggalkan Clara sendirian lagi, dibayangi keraguan dan rasa tidak percaya. Mereka tidak percaya padanya. Bahkan dirinya sendiri mulai meragukan kewarasannya. Apakah itu hanya mimpi? Sebuah hasil dari stres yang menumpuk? Tapi rasa takut itu… rasa takut itu terlalu nyata. Bekas memar di kepalanya akibat jatuh juga nyata.


Sejak malam itu, Clara merasa semakin paranoid. Setiap suara kecil membuatnya terlonjak. Derit lantai, desiran angin di jendela, bahkan suara kulkas yang bergetar. Dia mulai melihat bayangan di sudut mata, bayangan yang bergerak ketika dia tidak fokus, menghilang ketika dia berbalik untuk melihat. Terkadang, ketika dia sendirian di rumah yang sunyi, dia mendengar bisikan samar, seolah-olah seseorang sedang berbicara dari ruangan lain, namun suaranya terlalu pelan untuk bisa dipahami. Dia mengira itu hanya imajinasinya, namun bisikan itu terus menghantui.


Dia bahkan menolak tidur di kamarnya sendiri, memilih tidur di sofa ruang tamu dengan lampu menyala, berharap cahaya bisa mengusir kegelapan dan ketakutan yang menggerogoti. Kantung mata menghitam di bawah matanya, dan wajahnya pucat pasi.


Sahabatnya, Sarah, mencoba menenangkannya. Sarah adalah kebalikan Clara: ceria, praktis, dan selalu melihat sisi baik dari segala sesuatu. Dia datang berkunjung hampir setiap hari, membawakan makanan, mencoba menghibur Clara.


"Clara, kau terlalu banyak berpikir," kata Sarah suatu sore, sambil menyeruput teh hangat yang Clara buat. “Windfall Creek itu kota kecil, tak ada yang aneh di sini. Pasti cuma stres kerjaanmu atau mungkin kau kecapekan.”


Clara menggeleng lemah. “Kau tidak ada di sana, Sarah. Aku tidak berhalusinasi. Boneka itu, suara itu, tawa itu… Itu nyata.”


Sarah menghela napas, menatapnya dengan prihatin. “Aku tahu kau takut, tapi… apa buktinya? Polisi bilang tidak ada apa-apa.”


"Itu yang membuatku takut! Mereka tidak menemukan apa-apa! Seolah-olah hantu yang melakukannya!" Clara frustasi. “Atau orang itu... dia sangat pintar.”


Sarah mencoba menenangkannya lagi, mengelus lengannya. “Ayo, istirahat saja. Aku di sini. Nanti malam aku temani.”


Malam itu, Sarah memang menemaninya. Clara merasa sedikit lebih aman dengan kehadiran Sarah. Tapi ketakutan itu tetap ada, mengendap di sudut pikirannya.


Keesokan paginya, ketika Sarah sudah pulang, Clara berjalan ke kotak pos di ujung jalan, untuk mengambil surat. Dia berharap hanya ada tagihan atau majalah. Namun, di antara tumpukan surat biasa, ada satu amplop putih polos, tanpa perangko, tanpa nama pengirim. Hanya nama Clara yang tertulis rapi di depannya, dengan tulisan tangan yang elegan namun anehnya kaku.


Jantungnya kembali berdegup kencang. Firasat buruk menjalari. Dengan tangan gemetar, dia membuka amplop itu. Di dalamnya hanya ada selembar kertas putih bersih. Di tengah kertas itu, hanya ada satu baris tulisan tangan rapi yang sama.


“Aku melihatmu.”


Dua kata itu, begitu sederhana, namun menghantam Clara seperti pukulan. Itu adalah tulisan tangan yang sama persis dengan yang ada di boneka itu. Clara yakin, meski dia tidak punya bukti foto. Tulisan yang sama, aura yang sama, dingin dan mengancam. Matanya langsung menyapu sekeliling, mencari sosok yang mungkin mengawasinya dari kejauhan. Jalanan sepi, rumah-rumah tetangga hening. Tidak ada siapa-siapa.


Surat itu jatuh dari tangannya yang gemetar. Ketakutan Clara semakin menjadi-jadi, melampaui batas kewarasan. Itu bukan delusi. Itu bukan stres. Seseorang benar-benar mengincarnya. Seseorang yang tahu di mana dia tinggal, seseorang yang bisa masuk ke rumahnya tanpa jejak, seseorang yang mengawasinya.


Dia buru-buru masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, mengunci semua jendela. Jendela yang tadi dibuka Sarah untuk sirkulasi udara juga dia tutup rapat. Dia menarik tirai, membuat rumah itu gelap dan sesak. Dia merasa seperti terperangkap di dalam sangkar, dan sangkar itu dia buat sendiri.


Clara duduk di lantai, bersandar di pintu, memeluk lututnya, napasnya tersengal-sengal. Dia mencoba memikirkan siapa yang mungkin melakukan ini. Mantan pacar? Kenalan lama yang punya dendam? Tapi dia tidak punya musuh. Hidupnya biasa-biasa saja, dia bekerja di perpustakaan kota, menjauhi masalah.


Ponselnya berdering, membuatnya terlonjak. Itu Sarah.


"Clara? Kau baik-baik saja? Kenapa tidak angkat teleponku tadi?" Suara Sarah terdengar khawatir.


"Sarah… ada surat," suara Clara bergetar. Dia menceritakan tentang surat itu, tentang tulisan tangan yang sama.


Ada keheningan sejenak di ujung telepon. “Clara… itu sudah keterlaluan. Kita harus melaporkannya lagi. Kali ini, kita punya bukti tulisan tangan.”


"Mereka tidak akan percaya," kata Clara putus asa. “Mereka akan bilang itu hanya lelucon seseorang yang iseng.”


“Tidak, kita harus coba. Ini sudah melampaui batas. Aku akan menjemputmu besok pagi. Kita ke kantor polisi bersama. Kau tidak boleh sendirian.”


Clara merasa sedikit lega mendengar tekad Sarah. Setidaknya ada seseorang yang percaya padanya. “Baiklah. Terima kasih, Sarah.”


“Apapun untuk sahabatku. Jangan takut, aku di sini. Kita hadapi ini bersama.”


Kata-kata Sarah adalah satu-satunya pelipur lara Clara malam itu. Dia mencoba tidur lagi di sofa, dengan lampu menyala, surat itu tergenggam erat di tangannya. Dia bahkan meletakkan kursi di depan pintu masuk, hanya untuk berjaga-jaga. Setiap suara membuatnya terjaga, setiap bayangan membuatnya bergidik.


Ketika fajar menyingsing, sinarnya yang samar menembus celah tirai, Clara merasa sedikit lebih aman. Dia mengambil surat itu, mencoba menganalisis tulisan tangannya lagi. Rapi, teratur, namun ada ketegangan yang aneh pada setiap garis. Itu bukan tulisan tangan orang yang ceroboh. Itu tulisan tangan orang yang sangat teliti.


Dia berencana untuk menunggu Sarah. Dia akan menunjukkan surat itu pada polisi, dan entah bagaimana, mereka harus percaya padanya. Mereka harus menemukan siapa yang melakukan ini.


Namun, Sarah tidak pernah datang.


Pagi itu terasa dingin, bukan karena cuaca, melainkan karena kecemasan yang menggantung di udara. Clara terbangun di sofa, matanya bengkak dan merah karena kurang tidur. Dia sudah menunggu Sarah sejak fajar menyingsing. Ponselnya terus dia pegang, berharap ada panggilan dari sahabatnya. Namun, yang ada hanya keheningan yang semakin mencekik.


Pada pukul sembilan pagi, ketika Sarah seharusnya sudah tiba untuk menjemputnya ke kantor polisi, Clara mulai merasa ada yang tidak beres. Sarah bukan tipe orang yang ingkar janji, apalagi dalam situasi genting seperti ini. Dia mencoba menelepon Sarah lagi. Panggilan pertama tidak terjawab. Panggilan kedua, ketiga… semuanya langsung masuk ke kotak suara. Sebuah firasat buruk merayapi Clara, lebih dingin dari pagi itu. Firasat yang sama yang dia rasakan saat boneka itu muncul.


Clara memutuskan untuk pergi ke apartemen Sarah. Meskipun Sarah tinggal di pusat kota, tidak terlalu jauh dari pinggiran Windfall Creek. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, pikirannya dipenuhi skenario terburuk. Apakah pelaku yang mengirim surat itu juga mengincar Sarah? Apakah dia mengetahui bahwa Sarah adalah satu-satunya orang yang percaya pada Clara?


Ketika dia tiba di kompleks apartemen Sarah, jantungnya berdegup kencang. Mobil Sarah, sebuah sedan berwarna biru laut, tidak terparkir di tempat biasanya. Clara memeriksa ke sekeliling, berharap melihatnya, tapi nihil. Dia buru-buru naik ke lantai tiga, menuju unit apartemen Sarah. Dia menekan bel berulang kali, namun tidak ada jawaban.


Rasa panik mulai mencengkeramnya. Dia mencoba menghubungi orang tua Sarah, teman-teman Sarah yang lain, tapi tidak ada yang tahu di mana Sarah berada. Sepanjang hari itu, Clara menghabiskan waktu dengan menelepon, mondar-mandir di rumahnya yang terasa semakin sempit, dan mencoba meyakinkan dirinya bahwa Sarah hanya sedang ada urusan mendadak. Tapi nalurinya berteriak bahwa ada sesuatu yang jauh lebih gelap terjadi.


Menjelang malam, kepanikan Clara mencapai puncaknya. Dia melaporkan hilangnya Sarah ke polisi. Polisi yang sama yang menganggapnya paranoid beberapa hari lalu.


"Nona Clara, apakah Anda yakin teman Anda tidak hanya pergi berlibur atau ada urusan keluarga?" tanya polisi muda itu lagi, dengan nada yang sama.


"Tidak! Dia tidak akan pergi tanpa memberi tahu saya! Apalagi setelah apa yang terjadi pada saya!" Clara berseru, air mata mulai menggenang di matanya. Dia menunjukkan surat ancaman itu. “Ini buktinya! Ada seseorang yang mengincar kami!”


Polisi mengambil surat itu, menelitinya. “Surat anonim, Nona. Bisa jadi ulah iseng. Lagipula, hilangnya teman Anda belum tentu terkait dengan ini.”


“Tapi ini tulisan tangan yang sama dengan boneka yang saya lihat!”


Polisi itu hanya mengangkat bahu. Mereka mencatat laporannya, namun tanpa antusiasme. Mereka berjanji akan menyelidiki, tapi Clara tahu mereka tidak menganggapnya serius. Dia pulang dengan perasaan hancur, terbebani oleh rasa bersalah yang menusuk. Seharusnya dia memaksa Sarah untuk lebih berhati-hati. Seharusnya dia tidak membiarkan Sarah sendirian.


Dua hari berikutnya adalah neraka bagi Clara. Dia nyaris tidak makan, tidak tidur. Dia hanya menunggu, menunggu kabar yang baik. Namun yang datang adalah kabar terburuk.


Pagi itu, ponsel Clara berdering. Itu adalah nomor kantor polisi. Jantungnya mencelos.


"Nona Clara, kami menemukan mobil teman Anda," kata suara polisi di ujung telepon, nadanya lebih serius kali ini. “Di dekat Hutan Cemara. Beberapa kilometer dari rumah Anda.”


Clara langsung berdiri, tangannya mencengkeram ponsel erat-erat. “Sarah? Bagaimana Sarah? Apakah dia baik-baik saja?”


“Kami sedang dalam proses investigasi. Mobilnya terparkir di tepi jalan, pintu terbuka, dan ponselnya tergeletak di jok depan. Tidak ada tanda-tanda perlawanan atau kerusakan pada mobil.”


Informasi itu, meskipun terdengar tidak dramatis, justru membuat perut Clara mual. Tidak ada tanda perlawanan? Itu berarti Sarah tidak punya kesempatan untuk melawan. Itu berarti pelakunya sangat licik dan kuat. Sebuah kengerian dingin merayapi dirinya.


Ketika Clara tiba di lokasi, polisi sudah memasang garis kuning pembatas. Beberapa petugas polisi dan forensik bergerak di sekitar mobil Sarah. Hutan Cemara tampak gelap dan suram, seperti mulut gua yang siap menelan. Clara merasakan firasat yang sangat, sangat buruk.


"Kami sedang menyisir area hutan, Nona Clara," kata seorang petugas, melihat ekspresi panik Clara. “Mungkin dia hanya tersesat.”


Tapi Clara tahu itu bukan hanya tersesat. Ini adalah modus operandi yang sama. Ancaman, lalu keheningan, lalu… dia tidak ingin memikirkannya.


Berita lokal mulai menyiarkan tentang hilangnya Sarah, memicu kepanikan di Windfall Creek. Kota kecil yang selama ini damai, kini mulai merasakan cengkeraman ketakutan. Penduduk mulai saling berbisik, mengunci pintu lebih rapat, dan mengawasi anak-anak mereka dengan lebih ketat.


Sore harinya, sebuah berita mengejutkan muncul di saluran berita lokal: penemuan jasad seorang wanita muda di hutan, sekitar tiga kilometer dari lokasi mobil Sarah ditemukan. Kondisinya… mengenaskan. Rinciannya tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi nada suara pembawa berita dan ekspresi ngeri di wajah petugas kepolisian yang memberikan keterangan singkat sudah cukup untuk menyampaikan kengerian yang terjadi.


Clara menonton berita itu, tangannya gemetar. Meskipun polisi belum mengkonfirmasi identitas korban, nalurinya berteriak bahwa itu adalah Sarah. Firasat buruknya ternyata benar, bahkan lebih buruk dari yang dia bayangkan. Sebuah jeritan tertahan di tenggorokannya. Rasa bersalah yang menusuk itu berubah menjadi pisau yang mengoyak-ngoyak hatinya. Dia seharusnya lebih memaksa polisi untuk percaya padanya. Seharusnya dia tidak membiarkan Sarah pergi.


Dia merasa ada sepasang mata mengawasinya dari kejauhan, menikmati penderitaannya. Matanya memicing, memandang ke luar jendela, ke arah Hutan Cemara yang gelap. Ia yakin, pelakunya masih ada di sana, di luar, di antara bayangan, tertawa dalam kegelapan.


Identitas korban akhirnya dikonfirmasi keesokan harinya. Itu adalah Sarah.


Clara hancur. Bukan hanya karena kehilangan sahabatnya, tetapi karena cara Sarah pergi. Rincian yang polisi berikan, meskipun samar, cukup untuk membuat Clara tidak bisa tidur selama berhari-hari. Sarah disiksa, dimutilasi. Mayatnya ditemukan diikat ke sebuah pohon, seperti pajangan mengerikan. Sebuah pesan, ditulis dengan darah, menempel di tubuhnya: “Aku melihatmu.”


Pesan yang sama. Tulisan tangan yang sama. Kengerian itu membekukan Clara. Psikopat itu, dia ada di luar sana, bermain-main dengannya. Dia telah mengambil Sarah, orang terdekatnya. Ini adalah hukuman. Atau mungkin, peringatan.


Polisi mulai menganggap serius kasus ini. Sebuah tim investigasi dibentuk, dan seluruh kota berada dalam ketegangan. Namun, jejak yang ditemukan sangat minim. Pelaku tidak meninggalkan sidik jari yang jelas, tidak ada DNA yang bisa diidentifikasi, dan tidak ada saksi mata. Satu-satunya petunjuk adalah pesan yang ditulis dengan darah, dan fakta bahwa Clara juga menerima pesan serupa.


Clara menjadi target utama penyelidikan, bukan sebagai tersangka, tetapi sebagai saksi kunci. Dia diinterogasi berulang kali. Setiap pertanyaan terasa seperti tusukan, memaksa Clara mengingat detail-detail yang ingin dia lupakan.


"Nona Clara, apakah ada seseorang yang mungkin ingin menyakiti Anda atau Sarah?" tanya Detektif Ardi, seorang polisi muda yang baru dipindahkan ke Windfall Creek. Matanya tampak tajam, namun ada kilatan keprihatinan di sana. “Apakah ada musuh, perselisihan, atau mantan pacar yang punya masalah?”


Clara menggelengkan kepalanya lemah. “Saya sudah bilang, tidak ada. Hidup saya biasa-biasa saja. Sarah juga. Ini… ini bukan masalah pribadi biasa.”


“Lalu, apa menurut Anda ini?”


"Ini psikopat," jawab Clara tanpa ragu. “Seseorang yang menikmati ketakutan. Dia bermain-main dengan saya. Dia tahu tentang saya, tentang Sarah.”


Detektif Ardi mencatat, ekspresinya serius. Dia sepertinya sedikit lebih terbuka terhadap teori Clara dibandingkan polisi lainnya. “Kami akan terus berusaha, Nona Clara. Jangan khawatir. Kami akan menemukan dia.”


Namun, janji itu terasa hampa. Clara tahu bahwa dia berada dalam bahaya yang lebih besar daripada yang bisa ditangani polisi.


Beberapa hari setelah pemakaman Sarah yang menyedihkan, teror itu dimulai lagi, namun kali ini lebih personal. Clara mulai menerima telepon misterius. Penelepon tidak pernah berbicara. Hanya ada suara napas berat di ujung sana, napas yang teratur, dalam, dan dingin. Kadang-kadang, diselingi dengan tawa pelan, tawa serak yang pernah Clara dengar di malam pertama, tawa yang membuat bulu kuduknya merinding.


Dia mencoba memblokir nomor-nomor itu, tapi penelepon selalu menggunakan nomor yang berbeda, nomor yang tidak dikenal, atau nomor privat. Polisi mencoba melacaknya, tapi setiap upaya gagal. Nomor-nomor itu tidak bisa dilacak, seolah-olah penelepon menggunakan metode canggih untuk menyembunyikan identitasnya.


Psikopat itu tampaknya menikmati permainan kucing dan tikus ini. Dia tidak langsung menyerang. Dia membiarkan Clara hidup dalam ketakutan, perlahan-lahan menggerogoti kewarasannya. Clara merasa setiap sudut rumahnya, bahkan di bawah sinar matahari siang, dipenuhi oleh kehadiran tak terlihat, mata yang mengawasi.


Dia mulai mengunci diri di rumah. Pintu, jendela, semuanya terkunci rapat. Dia bahkan memasang kunci tambahan di setiap pintu. Tirai selalu tertutup, membuat rumahnya gelap, pengap, dan menyerupai penjara. Dia tidak berani keluar rumah, bahkan untuk membeli kebutuhan dasar. Makanan di kulkasnya mulai menipis, tapi rasa takutnya lebih besar dari rasa laparnya.


Telepon-telepon itu terus datang, siang dan malam, membuat Clara terus-menerus terlonjak dan jantungnya berdebar. Dia tidak bisa tidur, tidak bisa makan. Dia mulai kehilangan berat badan, dan penampilannya semakin buruk.


Rasa takut itu mulai berubah menjadi paranoia ekstrem. Dia mulai mencurigai semua orang. Tukang pos yang lewat, mobil yang parkir terlalu lama di ujung jalan, bahkan bayangan yang bergerak di cermin ketika dia tidak fokus. Siapa pun bisa menjadi dia. Dia menyadari betapa rentannya dia.


Pernah suatu malam, telepon berdering lagi. Clara tidak mengangkatnya. Biarlah masuk ke voicemail. Dia duduk di sofa, memeluk lututnya, gemetar. Setelah beberapa saat, dia memeriksa voicemail.


Rekaman suara napas yang berat terdengar, diikuti oleh tawa serak itu. Lalu, sebuah bisikan pelan yang hampir tak terdengar.


“Aku ada di sini, Clara.”


Bisikan itu, begitu jelas dan begitu dekat, seolah-olah penelepon berdiri di dalam kamarnya. Clara menjerit, menjatuhkan ponselnya. Dia melompat, meraih pisau dapur. Dia memutar tubuhnya, mencari-cari di kegelapan. Tidak ada siapa-siapa. Rumah itu sepi, hanya ada suaranya sendiri yang gemetar dan detak jantungnya yang menggila.


Dia mulai merasa meragukan kewarasannya sendiri. Apakah dia benar-benar mendengar itu? Atau apakah stres dan ketakutan telah mendorongnya ke ambang kegilaan? Dia memeriksa setiap ruangan, di bawah tempat tidur, di balik gorden, di dalam lemari. Tidak ada siapa-siapa.


Tapi rasa takut itu tidak pergi. Justru semakin kuat, karena dia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya imajinasinya. Psikopat itu berhasil. Dia telah menghancurkan hidup Clara, mengurungnya dalam ketakutan yang dia ciptakan sendiri.


Suatu sore, ketika Clara sedang duduk di ruang tamu yang gelap, mematung, ponselnya berdering lagi. Kali ini, nomor yang tidak dikenal. Dia menatapnya, ragu. Akhirnya, dengan tangan gemetar, dia mengangkatnya.


Keheningan. Lalu, suara napas berat. Clara membeku.


"Aku akan datang untukmu," bisik suara itu, kali ini tidak tertawa. Suara itu dalam, serak, dan penuh ancaman. “Seperti aku datang untuk Sarah.”


Sambungan terputus. Clara menjatuhkan ponselnya. Air mata mengalir deras di pipinya. Dia tidak bisa lagi menahan diri. Dia menangis, meraung, dalam kegelapan yang menelan segalanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Polisi tidak bisa melacaknya. Dia sendirian, terperangkap, dan psikopat itu semakin dekat.


Dia melihat ke luar jendela, ke arah Hutan Cemara yang tampak seperti menunggunya. Dia tahu dia adalah target berikutnya. Dan dia tahu, tidak ada yang bisa menghentikannya. Rasa putus asa mencengkeramnya erat, meninggalkan hanya secercah harapan yang semakin menipis. Dia tahu bahwa pada akhirnya, dia harus menghadapi monster ini sendirian.


Ketakutan telah menjadi penghuni tetap di rumah Clara, lebih nyata daripada dirinya sendiri. Minggu-minggu berlalu dalam kabut paranoid. Clara nyaris tidak keluar rumah. Stok makanannya menipis drastis, tapi rasa lapar kalah jauh dibandingkan rasa takut yang mencekik. Telepon-telepon misterius dengan napas berat dan tawa serak terus berlanjut, kadang diselingi bisikan mengancam yang membuat Clara menjerit dalam keheningan rumahnya.


Dia hidup dalam bayangan. Tirai selalu tertutup rapat, menghalangi cahaya matahari. Rumah itu gelap, pengap, dan berbau apek. Clara sendiri tidak jauh berbeda. Rambutnya kusut, matanya cekung, dan kulitnya pucat pasi. Dia seperti hantu yang menghantui rumahnya sendiri.


Suatu pagi, ketika Clara duduk di ruang tamu yang gelap, mematung di sofa, dia mendengar ketukan pelan di pintu depan. Jantungnya langsung melonjak ke tenggorokan. Dia membeku, menahan napas. Ketukan itu berulang, lebih keras kali ini.


"Clara? Ini Pak Herman," sebuah suara serak memanggil dari luar.


Clara tidak bergerak. Pak Herman. Tetangga lama yang tinggal dua rumah di seberangnya. Seorang pensiunan yang ramah, sedikit cerewet, namun selalu menjaga lingkungan. Dia dulunya adalah guru sejarah di sekolah dasar kota, dan selalu punya cerita menarik untuk dibagikan.


Ketukan ketiga. “Clara, kau di dalam? Aku melihat tiraimu tertutup terus. Apa kau baik-baik saja, Nak?”


Clara ragu. Di satu sisi, ada rasa lega mendengar suara yang akrab. Di sisi lain, paranoia yang menguasainya berteriak bahwa ini bisa jadi jebakan. Dia telah mencurigai semua orang. Tapi Pak Herman? Dia selalu baik padanya, bahkan membawakan kue saat Clara pertama kali pindah.


Akhirnya, Clara bangkit, mengambil pisau dapur yang selalu dia simpan di dekatnya, dan berjalan perlahan ke pintu. Dia mengintip melalui lubang intip. Wajah keriput Pak Herman terlihat jelas, dengan tatapan khawatir di mata tuanya. Dia memegang sebuah piring yang ditutupi serbet.


Dengan tangan gemetar, Clara membuka kunci pintu satu per satu, lalu membukanya sedikit, hanya cukup untuk melihat Pak Herman. "Pak Herman? Ada apa?" suaranya serak karena jarang berbicara.


"Astaga, Clara! Kau terlihat mengerikan, Nak!" Pak Herman terkesiap, matanya membelalak melihat penampilan Clara. “Aku membuatkan sup ayam. Kau pasti belum makan dengan benar, kan? Jangan begini terus, Nak. Kau harus makan.”


Clara merasa sedikit malu. Dia memang belum makan dengan benar selama berhari-hari. Aroma sup ayam yang hangat menyeruak, memancing perutnya bergejolak.


"Terima kasih, Pak Herman," kata Clara pelan.


"Jangan hanya berterima kasih. Biarkan aku masuk. Kau tidak boleh sendirian terus-menerus seperti ini." Pak Herman mencoba mendorong pintu sedikit lebih lebar. “Kau butuh ditemani. Polisi memang tidak menemukan apa-apa, tapi bukan berarti kau harus mengurung diri.”


Ada kebaikan tulus di matanya. Clara berpikir sejenak. Mungkin, hanya mungkin, sedikit interaksi manusiawi bisa membantunya. Dan Pak Herman adalah orang yang dia kenal sejak kecil. Dia bukan orang asing.


Clara akhirnya mengizinkan Pak Herman masuk. Rumah itu terasa lebih hangat dengan kehadirannya. Pak Herman mulai membersihkan sedikit, membuka tirai jendela di ruang tamu, membiarkan cahaya samar masuk. Dia bersikeras Clara makan sup ayam. Clara makan dengan lahap, menyadari betapa laparnya dia.


"Ini tidak benar, Nak," kata Pak Herman sambil menatap sekeliling ruangan yang suram. “Kau tidak bisa hidup begini. Aku tahu kau takut, tapi mengurung diri hanya akan membuatmu semakin tertekan.”


"Aku tidak bisa, Pak Herman. Ada seseorang… dia mengawasiku. Dia mengambil Sarah," Clara berbisik, air mata kembali menggenang.


Pak Herman menghela napas. “Aku tahu, Nak. Aku tahu itu mengerikan. Tapi kau tidak sendirian. Aku akan sering kemari, menjengukmu. Kau butuh seseorang.”


Dan benar saja, Pak Herman mulai sering datang menjenguk Clara. Dia membawakan makanan, membersihkan rumah, bahkan mengajak Clara sedikit mengobrol tentang kenangan masa lalu, mencoba mengalihkan perhatian Clara dari ketakutannya. Perlahan, kehadiran Pak Herman membuat Clara merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih waras. Dia bahkan mulai membuka beberapa tirai di siang hari.


Namun, di balik kebaikan Pak Herman, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang samar, namun Clara merasakannya. Kadang, dia menangkap tatapan mata Pak Herman yang aneh. Tatapan yang terlalu intens, terlalu lama, seolah-olah dia sedang mempelajari Clara, bukan hanya mengkhawatirkannya. Tatapan itu terasa dingin dan kosong, hanya sesaat, sebelum kembali ke ekspresi khawatir yang biasa. Clara mengira itu hanya hasil dari paranoia yang belum sepenuhnya hilang.


Lalu, hal-hal kecil mulai terjadi. Clara menemukan beberapa barang miliknya hilang. Sebuah buku yang sedang dia baca, sapu tangan yang dia gunakan, pena kesukaannya. Dia mencarinya di mana-mana, tapi tidak ada. Dia mengira dia yang lupa meletakkan di mana. Tapi beberapa hari kemudian, barang-barang itu muncul lagi di tempat yang tidak seharusnya. Buku itu berada di meja dapur, padahal dia terakhir membacanya di kamar. Sapu tangan di tempat tidur, padahal dia yakin meletakkannya di sofa. Pena di dalam laci meja, padahal dia terakhir menggunakannya di dekat telepon.


Clara mencoba mengabaikannya, menganggapnya sebagai kebingungan karena kurang tidur. Namun, dia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa dia diawasi, setiap gerakannya dicatat. Dia merasa seolah-olah ada mata tersembunyi yang mengawasinya setiap saat, bahkan ketika Pak Herman ada di sana.


Suatu sore, saat Pak Herman sedang mencuci piring di dapur, Clara berjalan ke ruang tamu. Dia melihat ke arah jendela, dan di sana, di balik tirai yang sedikit terbuka, dia melihat sebuah siluet bergerak di semak-semak di seberang jalan. Hanya sekejap mata, lalu menghilang. Jantungnya berdebar. Dia yakin ada seseorang di luar sana.


Dia berbalik, bermaksud memberitahu Pak Herman. Tapi ketika dia melihat ke arah dapur, Pak Herman sedang menatapnya melalui pantulan di jendela. Tatapan matanya… kosong, tanpa ekspresi. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Kemudian, seperti percikan api yang padam, ekspresi itu menghilang, digantikan oleh senyum ramah biasa.


"Ada apa, Nak?" tanya Pak Herman, dengan suara riang seperti biasa.


Clara hanya menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, Pak Herman. Hanya… merasa agak pusing.”


Malam itu, Clara tidak bisa tidur. Dia mengingat tatapan aneh Pak Herman, hilangnya barang-barang, dan siluet di semak-semak. Dia mulai menyusun potongan-potongan teka-teki. Apakah ini semua ada hubungannya dengan Pak Herman? Tidak, itu tidak mungkin. Pak Herman terlalu baik. Dia sudah seperti kakek baginya. Tapi nalurinya berteriak bahwa ada sesuatu yang salah. Sangat salah.


Dia memeriksa ulang barang-barang yang hilang dan muncul kembali. Apakah Pak Herman yang memindahkannya? Mengapa? Apa tujuannya? Clara mulai merasa dingin lagi. Bukan dinginnya malam, melainkan dinginnya kecurigaan yang menakutkan. Dia mulai mencurigai orang yang paling dia percayai. Orang yang selalu ada untuknya.


Ketakutan itu kembali. Kali ini, tidak hanya bisikan dan telepon, melainkan ancaman nyata yang terasa semakin dekat. Clara memutuskan untuk bertindak. Dia harus menemukan kebenaran, bahkan jika itu berarti mencurigai Pak Herman.


Keesokan paginya, Clara pura-pura sakit kepala parah dan meminta Pak Herman untuk pulang. Pak Herman tampak khawatir, tapi akhirnya setuju. Begitu Pak Herman pergi, Clara mulai mencari. Dia mencari di seluruh rumah, mencari petunjuk, mencari bukti bahwa Pak Herman ada hubungannya dengan semua ini. Dia tahu itu gila, tapi dia harus memastikan.


Dia tidak menemukan apa-apa di rumahnya. Namun, rasa penasaran yang bercampur ketakutan mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Herman. Dia tahu ini melanggar privasi, tapi hidupnya dalam bahaya. Jika Pak Herman adalah pelaku yang dicurigainya, maka dia harus tahu.


Clara menunggu hingga tengah malam, memastikan semua lampu di rumah Pak Herman mati. Dengan jantung berdebar-debar di dadanya, dia menyelinap keluar dari rumahnya. Udara malam terasa dingin dan menekan. Bayangan pohon-pohon di tepi jalan tampak seperti monster yang mengintai.


Dia sampai di rumah Pak Herman. Pintu depan terkunci. Clara mengitari rumah, mencari jendela yang mungkin tidak terkunci. Di bagian belakang, sebuah jendela dapur terbuka sedikit. Clara berhasil membuka jendela itu dan menyelinap masuk.


Bau apek dan debu langsung menyambutnya. Rumah itu terasa dingin dan tidak bernyawa, kontras dengan keramahan Pak Herman. Clara menyalakan senter ponselnya, mengarahkan cahayanya ke setiap sudut. Dia mencari sesuatu yang mencurigakan. Lemari arsip, laci meja, tumpukan buku tua.


Dia membuka laci meja di ruang kerja Pak Herman. Di sana, di antara tumpukan surat lama dan pensil, dia menemukan sebuah buku harian tua. Sampulnya lusuh, terbuat dari kulit yang sudah lapuk. Jantung Clara berdegup kencang. Dia membuka buku harian itu.


Isinya bukan tulisan tangan Pak Herman yang rapi. Tulisan tangan itu… sama dengan tulisan di surat yang dia terima, dan tulisan darah di tubuh Sarah. Rapi, elegan, namun kaku dan dingin.


Clara mulai membaca. Tulisan itu berisi detail tentang rutinitasnya, Sarah, bahkan Detektif Ardi. Setiap detail kecil, setiap kebiasaan, setiap gerakan, semuanya tercatat. Sebuah kengerian dingin merayap di punggungnya. Buku harian itu adalah catatan obsesi.


Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Derit… derit… Langkah kaki yang berat, namun hati-hati. Bukan langkah Pak Herman yang biasanya. Ini… langkah yang lebih besar.


Clara membeku. Dia tidak sendirian di rumah ini.


Dia mendengar suara batuk dari lantai atas. Dia bersembunyi di balik lemari buku tua, buku harian itu digenggam erat di tangannya. Senter ponselnya dimatikan. Dia menahan napas.


Langkah kaki itu semakin dekat, menuruni tangga. Clara bisa mendengar napas berat, sama seperti yang dia dengar di telepon. Aroma aneh tercium di udara, seperti bau tanah basah bercampur logam. Bau darah.


Kemudian, langkah kaki itu berhenti. Tepat di depan ruang kerja. Clara bisa merasakan kehadiran seseorang berdiri di ambang pintu, hanya beberapa meter darinya.


Keheningan yang mencekam menyelimuti. Clara memejamkan mata, memohon agar ini hanya mimpi.


Tiba-tiba, sebuah suara berat dan serak memecah keheningan. “Kau sedang mencari sesuatu, Clara?”


Clara terkesiap. Bukan suara Pak Herman. Suara itu… suara pria yang meneleponnya. Suara yang membisikkan ancaman.


Clara tidak berani bergerak. Dia merasakan hawa dingin menusuk tulang.


Kemudian, suara itu terdengar lagi, lebih dekat. “Kau mencari ini?”


Sebuah benda dilemparkan ke lantai, tepat di depannya. Sebuah boneka anak-anak. Boneka yang sama persis dengan yang dia lihat di malam pertama, dengan gaun biru pudar dan mata porselen yang kosong.


Clara menjerit.


Dalam detik itu, dia mendengar suara lain. Suara sirine polisi yang melengking mendekat. Psikopat itu tampaknya mendengar sirine itu juga. Clara merasakan hembusan napas di dekatnya, sangat dekat, lalu dia merasakan sebuah dorongan kuat. Dia terhuyung, kepalanya terbentur meja. Pandangannya kabur.


Ketika dia membuka matanya, samar-samar, dia melihat polisi menyerbu masuk. Dia mendengar suara tembakan. Kekacauan terjadi. Dia mencoba fokus, mencoba melihat siapa pria itu, siapa yang ada di balik semua teror ini. Tapi pandangannya terlalu kabur.


Ketika penglihatannya mulai jelas, dia melihat beberapa petugas polisi berdiri di ruang kerja Pak Herman. Di tengah ruangan, tergeletak di lantai, adalah Pak Herman. Dia berlumuran darah, dengan luka menganga di lehernya. Di dinding di belakangnya, tertulis dengan darah, adalah pesan yang sama: “Aku melihatmu.”


Clara menatap horor. Pak Herman… dia adalah korban. Bukan pelakunya. Lalu siapa pria tadi? Siapa yang membunuh Pak Herman? Siapa yang mengawasinya?


Detektif Ardi masuk, wajahnya pucat pasi. Dia melihat ke arah Pak Herman, lalu ke arah Clara yang tergeletak di lantai.


"Clara! Apa yang terjadi di sini?!" Detektif Ardi berlutut di sampingnya.


"Bukan dia… bukan Pak Herman," bisik Clara, suaranya parau. “Ada orang lain… dia… dia di sini…”


Petugas lain masuk, melaporkan. “Detektif! Kami menemukan ini di kamar tidur utama!”


Mereka membawa sebuah tubuh yang tertutup kain. Ketika kain itu sedikit tersingkap, Clara melihat sepasang sepatu polisi.


"Detektif Ardi…," kata seorang petugas, suaranya bergetar. “Kami menemukan… Detektif Ardi…”


Clara membelalakkan matanya. Dia melihat ke arah Detektif Ardi yang sedang berlutut di sampingnya. Detektif Ardi yang ini nyata. Detektif Ardi yang barusan berbicara dengannya. Lalu siapa yang ditemukan di kamar tidur utama?


Petugas lain mengangkat kain itu lebih jauh. Dan di sana, tergeletak di lantai kamar tidur Pak Herman, adalah jasad Detektif Ardi yang lain. Tubuhnya kaku, dengan luka tusuk di dada. Wajahnya pucat pasi, matanya terbuka lebar, penuh ketakutan. Seolah-olah dia telah mencoba melarikan diri namun gagal.


Clara menjerit. Bukan jeritan ketakutan, melainkan jeritan kengerian yang menggila. Bagaimana mungkin? Dua Detektif Ardi?


Tidak.


Dia menyadari, Detektif Ardi yang ada di sampingnya, yang menanyainya, yang selalu ada untuknya… dia adalah psikopat itu.


Detektif Ardi yang asli, yang jujur, yang berusaha menolongnya, telah terbunuh. Mungkin dia adalah Detektif Ardi yang Clara temui di kantor polisi, yang percaya pada teori psikopatnya. Lalu siapa yang selama ini berinteraksi dengannya, seolah-olah dia adalah Detektif Ardi yang sama?


Sebuah senyum tipis, dingin, dan mengerikan, muncul di bibir Detektif Ardi yang ada di sampingnya. Matanya yang sebelumnya tampak prihatin kini berkilat gelap. Dia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh pipi Clara.


Clara merangkak mundur, pandangannya terpaku pada senyum itu. Dia tahu itu. Ini dia. Pria ini. Dia adalah pelaku. Dia telah mengintai Clara, menyamar, berpura-pura menjadi polisi yang membantu.


"Apa yang kau lakukan?!" teriak seorang petugas, menarik Detektif Ardi menjauh dari Clara.


Detektif Ardi tidak melawan. Dia hanya tersenyum, matanya terpaku pada Clara. Di mata itu, Clara melihat kegelapan yang tak berujung, kegilaan yang mematikan.


Kematian beruntun ini – Sarah, Pak Herman, dan sekarang… Detektif Ardi yang asli – membuat kota Windfall Creek dicekam ketakutan massal. Berita menyebar bagai api. Psikopat itu tidak hanya membunuh korbannya, tetapi juga menyusup ke dalam sistem, bermain-main dengan penegak hukum, dan bahkan berinteraksi dengan korbannya selanjutnya.


Polisi semakin bingung. Mereka menangkap Detektif Ardi yang telah menyamar, namun dia menolak berbicara. Dia hanya tersenyum, tatapan matanya tetap terpaku pada Clara.


Clara merasa dirinya adalah target utama, dan sekarang, dia tahu siapa yang mengincarnya. Seseorang yang sangat cerdas, sangat kejam, dan sangat obsesif. Dia telah masuk ke dalam lingkaran terdekat Clara, berpura-pura menjadi pelindungnya.


Dan pertanyaan yang paling mengerikan adalah: berapa lama dia sudah berpura-pura? Sejak kapan dia ada di dalam hidupnya? Sejak malam boneka itu? Sejak awal?


Ketakutan itu kini bercampur dengan kemarahan. Kemarahan yang membara atas apa yang telah dia lakukan pada Sarah, pada Pak Herman, dan pada dirinya sendiri. Dia tidak akan membiarkan psikopat ini menang. Dia akan menemukan cara untuk melawan.


Penangkapan "Detektif Ardi" palsu mengguncang Windfall Creek hingga ke intinya. Berita menyebar bagai api liar, mengonfirmasi ketakutan terdalam Clara: psikopat itu adalah seorang penipu ulung yang telah menyusup ke dalam hidupnya, bersembunyi di balik lencana. Identitas aslinya masih misterius, karena dia menolak untuk berbicara, hanya membalas tatapan setiap orang dengan senyum dingin dan mata kosong yang terus menghantui Clara.


Clara kini berada di bawah perlindungan ketat polisi, meskipun rasa aman itu terasa hampa. Bagaimana dia bisa merasa aman jika monster itu berhasil menyusup begitu dalam? Dia tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, dia melihat senyum "Detektif Ardi" palsu, merasakan tatapan obsesifnya. Rasa sakit hati bercampur amarah membanjiri dirinya. Sarah, Pak Herman, dan Detektif Ardi yang asli – semua adalah korban dari permainan keji ini.


Dia masih terbaring di rumah sakit, ditemani beberapa petugas polisi yang bergantian menjaga. Mereka menanyainya lagi dan lagi, mencoba mencari tahu setiap interaksinya dengan pria itu. Clara menceritakan semuanya, tentang telepon, bisikan, tentang Pak Herman, dan tentang buku harian yang dia temukan.


"Buku harian? Di mana buku harian itu, Nona Clara?" tanya seorang detektif senior, matanya berbinar.


Clara terkesiap. Dalam kekacauan malam itu, di antara tembakan dan teriakan, dia tidak tahu di mana buku harian itu berada. Dia telah menggenggamnya erat saat bersembunyi, lalu jatuh setelah kepalanya terbentur. “Saya… saya tidak tahu. Pasti ada di sana, di rumah Pak Herman. Di ruang kerja.”


Polisi segera kembali ke rumah Pak Herman, yang kini telah menjadi TKP ganda. Mereka mencari di setiap sudut, namun buku harian itu tidak ditemukan. Ruang kerja itu telah diperiksa forensik, semuanya bersih dari petunjuk.


Rasa putus asa kembali mendera Clara. Itu adalah satu-satunya petunjuk nyata yang dia miliki, bukti bahwa dia tidak gila, bukti obsesi psikopat itu. Tapi sekarang hilang. Apakah si psikopat berhasil mengambilnya lagi sebelum tertangkap? Atau dia memang tidak pernah memilikinya? Apakah dia benar-benar gila?


Ketika dia akhirnya diizinkan pulang ke rumahnya sendiri, di bawah pengawasan polisi, Clara merasa seperti berada di dalam sangkar. Rumahnya tidak lagi terasa aman. Setiap sudut mengingatkannya pada malam-malam tanpa tidur, pada ketakutan yang menggerogoti.


Dia mencoba untuk menemukan kembali buku harian itu di benaknya. Dia yakin dia melihatnya. Dia bahkan mengingat beberapa coretan di dalamnya. Sketsa-sketsa labirin rumit dan coretan-coretan angka. Mengapa labirin? Mengapa angka?


Meskipun si psikopat sudah tertangkap, Clara tidak merasa lega. Perasaan hampa menggantung di hatinya. Pelaku itu tidak berbicara. Dia tidak mengungkapkan motifnya. Tidak ada penutupan. Clara tahu bahwa selama dia tidak memahami mengapa, teror itu tidak akan pernah benar-benar berakhir baginya.


Dia mulai menggambar. Dia menggambar labirin-labirin yang samar-samar dia ingat dari buku harian itu. Polanya rumit, berliku-liku, tanpa jalan keluar yang jelas. Dia menuliskan angka-angka yang dia ingat, mencoba mencari pola, mencoba memahami kodenya.


"Ini cuma buang-buang waktu, Nona Clara," kata salah satu petugas polisi yang berjaga di luar kamarnya. “Pelakunya sudah tertangkap. Biarkan polisi yang melakukannya.”


Tapi Clara tidak bisa. Dia tidak bisa membiarkan begitu saja. Dia harus menemukan jawabannya. Obsesi psikopat itu kini menular padanya, bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memahami. Dia merasa seperti terperangkap dalam labirin yang dibuat oleh psikopat itu, dan satu-satunya cara keluar adalah dengan memecahkan kodenya.


Dia mulai meneliti setiap aspek dari kasus ini. Dia membaca semua berita, setiap laporan polisi yang bisa dia dapatkan aksesnya. Dia bahkan mengunjungi lokasi mobil Sarah ditemukan, mencoba mencari sesuatu yang terlewat. Namun, selalu nihil.


Kemudian, sebuah detail kecil menarik perhatiannya. Sebuah berita lama tentang penutupan rumah sakit jiwa tua di Windfall Creek, yang kini terbengkalai. Artikel itu menyebutkan bahwa rumah sakit itu dulunya memiliki taman labirin yang terkenal, dibangun oleh salah satu pasiennya yang sangat cerdas namun terganggu. Sketsanya rumit, sangat mirip dengan yang dia ingat dari buku harian itu.


Jantung Clara berdebar. Dia merasa ada hubungan. Dia mulai menghubungkan titik-titik. Labirin. Angka. Rumah sakit jiwa terbengkalai.


Dia meminjam buku-buku lama tentang rumah sakit jiwa itu dari perpustakaan kota tempat dia dulu bekerja. Dia membaca tentang sejarahnya, tentang pasien-pasiennya. Salah satu nama menarik perhatiannya: Jonathan Reed. Seorang pasien yang sangat cerdas, jenius dalam matematika dan arsitektur, namun sangat psikopat. Dia suka membuat teka-teki, dan dia obsesif dengan cermin dan pantulan. Dia adalah dalang di balik taman labirin rumah sakit jiwa itu, yang dirancang untuk membingungkan dan menjebak.


Jonathan Reed meninggal di sana, di rumah sakit jiwa itu, puluhan tahun yang lalu. Tapi ada kesamaan yang mencengangkan antara dirinya dan psikopat yang sekarang. Obsesi yang sama, kecerdasan yang sama, kekejaman yang sama.


Clara kembali melihat angka-angka yang dia ingat. Dia mulai mencoba mencocokkannya dengan tanggal lahir, tanggal kematian, atau nomor arsip yang terkait dengan Jonathan Reed. Setelah berhari-hari begadang, otaknya terasa berasap, dia akhirnya menemukan pola. Angka-angka itu adalah koordinat. Koordinat untuk sebuah lokasi.


Dan lokasi itu adalah… rumah sakit jiwa tua yang terbengkalai.


Clara membeku. Psikopat yang tertangkap itu tidak pernah berbicara. Tidak pernah mengungkapkan namanya. Tidak pernah menyebutkan apa pun tentang Jonathan Reed. Tetapi seolah-olah, roh Jonathan Reed telah hidup kembali, melanjutkan permainan yang sama.


Dia yakin ada sesuatu di sana. Sesuatu yang akan menjelaskan segalanya. Motif di balik semua teror ini. Dengan tekad membara, Clara tahu dia harus pergi ke sana. Dia harus menghadapi kegelapan ini sendirian.


Dia tahu polisi tidak akan mengizinkannya. Mereka akan menganggapnya paranoid lagi, atau terlalu emosional. Jadi, dia harus melakukannya sendiri.


Malam itu, Clara menyelinap keluar dari rumahnya yang dijaga ketat. Dia sudah mempelajari jadwal pergantian shift petugas, dia tahu kapan celah itu muncul. Dengan hati-hati, dia melarikan diri, menyusuri jalanan Windfall Creek yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun rasa takutnya kini bercampur dengan adrenalin. Dia tahu dia mendekati kebenaran.


Dia mengendarai mobilnya menuju pinggir kota, ke arah reruntuhan rumah sakit jiwa lama. Bangunan itu berdiri di kejauhan, siluetnya yang gelap tampak seperti monster raksasa di bawah langit tanpa bintang. Hutan di sekitarnya terasa lebih padat, lebih gelap, seolah-olah pepohonan itu sendiri enggan membiarkan siapa pun mendekat.


Ketika dia sampai di gerbang utama yang berkarat, gerbang itu berderit saat dia mendorongnya. Jalan setapak yang tertutup semak belukar mengarah ke bangunan utama yang menjulang tinggi, dengan jendela-jendela kosong yang tampak seperti mata mati yang menatap ke dalam kegelapan.


Clara mengeluarkan senter ponselnya, cahayanya menari-nari di dinding yang ditumbuhi lumut dan retakan. Bau apak dan lembab menyambutnya, bercampur dengan aroma besi berkarat dan sesuatu yang… basi. Dia melangkah ke dalam, setiap langkahnya bergema di koridor yang panjang dan gelap.


Dia memeriksa setiap kamar, setiap ruangan yang dulunya adalah tempat panti, ruang makan, dan kamar pasien. Semuanya kosong, berserakan, dan hancur. Debu tebal menutupi segalanya. Dia mengikuti koordinat yang dia temukan, yang membawanya ke bagian yang lebih terpencil di rumah sakit itu, sebuah area yang tampaknya dulunya adalah sayap isolasi.


Semakin dalam dia masuk, semakin dingin udara terasa. Dinding-dindingnya ditutupi coretan grafiti usang, nama-nama yang sudah lama dilupakan, dan gambar-gambar aneh. Di salah satu dinding, dia melihat sketsa labirin yang sama persis dengan yang dia lihat di buku harian itu. Sebuah firasat buruk merayapi dirinya. Dia semakin dekat.


Akhirnya, dia tiba di sebuah pintu besi tua yang berkarat. Koordinat itu menunjuk ke sini. Dengan hati-hati, dia mendorong pintu itu. Pintu itu berderit pelan, terbuka ke dalam kegelapan yang lebih pekat.


Ketika senter ponselnya menyinari ruangan itu, Clara terkesiap. Ruangan itu tidak seperti ruangan lain di rumah sakit yang terbengkalai ini. Ruangan itu bersih, rapi, dan… mengerikan.


Dinding-dindingnya dicat ulang dengan warna abu-abu gelap. Di satu sisi ruangan, sebuah meja kayu tua berdiri, di atasnya terdapat beberapa lembar kertas dan alat tulis. Sebuah papan gabus besar menempel di dinding. Dan di papan itu, Clara melihat foto-foto dirinya. Foto-foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi, dari sudut-sudut yang tidak mungkin, menunjukkan Clara dalam berbagai aktivitasnya: saat membaca di sofa, saat berbicara dengan Sarah, bahkan saat dia mengunci diri di rumah.


Di samping foto-fotonya, ada juga foto-foto Sarah, Pak Herman, dan Detektif Ardi yang asli. Semuanya dihiasi dengan tulisan-tulisan tangan yang rapi dan dingin, menjelaskan setiap langkah, setiap target, setiap detail pembunuhan. Tulisan tangan yang sama persis dengan surat ancaman dan pesan darah.


Ini adalah sarang psikopat itu. Sebuah ruangan perencanaan yang rapi dan mengerikan.


Clara mundur selangkah, napasnya tercekat. Rasa mual melanda. Dia melihat ke sekeliling ruangan lagi. Di tengah ruangan, tepat di seberang pintu, terdapat sebuah cermin besar. Bingkai cermin itu dihiasi ukiran rumit yang menyerupai sulur-sulur tanaman merambat, namun terasa seperti tangan-tangan yang mencekik. Di sekeliling cermin, terukir dengan tulisan tangan yang sama, adalah dua kata yang begitu sederhana, namun kini terasa begitu menakutkan:


“Cermin Kegelapan”


Cermin itu memantulkan wajahnya yang pucat dan mata yang melebar karena syok. Dia berjalan mendekat, seolah terpaku. Dia melihat dirinya di cermin, seorang wanita yang hancur, dikelilingi oleh bukti kekejaman yang tak terbayangkan. Dia melihat cerminan kamarnya, namun ada sesuatu yang salah. Cerminan itu terasa lebih dingin, lebih gelap.


Di sudut ruangan, dia melihat tumpukan barang-barang pribadi miliknya. Buku yang hilang, sapu tangan, pena. Bahkan boneka anak-anak yang dia lihat di malam pertama. Semuanya ada di sana, rapi, seperti koleksi.


Ini adalah tempat di mana psikopat itu bersembunyi. Tempat di mana dia merencanakan segalanya, di mana dia menikmati penderitaan korbannya. Dia menyadari, pelaku yang ditangkap itu hanyalah pion. Ada dalang yang lebih besar di balik semua ini. Seseorang yang mungkin tidak pernah dia duga.


Matanya kembali menatap cermin. Di pantulan cermin itu, dia melihat bayangan bergerak di belakangnya. Clara tersentak, berbalik dengan cepat.


Tidak ada siapa-siapa. Hanya dinding kosong yang gelap.


Dia kembali menatap cermin. Dan di sana, di dalam pantulan, bayangan itu masih ada. Lebih jelas sekarang. Sebuah siluet seorang pria berdiri tepat di belakangnya, di dalam cerminan ruangan itu. Pria itu tampak familiar, sosok yang akrab namun mengerikan. Pria itu mengangkat tangannya, perlahan, seolah ingin menyentuhnya.


Jantung Clara berdebar kencang, kali ini bukan karena takut, melainkan karena kengerian yang dalam. Pria itu… dia bukan di belakangnya di ruangan nyata. Dia ada di dalam cermin. Dan itu adalah pria yang tidak pernah dia duga. Wajahnya… dia mengenalnya.


Pria itu adalah Jonathan Reed. Senyumnya melengkung, dingin, dan matanya memancarkan kegilaan yang sama dengan yang dia lihat di mata psikopat yang tertangkap. Bagaimana mungkin? Jonathan Reed sudah meninggal puluhan tahun lalu.


Cermin itu mulai berkilauan, seolah memancarkan energi aneh. Clara merasakan sensasi dingin yang menusuk, bukan hanya dari udara, melainkan dari cermin itu sendiri. Seolah-olah cermin itu adalah portal, sebuah jendela ke dunia lain, atau mungkin, ke dalam pikiran gila Jonathan Reed.


Rasa takut yang luar biasa mencengkeramnya. Dia ingin melarikan diri, tapi kakinya terpaku di tempat. Matanya terpaku pada sosok di cermin itu, yang semakin jelas, semakin hidup. Dia tahu kebenaran ada di sana, di dalam cermin itu, menunggu untuk mengungkap dirinya. Tapi dia tidak tahu apakah dia siap untuk menghadapinya.


Dingin itu bukan lagi hanya sensasi, melainkan sebuah kehadiran yang merayapi kulit Clara, menembus tulangnya, dan membekukan setiap sel dalam tubuhnya. Dia terpaku di depan cermin besar di ruangan tersembunyi rumah sakit jiwa yang terbengkalai itu. Di dalam pantulan, siluet pria itu semakin jelas, semakin nyata. Itu bukan sekadar bayangan; itu adalah entitas.


Pria itu tersenyum. Senyum itu dingin, tipis, dan penuh kegilaan yang sama dengan yang dia lihat di mata "Detektif Ardi" palsu yang kini mendekam di sel polisi. Clara mengenali wajah itu sekarang, meski hanya dari buku-buku lama. Itu adalah Jonathan Reed, pasien genius yang psikopat, arsitek labirin yang rumit, pencinta cermin. Tapi bagaimana mungkin? Jonathan Reed sudah mati puluhan tahun yang lalu.


"Kau menemukanku," suara Jonathan Reed bergema dari dalam cermin, suaranya bukan suara manusia biasa, melainkan seperti gema dari dunia lain, serak dan penuh gaung. “Aku tahu kau akan datang, Clara. Kita… terhubung.”


Clara merasakan mual yang luar biasa. "Apa… apa ini?" bisiknya, suaranya gemetar. “Kau… kau sudah mati.”


Jonathan Reed tertawa, tawa yang sama dengan yang Clara dengar di telepon, tawa serak yang membuat bulu kuduknya merinding. “Mati? Oh, tidak, Clara. Pikiran tidak pernah mati. Mereka hanya mencari wadah baru. Dan kau… kau adalah wadah yang sempurna.”


Clara mencoba mundur, tetapi kakinya terasa membeku. Dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari mata Jonathan Reed di cermin, mata yang kini memancarkan obsesi yang mengerikan.


"Semua yang kau alami… boneka itu, surat itu, telepon-telepon itu, hilangnya Sarah, Pak Herman, bahkan Detektif Ardi yang malang…" Jonathan Reed menjeda, senyumnya melebar. “Itu semua adalah permainanku. Permainan untukmu, Clara. Untuk melihat seberapa jauh kau akan pergi. Seberapa kuat ketakutanmu. Dan kau… kau tidak mengecewakanku.”


Rasa ngeri yang campur aduk dengan amarah meledak dalam diri Clara. "Kau membunuh mereka! Kau menghancurkan hidupku!" teriaknya, suaranya pecah.


"Oh, tidak, Clara," Jonathan Reed terkekeh. “Aku tidak membunuh mereka secara fisik. Tubuh itu… yang ada di penjara… itu hanyalah alat. Aku adalah pikiran di baliknya. Aku mengendalikannya. Seperti aku akan mengendalikanmu.”


Kata-kata itu menghantam Clara seperti palu. Dia adalah dalang, entitas di balik bayangan, yang menggunakan tubuh orang lain untuk melancarkan terornya. Dia adalah roh yang menghantui, mencari kepuasan melalui kekejaman.


Jonathan Reed mengangkat tangannya di cermin, perlahan mendekati permukaan kaca, seolah-olah ingin menyentuh Clara. “Cermin ini… ini adalah jembatan. Jembatan antara duniaku dan duniamu. Jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jembatan antara pikiran.”


Clara merasakan sensasi aneh di kepalanya, seperti jarum-jarum menusuk otaknya. Suara-suara berdesir di telinganya, bisikan-bisikan tak jelas yang tumpang tindih. Pandangannya mulai kabur, ruangan itu berputar.


"Aku melihatmu," bisik Jonathan Reed dari cermin, suaranya kini terasa begitu dekat, seolah dia berada tepat di samping Clara. “Dan sekarang, kau melihatku. Kau melihat kegelapan dalam dirimu.”


Sebuah cahaya putih menyilaukan memancar dari cermin, sangat terang hingga Clara harus memejamkan mata. Rasa sakit di kepalanya semakin hebat, seperti ada sesuatu yang mencoba merobek otaknya. Dia merasakan sensasi dingin dan berat yang menjalar ke seluruh tubuhnya, meresap ke dalam kulit, otot, dan tulangnya. Sensasi seperti disuntikkan racun beku yang menyebar cepat.


Dia ingin berteriak, ingin melawan, ingin melarikan diri, tetapi tubuhnya lumpuh. Dia merasa seperti ditarik ke dalam jurang yang gelap, ke dalam kehampaan. Suara tawa Jonathan Reed menggelegar di benaknya, bukan lagi tawa yang serak, melainkan tawa kemenangan yang nyaring dan menggila.


Lalu, semua rasa sakit itu menghilang. Hanya ada keheningan. Kegelapan. Dan kemudian, sebuah kesadaran yang dingin, asing, dan menakutkan.


 


Ketika kesadaran Clara kembali, itu bukan kembalinya yang lembut. Rasanya seperti sebuah tombol telah dihidupkan, sebuah program baru telah diinstal. Matanya terbuka, namun dunia terlihat berbeda. Lebih tajam, lebih dingin, lebih… jelas.


Dia masih berdiri di depan cermin besar. Ruangan itu tampak sama, debu dan puing-puing, papan gabus dengan foto-foto korbannya. Tapi ada yang berbeda. Udara terasa lebih ringan, namun lebih menekan. Sebuah aura aneh menyelimuti segalanya.


Dia melihat pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, mata cekung, rambut acak-acakan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari pantulan itu. Senyum tipis, samar, mulai mengembang di bibirnya. Senyum itu terasa asing, dingin, dan tidak pernah Clara kenal. Dan matanya… mata yang seharusnya penuh ketakutan dan trauma, kini memancarkan kilatan gelap yang dalam, kilatan yang menyerupai mata Jonathan Reed di pantulan tadi.


Dia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya di cermin. Pantulan itu menirukan gerakannya dengan sempurna. Dia memiringkan kepalanya sedikit, dan pantulan itu juga. Sebuah sensasi aneh menjalar di lengannya, sensasi kekuatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.


Di latar belakang, di dalam cermin, dia melihat siluet Jonathan Reed mulai memudar. Sosok itu perlahan-lahan larut dalam kegelapan, seolah-olah dia telah menyelesaikan misinya, seperti tinta yang meresap ke dalam kertas, meninggalkan jejaknya. Sebuah bayangan terakhir dari tawa dingin bergema di benaknya.


"Selamat datang, Clara," sebuah suara berbisik, bukan dari luar, melainkan dari dalam kepalanya sendiri. Itu adalah suara Jonathan Reed, namun kini terdengar lebih dekat, lebih menyatu dengan pikirannya. “Permainan baru saja dimulai.”


Tiba-tiba, suara sirine polisi melengking dari kejauhan. Clara tidak terkejut. Dia tahu mereka akan datang. Dia tidak tahu bagaimana mereka menemukannya, tapi dia tidak peduli. Perasaan yang aneh, dingin, dan tenang menguasai dirinya.


Pintu besi itu terbuka dengan paksa, berderit keras. Beberapa petugas polisi menyerbu masuk, senter mereka menari-nari di kegelapan. Mereka melihat Clara berdiri di depan cermin, tampak kosong dan aneh.


"Nona Clara! Syukurlah kau baik-baik saja!" teriak seorang petugas. Mereka mengepungnya, memastikan dia aman.


Clara tidak menjawab. Dia hanya menatap pantulannya di cermin. Senyum itu. Mata itu. Apakah ini dia? Atau apakah dia telah menjadi sesuatu yang dia takuti?


Seorang detektif senior melangkah maju, memandang Clara dengan tatapan prihatin. “Nona Clara, apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?”


Clara menoleh ke arah detektif itu. Sebuah respons logis muncul di benaknya, sebuah kebohongan yang rapi dan meyakinkan. Dia akan mengatakan dia mengikuti petunjuk yang dia ingat, dan dia berhasil menyelinap keluar karena panik. Dia akan mengatakan dia hanya ingin menemukan jawaban.


Tapi Clara tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum. Senyum tipis dan dingin itu. Detektif itu mundur selangkah, ekspresinya berubah menjadi campuran kebingungan dan ketidaknyamanan. Ada sesuatu yang salah dengan Clara. Sesuatu yang sangat salah.


Mereka membawa Clara keluar dari rumah sakit jiwa itu. Dia tidak melawan. Dia berjalan dengan tenang, matanya menatap kosong ke depan. Dia melewati reruntuhan, melewati pohon-pohon, melewati kegelapan.


Di belakangnya, di dalam ruangan tersembunyi itu, cermin besar "Cermin Kegelapan" tetap berdiri tegak. Ruangan itu kini kosong, tanpa suara, tanpa bayangan. Namun, entah bagaimana, cermin itu terasa lebih gelap, lebih dalam, seolah-olah telah menyerap kegelapan dari jiwa yang baru saja ditempatinya.


Kasus Windfall Creek tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan sepenuhnya. "Detektif Ardi" palsu yang tertangkap tidak pernah berbicara. Dia dinyatakan tidak waras, tetapi motif dan koneksinya dengan Jonathan Reed tidak pernah terungkap. Polisi mengira mereka telah menangkap pelakunya, tetapi mereka tidak tahu bahwa permainan sebenarnya baru saja dimulai.


Clara dibawa ke sebuah fasilitas rehabilitasi psikologis. Dia tidak lagi ketakutan. Dia tampak tenang, terlalu tenang. Dia sering menatap cermin, senyum tipis di bibirnya. Para dokter menganggapnya sebagai efek trauma, sebuah cara untuk mengatasi syok yang mendalam.


Namun, di dalam diri Clara, sebuah kesadaran baru tumbuh. Kesadaran akan kekuatan yang dingin dan gelap. Dia mulai mengingat hal-hal yang tidak pernah dia alami, pengetahuan yang bukan miliknya. Cara-cara untuk memanipulasi, untuk bersembunyi, untuk menikmati ketakutan orang lain.


Suatu malam, Clara melihat cermin di kamarnya. Pantulannya menatap balik, dengan senyum yang semakin jelas, semakin mengancam. Dia mengangkat tangannya, perlahan menyentuh permukaan kaca. Di dalam pantulan itu, matanya berkilat gelap, dan di sudutnya, dia melihat bayangan samar seorang pria tersenyum. Jonathan Reed.


Apakah Clara telah berubah menjadi sesuatu yang dia takuti? Apakah roh psikopat itu telah berpindah ke dalam dirinya, mencari wadah baru untuk melanjutkan permainan kejamnya? Atau apakah Clara sendiri yang selama ini adalah pelakunya, tanpa sadar, dan semua kejadian itu hanyalah delusi dari pikiran yang terganggu sejak awal, sebuah perpecahan kepribadian yang mengerikan?


Tidak ada yang tahu pasti. Kasus itu tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan, sebuah luka terbuka di hati Windfall Creek. Dan bagi Clara, kini entitas yang tidak lagi bisa disebut Clara, cermin itu adalah teman barunya, refleksi dari kegelapan yang kini bersemayam di dalam dirinya.


 


 



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)