Cerpen
Disukai
3
Dilihat
1,604
Suara Terompet
Horor

Bab 1 – Terompet Tua di Toko Antik

Bau apak buku tua dan kayu lapuk menyeruak begitu Dika melangkah masuk ke dalam toko antik "Pusaka Senja". Debu tebal menyelimuti setiap pajangan, dari patung-patung perunggu berkarat hingga guci-guci keramik retak yang tampak menyimpan rahasia berabad-abad. Dika, seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan proyek musik eksperimental, tertarik pada toko ini karena desas-desus tentang instrumen langka yang kadang muncul di sana. Dia bukan musisi virtuoso, tapi semangatnya untuk menjelajahi bunyi-bunyian baru tak pernah padam.

Matanya menyapu rak-rak tinggi, mencari sesuatu yang menarik perhatiannya. Kemudian, di sudut yang redup, di balik tumpukan kotak musik usang, sebuah kilauan tembaga menarik pandangannya. Itu adalah sebuah terompet tua, kusam dan berkarat di beberapa bagian, namun memancarkan aura misteri yang tak bisa Dika abaikan. Terompet itu tampak lebih tua dari benda-benda lain di sekitarnya, dengan ukiran-ukiran aneh yang melingkari belnya, menyerupai simbol-simbol kuno yang tidak dikenal.

"Tertarik dengan yang satu itu, Nak?" Suara serak dan pelan mengagetkan Dika. Penjual toko, seorang pria tua dengan rambut putih tipis dan mata yang tampak menyimpan kisah tak terhingga, muncul dari balik rak. Wajahnya dipenuhi kerutan, seolah setiap pengalaman hidupnya terukir jelas di sana.

Dika mengangguk, mengulurkan tangan untuk menyentuh terompet itu. Rasanya dingin di bawah sentuhannya, bahkan sedikit menggigil. "Ini… terompet dari mana, Pak?" tanyanya, mencoba terdengar santai, padahal ada rasa penasaran yang menggebu di dadanya.

Pria tua itu tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ah, yang itu. Sebuah pusaka lama, Nak. Ditemukan di reruntuhan sebuah kuil kuno di pedalaman. Konon, dulunya digunakan dalam upacara pemanggilan, jauh sebelum musik modern dikenal. Ada yang bilang terompet itu pernah jadi bagian dari orkestra perang, mengiringi pasukan yang tak pernah kembali. Ada juga yang percaya itu adalah alat untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur, atau bahkan... entitas lain." Ia berhenti sejenak, tatapannya menembus Dika. "Makanya, ada satu hal yang harus kamu tahu, Nak. Jangan pernah, sekali-kali, tiup terompet ini antara jam tujuh sampai delapan malam."

Dika tertawa kecil, meskipun ada sedikit bulu kuduk berdiri di lengannya. "Mitos, ya, Pak? Seperti cerita-cerita horor yang sering didengar." Dia mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. Peringatan itu terasa aneh, tidak lazim untuk seorang penjual yang biasanya hanya tertarik pada uang.

Pria tua itu tidak membalas tawa Dika. Ekspresinya tetap serius, bahkan sedikit muram. "Bukan mitos, Nak. Itu adalah peringatan. Ada harga yang harus dibayar untuk bunyi yang melanggar batas waktu." Ia menyerahkan terompet itu kepada Dika, dan Dika bisa merasakan dinginnya tembaga menusuk telapak tangannya. "Anggap saja ini sebagai bagian dari sejarahnya. Kalau kamu bisa menghormatinya, ia akan jadi alat musik yang unik. Kalau tidak... yah, jangan bilang saya tidak memperingatkan."

Dika membayar terompet itu dengan sedikit uang sakunya. Dia merasa aneh. Senang karena mendapatkan instrumen unik, tapi juga sedikit gelisah karena peringatan aneh itu. Saat dia melangkah keluar dari "Pusaka Senja" dan kembali ke hiruk-pikuk kota, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah takhayul belaka, bualan seorang penjual tua untuk menambah kesan mistis pada barang dagangannya. Dia tidak tahu bahwa dia baru saja membawa pulang sebuah melodi kematian yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Bab 2 – Bunyi Terlarang di Jam Tujuh

Malam itu, apartemen sederhana Dika terasa penuh dengan energi baru. Terompet tua itu tergeletak di meja ruang tamu, memantulkan cahaya lampu yang remang. Dia sudah membersihkannya sedikit, menghilangkan lapisan debu, dan terompet itu kini terlihat lebih menawan dengan ukiran-ukiran rumitnya yang lebih jelas terlihat. Otaknya sibuk membayangkan bagaimana suara terompet kuno ini akan berpadu dengan aransemen musik modernnya.

Dika menghubungi Reza, sahabat karibnya sejak SMP. Reza adalah seorang produser musik amatir yang selalu tertarik pada eksperimen Dika. Mereka memiliki ikatan yang dalam, sering berbagi mimpi dan kesulitan. Reza adalah tempat Dika berbagi semua bebannya, dan sebaliknya.

"Reza! Aku punya sesuatu yang gila untuk ditunjukkan padamu!" seru Dika penuh semangat begitu Reza mengangkat telepon.

"Gila? Seberapa gila?" jawab Reza, suaranya terdengar geli. "Jangan bilang kamu menemukan theremin dari abad ke-18."

Dika tertawa. "Hampir! Ini terompet tua, dari toko antik. Penjualnya bilang ini ada kutukannya atau semacamnya."

"Kutukan? Wah, menarik! Aku ke sana sekarang!"

Tak lama kemudian, Reza sudah berada di apartemen Dika, mata lebarnya terpukau saat melihat terompet itu. "Ini asli, Dik! Ukirannya rumit banget. Kelihatan kuno. Jadi, kutukan apa yang dimaksud si Kakek?"

Dika menceritakan peringatan penjual tua itu dengan nada bercanda. "Katanya jangan ditiup antara jam tujuh sampai delapan malam. Konyol, kan?"

Reza mengangkat alisnya. "Aneh juga. Tapi justru itu yang bikin penasaran! Coba tiup sekarang, ini jam berapa?"

Dika melirik jam dinding. Pukul 19:15. Persis di dalam "zona terlarang". Sejenak, keraguan menyelinap. Ingatan akan keseriusan pria tua itu terlintas. Namun, rasa penasaran, ditambah dengan desakan Reza, mengalahkan keraguannya. Mereka berdua sering kali nekat dan suka menantang hal-hal tabu, terutama yang berbau mistis. Ini hanya mitos, kan?

"Baiklah, demi ilmu pengetahuan!" Dika mengangkat terompet itu. Bibirnya menyentuh corong dingin. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu meniupnya.

Sebuah suara melengking, dalam, dan sedikit sumbang memenuhi ruangan. Bukan suara terompet modern yang cerah, melainkan resonansi aneh yang seolah datang dari masa lalu. Suara itu terasa dingin, membawa serta getaran yang tidak biasa. Dika dan Reza saling pandang, lalu terkekeh.

"Tidak terjadi apa-apa," kata Reza, meledak dalam tawa. "Cuma suara terompet tua biasa. Penjual itu pasti sengaja bikin sensasi biar dagangannya laku."

Dika ikut tertawa, lega. "Benar! Aku juga sudah menduganya. Cuma takhayul kuno."

Mereka berdua menghabiskan malam itu dengan mencoba berbagai nada dan melodi dengan terompet itu, mengabaikan sepenuhnya peringatan yang diberikan. Mereka bahkan mengambil foto bersama sambil memegang terompet, tertawa dan bercanda, tidak menyadari bahwa tawa mereka adalah prelude bagi melodi yang jauh lebih gelap, melodi yang baru saja mereka undang ke dalam hidup mereka. Angin malam berdesir di luar jendela, seolah berbisik, membawa firasat yang tidak mereka dengar.

Bab 3 – Api dan Kematian

Pagi berikutnya, Dika terbangun dengan perasaan yang aneh. Bukan karena suara terompet, tapi karena kekosongan yang terasa menusuk. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya, pada jam seperti ini, ponselnya akan berdering, entah itu telepon dari Reza yang mengajaknya sarapan di warung langganan, atau pesan dari grup chat mereka. Tapi pagi ini, tidak ada apa-apa.

Dia meraih ponselnya, berniat mengirim pesan ke Reza, menanyakan apakah dia sudah mendengar suara terompet itu lagi. Namun, sebelum sempat mengetik, sebuah berita mengejutkan muncul di linimasa media sosialnya.

Sebuah foto rumah yang hangus terbakar, asap masih mengepul ke langit pagi yang cerah. Jantung Dika mencelos ketika dia mengenali bentuk rumah itu. Itu adalah rumah Reza.

Tangannya gemetar saat membaca berita yang menyertainya. "Kebakaran Hebat Melalap Sebuah Rumah di Permukiman Padat Penduduk, Enam Orang Tewas Terjebak Api." Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam dadanya. Enam orang. Reza dan lima anggota keluarganya. Ibunya, ayahnya, kedua adiknya, dan neneknya. Semua tewas mengenaskan.

Dika tidak bisa bernapas. Ia segera memanggil nomor Reza, berulang kali, tapi hanya nada sambung yang memekakkan telinga. Ia mencoba menghubungi kerabat Reza yang lain, mencoba mencari kepastian bahwa berita ini salah, bahwa ini hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada yang menjawab.

Ia buru-buru menyambar kunci motornya dan melaju menuju rumah Reza. Sepanjang perjalanan, otaknya berputar, mencoba memahami bagaimana ini bisa terjadi. Reza adalah seorang perokok hati-hati, tidak pernah meninggalkan puntung sembarangan. Instalasi listrik di rumah itu juga baru diperiksa.

Ketika Dika tiba di lokasi, rumah Reza sudah menjadi arang, hanya menyisakan kerangka hangus yang menyedihkan. Garis polisi telah membentang, dan beberapa tetangga terlihat berkumpul, wajah mereka pucat dan mata mereka sembap. Petugas pemadam kebakaran masih melakukan pendinginan.

"Api... api itu aneh sekali, Nak," kata seorang tetangga tua kepada Dika, suaranya bergetar. "Seperti ada yang mengurungnya. Tidak menyebar ke rumah-rumah di sebelahnya sama sekali. Hanya rumah Reza yang ludes. Padahal jaraknya dekat sekali."

Dika mendengarkan, tapi otaknya terasa mati rasa. Hanya satu pikiran yang terus berputar di benaknya, dingin dan mengerikan: Tiupan terompet. Jam 19:15. Peringatan penjual tua itu.

Ia mengingat tawa mereka tadi malam, menganggap enteng peringatan itu. Sekarang, tawa itu terasa seperti dengungan terakhir sebelum kesunyian abadi. Rasa bersalah mulai mencengkeramnya, dingin dan mematikan, lebih dingin dari terompet itu sendiri. Ini tidak mungkin kebetulan. Tidak mungkin.

Bab 4 – Terompet dan Trauma

Beberapa hari setelah pemakaman Reza dan keluarganya, Dika hidup dalam kabut kesedihan dan ketakutan. Setiap sudut apartemennya terasa kosong tanpa kehadiran Reza, tanpa canda tawa mereka. Dan setiap kali matanya jatuh pada terompet tua itu, yang kini tergeletak sunyi di meja, rasa bersalah itu membakar.

Dia berusaha mencari penjelasan logis. Mungkin korsleting listrik, mungkin gas bocor. Tapi dia tidak bisa mengabaikan fakta yang terlalu mengerikan: api itu hanya melahap rumah Reza. Tidak menyebar. Dan Reza meniup terompet itu di "jam terlarang" bersamanya.

Dika akhirnya tidak tahan lagi. Dengan tangan gemetar, dia mengambil terompet itu. Dinginnya tembaga kini terasa seperti es yang menusuk jiwanya. Dia mencari sebuah kotak kayu tua yang biasa ia gunakan untuk menyimpan perlengkapan melukisnya, lalu dengan hati-hati meletakkan terompet itu di dalamnya. Dia menutup kotak itu rapat-rapat, menguncinya, dan menyimpannya di bagian paling belakang lemarinya, di bawah tumpukan pakaian yang jarang digunakan. Dia berharap dengan begitu, dia bisa mengubur ingatan pahit itu, mengubur ketakutan itu.

Namun, harapan itu sia-sia.

Setiap malam, begitu jam menunjukkan pukul 19:00, Dika mulai merasakan perubahan di apartemennya. Udara menjadi dingin, padahal AC tidak menyala. Suara-suara kota yang biasanya bising meredup, digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Bahkan suara detak jam dinding pun terasa terlalu keras dalam keheningan itu.

Dia mencoba mengalihkan perhatian. Menyalakan televisi, membaca buku, bahkan mencoba bermain game. Tapi sensasi dingin dan sunyi itu terus merayap, menusuk ke tulang. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasinya, menunggu, tepat di antara pukul 19:00 dan 20:00.

Teror itu tidak berwujud, tidak ada suara terompet yang terdengar. Hanya ada keheningan dan dingin yang abnormal, seolah waktu itu sendiri berhenti berdetak, menunggu. Dika sering kali menemukan dirinya menatap lemari tempat terompet itu disimpan, merasa seolah ada energi gelap yang memancar dari sana. Rasa paranoid mulai menggerogoti kewarasannya. Ia mulai percaya, bukan hanya pada peringatan si penjual, tapi pada kutukan itu sendiri. Kutukan yang kini melekat padanya, dan mungkin, pada terompet itu.

Dia tidak bisa tidur nyenyak. Mimpi buruk menghantuinya, di mana dia melihat wajah-wajah hangus Reza dan keluarganya, mata mereka kosong, menatapnya penuh tuduhan. Dan di kejauhan, selalu ada suara terompet yang melengking, meskipun dia tahu itu hanya di dalam kepalanya. Ketakutan itu nyata, dan semakin membesar setiap malam, seiring dengan berjalannya waktu antara jam tujuh hingga delapan.

Bab 5 – Tiupan Kedua

Dika tahu dia tidak bisa terus-menerus terkurung dalam ketakutan. Dia butuh menjernihkan pikiran. Jadi, dia memutuskan untuk pergi keluar kota, mengunjungi neneknya di desa yang jauh dari keramaian. Dia berharap udara pegunungan dan suasana tenang akan membantunya melarikan diri dari bayangan terompet dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Sebelum berangkat, dia memastikan lemari tempat terompet itu disimpan terkunci rapat, dan kuncinya ia bawa. Dia bahkan menutup kamar itu, seolah ingin mengisolasi kutukan itu di sana.

Beberapa hari kemudian, saat Dika sedang menikmati ketenangan di rumah neneknya, ia menerima telepon dari adiknya, Aldi. Aldi adalah mahasiswa tingkat satu yang polos dan sedikit ceroboh, sering datang berkunjung ke apartemen Dika untuk menumpang istirahat atau mencari makan gratis.

"Kak, aku mampir ke apartemenmu tadi," kata Aldi, suaranya ceria seperti biasa. "Tadi aku mau pinjam buku catatanmu, tapi kamu kunci kamarmu. Aku pakai kunci cadangan yang kamu titipkan ke Mama."

Dika merasakan jantungnya berdetak kencang. "Kenapa kamu ke sana, Di? Ada perlu apa?"

"Enggak ada apa-apa kok, cuma mau pinjam buku. Terus aku lihat ada kotak kayu aneh di lemari. Isinya terompet kuno, keren banget! Kamu beli di mana, Kak? Aku coba tiup, suaranya beda banget!"

Dika merasa darahnya mengering. "Aldi! Jam berapa kamu tiup terompet itu?" suaranya tercekat.

Aldi tertawa. "Kenapa sih, Kak? Kamu aneh banget. Jam tujuh lewat seperempat, kalau enggak salah. Pas aku mau cabut, iseng aja. Suaranya serak-serak gitu, tapi unik! Kamu mau coba rekaman pakai itu, Kak? Aku bisa bantu atur mixing-nya."

Dika tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Aldi selanjutnya. Pikirannya kosong, diselimuti teror yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah dia rasakan. Jam 19:15. Terompet itu ditiup lagi. Dan kali ini, orang yang meniupnya adalah adiknya sendiri, yang tidak tahu apa-apa.

Dia buru-buru mengucapkan selamat tinggal kepada Aldi, berjanji akan menelepon kembali. Tapi yang dia lakukan adalah segera mencari tiket pulang terdekat. Ia merasa mual. Firasat buruk yang mengerikan mencengkeramnya. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia sudah melihatnya terjadi sekali.

Sepanjang perjalanan pulang, Dika tak henti-hentinya berdoa. Berdoa agar semua ini hanya mimpi buruk, agar Aldi baik-baik saja, agar peringatan itu hanya berlaku sekali. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tahu itu adalah harapan yang sia-sia. Kutukan itu telah datang lagi, dan kali ini, menargetkan orang-orang yang paling ia sayangi: keluarganya sendiri.

Bab 6 – Rumah yang Sunyi

Dika tiba di apartemennya menjelang subuh, tubuhnya lelah, namun pikirannya dihantui oleh ketakutan yang tak tertahankan. Dia membuka pintu perlahan, merasakan hawa dingin yang familiar menyambutnya, bahkan lebih menusuk dari biasanya. Sebuah firasat buruk merayap di punggungnya, lebih kuat dari malam-malam sebelumnya.

"Aldi? Mama? Papa?" panggilnya, suaranya serak. Tidak ada jawaban. Rumah terasa sunyi. Terlalu sunyi.

Biasanya, pada jam segini, ibunya sudah bangun dan menyiapkan sarapan, atau ayahnya sudah mulai menyalakan televisi. Tapi pagi ini, tidak ada suara apa pun. Bahkan suara dengkuran Aldi pun tidak terdengar dari kamarnya.

Dika berjalan perlahan, setiap langkah terasa berat. Dia memeriksa kamar tamu, lalu dapur. Kosong. Rasa panik mulai mencengkeram. Dia naik ke lantai atas, jantungnya berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan dia temukan.

Dia membuka pintu kamar orang tuanya. Pemandangan di dalamnya membuat napasnya tercekat, dan ia terpaksa menahan jeritan yang ingin keluar dari kerongkongannya.

Ayah dan ibunya tergeletak di tempat tidur mereka, kaku dan pucat. Mata mereka melotot, seolah melihat sesuatu yang mengerikan di saat-saat terakhir mereka. Tidak ada luka bakar, tidak ada bekas kekerasan, hanya... kematian yang sunyi dan mengerikan.

Dika beralih ke kamar Aldi. Adiknya terbaring di tempat tidur, sebuah buku komik masih terbuka di sampingnya, seolah ia tertidur dalam damai. Namun, seperti orang tuanya, mata Aldi terbuka lebar, dan kulitnya dingin pasi. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut yang sama.

Seluruh anggota keluarganya. Semua tewas.

Dika terduduk lemas di lantai, air mata mengalir deras di pipinya. Dia tidak bisa lagi menahan tangis. Perasaan bersalah yang luar biasa membanjiri dirinya. Dia yang membawa terompet itu ke rumah ini. Dia yang tidak memperingatkan Aldi. Dia yang telah membawa kutukan ini kepada keluarganya.

Lalu, sebuah kesadaran menyengatnya. Dia selamat. Dia tidak mati. Kenapa?

Ia memutar otaknya, mengingat detail-detail mengerikan itu. Reza dan keluarganya tewas setelah terompet ditiup saat Dika berada di sana. Kini, keluarganya tewas setelah Aldi meniup terompet saat Dika sedang di luar kota.

Tiba-tiba, semuanya menjadi jelas, mematikan. Kutukan itu hanya menargetkan orang-orang yang berada di dalam rumah saat terompet ditiup antara jam 7 sampai 8 malam. Dika selamat karena dia tidak mendengar suara terompet itu secara langsung, karena dia tidak berada di bawah satu atap dengan suara mematikan itu.

Dika menatap tangannya yang gemetar. Dia adalah satu-satunya yang selamat. Dia adalah saksi bisu dari kengerian yang disebabkan oleh sebuah benda kuno, sebuah terompet yang sekarang terasa seperti alat pembawa kematian. Rasa lega bercampur dengan rasa jijik pada dirinya sendiri. Dia selamat, sementara orang-orang yang dicintainya telah pergi, semua karena sebuah tiupan yang dianggapnya sepele.

Di sudut ruangan, lemari tempat terompet itu disimpan terasa memancarkan aura dingin yang menusuk. Dika tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan benda terkutuk itu berada di rumahnya lagi. Tidak sedetik pun.

Bab 7 – Kutukan yang Terus Berbunyi

Rumah Dika kini terasa seperti kuburan. Polisi dan tim forensik telah datang dan pergi, menyelidiki kematian misterius keluarganya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada racun, tidak ada penjelasan medis yang logis. Mereka hanya bisa menyimpulkan penyebab kematian yang tidak jelas, meninggalkan Dika dengan beban trauma dan pertanyaan tanpa jawaban.

Dika kini sendirian. Kesendirian itu terasa lebih berat daripada kesedihan. Setiap malam, saat jam mendekati pukul 19:00, sensasi dingin dan sunyi itu kembali. Tapi kali ini, tidak hanya itu. Bayangan-bayangan mulai menghantuinya. Wajah pucat Reza, mata melotot orang tuanya, dan senyum polos Aldi yang membeku dalam kematian. Mereka muncul di sudut matanya, berbisik-bisik, seolah memanggil namanya.

Yang paling mengerikan, Dika mulai mendengar suara terompet. Bukan suara nyata, tapi gaung melengking yang hanya ada di kepalanya. Itu adalah suara terompet yang sama saat ia meniupnya bersama Reza. Suara yang kini terasa seperti melodi pemanggilan kematian. Suara itu berulang setiap malam, tepat antara jam 19:00 dan 20:00, mengoyak kewarasannya.

Ia tidak tahan lagi. Kutukan itu tidak hanya membunuh orang-orang yang dicintainya, tapi juga perlahan-lahan membunuh jiwanya. Ia harus mengakhiri ini. Ia harus membuang terompet itu jauh-jauh, ke tempat yang tidak akan pernah ditemukan siapa pun.

Tengah malam itu, Dika membawa terompet itu keluar dari lemari. Benda tembaga itu terasa sangat berat di tangannya, seolah memikul beban semua nyawa yang telah diambilnya. Ia membungkusnya dengan kain hitam tebal, seolah ingin menyembunyikan kegelapan di dalamnya, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel.

Ia mengendarai motornya menembus kegelapan malam, menyusuri jalan-jalan sepi menuju sungai besar di pinggir kota. Angin malam berdesir, membawa bisikan-bisikan halus yang hanya Dika yang bisa mendengarnya, seolah para korban terompet itu mengikutinya, menuntut keadilan.

Setibanya di tepi sungai, Dika memandang arus air yang gelap. Ini adalah satu-satunya cara. Dia melemparkan tas ransel berisi terompet itu dengan sekuat tenaga ke tengah sungai.

Benda itu tenggelam dengan cepat, menghilang di bawah permukaan air yang gelap. Dika berdiri di sana untuk waktu yang lama, menyaksikan riak-riak terakhir menghilang, berharap semua penderitaannya akan ikut tenggelam bersamanya.

Namun, saat ia berbalik untuk pulang, sebuah suara terompet yang tak terdengar kembali berdengung di telinganya. Lebih keras dari sebelumnya. Dan bayangan-bayangan itu, bayangan Reza, orang tuanya, dan Aldi, kini berdiri di tepi sungai, menatapnya. Mereka tidak menghilang. Mereka tidak pergi. Mereka memanggil namanya, suara terompet itu mengiringi panggilan mereka, seolah mengatakan, "Kami tidak akan pernah pergi. Kutukan ini tidak akan pernah berakhir."

Dika sadar. Membuang terompet itu tidak akan menghentikan kutukan. Kutukan itu telah meresap ke dalam dirinya, ke dalam ingatannya, ke dalam jiwanya. Dia adalah saksi terakhir, pembawa kutukan itu. Dan selama terompet itu masih ada, di mana pun itu, kutukan itu akan terus berbunyi, menunggu korban berikutnya.

Bab 8 – Akhir atau Awal?

Beberapa minggu kemudian, kehidupan Dika adalah neraka yang berulang. Dia mencoba melanjutkan hidupnya, kembali ke kampus, mencoba fokus pada musiknya, tapi setiap upaya terasa sia-sia. Bayangan-bayangan itu masih ada, bisikan-bisikan itu masih menghantuinya, dan gaung terompet itu terus berdengung di benaknya setiap malam. Dia merasa terjebak dalam siklus kengerian, dan tidak ada yang bisa dia lakukan.

Suatu sore yang cerah, di tepi sungai yang sama tempat Dika membuang terompet itu, seorang perempuan gelandangan tua sedang mencari barang bekas. Rambutnya putih kusam, pakaiannya compang-camping, dan wajahnya dipenuhi kerutan yang menceritakan pahitnya kehidupan. Dia mengais-ngais sampah dan puing-puing yang terdampar di tepi sungai.

Tangannya yang keriput menyentuh sesuatu yang keras dan dingin di antara tumpukan lumpur dan sampah. Dia menariknya keluar. Itu adalah sebuah terompet tua, kusam dan berkarat, namun masih memancarkan aura aneh. Kain hitam yang membungkusnya telah membusuk dan terlepas.

Perempuan tua itu menatap terompet itu dengan mata berbinar. Dia pernah mendengar cerita-cerita kuno tentang sebuah terompet yang memiliki kekuatan, yang dulunya digunakan oleh leluhur untuk memanggil sesuatu. Dia tidak tahu persis apa, tapi dia selalu tertarik pada cerita-cerita itu. Dan sekarang, terompet itu ada di tangannya.

Sebuah senyum tipis, penuh misteri, merekah di bibir keriputnya. Dia mengangkat terompet itu, mengelus ukiran-ukiran aneh di permukaannya. "Sudah waktunya dunia mendengarmu lagi," bisiknya pelan, suaranya serak dan bergetar, seolah dia sedang berbicara kepada benda hidup.

Jam di menara kota menunjukkan pukul 7:00 malam.

Angin malam berdesir lembut, membawa serta suara yang nyaris tak terdengar. Sebuah tiupan pelan, sangat pelan, namun jelas. Suara terompet yang kini bebas, kembali berbunyi, mengumumkan kedatangan kutukan baru, menunggu korban berikutnya.

Di tempat lain, Dika yang sedang duduk termenung di apartemennya, tiba-tiba merasakan hawa dingin yang menusuk. Gaung terompet itu, yang selalu ada di kepalanya, kini terdengar lebih jelas, seolah ditiup dari jarak yang sangat dekat. Dia menatap ke luar jendela, ke arah kota yang bising, dan dalam benaknya, dia melihat bayangan-bayangan itu tersenyum, menyambut melodi baru yang telah dimulai.

Kutukan itu belum berakhir. Ini hanyalah awal yang baru.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)