Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,301
Guru BU Ratmi
Horor

Bab 1: Legenda Guru Malam

SMA Bhakti Jaya berdiri angkuh di tengah kota kecil Waru, sebuah bangunan tua dengan arsitektur kolonial yang mengisahkan jejak waktu. Dinding-dindingnya yang kusam menyimpan lebih dari sekadar kenangan pelajaran; mereka berbisik tentang legenda, khususnya kisah tragis seorang guru bernama Bu Ratmi. Konon, pada tahun 1955, Bu Ratmi meninggal secara misterius di lingkungan sekolah. Tubuhnya ditemukan di dalam sumur tua di belakang laboratorium biologi, tanpa ada saksi mata, tanpa penjelasan yang memuaskan. Sejak saat itu, bisik-bisik mengerikan menyebar: arwah Bu Ratmi masih bergentayangan, terutama pada tengah malam, di kelas 9B—ruangan tempat ia terakhir mengajar.

Bagi Arka, Nia, Dito, Rani, dan Farhan, legenda itu bukan sekadar cerita pengantar tidur. Mereka adalah siswa-siswi kelas XI yang terjebak dalam pusaran kebosanan kota kecil dan hiruk pikuk media sosial. Arka, sang pemimpin tak resmi kelompok, memiliki ambisi tersembunyi. Ia adalah seorang content creator pemula dengan kanal YouTube yang nyaris tidak memiliki penonton. Obsesinya adalah membuat video horor yang viral, dan kisah Bu Ratmi adalah tambang emas yang sempurna.

"Bayangkan, guys," Arka bersemangat, bola matanya berbinar di balik bingkai kacamatanya yang sedikit miring, "Video kita bisa jadi trending! Sekolah berhantu, guru hantu, misteri yang belum terpecahkan... bahan baku epic!"

Nia, si pemikir logis dan sedikit skeptis dalam kelompok, lebih tertarik pada aspek jurnalisnya. Ia memegang posisi sebagai ketua redaksi majalah dinding sekolah, dan baginya, cerita Bu Ratmi adalah misteri lokal yang perlu diinvestigasi. Nia percaya bahwa di balik legenda pasti ada kebenaran, dan ia ingin mengungkapnya. "Bukan cuma soal viral, Ka," Nia meralat, suaranya tenang tapi tegas, "Ini kesempatan kita buat menggali sejarah sekolah. Siapa tahu ada fakta baru yang belum terungkap tentang kematian Bu Ratmi."

Dito adalah tipe pemberani yang impulsif. Ia senang tantangan, dan ide uji nyali di sekolah angker adalah adrenalin yang ia cari. Otot-ototnya yang terbentuk dari latihan futsal sering kali membuatnya merasa tak terkalahkan. "Gila aja kalau gak nyoba," Dito nyengir, "Lagipula, kalau beneran ada hantu, kan seru!" Ia adalah orang yang paling bersemangat untuk membuktikan kebenaran legenda, semata-mata untuk kepuasan pribadinya.

Rani, yang dikenal sebagai si penakut dalam kelompok, sebenarnya adalah yang paling penasaran. Rasa ingin tahu sering kali mengalahkan ketakutannya. Ia diam-diam menyimpan ketertarikan pada hal-hal supranatural, sering membaca kisah-kisah horor dan menonton film-film seram di ponselnya hingga larut malam. "Tapi... kalau beneran ada?" suaranya sedikit bergetar, namun matanya memancarkan keingintahuan yang kuat. "Maksudku, gimana kalau Bu Ratmi itu... baik?"

Terakhir, ada Farhan. Ia adalah ahli teknologi dalam kelompok, dengan kamera DSLR canggih, drone mini, dan perekam suara portabel yang selalu ia bawa. Farhan kurang tertarik pada sensasi horor atau liputan jurnalistik; ia hanya terobsesi dengan dokumentasi. Baginya, setiap momen adalah potensi rekaman yang bernilai artistik, dan kisah Bu Ratmi menawarkan tantangan teknis yang menarik dalam kondisi minim cahaya. "Asal pencahayaan cukup dan audio gak noise, gue ikut aja," gumamnya, sibuk memeriksa baterai kameranya.

Mereka berlima telah mendengar kisah Bu Ratmi berkali-kali dari kakak kelas dan penjaga sekolah. Kisah-kisah tentang suara kapur menulis di papan tulis yang kosong, penampakan bayangan wanita di jendela kelas 9B, atau aroma melati yang tiba-tiba menyeruak di koridor sepi. Namun, tak ada yang pernah cukup berani untuk membuktikannya secara langsung, hingga malam itu. Malam di mana bulan sabit menggantung tipis di langit, seolah menjadi saksi bisu dari keberanian (atau mungkin kebodohan) mereka. Tekad mereka bulat. Malam ini, mereka akan membongkar misteri Guru Tengah Malam.

Bab 2: Rencana Tengah Malam

Rencana mereka disusun dengan cermat, meskipun diwarnai bisikan dan tawa gugup. Sabtu malam adalah waktu yang ideal; sekolah kosong melompong, dan penjaga sekolah, Pak Bejo, biasanya pulang lebih awal untuk menengok cucunya di desa sebelah. Mereka memutuskan untuk masuk melalui gerbang belakang yang seringkali hanya terkunci dengan rantai tipis, mudah dibuka dengan alat seadanya yang dibawa Dito.

"Kita masuk jam dua belas lewat lima belas," Arka memberikan instruksi dengan nada serius yang sedikit dibuat-buat. "Biar pas tengah malamnya kita udah di dalam."

"Kita harus bawa apa aja?" tanya Rani, menggigit ujung kukunya.

Farhan sudah menyiapkan tasnya. "Kamera DSLR gue buat visual, perekam suara biar akurat, sama senter yang terang," ujarnya sambil mengeluarkan beberapa peralatan dari tas ranselnya yang berukuran besar. Ia juga membawa sebuah power bank berkapasitas tinggi. "Laptop kecil juga, buat backup data langsung."

"Gue bawa pisau lipat sama obeng, jaga-jaga kalau ada pintu yang susah dibuka," Dito memamerkan alat-alatnya, meskipun Nia langsung menyergah.

"Nggak usah aneh-aneh, Dito," Nia memperingatkan. "Kita cuma mau lihat-lihat, bukan mau berantem sama hantu."

"Tapi... kalau ada yang gak beres?" Rani masih khawatir. "Maksudku, kalau hantunya beneran gak suka kita masuk?"

"Makanya, kita rekam semua," Arka mencoba menenangkan. "Kalau ada apa-apa, kita punya bukti. Lagipula, hantu itu kan cuma ilusi, kan?" Meskipun ia berusaha meyakinkan Rani, ada sedikit keraguan dalam suaranya sendiri.

Motivasi mereka memang beragam. Arka melihatnya sebagai peluang emas untuk menaikkan subscriber di kanal YouTube-nya. Ia sudah membayangkan judul video sensasional: "Uji Nyali di SMA Berhantu: Bertemu Guru Tengah Malam?!" Ribuan views dan komentar, mungkin bahkan tawaran sponsor—semua itu berputar di benaknya.

Nia, di sisi lain, membawa sebuah buku catatan kecil dan pena. Ia berencana mencatat setiap detail, setiap suara, setiap anomali yang mereka temukan. "Aku juga bawa buku catatan. Penting buat dokumentasi yang akurat," Nia menjelaskan, matanya serius. Baginya, ini adalah proyek jurnalisme investigatif pertama yang ia garap secara serius. Ia berharap bisa menulis laporan mendalam untuk majalah dinding sekolah, mungkin bahkan mengirimkannya ke surat kabar lokal jika temuannya cukup signifikan. Ia ingin membuktikan bahwa di balik mitos, selalu ada fakta yang bisa digali.

Dito hanya ingin merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan. Ia bosan dengan rutinitas harian, dan petualangan ini menjanjikan sesuatu yang berbeda, mendebarkan. Ia bahkan membawa sebuah korek api dan rokok, berniat merokok di atap sekolah jika mereka berhasil mencapai sana tanpa gangguan.

Rani, meskipun penakut, tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia penasaran. Ia sudah menghabiskan berjam-jam membaca kisah-kisah creepypasta dan menonton video ghost hunting di internet. Sekarang, ia memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari pengalaman itu sendiri. Ia membawa sebuah boneka kecil dari kain yang selalu ia pegang ketika merasa takut.

Farhan, seperti biasa, hanya tertarik pada aspek teknis. Ia sudah merencanakan sudut pengambilan gambar, pengaturan ISO, dan bahkan membawa mikrofon shotgun untuk menangkap suara sekecil apa pun. Baginya, ini adalah tantangan untuk mendapatkan rekaman berkualitas tinggi dalam kondisi yang paling tidak ideal. Ia bahkan sempat melakukan riset tentang teknik merekam di tempat gelap dan cara mengurangi noise pada audio.

Malam itu, tepat pukul 23.45, mereka berkumpul di sebuah kedai kopi di seberang sekolah, menunggu waktu yang tepat. Jantung mereka berdebar kencang, antara antisipasi dan ketakutan. Angin malam berhembus dingin, membawa serta aroma melati yang entah dari mana asalnya. Rani meremas bonekanya lebih erat. Arka sesekali melirik jam di ponselnya. Dito menepuk-nepuk pahanya dengan gugup. Nia memeriksa kembali catatan yang sudah ia buat. Farhan memastikan semua baterai terisi penuh.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 00.10, mereka melangkah keluar dari kedai kopi, menuju kegelapan yang menanti di balik gerbang SMA Bhakti Jaya. Langkah mereka mantap, namun diselimuti selimut keraguan yang tebal. Mereka tahu, begitu mereka melangkahkan kaki ke dalam area sekolah, tidak ada jalan kembali.

Bab 3: Suara dari Dalam Kelas

Udara malam di lingkungan sekolah terasa berbeda. Sunyi, namun sarat ketegangan. Cahaya bulan sabit yang tipis nyaris tak menembus kerimbunan pohon mangga tua di halaman depan. Hanya ada suara jangkrik dan embusan angin yang menggoyangkan daun-daun. Jantung mereka berlima berpacu, mengiringi setiap langkah kaki yang diupayakan setenang mungkin di atas kerikil.

Dito dengan cekatan membuka rantai gerbang belakang. Bunyi "klik" kecil terasa begitu keras dalam keheningan malam. Mereka menyelinap masuk, dan Dito kembali mengunci gerbang, seolah menyegel mereka di dalam.

"Oke, guys, tetap barengan," Arka berbisik, menyalakan senter yang sinarnya menari-nari di antara bayangan pepohonan. "Farhan, rekam terus. Nia, siapin catetan lo."

Mereka bergerak perlahan, melewati lapangan basket yang sepi dan gedung olahraga yang gelap. Setiap bayangan tampak seperti sosok, setiap hembusan angin terdengar seperti bisikan. Rani berjalan paling belakang, sesekali menarik lengan baju Nia.

Koridor utama terasa lebih dingin dari biasanya. Aroma debu dan lembap bercampur dengan sesuatu yang samar, seperti bau bunga melati layu. Bulu kuduk mereka meremang. Saat melewati ruang guru, mereka semua merasakan keanehan. Sebuah bisikan samar, seperti suara tawa lirih dan gumaman percakapan, terdengar dari dalam.

"Kalian denger itu?" Dito berbisik, senternya diarahkan ke jendela ruang guru yang gelap.

Nia mengangguk, mencengkeram erat buku catatannya. "Kedengeran kayak ada yang lagi ngobrol."

Arka mengangkat perekam suara Farhan mendekat ke jendela, berharap menangkap suara itu lebih jelas. Namun, begitu mereka mendekat, suara itu menghilang, digantikan oleh keheningan total. Hanya detak jantung mereka yang berdentum di telinga.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju gedung kelas 9B yang berada di ujung koridor. Semakin dekat, semakin pekat kegelapan di sana. Farhan mengaktifkan kamera inframerahnya, merekam setiap sudut yang mereka lewati. Senter mereka menyapu dinding-dinding yang dihiasi coretan-coretan usang dan loker-loker berkarat.

Saat mereka tiba di depan kelas 9B, hawa dingin menerpa mereka, lebih menusuk daripada angin malam di luar. Pintu kelas itu sedikit terbuka, menganga seperti mulut gua gelap. Dan dari dalam, terdengar suara yang jelas, membelah keheningan: kreek... kreek... kreek...

Suara kapur menulis di papan tulis.

Nia, yang biasanya rasional, merasakan darahnya berdesir dingin. "Itu... suara kapur?" bisiknya, matanya membelalak.

"Nggak mungkin," gumam Dito, meskipun suaranya lebih gemetar dari yang ia duga. "Kan kosong di dalem."

Farhan segera mengarahkan kameranya ke dalam kelas, merekam celah pintu yang sedikit terbuka itu. Arka mengangkat senternya, menyorot ke dalam ruangan. Yang mereka lihat hanyalah kegelapan pekat, bangku-bangku kosong yang berbaris rapi, dan sebuah papan tulis hitam yang samar-samar terlihat di ujung ruangan.

Namun, suara kapur itu terus berlanjut. Kreek... kreek... kreek... Seolah ada seseorang yang sedang menulis dengan cepat dan teratur di papan tulis yang tidak terlihat.

Rani menahan napas, matanya dipenuhi ketakutan. "Aku... aku nggak mau masuk," bisiknya, mencengkeram lengan baju Arka.

"Tapi, ini dia momennya, Ran," Arka berusaha memberanikan diri, meskipun kakinya terasa berat. Ia tahu ini adalah rekaman yang ia butuhkan untuk videonya. "Kita harus lihat."

Dengan langkah perlahan, Arka mendorong pintu kelas 9B hingga terbuka sepenuhnya. Aroma melati yang kuat langsung menyeruak, menusuk hidung mereka. Lampu senter menari-nari di dalam kelas, menyoroti deretan bangku kosong, meja guru yang rapi, dan papan tulis yang gelap.

Namun, suara kapur itu telah berhenti. Kelas itu sunyi, seolah suara yang mereka dengar tadi hanyalah ilusi. Hanya ada kegelapan dan keheningan yang menyesakkan.

Mereka melangkah masuk, satu per satu, mengelilingi ruangan. Farhan merekam setiap sudut. Arka menyorotkan senternya ke papan tulis. Tidak ada tulisan apa pun di sana. Papan tulis itu bersih, hitam pekat.

"Nggak ada apa-apa," Dito menghela napas, setengah lega, setengah kecewa. "Cuma perasaan kita aja kali ya?"

"Tapi, aku denger jelas suara kapur itu," Nia bersikeras, mencoba mencari penjelasan logis. Ia melangkah ke dekat papan tulis, menyentuh permukaannya. Tidak ada sisa kapur, tidak ada jejak goresan.

Mereka berdiri di tengah ruangan, merasakan kekecewaan yang samar. Apakah semua ini hanya imajinasi mereka? Kelelahan dan ketegangan membuat mereka berhalusinasi?

Tiba-tiba, Arka merasakan hawa dingin yang menusuk tepat di belakang lehernya. Ia berbalik, senternya langsung menyorot ke arah pintu.

Pintu kelas 9B yang tadinya terbuka lebar, kini tertutup rapat. Dan di depan pintu, berdiri sebuah siluet wanita.

Bab 4: "Kamu Terlambat, Nak"

Siluet itu begitu jelas, berdiri tepat di ambang pintu, seolah sudah ada di sana sejak mereka masuk. Jantung Arka seolah berhenti berdetak. Ia tidak bisa bergerak, napasnya tertahan di tenggorokan. Cahaya senter dari tangannya bergetar, menyoroti sosok itu dari ujung kaki hingga kepala.

Wanita itu mengenakan seragam guru zaman dulu: kebaya kutubaru berwarna gelap dengan kain batik panjang yang menjuntai hingga mata kaki. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya tampak samar dalam kegelapan, namun bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Senyum itu... tidak ramah. Ada sesuatu yang dingin dan tidak wajar di dalamnya, seolah ia menikmati ketakutan mereka.

"Si... siapa itu?" Rani berbisik, suaranya nyaris tak terdengar, gemetar hebat. Ia mencengkeram lengan Nia begitu kuat hingga kuku-kukunya memutih.

Dito mundur selangkah, otot-ototnya tegang. Keberaniannya yang tadi menguap begitu saja. Farhan, meskipun tangannya gemetar, tetap memegang kameranya, merekam sosok itu dengan jelas. Cahaya inframerah menampakkan aura samar di sekeliling wanita itu, seolah ia terbuat dari kabut.

Sosok itu melangkah maju, perlahan, tanpa suara. Setiap langkahnya terasa seperti pukulan di dada mereka. Wajahnya semakin jelas terlihat. Kulitnya tampak pucat dan kusam, matanya cekung namun memancarkan tatapan tajam yang menusuk jiwa. Rambut sanggulnya tidak benar-benar rapi; ada beberapa helai yang lepas, seolah ia baru saja bangkit dari tidur yang panjang. Dan dari balik telinganya, mereka melihat sesuatu... sebuah bercak gelap yang aneh, seperti noda lumut.

Nia merasakan perutnya mual. Aroma melati itu semakin kuat, menyesakkan. Ia tahu, dengan pasti, ini bukan manusia. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang seharusnya tidak ada.

Sosok wanita itu berhenti, beberapa meter di depan mereka. Ia memandangi mereka satu per satu, senyumnya semakin lebar, namun tanpa kehangatan. Matanya menyorot tajam ke arah Arka, seolah ia tahu apa yang Arka inginkan.

Kemudian, dengan suara yang lembut namun menggetarkan, dingin seperti angin malam, ia berkata:

"Kamu terlambat, Nak."

Suara itu... begitu dingin, begitu pasti. Mereka semua merasakan hawa dingin menusuk tulang, seolah kalimat itu bukan hanya teguran, melainkan sebuah pernyataan tak terhindarkan. Ada penyesalan yang tersirat dalam nada suaranya, namun juga kepuasan yang menyeramkan.

Arka merasakan keringat dingin mengucur di punggungnya. Kalimat itu adalah signature scene yang ia harapkan, namun kenyataan jauh lebih mengerikan dari apa pun yang ia bayangkan. Ia ingin lari, berteriak, tapi kakinya terpaku di lantai.

Dito, yang biasanya cepat bereaksi, kini terdiam kaku. Rani sudah terisak pelan di balik punggung Nia. Farhan masih merekam, namun tangannya gemetar hebat, fokus kameranya sedikit goyah.

Nia adalah yang pertama berhasil menggerakkan bibirnya. "Si-siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar.

Senyuman di wajah sosok itu semakin lebar. "Guru... adalah pengajar," jawabnya, suaranya kini terdengar lebih jelas, namun masih dingin dan tanpa emosi. "Dan kalian... adalah murid yang terlambat."

"Kita... kita nggak bermaksud ganggu," Arka akhirnya berhasil bicara, suaranya serak. "Kita cuma... penasaran."

Sosok itu menggeleng pelan. "Penasaran adalah awal dari pengetahuan," katanya, tatapan matanya mengunci Arka. "Tapi ada pengetahuan yang lebih baik tidak digali."

Tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangannya. Jari-jarinya ramping, kukunya panjang dan sedikit menguning. Ia menunjuk ke arah papan tulis. Dengan gerakan yang tak terlihat, sebuah kapur putih muncul di antara jari-jarinya.

Dan kemudian, tanpa menyentuh papan tulis, kapur itu mulai menulis dengan sendirinya.

KREEK... KREEK... KREEK...

Sebuah tulisan kaligrafi yang indah, namun menyeramkan, mulai terbentuk di papan tulis yang tadinya kosong:

"PELAJARAN DIMULAI PADA PUKUL 00.00"

Dan di bawahnya, perlahan muncul tulisan kedua:

"MURID YANG TERLAMBAT AKAN MENDAPATKAN HUKUMAN."

Mereka semua mundur selangkah demi selangkah, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ini bukan lagi ilusi atau halusinasi. Ini adalah kenyataan yang mengerikan.

"Lari!" Dito berteriak, akhirnya berhasil memecah kekakuan yang melumpuhkan mereka.

Mereka berbalik, berlari menuju pintu, ingin keluar dari kelas terkutuk ini secepat mungkin. Namun, saat mereka mencapai ambang pintu, sosok wanita itu sudah tidak ada di sana. Pintu kelas 9B kembali terbuka, seolah mengizinkan mereka keluar.

Mereka lari sekuat tenaga, tidak peduli ke mana arahnya, hanya ingin menjauh dari kelas itu. Jantung mereka berdebar kencang, napas terengah-engah, pikiran mereka kacau balau. Mereka tidak pernah menyangka, petualangan uji nyali ini akan berubah menjadi mimpi buruk yang nyata.

Bab 5: Terjebak di Sekolah

Mereka berlari tanpa arah, menembus kegelapan koridor. Suara langkah kaki mereka menggema, terasa seperti detak jantung raksasa yang memenuhi seluruh bangunan. Rani terisak histeris, Dito terus mendesak agar mereka lari lebih cepat, sementara Arka mencoba mencari jalan keluar terdekat. Farhan masih memegang kameranya, merekam kekacauan ini, meskipun hasil rekamannya pasti kacau.

"Gerbang!" teriak Arka, saat mereka melewati pintu utama sekolah. Ia melihat ke arah gerbang depan yang megah, yang seharusnya terkunci, namun seringkali dibuka sedikit oleh Pak Bejo untuk memungkinkan tukang kebun masuk lebih awal.

Dengan harapan, mereka berlima melesat menuju gerbang depan. Namun, saat mereka sampai di sana, kelegaan yang mereka harapkan sirna. Gerbang itu tertutup rapat, rantainya terpasang kuat, dan gemboknya berkilauan di bawah cahaya rembulan. Bukan sekadar terkunci; seolah-olah gerbang itu sudah lama tidak dibuka.

"Nggak mungkin!" Dito menggebrak gerbang dengan frustrasi. "Tadi kan kayaknya kebuka sedikit!"

"Pak Bejo pasti udah ngunci sebelum pulang," Nia mencoba berpikir logis, namun ada nada keputusasaan dalam suaranya.

"Tapi kok bisa secepat ini?" Arka bertanya, suaranya dipenuhi ketakutan. "Kita kan baru masuk beberapa jam yang lalu."

Mereka mencoba gerbang belakang, gerbang samping, bahkan pintu samping gedung olahraga. Semuanya terkunci rapat, bahkan beberapa terasa seperti sudah menyatu dengan tembok, seolah tak pernah dibuka selama bertahun-tahun. Kepanikan mulai merayapi mereka. Mereka terjebak.

Dan kemudian, keanehan lainnya muncul. Cahaya-cahaya di sekolah mulai berubah. Lampu-lampu koridor yang tadinya mati, kini berkedip-kedip redup, mengeluarkan cahaya kehijauan yang menyeramkan. Lampu di lapangan basket, yang seharusnya mati total, kini menyala dengan warna merah darah. Suhu udara di dalam sekolah terasa semakin dingin, bukan dingin yang menyegarkan, melainkan dingin yang menusuk tulang, dingin yang mati.

Di dinding-dinding koridor, bayangan mereka memanjang dan menari-nari dengan aneh, seolah memiliki kehidupan sendiri. Arka melihat bayangannya seolah melambai, memanggilnya. Nia melihat bayangan Rani yang tiba-tiba membesar, seperti raksasa yang menelan seluruh koridor.

"Lihat!" Farhan menunjuk ke arah jam dinding besar di aula utama.

Jam dinding itu berputar mundur, jarumnya berputar cepat ke arah yang berlawanan. Detiknya, menitnya, bahkan jamnya, semuanya kembali ke masa lalu. Suara detiknya terdengar lebih cepat, lebih memburu, seolah waktu sedang mempermainkan mereka.

"Apa-apaan ini?" Dito bergumam, matanya membelalak. Ia mencoba menyentuh jam dinding itu, namun tangannya melewati permukaannya, seolah jam itu hanyalah ilusi.

Puncak kengerian terjadi saat mereka melewati kelas-kelas lain. Di setiap kelas, di setiap papan tulis yang tadinya kosong, kini mulai terisi dengan tulisan-tulisan aneh. Beberapa tulisan tampak seperti rumus-rumus matematika yang rumit, beberapa lagi adalah kutipan-kutipan sastra kuno, dan ada juga yang berisi daftar nama-nama yang asing. Semuanya ditulis dengan kaligrafi yang sama, gaya tulisan yang sama dengan yang ada di papan tulis kelas 9B. Seolah Bu Ratmi sedang mengajar di seluruh kelas secara bersamaan.

"Ini... ini nggak masuk akal," Nia menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mencari penjelasan rasional yang sudah tidak ada. Ia merasakan pikirannya mulai kacau.

"Dia... dia nyekap kita," Rani terisak, air matanya sudah membasahi pipinya. "Dia mau kita jadi muridnya."

"Tapi kenapa?" Arka bertanya, suaranya lemah. "Kenapa dia melakukan ini?"

Mereka akhirnya kembali ke aula utama, tempat jam dinding berputar mundur itu. Mereka terdengar sangat kecil di tengah ruangan yang luas dan gelap itu. Kebingungan dan kepanikan bercampur aduk. Mereka mencoba mencari sinyal telepon, namun ponsel mereka semua menunjukkan "tidak ada layanan". Mereka mencoba mencari tombol alarm kebakaran, namun tombol itu tampak rusak.

Rani terhuyung, duduk bersandar di dinding, kakinya terasa lemas. "Kita nggak bisa keluar..." bisiknya, napasnya tersengal-sengal.

Dito berjalan mondar-mandir, frustrasi. "Harusnya gue nggak nurut sama Arka! Ini semua gara-gara lo mau bikin konten!"

"Hei, ini bukan salah gue sendirian!" Arka membela diri, meskipun ia tahu ada benarnya.

Nia mencoba menenangkan mereka. "Jangan saling menyalahkan sekarang. Kita harus cari cara keluar."

Farhan yang dari tadi diam, tiba-tiba menjatuhkan kameranya. Bunyi "brak" keras memecah kesunyian. Mereka menoleh ke arahnya. Mata Farhan kosong, menatap lurus ke depan, seolah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka. Bibirnya bergerak-gerak, mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.

"Farhan? Lo kenapa?" Arka mendekat, mencoba mengguncang bahunya.

Tapi Farhan tidak merespons. Ia terus bergumam, kalimat-kalimat yang terdengar seperti ejaan kuno, menyebutkan nama-nama yang tidak dikenal. Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin membanjiri dahinya.

"Dia... dia kenapa?" Rani ketakutan.

"Farhan, sadar!" Dito menampar pipinya pelan.

Namun, Farhan tetap di dunianya sendiri. Matanya seolah mengikuti sebuah objek yang tak kasat mata, kepalanya sedikit miring, seolah sedang mendengarkan instruksi.

Arka mengambil kamera Farhan yang jatuh. Layarnya masih menyala, menampilkan rekaman yang mereka ambil. Ia memutar ulang rekaman saat mereka di kelas 9B, saat sosok Bu Ratmi muncul. Suaranya terdengar jernih, mengerikan.

Dan kemudian, ia melihatnya.

Di sudut mata sosok Bu Ratmi, di balik rambut sanggulnya yang sedikit berantakan, ada sebuah luka kecil yang hitam dan mengering, seolah bekas tusukan. Dan di lehernya, samar-samar terlihat jejak kebiruan, seperti bekas cekikan.

Arka membeku. Ini bukan sekadar penampakan. Ini adalah arwah yang membawa beban masa lalu, sebuah misteri kematian yang belum terungkap. Dan mereka, tanpa sadar, telah masuk ke dalam jaringnya.

Bab 6: Satu Per Satu Menghilang (Secara Psikis)

Setelah Farhan menunjukkan perilaku anehnya, suasana di antara Arka, Nia, Dito, dan Rani semakin mencekam. Mereka mencoba membangunkan Farhan, mengguncangnya, bahkan berteriak memanggil namanya, namun tak ada respons. Farhan seolah terperangkap dalam alam bawah sadarnya sendiri, matanya kosong, bibirnya terus komat-kamit seperti sedang mengeja sesuatu.

"Kita harus bawa dia keluar dari sini," Dito berkata, mencoba mengangkat Farhan. Namun, tubuh Farhan terasa berat, kaku seperti patung.

Saat itulah, halusinasi mulai menyerang mereka secara kolektif. Aula utama yang gelap tiba-tiba dipenuhi cahaya samar, seolah lampu-lampu pijar zaman dulu menyala. Aroma melati yang tadinya samar, kini memenuhi seluruh ruangan, terlalu pekat hingga membuat mereka mual.

Tiba-tiba, dari kegelapan di sudut aula, muncul sosok-sosok samar. Mereka terlihat seperti murid-murid, mengenakan seragam sekolah tahun 1950-an, duduk rapi di bangku-bangku kayu yang entah dari mana asalnya. Mereka semua menatap lurus ke depan, seolah sedang mendengarkan pelajaran.

Di depan mereka, di podium guru, berdiri sosok Bu Ratmi. Wajahnya yang tadinya pucat, kini terlihat lebih jelas, namun mengerikan. Kulitnya tampak membusuk, ada bercak-bercak hijau kehitaman di pipinya, dan satu matanya sedikit melorot, menunjukkan rongga gelap di dalamnya. Rambut sanggulnya kini tampak berantakan, dan dari sela-sela untaian rambutnya, terlihat lumut-lumut hijau menjalar di kulit kepalanya. Aroma busuk yang samar mulai tercium, bercampur dengan melati.

"Anak-anak," suara Bu Ratmi terdengar, lembut namun penuh otoritas. Suara itu berasal dari mana-mana, seolah mengelilingi mereka, menembus dinding-dinding. "Siapa yang bisa menjawab soal ini?"

Ia mengangkat tangannya, dan sebatang tongkat kayu tua muncul di genggamannya. Ia mengetuk papan tulis di belakangnya, yang tiba-tiba berisi rumus matematika yang rumit.

Arka merasakan otaknya berputar, mencoba memahami apa yang terjadi. Ini adalah halusinasi massal, tapi terasa begitu nyata. Ia melihat Nia mencengkeram kepalanya, seolah berusaha mengusir suara itu. Dito mengepalkan tangannya, siap menyerang sesuatu yang tidak terlihat. Rani sudah berjongkok, menutupi telinganya, terisak pelan.

"Ini nggak nyata! Ini nggak nyata!" Nia berteriak, suaranya bergetar.

Tapi Bu Ratmi hanya tersenyum, senyum yang mengerikan itu. "Tentu saja ini nyata, Nak. Ini adalah pelajaran."

Kemudian, Bu Ratmi menunjuk ke arah Rani. "Kamu, Nak. Coba selesaikan soal ini di depan."

Rani, yang masih berjongkok, tiba-tiba berdiri. Matanya kosong, seperti Farhan. Ia berjalan perlahan menuju papan tulis, mengambil kapur yang entah dari mana asalnya, dan mulai menulis rumus matematika itu dengan tangan gemetar. Ia menulis dengan kecepatan luar biasa, seolah-olah ia telah mempelajari rumus itu sepanjang hidupnya.

"Rani! Lo kenapa?" Dito berteriak, mencoba menariknya.

Tapi Rani tidak mendengarnya. Ia terus menulis, bergumam kata-kata yang tidak mereka mengerti, seperti seorang siswa yang sedang mengerjakan ujian sulit. Wajahnya menunjukkan ekspresi kebingungan, namun juga semacam ketekunan yang menakutkan.

Dito yang melihat Rani diambil alih, tiba-tiba merasakan sesuatu menusuk punggungnya. Ia berbalik, namun tidak ada apa-apa. Ia merasakan hawa panas menjalar di sekujur tubuhnya, seolah ada api yang membakar dari dalam. Ia melihat bayangan seorang anak laki-laki kecil melintas di depannya, mengenakan seragam sekolah yang sama dengan anak-anak lain. Anak laki-laki itu tersenyum, melambaikan tangan, dan menghilang.

"Aku... aku panas!" Dito berteriak, meraba-raba dadanya. Ia terjatuh ke lantai, kejang-kejang. Matanya memutar ke atas, dan dari mulutnya keluar buih-buih putih. Nafasnya tersengal-sengal.

Arka dan Nia segera mendekat, panik. "Dito! Dito, sadar!" Arka menepuk-nepuk pipinya.

"Dia... dia nggak bergerak," Nia berbisik, suaranya tercekat.

Dari podium, Bu Ratmi tersenyum. "Pelajaran olahraga memang melelahkan, bukan?"

Arka dan Nia menyadari, satu per satu teman mereka sedang diambil alih, terperangkap dalam masa lalu yang mengerikan, menjadi bagian dari kelas Bu Ratmi. Farhan menjadi siswa yang belajar mengeja. Rani menjadi siswa matematika yang cerdas. Dito menjadi siswa olahraga yang kelelahan.

Sekarang hanya tinggal mereka berdua. Rasa takut itu berubah menjadi keputusasaan yang mendalam. Mereka tahu, mereka tidak bisa lari. Mereka terjebak dalam lingkaran waktu yang diciptakan oleh arwah dendam itu.

Arka menatap Nia, matanya dipenuhi ketakutan. Nia membalas tatapannya, air matanya sudah mengalir deras. Mereka saling berpegangan tangan, mencoba mencari kekuatan satu sama lain. Namun, di tengah hiruk pikuk halusinasi, di tengah suara-suara bisikan dari "murid-murid" yang tak terlihat, mereka tahu bahwa mereka adalah target selanjutnya.

Di kejauhan, Rani masih sibuk menulis rumus di papan tulis, sesekali tertawa sendiri. Farhan masih bergumam, mengeja huruf-huruf kuno. Dito terbaring kaku, napasnya semakin melemah.

Mereka mendengar langkah kaki. Bu Ratmi melangkah turun dari podium, perlahan, menuju ke arah mereka. Aroma busuk dari tubuhnya yang membusuk semakin kuat, membuat mereka mual. Matanya yang cekung menatap mereka, seolah melihat mangsa yang empuk.

"Giliran kalian, Nak," bisiknya, senyumnya semakin lebar, menampakkan gigi-gigi yang sedikit menghitam. "Pelajaran sejarah akan segera dimulai."

Bab 7: Upacara Tengah Malam

Arka dan Nia saling berpegangan tangan lebih erat, merasakan dinginnya kematian yang mendekat. Setiap langkah Bu Ratmi terasa seperti palu godam yang menghantam dada mereka. Aroma melati yang bercampur bau tanah basah dan lumut dari tubuh Bu Ratmi semakin menyesakkan. Dito masih tergeletak tak berdaya, sesekali napasnya terdengar terengah. Rani dan Farhan sepenuhnya terhipnotis, tenggelam dalam dunia pelajaran mereka sendiri.

Bu Ratmi berhenti beberapa langkah di depan mereka. Wajahnya kini terlihat lebih jelas dalam halusinasi cahaya hijau remang-remang. Kulitnya keriput, terdapat noda-noda hitam seperti jamur, dan matanya yang cekung memancarkan kehampaan yang mengerikan. Di sudut matanya, luka tusuk yang Arka lihat di rekaman Farhan, kini terlihat lebih jelas, menganga seperti lubang kecil.

"Kalian sangat istimewa," kata Bu Ratmi, suaranya merdu namun menusuk. "Kalian memiliki rasa ingin tahu yang besar. Itulah mengapa saya memilih kalian."

"Apa maumu?" Nia memberanikan diri, suaranya bergetar. "Kenapa kau melakukan ini pada kami?"

Senyuman Bu Ratmi semakin melebar. "Saya hanya ingin mengajar. Saya ingin berbagi ilmu saya. Tapi waktu saya tidak cukup." Ia menatap ke langit-langit aula yang tinggi, seolah melihat masa lalu. "Mereka membunuh saya. Mereka mengambil kesempatan saya untuk mengajar, untuk menuntaskan bakti saya."

Kemudian, pandangannya kembali menajam ke arah Arka dan Nia. "Dan kalian... kalian adalah kesempatan kedua saya. Murid-murid saya yang baru."

Tiba-tiba, suara lonceng berdentang keras, memecah keheningan. Bukan lonceng sekolah biasa, melainkan dentangan kuno, seperti lonceng gereja tua. Suaranya bergema di seluruh aula, seolah memanggil sesuatu.

Dari setiap sudut aula, sosok-sosok samar murid-murid tahun 1955 semakin jelas terlihat. Mereka tidak lagi duduk di bangku; mereka berdiri, berbaris rapi, membentuk formasi seperti sebuah upacara. Wajah-wajah mereka pucat, mata mereka kosong, dan mereka semua menatap ke arah podium, tempat Bu Ratmi berdiri.

"Ini... upacara apa?" Arka bertanya, suaranya nyaris berbisik.

"Upacara penerimaan murid baru," jawab Bu Ratmi, senyumnya dingin. Ia mengangkat tangannya. "Mari, anak-anak. Mari bergabung dengan kami."

Arka dan Nia merasakan dorongan tak terlihat di punggung mereka, memaksa mereka melangkah maju. Kaki mereka terasa berat, seperti terikat rantai, namun mereka terus bergerak maju, menuju barisan murid-murid hantu itu.

Aroma melati dan bau tanah basah semakin pekat. Udara terasa dingin menusuk, namun Arka merasakan kepalanya pening, seolah otaknya sedang dipaksa untuk menerima informasi baru yang tidak seharusnya ia terima. Ia mulai melihat kilasan-kilasan gambar di benaknya: ruang kelas lama, anak-anak dengan seragam kuno, Bu Ratmi yang tersenyum ramah—sebelum ia membusuk.

Kemudian, sebuah flashback yang jelas muncul di benak Nia. Ia melihat Bu Ratmi, masih hidup, sedang mengajar di kelas 9B. Ia adalah guru yang berdedikasi, penuh semangat, dan dicintai oleh murid-muridnya. Nia melihat Bu Ratmi sedang berbicara dengan kepala sekolah, tampak gelisah, mengeluhkan tentang seseorang yang mengancamnya. Dan kemudian, gambar itu berubah menjadi gelap. Nia melihat sosok Bu Ratmi jatuh ke dalam sumur tua, didorong oleh tangan yang tidak terlihat. Lalu, keheningan. Nia bisa merasakan kepedihan dan kemarahan Bu Ratmi.

"Anda dibunuh?" Nia berteriak, melepas tangan Arka, matanya dipenuhi air mata.

Bu Ratmi menatapnya, senyumnya sedikit meredup. "Mereka tidak ingin saya mengungkapkan kebenaran. Kebenaran tentang korupsi di sekolah ini. Kebenaran tentang uang sumbangan yang digelapkan. Mereka membungkam saya. Mereka mengubur saya di tempat yang tidak layak."

Sebuah twist kecil muncul di benak Arka. Bu Ratmi bukan hanya hantu yang dendam karena mati penasaran, tapi karena kematiannya melibatkan kejahatan yang tersembunyi.

"Siapa 'mereka'?" Arka bertanya, suaranya gemetar.

Bu Ratmi tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah barisan murid-murid hantu itu. "Ayo duduk, pelajaran belum selesai..."

Arka dan Nia, dalam kondisi setengah sadar, setengah terhipnotis, mengikuti perintah itu. Mereka melangkah maju, melewati barisan murid-murid hantu yang menatap kosong ke depan. Mereka melihat Farhan duduk di antara mereka, matanya masih kosong, bibirnya bergumam ejaan. Rani juga di sana, memegang kapur, sesekali menulis sesuatu di udara. Dito terbaring di tanah, namun kini ia terlihat seperti salah satu murid yang sedang beristirahat, matanya tertutup.

Mereka menemukan dua bangku kosong di barisan paling depan. Arka dan Nia duduk di sana, merasakan dinginnya kayu lapuk. Aula itu kini terasa seperti sebuah kelas raksasa, dan mereka adalah murid-muridnya.

Bu Ratmi kembali ke podium. Ia mengangkat sebuah buku usang yang tiba-tiba muncul di tangannya. Aroma kertas tua dan debu menyeruak. Ia membuka halaman pertama, dan mulai membaca dengan suara lembut namun mematikan.

"Hari ini, kita akan belajar tentang... kebenaran."

Dan saat ia membaca, Arka dan Nia merasakan pikiran mereka mulai terkuras. Kenangan mereka tentang dunia luar, tentang keluarga, teman, bahkan nama mereka sendiri, perlahan menghilang. Digantikan oleh pelajaran-pelajaran Bu Ratmi, pengetahuan-pengetahuan kuno yang asing, dan sejarah sekolah yang kelam.

Mereka melihat diri mereka sendiri menjadi bagian dari kelas itu, selamanya terjebak dalam lingkaran waktu bersama Bu Ratmi dan murid-muridnya yang lain. Mereka akan menjadi murid Bu Ratmi. Selamanya.

Bab 8: Keesokan Paginya

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah jendela SMA Bhakti Jaya, menembus kegelapan yang tersisa dari semalam. Cahayanya yang hangat memudarkan aura kehijauan yang menyelimuti aula, menggantikan dengan nuansa kuning kecoklatan yang kusam. Aroma melati yang semalam begitu pekat kini nyaris tak tercium, hanya menyisakan bau debu dan lembap khas bangunan tua.

Pak Bejo, penjaga sekolah, tiba pagi-pagi sekali seperti biasanya. Ia menghela napas panjang, bersiap untuk membersihkan halaman dan membuka gerbang. Ia melangkah santai menuju aula utama, tempat ia biasanya menyalakan lampu-lampu sebelum siswa datang.

Namun, langkahnya terhenti.

Di dalam aula, pemandangan yang tidak biasa menyambutnya. Di tengah ruangan, tepatnya di barisan bangku kelas 9B yang sebenarnya tidak ada di aula, tergeletak lima orang siswa. Mereka adalah Arka, Nia, Dito, Rani, dan Farhan.

Mereka semua duduk diam di bangku-bangku kayu yang usang, dengan tatapan kosong dan hampa. Wajah mereka pucat pasi, seperti lilin yang kehabisan sumbu. Mata mereka terbuka lebar, namun tidak memancarkan kehidupan. Mereka tidak bergerak, tidak merespons panggilan Pak Bejo.

Pak Bejo segera berlari menghampiri mereka, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba menyentuh Arka, namun tubuhnya terasa dingin dan kaku. Ia mencoba mengguncang Nia, namun Nia tidak bergeming.

Yang lebih mengerikan, mulut mereka berlima komat-kamit, seperti sedang menghafal sesuatu. Gumaman mereka samar, namun Pak Bejo bisa menangkap beberapa kata. Mereka menyebutkan angka-angka, tanggal-tanggal kuno, nama-nama orang yang tidak ia kenal, dan kutipan-kutipan aneh. Seolah mereka sedang mengulang pelajaran yang baru saja mereka terima.

Di papan tulis di belakang mereka—papan tulis yang seharusnya tidak ada di aula—terlihat sebuah tulisan kapur yang besar dan jelas:

“JANGAN PERNAH DATANG TERLAMBAT KE KELAS BU RATMI.”

Tulisan itu terlihat begitu baru, seolah baru saja ditulis beberapa saat yang lalu. Pak Bejo memeriksa tangannya, mencari sisa kapur, namun tidak ada. Papan tulis itu terasa dingin saat ia menyentuhnya.

Dalam kepanikannya, Pak Bejo segera menghubungi polisi dan pihak sekolah. Tak lama kemudian, keramaian memenuhi aula. Ambulans, mobil polisi, guru-guru, dan kepala sekolah berdatangan. Para siswa itu segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

Para dokter dan psikolog yang memeriksa Arka, Nia, Dito, Rani, dan Farhan tidak dapat menemukan penjelasan medis yang rasional. Fisik mereka tampak sehat, namun secara mental, mereka seperti telah kehilangan sebagian dari diri mereka. Mereka didiagnosis menderita depresi berat dengan gejala psikosis, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskan penyebabnya. Mereka hanya terus bergumam tentang pelajaran, tentang seorang guru, dan tentang tahun 1955.

"Mereka terus bicara tentang seorang guru bernama Bu Ratmi," kata salah satu dokter kepada kepala sekolah. "Dan mereka mengulang-ulang kalimat, 'Jangan pernah datang terlambat.'"

Kisah tentang lima siswa yang ditemukan dalam kondisi misterius di aula sekolah menyebar dengan cepat di kota kecil Waru. Legenda Bu Ratmi, yang tadinya hanya menjadi cerita menakutkan di kalangan siswa, kini menjadi kenyataan yang mengerikan. Para orang tua panik, sekolah memutuskan untuk meliburkan kegiatan belajar mengajar selama beberapa hari, dan rumor semakin liar.

Pihak sekolah mencoba menghapus tulisan di papan tulis, namun kapur itu tidak bisa dihapus. Seolah tulisan itu menyatu dengan papan. Bahkan setelah papan tulis itu dilepas dan dibuang, bayangan tulisan itu masih melekat di dinding aula, menjadi pengingat yang mengerikan.

Beberapa minggu kemudian, Arka, Nia, Dito, Rani, dan Farhan dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk perawatan jangka panjang. Mereka tidak pernah kembali ke sekolah. Mereka tidak pernah pulih sepenuhnya. Ingatan mereka tentang kejadian malam itu kabur, namun ketakutan itu tetap ada, tercetak dalam tatapan kosong mereka. Mereka selamanya menjadi murid Bu Ratmi, terjebak dalam pelajaran yang tidak pernah berakhir.

Dan di SMA Bhakti Jaya, legenda Guru Tengah Malam bukan lagi sekadar cerita. Itu adalah peringatan. Peringatan bagi siapa pun yang berani mengganggu kedamaian arwah yang belum menemukan ketenangan. Peringatan agar tidak pernah datang terlambat ke kelas Bu Ratmi, karena sekali kau masuk, kau tidak akan pernah bisa keluar.

Tamat.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)