Masukan nama pengguna
Bab 1 – Telepon dari Alam Lain
Desa Karanganyar, sebuah permukiman yang seolah abadi ditelan waktu, dengan rumah-rumah berdempetan dan sawah menghampar hijau bak permadani di sekelilingnya. Di sinilah, empat keluarga besar yang merupakan keturunan langsung dari almarhum Kakek Ranu hidup berdampingan. Ada keluarga Pak Budi, sang putra sulung yang kini menjadi sesepuh tidak resmi di antara mereka, dengan istrinya, Bu Aminah, dan ketiga anaknya. Kemudian ada keluarga Bu Siti, putri kedua Kakek Ranu, yang dikenal paling vokal dan religius, bersama suami dan kedua putranya yang masih remaja. Tak jauh dari sana, tinggallah Pak Harun, putra ketiga, seorang petani ulet yang jarang berbicara, dengan istri dan satu-satunya putri mereka, Rina, yang baru saja lulus kuliah. Dan yang terakhir, keluarga paling muda, keluarga Pak Danu, putra bungsu Kakek Ranu, dengan istri dan dua anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Semuanya hidup dalam harmoni, saling membantu, berbagi tawa, dan sesekali berselisih, namun selalu kembali pada ikatan darah yang tak terputus.
Kakek Ranu sendiri, seorang tokoh yang dihormati di desa itu, telah meninggal dunia sekitar enam bulan yang lalu. Ia dikenal sebagai sosok bijaksana, petani ulung yang sawahnya selalu menghasilkan panen melimpah, dan yang paling penting, ia adalah penjaga tradisi. Kakek Ranu selalu menekankan pentingnya menjaga adat dan kepercayaan leluhur, terutama ritual sedekah bumi yang selalu dilakukannya setiap tahun. Namun, setelah kematiannya yang mendadak akibat serangan jantung, kesibukan masing-masing keluarga dalam mengurus warisan dan kehidupan sehari-hari membuat ritual sedekah bumi yang seharusnya dilakukan tujuh hari setelah kepergiannya, terlewatkan. Sebuah janji tak terucapkan yang kini mulai menghantui.
Kejadian aneh pertama menimpa Rina, putri Pak Harun. Suatu sore yang lengang, saat ia sedang menyelesaikan laporannya di laptop, ponselnya bergetar di atas meja. Nomor tak dikenal. Rina ragu, namun rasa penasaran lebih mendominasi. Ia mengangkat panggilan itu. Suara di ujung sana, berat dan serak, seolah berbicara dari balik kabut. “Rina… ini Kakek.” Jantung Rina berdesir. Kakek Ranu? Mustahil. Kakek sudah tiada. Ia mencoba menjawab, namun lidahnya kelu. Suara itu melanjutkan, “Kenapa kalian lupakan aku? Pulanglah ke sawah tempatku dulu.” Rina menahan napas. Ia merasa tubuhnya dingin, seolah ada tangan tak kasat mata merayap di tengannya. Tanpa sadar, ponsel di tangannya jatuh.
Beberapa hari kemudian, giliran Bu Siti yang mengalami hal serupa. Saat ia sedang mengaji setelah salat Magrib, ponsel lamanya yang tergeletak di samping sajadah berdering. Nomor asing. Dengan sedikit curiga, ia menjawab. Suara itu, suara yang sangat dikenalnya, suara suaminya, “Bu… kenapa kamu nggak angkat telepon dari Kakek?” Bu Siti terkejut. Suaminya sedang di masjid. Tiba-tiba, suara di telepon berubah. Suara itu menjadi lebih berat, lebih tua, dan menusuk relung jiwanya. “Siti, kenapa kamu tidak mendengarkan? Aku memanggilmu pulang… ke sawah.” Bu Siti mematung, ponselnya terasa panas di genggamannya. Ia mematikan panggilan itu, namun getaran ketakutan merayap di sekujur tubuhnya.
Teror berlanjut, kali ini menimpa Wulan, putri Pak Budi yang paling bungsu, seorang gadis remaja yang ceria dan energik. Ia sedang asyik bermain game di kamarnya ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Wulan mengangkatnya tanpa berpikir panjang. “Halo?” Di ujung sana, suara berat itu kembali terdengar, tetapi kali ini lebih jelas, lebih mendesak. “Wulan… jangan lupakan aku. Pulanglah ke sawah. Sekarang juga!” Wulan merasakan kepalanya pusing, tubuhnya mulai terasa melayang. Ia mencoba berteriak, namun suaranya tercekat. Matanya melebar, pupilnya membesar, seolah ada kekuatan tak terlihat yang merasukinya.
Tiba-tiba, Wulan menjerit histeris. Jeritannya memekakkan telinga, melengking, penuh penderitaan. Ia berteriak-teriak tidak jelas, menyebut-nyebut nama Kakek Ranu, lalu tiba-tiba berputar-putar di tempatnya dengan gerakan aneh, seperti menari dalam trans. Keluarganya yang mendengar jeritan itu segera berlari ke kamar Wulan. Pak Budi dan Bu Aminah memeluk putri mereka, berusaha menenangkan. Namun Wulan terus memberontak, matanya melotot, dan ia berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti, seolah ada entitas lain yang mengambil alih tubuhnya. Beberapa saat kemudian, ia pingsan, tubuhnya lemas tak berdaya dalam pelukan orang tuanya.
Keluarga besar berkumpul di rumah Pak Budi malam itu. Suasana tegang menyelimuti ruang tamu. Pak Budi, dengan wajah lelah, menceritakan apa yang terjadi pada Wulan. Bu Siti kemudian berbagi pengalaman telepon misteriusnya, begitu pula Rina. Pak Harun, yang biasanya pendiam, ikut angkat bicara, mengungkapkan bahwa beberapa hari sebelumnya, ia juga sempat menerima panggilan dari nomor tak dikenal. “Suara itu… dia bilang ‘Kembalilah ke sawah’,” kata Pak Harun, suaranya parau. Pak Danu, yang selama ini merasa geli dengan cerita-cerita tahayul, kini mulai terlihat pucat. Kejadian ini tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang menuntut perhatian mereka, sesuatu yang berasal dari masa lalu, dari sosok yang telah pergi, namun seolah-olah masih ada. Pertanyaan besar menggantung di udara: Siapa yang menelepon? Dan mengapa suara itu selalu mengaku sebagai Kakek Ranu, dan selalu menyebut-nyebut tentang "sawah"? Ketakutan mulai merayap di hati mereka, menyadari bahwa apa yang mereka alami ini bukanlah kejadian biasa. Ini adalah awal dari teror yang lebih besar, sebuah panggilan dari alam lain yang menuntut sesuatu yang telah dilupakan.
Bab 2 – Korban Pertama
Setelah insiden kerasukan Wulan, suasana di Desa Karanganyar, terutama di antara keluarga keturunan Kakek Ranu, diselimuti aura kecemasan yang pekat. Peristiwa telepon misterius yang mengaku sebagai Kakek Ranu, diikuti oleh teriakan histeris dan pingsannya Wulan, telah membuka mata mereka terhadap kemungkinan yang paling mereka takuti: bahwa arwah Kakek Ranu mungkin memang tidak tenang. Mereka mulai saling memandang dengan curiga, mencari penjelasan, namun hanya menemukan kebingungan dan ketakutan yang sama.
Korban selanjutnya adalah Rio, anak tertua dari keluarga Pak Budi. Rio, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang biasanya periang dan penuh semangat, tiba-tiba menunjukkan perubahan drastis. Ia menjadi pendiam, sering melamun, dan sorot matanya kosong, seolah jiwanya telah pergi entah ke mana. Ia mengurung diri di kamar, menolak makan, dan tidurnya sering terganggu oleh bisikan-bisikan yang hanya ia dengar.
“Dia terus bilang, ‘Kakek memanggilku dari balik lemari, Bu. Suaranya serak sekali’,” ujar Bu Aminah kepada suaminya, Pak Budi, dengan mata berkaca-kaca. Mereka telah mencoba membujuk Rio untuk berbicara, mengajaknya pergi ke luar, bahkan menawarkan untuk membawanya ke dokter. Namun Rio menolak dengan keras, dan setiap kali ia mendengar suara telepon berdering, ia akan gemetar hebat, menutupi telinganya dengan kedua tangan.
Suatu malam, ketika bulan sabit tergantung tipis di langit dan jangkrik bersahutan memecah keheningan desa, Rio tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Suara itu, suara Kakek Ranu, kini terdengar lebih jelas, lebih mendesak, seolah berada tepat di samping telinganya. “Pulanglah ke sawah, cucuku… pulanglah…” Rio merasakan dadanya sesak, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencekik. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan langkah gontai, seperti di bawah pengaruh hipnosis, ia bangkit dari tempat tidur.
Pak Budi dan Bu Aminah yang tidur di kamar sebelah, terbangun mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Mereka bergegas keluar dan melihat pintu depan rumah sudah terbuka lebar. “Rio!” teriak Pak Budi. Mereka berlari mengejar. Rio sudah jauh di depan, berlari tanpa arah di jalan desa yang gelap. Pak Budi berteriak memanggil namanya, namun Rio tidak menoleh. Ia terus berlari, napasnya tersengal-sengal, matanya terpaku pada sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Tiba-tiba, dari kejauhan, lampu sorot truk pengangkut pasir menyala terang. Truk itu melaju kencang, suaranya meraung membelah malam. Pak Budi berteriak histeris, "Rio! Awas!" Namun sudah terlambat. Rio, seolah sengaja mencari bahaya, berlari tepat ke tengah jalan. Ia tidak mencoba menghindar, tidak melambat. Dengan suara dentuman keras yang memecah kesunyian malam, tubuh Rio terpental, membentur aspal dengan bunyi yang memilukan. Truk itu mengerem mendadak, menghasilkan decitan ban yang panjang, namun sudah tidak ada gunanya.
Warga desa, yang terbangun mendengar suara bising itu, segera berhamburan keluar. Mereka menemukan Rio tergeletak tak bernyawa, tubuhnya remuk. Darah membasahi aspal jalan. Keheningan yang mengerikan menyelimuti tempat kejadian. Tangisan Bu Aminah pecah, merobek malam. Pak Budi hanya bisa mematung, pandangannya kosong, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Kematian Rio menggemparkan seluruh desa. Sebuah kematian yang tak masuk akal, begitu mendadak dan tragis. Kabar angin tentang telepon misterius dan kerasukan Wulan mulai menyebar, menyemai benih ketakutan di hati setiap orang. Keluarga besar Kakek Ranu kini benar-benar terguncang. Kematian Rio adalah tamparan keras yang membuat mereka percaya bahwa apa yang terjadi ini bukanlah kejadian biasa. Ini bukan sekadar kebetulan, bukan depresi, melainkan sesuatu yang lebih gelap, lebih kejam.
Setelah proses pemakaman Rio yang berlangsung dalam suasana duka yang mendalam, Pak Budi dan Bu Aminah mencoba mengumpulkan kekuatan untuk membersihkan kamar putra mereka. Saat mereka membereskan barang-barang Rio, Bu Aminah menemukan ponsel putranya tergeletak di bawah bantal. Ponsel itu retak di beberapa bagian, namun layarnya masih menyala. Pak Budi mengambilnya, berniat melihat apakah ada pesan terakhir dari Rio.
Ia membuka log panggilan. Jantungnya berdesir hebat saat melihat daftar panggilan masuk. Di sana, jelas tertera nama “Kakek”. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali dalam seminggu terakhir. Ada panggilan masuk dua hari sebelum Rio mengalami depresi mendadak, satu lagi sehari setelahnya, dan yang terakhir, hanya beberapa jam sebelum Rio berlari keluar rumah. Pak Budi tertegun. "Kakek?" bisiknya, matanya membelalak. "Tapi... kontak ini sudah dihapus!"
Bu Aminah mendekat, melihat apa yang membuat suaminya begitu terkejut. Ia juga melihat nama "Kakek" di layar ponsel. "Rio menghapusnya sendiri, setelah Kakek meninggal," gumam Bu Aminah, suaranya bergetar. "Dia bilang, biar nggak sedih kalau lihat nama Kakek di kontaknya."
Sebuah pikiran mengerikan merayap di benak mereka. Jika kontak "Kakek" sudah dihapus, bagaimana mungkin nama itu muncul lagi di log panggilan? Siapa yang menelepon Rio? Apakah ini berarti Kakek Ranu yang sebenarnya, arwahnya, yang menelepon? Atau ada sesuatu yang lain, sesuatu yang jahat, yang menyamar sebagai Kakek mereka?
Keluarga besar kembali berkumpul malam itu, kali ini di rumah duka Rio. Suasana lebih mencekam dari sebelumnya. Pak Budi dengan suara bergetar menceritakan temuan mereka. Ponsel Rio, dengan log panggilan "Kakek" yang misterius, menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan. Ketakutan kini berubah menjadi kepanikan.
"Ini bukan kebetulan lagi," kata Bu Siti, suaranya parau. "Ini ulah Kakek. Pasti ada sesuatu yang kita lupakan."
Pak Harun, yang selama ini skeptis, kini hanya bisa mengangguk lemah. Bahkan Pak Danu, yang paling modern di antara mereka, tampak pucat pasi. "Tapi kenapa? Kenapa harus Rio?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Seorang tetua desa yang ikut melayat, Pak Lurah, yang juga mengenal baik Kakek Ranu, mencoba menenangkan mereka. "Coba kalian ingat-ingat, apa ada janji Kakek yang belum ditepati? Atau ada adat yang terlupakan setelah beliau meninggal?" tanyanya.
Mata mereka berbinar, mencoba mengingat. Namun, beban kesedihan dan ketakutan membuat pikiran mereka buntu. Mereka hanya bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak terlihat, namun begitu nyata. Arwah Kakek Ranu, atau entitas lain yang menggunakan namanya, telah mengklaim korban pertamanya. Dan mereka tahu, ini mungkin baru permulaan. Teror itu baru saja dimulai, dan jika mereka tidak menemukan jawabannya, tidak menghentikannya, mungkin akan ada korban-korban lain. Pertanyaan tentang "sawah" yang terus-menerus disebut dalam telepon-telepon misterius itu, kini mulai terasa seperti petunjuk penting. Petunjuk yang harus mereka pecahkan sebelum terlambat.
Bab 3 – Teror Bergantian
Setelah kematian tragis Rio dan penemuan ponselnya yang menyimpan bukti mengerikan, ketenangan di antara keluarga keturunan Kakek Ranu benar-benar runtuh. Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan kini menjelma menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Mereka semua yakin, arwah Kakek Ranu tidak tenang, dan penderitaan mereka adalah akibat dari kelalaian yang tak disengaja. Namun, mereka masih belum tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana cara menenangkan jiwa yang marah itu.
Teror itu tidak berhenti. Seolah-olah kematian Rio adalah sebuah peringatan, sebuah pembuka jalan bagi manifestasi yang lebih mengerikan. Kali ini, gangguan itu tidak lagi melalui telepon, melainkan merasuki langsung kehidupan mereka, secara bergantian, tanpa pola yang jelas, menargetkan setiap anggota keluarga.
Yang pertama merasakannya adalah Bu Aminah, istri Pak Budi dan ibu dari mendiang Rio. Setelah pemakaman putranya, Bu Aminah dilanda kesedihan yang mendalam, sering terbangun tengah malam dengan air mata membasahi pipi. Suatu malam, Pak Budi terbangun karena hawa dingin yang menusuk. Ia melihat tempat tidur di sampingnya kosong. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera bangkit dan mencari istrinya. Ia menemukan Bu Aminah di ruang tengah, menari. Bukan tarian biasa, melainkan gerakan-gerakan aneh, seperti ritual kuno yang ia tak pernah lihat sebelumnya. Tangannya melambai-lambai di udara, kakinya melangkah dengan ritme yang tidak teratur, matanya terpejam, dan senyum tipis, menyeramkan, terukir di bibirnya. Pak Budi memanggil namanya, namun Bu Aminah tidak merespons. Ia terus menari, seolah di bawah kendali kekuatan tak terlihat. Bau dupa yang samar, namun sangat jelas tercium, memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah yang menusuk hidung, padahal tidak ada yang membakar dupa di rumah itu, dan lantai ruangan kering. Pak Budi dengan ketakutan luar biasa mendekap istrinya, berusaha menghentikan gerakannya. Barulah Bu Aminah tersentak, seperti terbangun dari mimpi buruk, dan langsung pingsan di pelukannya. Ia tidak mengingat apa pun.
Teror berlanjut ke keluarga Bu Siti. Suatu siang, putra bungsunya, Adi, seorang anak berusia delapan tahun yang ceria, tiba-tiba jatuh sakit. Demam tinggi, namun anehnya, matanya terbuka lebar dan ia mulai berbicara. Bukan bahasa Indonesia yang biasa ia gunakan, melainkan bahasa Jawa Kuno yang fasih. Suara Adi terdengar berat dan dalam, seperti suara orang tua. "Gusti, ngapuntenaken… Kula badhe wangsul… Sawah… Sawah niki, Gusti…” Ia terus bergumam, menyebut-nyebut kata "sawah" berulang kali. Bu Siti, yang sedikit mengerti bahasa Jawa Kuno dari almarhum Kakek Ranu, merinding mendengarnya. Kata-kata itu adalah permohonan maaf, permohonan untuk kembali, dan selalu menyebut "sawah". Ia memeluk putranya erat-erat, air matanya tumpah. Bau dupa dan tanah basah kembali tercium di kamar Adi, sangat menusuk, seolah peringatan yang mengerikan. Bu Siti dan suaminya panik, mereka mencoba membawa Adi ke dokter, namun demamnya tak kunjung turun dan gumaman bahasa kuno itu tak berhenti.
Lalu, giliran Pak Harun, sang petani ulet, yang mengalami hal serupa. Ia adalah orang yang paling realistis di antara mereka, dan paling enggan percaya pada hal-hal mistis. Namun, suatu malam, setelah seharian bekerja di sawah, ia terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Ia mulai mengigau, memanggil nama-nama leluhur yang bahkan ia sendiri tidak tahu siapa mereka. “Mbah Buyut… Den Ayu… Ampun… Ampunana kulo… Niki sawahipun… Niki dados saksi…” Pak Harun terus menggumam, tubuhnya gemetar, seolah sedang berhadapan dengan entitas tak kasat mata. Istrinya, yang terkejut, mencoba membangunkannya, namun Pak Harun tetap dalam keadaan mengigau. Ia berbicara tentang sawah, tentang janji yang belum ditepati, tentang permohonan maaf. Lagi-lagi, bau dupa dan tanah basah yang khas itu tercium kuat di kamar mereka, seolah roh-roh leluhur itu turut hadir menyaksikan kegelisahan Pak Harun.
Setiap kali salah satu dari mereka mengalami kerasukan atau gangguan aneh, bau dupa dan tanah basah itu selalu muncul. Bau yang bukan berasal dari dunia nyata, namun tercium begitu nyata dan menusuk hidung. Kehadiran bau itu membuat mereka semakin yakin bahwa ada sesuatu yang menuntut pengakuan atau penghormatan yang belum mereka berikan. Pikiran tentang Kakek Ranu yang tak tenang semakin kuat. Mereka mulai merasa bahwa Kakek Ranu tidak hanya sekadar marah, tetapi juga sedih, karena janji yang tak terucapkan itu telah dilupakan.
Ketidakpastian dan ketakutan itu menggerogoti mental mereka. Mereka mulai merasa terus diawasi, setiap sudut rumah terasa penuh dengan kehadiran yang tak terlihat. Mereka kesulitan tidur, nafsu makan berkurang, dan tawa yang dulu selalu menghiasi rumah-rumah mereka kini lenyap digantikan oleh bisikan doa-doa dan rasa panik yang konstan. Para tetangga mulai berbicara, berbisik-bisik tentang keanehan yang terjadi di keluarga Kakek Ranu. Beberapa orang menyarankan untuk memanggil dukun, namun sebagian lain menyarankan untuk pergi ke ustaz atau kyai. Kebingungan melanda mereka, karena mereka tidak tahu mana jalan yang benar.
Bu Siti, yang paling religius, mencoba memimpin doa bersama setiap malam. Mereka membaca Yasin, berzikir, memohon perlindungan. Namun, gangguan itu tetap terjadi. Malam setelah doa bersama, Pak Danu, yang selama ini mencoba bersikap tenang dan rasional, tiba-tiba terbangun dari tidur. Ia merasakan kakinya dingin, seperti ada yang menarik selimutnya. Ia membuka mata dan melihat samar-samar sosok bayangan hitam berdiri di ujung tempat tidurnya. Sosok itu tinggi dan kurus, dengan mata merah menyala. Pak Danu tidak bisa bergerak, tubuhnya kaku. Sosok itu perlahan mendekat, lalu membisikkan sesuatu di telinganya, sebuah bisikan yang mengerikan dan menusuk: “Kamu melupakanku… janji… sawah…” Pak Danu berteriak, terbangun dari mimpi buruk, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang. Istrinya terbangun dan melihatnya pucat pasi. Ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang berasal dari alam lain, yang kini secara aktif mengganggu mereka.
Mereka mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar gangguan, melainkan sebuah tuntutan. Tuntutan dari arwah Kakek Ranu yang tidak bisa beristirahat dengan tenang. Setiap kerasukan, setiap bisikan, setiap bau dupa dan tanah basah yang muncul adalah pesan. Pesan bahwa ada sesuatu yang harus mereka penuhi, sesuatu yang mereka lupakan. Pertanyaan "Apa yang kita lupakan?" terus berputar di kepala mereka. Mereka mencoba mengingat kembali percakapan terakhir dengan Kakek Ranu, wasiatnya, bahkan obrolan ringan tentang masa depan. Namun, tidak ada yang menyinggung janji besar atau hal penting yang bisa menyebabkan kegelisahan arwah.
Keluarga besar berkumpul lagi, kali ini di rumah Bu Siti. Keputusasaan terpancar dari wajah setiap orang. "Kita harus melakukan sesuatu," kata Pak Budi, suaranya lelah. "Rio sudah jadi korban. Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut."
Bu Siti mengangguk setuju. "Kita harus mencari tahu apa yang Kakek inginkan. Dia pasti ingin kita melakukan sesuatu."
Mereka mulai membahas kemungkinan-kemungkinan. Apakah ada harta yang belum dibagi rata? Apakah ada dendam lama? Namun, semua itu terasa tidak masuk akal. Kakek Ranu adalah orang yang adil dan tidak memiliki musuh. Mereka adalah keluarga dekat, tidak ada konflik besar yang bisa memicu kemarahan seperti ini.
Rina, putri Pak Harun, tiba-tiba teringat sesuatu. "Waktu itu, setelah Kakek meninggal, sempat ada obrolan tentang sedekah bumi, kan?" tanyanya ragu-ragu. "Kata Mbah Putri, Kakek selalu melakukan sedekah bumi setiap tahun, di sawah yang sering Kakek kerjakan. Tapi waktu itu kita semua sibuk ngurusin pemakaman, terus… ya, terlupakan begitu saja."
Seketika, sebuah kesadaran menghantam mereka. Sedekah bumi. Ritual kuno untuk menghormati bumi dan arwah leluhur, sebuah janji tak tertulis yang selalu Kakek Ranu lakukan. Setelah kematiannya, ritual itu seharusnya tetap dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terakhir, namun mereka semua melupakannya dalam kesibukan dan kesedihan. Itu adalah janji kepada tanah, kepada leluhur, kepada arwah Kakek Ranu sendiri.
Mereka saling pandang, mata mereka memancarkan campuran antara rasa bersalah, penyesalan, dan juga secercah harapan. Mungkinkah ini jawabannya? Mungkinkah ini alasan di balik semua teror yang mereka alami? Pikiran itu membawa sedikit kelegaan, namun juga kegelisahan yang baru. Jika itu benar, maka mereka telah sangat lalai. Dan arwah Kakek Ranu, yang selalu menekankan pentingnya adat dan tradisi, mungkin merasa sangat kecewa dan terabaikan. Mereka tahu, mereka harus bertindak cepat. Sebelum korban selanjutnya berjatuhan, sebelum arwah Kakek Ranu semakin marah dan menuntut dengan cara yang lebih mengerikan.
Bab 4 – Korban Kedua dan Awal Kesadaran
Kesadaran tentang ritual sedekah bumi yang terlupakan menghantam mereka seperti badai. Rasa bersalah dan penyesalan menusuk relung jiwa setiap anggota keluarga. Mereka telah melupakan inti dari ajaran Kakek Ranu, sosok yang begitu menjunjung tinggi adat dan penghormatan kepada leluhur dan bumi. Kini, mereka melihat dengan jelas kengerian yang ditimbulkan oleh kelalaian itu: kerasukan, teror mental, dan yang paling menyakitkan, kematian Rio.
Namun, belum sempat mereka mengambil tindakan, teror itu kembali mengklaim korban. Kali ini menimpa Wira, seorang remaja berusia 17 tahun, cucu dari Bu Siti. Wira adalah pemuda yang cerdas, sedikit pemberontak, dan sangat menyukai teknologi. Ia selalu menganggap cerita-cerita mistis sebagai omong kosong belaka. Namun, malam itu, ia akan dihadapkan pada kenyataan yang paling menakutkan.
Sekitar pukul dua dini hari, ketika semua orang terlelap, ponsel Wira berdering nyaring di samping tempat tidurnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Wira, yang memang sering begadang bermain game, mengangkatnya tanpa curiga. "Halo?" Suara di ujung sana, berat dan serak, langsung menusuk indranya. "Wira… kenapa kalian biarkan aku sendiri? Pulanglah… ke sawah… tempatku dulu…"
Wira merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Suara itu begitu akrab, namun mustahil. Itu adalah suara Kakek Ranu. Ia ingin menutup telepon, namun tangannya kaku. Matanya melebar, napasnya mulai tersengal. Sebuah kekuatan tak terlihat seolah merasukinya, menguasai pikirannya. Ia tidak dapat melawan. Di bawah pengaruh trance, Wira bangkit dari tempat tidur. Gerakannya lambat, tanpa suara, seperti boneka yang digerakkan oleh benang tak kasat mata.
Ia berjalan keluar kamar, menuruni tangga rumah bertingkat tiga yang didesain modern oleh ayahnya. Setiap langkahnya begitu senyap, seolah-olah lantai pun tak ingin mengkhianati kehadirannya. Lampu-lampu rumah padam, hanya rembulan yang sesekali menembus tirai jendela, memberikan cahaya redup yang mempertegas bayang-bayang. Wira terus melangkah, matanya kosong, namun fokus pada satu tujuan yang tak ia sadari. Ia membuka pintu belakang rumah, lalu mulai memanjat pagar beton pembatas.
Kemudian, dengan gerak-gerik yang tidak masuk akal bagi seorang remaja normal, ia mulai memanjat tembok setinggi tiga meter yang membatasi halaman belakang dengan sebuah gudang kosong. Wira tidak pernah dikenal memiliki keahlian memanjat. Namun malam itu, ia seolah memiliki kekuatan supranatural. Ia terus memanjat, naik ke atap gudang, lalu dari sana, dengan cekatan yang mengerikan, ia melompat ke atap rumah utama yang lebih tinggi, sebuah atap dak datar yang biasanya hanya diinjak oleh tukang reparasi.
Bu Siti, ibu Wira, yang terbangun untuk minum air, mendengar suara samar dari arah atap. Ia tidak terlalu memikirkannya, mengira hanya kucing yang bermain. Namun, sebuah firasat buruk mencengkeram hatinya. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Bu Siti bergegas ke kamar Wira, dan mendapati putranya tidak ada di tempat tidur. Panik mulai melanda. Ia membangunkan suaminya, dan mereka berdua mencari Wira di seluruh rumah.
"Wira! Wira!" panggil Bu Siti, suaranya gemetar. Tidak ada jawaban. Mereka membuka pintu belakang, dan terkejut melihat jejak kaki lumpur yang samar menuju ke arah gudang. Saat mereka mendongak, bayangan Wira terlihat samar di atas atap rumah. "Wira! Apa yang kamu lakukan di sana?!" teriak suaminya.
Namun, Wira tidak menjawab. Ia hanya berdiri di tepi atap, membelakangi mereka, menatap ke arah sawah yang gelap di kejauhan. Kemudian, dengan gerakan yang terlalu tenang, terlalu sunyi untuk seorang remaja yang melompat dari ketinggian tiga lantai, ia menjatuhkan diri. Tidak ada jeritan. Tidak ada suara rintihan. Hanya bunyi gedebuk yang memilukan saat tubuhnya menghantam tanah.
Bu Siti menjerit histeris. Suaminya segera berlari menghampiri tubuh putranya yang tergeletak tak berdaya. Wira tergeletak dalam genangan darah, matanya masih terbuka, menatap kosong ke langit. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang entah dari mana datangnya, ia menggerakkan tangannya. Ibu dan ayahnya yang mendekapnya melihat ia meraba-raba dinding kamar mandi. Ternyata ia sedang menulis. Dengan jari-jari berlumuran darah, Wira menuliskan kata “Sawah” dan “Ampuni kami” di cermin kamar mandi. Kemudian, napas terakhir keluar dari tubuhnya yang malang.
Kematian Wira adalah pukulan telak yang kedua bagi keluarga besar Kakek Ranu. Kali ini, tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi upaya untuk mencari penjelasan logis. Dua korban, dua kematian yang tak wajar, dan dua petunjuk mengerikan yang selalu mengarah pada satu hal: sawah. Dan kali ini, dengan kata-kata terakhir "Ampuni kami," mereka tahu pasti bahwa ini adalah konsekuensi dari janji yang tak ditepati.
Keluarga besar berkumpul dalam suasana duka yang mencekam. Tidak ada yang berani berbicara, hanya isak tangis Bu Siti dan Bu Aminah yang memecah keheningan. Pak Budi, dengan wajah yang tampak sepuluh tahun lebih tua, menatap kosong ke arah log panggilan di ponsel Rio, lalu ke kata-kata yang ditulis Wira di cermin. Semuanya saling terhubung, semuanya menunjuk pada satu akar masalah.
"Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut," kata Pak Harun, suaranya serak namun penuh tekad. "Kita harus menghentikannya."
"Tapi bagaimana?" tanya Pak Danu, yang kini sudah benar-benar kehilangan keberaniannya. "Kita sudah melakukan doa bersama. Kita sudah coba mengingat-ingat. Apa lagi yang harus kita lakukan?"
Bu Siti, meskipun masih berduka, kini memandang mereka dengan tatapan yang lebih jelas. "Kita harus meminta bantuan. Kita harus mencari tahu apa yang Kakek inginkan. Kita tidak bisa melakukannya sendiri."
Sebuah pikiran melintas di benak Pak Budi. "Dukun," katanya perlahan. "Dukun sepuh. Yang kenal dekat dengan Kakek."
Semua mata tertuju padanya. Beberapa orang awalnya ragu, karena sebagian dari mereka tidak terlalu percaya pada praktik perdukunan. Namun, dalam situasi putus asa seperti ini, mereka tidak punya pilihan lain. Mereka telah mencoba segala cara, dan semua itu tidak berhasil.
"Siapa?" tanya Bu Siti.
"Pak Surya," jawab Pak Budi. "Beliau adalah teman akrab Kakek sejak muda. Mereka sering berdiskusi tentang adat dan tradisi desa. Kakek Ranu sangat menghormati pengetahuannya tentang hal-hal gaib."
Pak Surya adalah seorang dukun sepuh yang tinggal di sebuah gubuk terpencil di ujung desa, jauh dari keramaian. Ia dikenal bijaksana, tidak serakah, dan memiliki pengetahuan luas tentang dunia spiritual. Kakek Ranu sendiri sering berkonsultasi dengannya untuk hal-hal yang berkaitan dengan ritual atau kepercayaan lokal. Jika ada seseorang yang bisa memahami apa yang terjadi, itu pasti Pak Surya.
Tanpa membuang waktu, Pak Budi, ditemani Pak Harun dan Pak Danu, bergegas menemui Pak Surya. Perjalanan menuju gubuk Pak Surya terasa panjang, setiap langkah dipenuhi oleh bayangan kematian Rio dan Wira. Mereka menceritakan semua kejadian aneh yang menimpa keluarga mereka: telepon misterius, kerasukan, bau dupa dan tanah basah, dan tentu saja, kematian tragis kedua cucu. Mereka menunjukkan foto log panggilan dari ponsel Rio, dan menceritakan pesan terakhir Wira di cermin.
Pak Surya mendengarkan dengan seksama, matanya terpejam sesekali, lalu membuka perlahan. Wajahnya yang keriput tampak serius. Setelah mereka selesai berbicara, ia terdiam sejenak, menghela napas panjang.
“Jadi, kalian akhirnya datang,” kata Pak Surya, suaranya tenang namun memiliki otoritas. “Arwah Kakek Ranu memang tidak tenang.”
Hati ketiga pria itu mencelos. Penjelasan Pak Surya menegaskan semua ketakutan mereka.
“Kakek Ranu adalah penjaga adat. Beliau selalu menekankan pentingnya sedekah bumi setiap tahun, terutama di sawah yang telah memberinya kehidupan. Beliau percaya, sedekah bumi adalah bentuk penghormatan kepada bumi, kepada leluhur, dan kepada semua makhluk tak kasat mata yang menjaga sawah itu. Beliau bahkan sempat berpesan kepada saya, beberapa minggu sebelum meninggal, bahwa jika suatu saat ia tiada, keluarga harus melanjutkan tradisi itu, terutama tujuh hari setelah kepergiannya, sebagai bentuk perpisahan dan penghormatan terakhir.”
Sebuah guntur seolah menyambar di kepala mereka. Tujuh hari setelah kepergiannya. Itu adalah ritual yang sama sekali mereka lupakan. Dalam kesibukan mengurus pemakaman dan warisan, mereka benar-benar melupakan pesan dan kepercayaan penting yang dipegang teguh oleh Kakek Ranu.
"Kakek kalian merasa kecewa, merasa dilupakan," lanjut Pak Surya. "Ia tidak bisa pergi dengan tenang. Ia memanggil kalian kembali ke sawah, tempat ia menghabiskan sebagian besar hidupnya, tempat ia merasa dihormati, tempat janji itu seharusnya dipenuhi."
Pak Surya menjelaskan bahwa arwah Kakek Ranu mencoba berkomunikasi melalui telepon, melalui kerasukan, melalui bau-bauan, bahkan melalui penderitaan anak-anak mereka, semua untuk mengingatkan janji yang terlupakan itu. "Kata-kata 'Sawah' dan 'Ampuni kami' yang ditulis Wira adalah pesan terakhir dari Kakek Ranu melalui cucunya. Sebuah permohonan agar kalian menyadari kesalahan dan segera memperbaikinya."
"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Pak?" tanya Pak Budi, suaranya penuh harap.
"Kalian harus melakukan ritual sedekah bumi," jawab Pak Surya tegas. "Bukan hanya sedekah bumi biasa, tapi sebuah ritual penghormatan arwah, dengan seluruh keturunan hadir, di sawah yang sering Kakek Ranu kerjakan. Kalian harus menyiapkan sesaji lengkap, meminta maaf secara tulus, dan berjanji akan melanjutkan tradisi ini setiap tahun."
Rasa lega bercampur penyesalan menyelimuti mereka. Akhirnya, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka pulang dengan membawa harapan, namun juga beban berat atas apa yang telah mereka lalaikan, dan harga yang harus dibayar oleh Rio dan Wira. Mereka segera mengumpulkan seluruh keluarga besar, menyampaikan penjelasan dari Pak Surya, dan semua orang sepakat. Malam itu, di tengah duka dan ketakutan, mereka mulai merencanakan ritual penghormatan arwah yang akan menjadi kunci untuk menenangkan arwah Kakek Ranu, dan mengakhiri teror yang mencekam mereka.
Bab 5 – Ritual Arwah dan Kesunyian yang Baru
Pagi itu, udara di Desa Karanganyar terasa dingin, namun dipenuhi oleh ketegangan yang pekat. Kabar tentang apa yang menimpa keluarga Kakek Ranu telah menyebar ke seluruh pelosok desa. Dua kematian tragis yang tidak masuk akal, kerasukan, dan cerita-cerita seram yang beredar, semuanya mengarah pada satu kesimpulan: ada kekuatan tak kasat mata yang sedang murka. Namun, di tengah keputusasaan yang melanda, ada secercah harapan setelah Pak Budi, Pak Harun, dan Pak Danu kembali dari gubuk Pak Surya.
Seluruh keluarga besar berkumpul di rumah Pak Budi, wajah mereka terpancar campuran duka, ketakutan, dan juga kelegaan yang samar. Pak Budi dengan suara bergetar menyampaikan penjelasan Pak Surya tentang ritual sedekah bumi yang terlupakan. Ia menjelaskan bagaimana Kakek Ranu, seorang yang sangat menjunjung tinggi adat, tidak bisa beristirahat dengan tenang karena janji tak tertulis itu tidak ditepati setelah kepergiannya. Setiap teror, setiap panggilan misterius, adalah upaya arwah Kakek Ranu untuk mengingatkan mereka akan kelalaian tersebut.
Rasa bersalah yang mendalam menyelimuti setiap orang. Bagaimana bisa mereka melupakan hal sepenting itu? Kesibukan mengurus warisan, duka yang mendalam, dan prosesi pemakaman telah membuat mereka mengabaikan pesan penting Kakek Ranu. Kini, mereka menyadari bahwa harga yang harus dibayar adalah nyawa dua cucu mereka. Rio dan Wira telah menjadi korban dari kelalaian kolektif ini.
"Kita harus segera melakukannya," kata Bu Siti, suaranya parau namun penuh tekad. "Kita tidak boleh menunda lagi. Kita harus menenangkan Kakek."
Semua orang setuju. Mereka mulai berdiskusi, merencanakan setiap detail ritual dengan seksama. Pak Surya telah memberikan petunjuk yang jelas: ritual harus dilakukan di sawah keluarga yang dulunya digarap Kakek Ranu, harus ada sesaji lengkap, dan seluruh keturunan Kakek Ranu harus hadir. Ini bukan hanya sekadar sedekah bumi biasa, melainkan sebuah ritual penghormatan arwah, permohonan maaf yang tulus, dan janji untuk melanjutkan tradisi.
Persiapan pun dimulai. Para ibu sibuk di dapur, menyiapkan berbagai jenis sesaji: nasi tumpeng kuning, ingkung ayam, jajan pasar aneka rupa, buah-buahan segar, bunga setaman, dan kemenyan. Para pria bertugas membersihkan area sawah, terutama di bagian pematang yang dulunya sering menjadi tempat Kakek Ranu beristirahat. Anak-anak yang lebih besar membantu mengangkut perlengkapan, meskipun masih diselimuti ketakutan dan kebingungan.
Sore harinya, saat matahari mulai condong ke barat dan langit memerah, seluruh keluarga besar Kakek Ranu berkumpul di sawah. Ada sekitar dua puluh orang, mulai dari yang paling tua hingga anak-anak balita yang digendong orang tua mereka. Suasana di sawah terasa aneh. Angin berhembus lembut, mengibarkan daun-daun padi, namun ada keheningan yang mencekam, seolah-olah alam pun tahu akan pentingnya peristiwa ini.
Di tengah pematang sawah, mereka telah menyiapkan sebuah tikar besar, tempat sesaji diletakkan. Kemenyan mulai dibakar, mengeluarkan asap putih tebal dengan aroma khas yang menyebar ke seluruh penjuru. Bau dupa yang selama ini menjadi pertanda teror, kini justru menjadi bagian dari ritual, memberikan sensasi campur aduk antara ketenangan dan ketegangan. Aroma tanah basah yang sering menyertai kerasukan juga terasa, namun kali ini bukan pertanda bahaya, melainkan pertanda bahwa mereka berada di tempat yang benar, di mana Kakek Ranu merasa terhubung.
Pak Surya, sang dukun sepuh, memimpin ritual. Ia mengenakan pakaian tradisional Jawa, matanya terpejam, dan ia mulai mengucapkan doa-doa dalam bahasa Jawa Kuno, suaranya pelan namun penuh khidmat. Ia memanggil nama-nama leluhur, memohon restu dari bumi, dan yang terpenting, memanggil arwah Kakek Ranu untuk hadir, untuk mendengarkan permohonan maaf dari keturunannya.
Satu per satu, anggota keluarga maju ke depan, berdiri di depan sesaji. Dimulai dari Pak Budi, sebagai putra sulung. Dengan suara bergetar, ia mengucapkan permohonan maaf yang tulus. "Kakek… kami mohon ampun. Kami lalai, kami lupa akan janji ini. Kami terlalu diselimuti kesibukan dan duka, hingga melupakan pesanmu yang penting. Kami menyesal, Kakek. Kami berjanji, mulai sekarang dan seterusnya, kami akan selalu mengingatmu, dan akan melanjutkan tradisi sedekah bumi ini setiap tahun, demi ketenanganmu dan restu dari bumi."
Bu Siti, Pak Harun, dan Pak Danu, serta seluruh cucu-cucu yang lebih tua, termasuk Rina yang masih terbayang telepon misterius itu, dan Wulan yang telah sadar sepenuhnya namun masih trauma dengan kejadian kerasukannya, semuanya ikut mengucapkan permohonan maaf. Air mata mengalir di pipi beberapa di antara mereka. Rasa bersalah yang selama ini membebani, kini sedikit terangkat melalui permohonan maaf yang tulus. Mereka menundukkan kepala, memohon ampun, dan berharap arwah Kakek Ranu akan merasakan ketulusan mereka.
Setelah semua permohonan maaf diucapkan, Pak Surya melanjutkan ritualnya. Ia memercikkan air bunga ke arah sesaji, lalu ke setiap anggota keluarga. Ia kemudian meminta mereka untuk menaburkan bunga setaman ke sekeliling area ritual, sebagai simbol persembahan kepada bumi dan arwah yang hadir. Keheningan kembali menyelimuti sawah, hanya suara angin dan bisikan doa-doa Pak Surya yang terdengar.
Tiba-tiba, sebuah kejadian aneh terjadi. Api kemenyan yang semula kecil, tiba-tiba membesar dan melambung tinggi, lalu padam seketika, meninggalkan gumpalan asap tebal yang membumbung ke langit senja. Bersamaan dengan itu, aroma dupa dan tanah basah yang begitu kuat sejak awal ritual, kini perlahan menghilang, digantikan oleh aroma padi yang harum, seolah-olah sebuah beban telah terangkat.
Pak Surya membuka matanya. Ia tersenyum tipis. "Sudah," katanya, suaranya penuh kelegaan. "Arwah Kakek Ranu telah mendengar permohonan maaf kalian. Beliau telah menerima sesaji kalian. Beliau sekarang sudah tenang."
Rasa lega yang luar biasa membanjiri hati setiap orang. Sebuah beban berat yang selama ini menekan, kini terangkat. Ketakutan yang mencekam mereka selama berbulan-bulan, kini sirna. Mereka saling pandang, mata mereka dipenuhi air mata kelegaan. Kakek Ranu telah memaafkan mereka.
Sejak malam ritual itu, sebuah ketenangan baru menyelimuti Desa Karanganyar, khususnya keluarga Kakek Ranu. Tidak ada lagi telepon misterius dari nomor tak dikenal. Tidak ada lagi kejadian kerasukan yang mendadak. Tidak ada lagi bisikan-bisikan mengerikan di malam hari. Bau dupa dan tanah basah yang selalu menjadi pertanda buruk, kini tak pernah tercium lagi. Rumah-rumah mereka kembali dipenuhi tawa anak-anak, dan tidur malam mereka tidak lagi dihantui mimpi buruk. Hidup kembali tenang.
Namun, ketenangan itu tidak sepenuhnya tanpa cela. Rasa bersalah dan trauma tetap membekas. Mereka selalu teringat pada Rio dan Wira, dua cucu yang harus menjadi tumbal dari kelalaian mereka. Setiap kali mereka melewati makam kedua remaja itu, atau melihat sawah yang dulunya digarap Kakek Ranu, sebuah nyeri halus selalu menghinggapi hati mereka. Mereka belajar sebuah pelajaran pahit: beberapa janji tidak bisa dilupakan, terutama janji kepada leluhur dan kepada alam.
Keluarga Kakek Ranu kini menjadi lebih sadar akan pentingnya tradisi. Setiap tahun, tanpa perlu diingatkan, mereka akan melakukan ritual sedekah bumi di sawah keluarga. Mereka melakukan itu bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai bentuk penghormatan dan pengingat akan apa yang telah terjadi. Mereka tahu, Kakek Ranu mungkin sudah tenang, namun kenangan akan teror itu akan selalu menjadi pengingat bahwa ikatan dengan masa lalu, dengan tradisi, dan dengan arwah para leluhur, adalah sesuatu yang tidak boleh diabaikan.
Bab 6 – Pria di Tengah Sawah
Beberapa bulan telah berlalu sejak ritual sedekah bumi yang mengembalikan kedamaian pada keluarga besar Kakek Ranu. Ketenangan yang mereka dambakan akhirnya tiba, namun bekas luka dari teror yang mencekam itu masih terasa. Ingatan akan Rio dan Wira, dua cucu yang menjadi korban kelalaian mereka, tak pernah sirna. Setiap hari, mereka diingatkan akan pentingnya menjaga tradisi, menjaga janji, dan menghormati para leluhur. Keluarga itu kini menjadi lebih dekat, lebih peka terhadap satu sama lain, dan lebih religius dalam cara mereka sendiri. Mereka telah belajar pelajaran pahit, dan memutuskan untuk tidak pernah mengulanginya.
Suatu sore yang cerah, saat matahari mulai condong ke barat, memancarkan bias keemasan di atas hamparan sawah hijau, Pak Budi berjalan menyusuri pematang. Ia berniat melihat kondisi padi yang mulai menguning di sawah warisan Kakek Ranu, sawah yang dulu menjadi pusat teror mereka. Hatinya kini dipenuhi rasa syukur, bukan lagi ketakutan, setiap kali ia menginjakkan kaki di sana. Aroma lumpur dan kesegaran padi memenuhi udaranya, menenangkan jiwanya.
Saat ia sampai di tengah sawah, di dekat gubuk kecil tempat Kakek Ranu biasa beristirahat, matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdesir. Seorang pria tua sedang duduk diam di pematang, membelakangi Pak Budi. Pria itu mengenakan baju lurik cokelat dan topi caping yang sudah lusuh, persis seperti pakaian yang sering dikenakan Kakek Ranu semasa hidupnya. Bahkan postur tubuhnya, cara ia duduk dengan punggung sedikit membungkuk, sangat mirip dengan almarhum Kakek Ranu.
Pak Budi berhenti, matanya tak berkedip. Ia mengira itu hanyalah halusinasi, efek dari kerinduannya pada sang ayah. Namun, sosok itu begitu nyata, begitu jelas. Ia mencoba memanggil, "Kakek…?" Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia merasa aneh, antara takut dan rindu.
Pria itu tidak menoleh. Ia tetap duduk diam, seolah menikmati hembusan angin sawah. Pak Budi memberanikan diri, melangkah perlahan mendekati sosok itu. Setiap langkahnya terasa berat, jantungnya berdebar kencang. Ia mengamati detailnya: kerutan di leher, jari-jari yang kasar karena pekerjaan, bahkan aroma tanah yang samar menyeruak dari tubuh pria itu, aroma yang sangat familiar.
Semakin dekat, Pak Budi dapat melihat profil wajah pria itu. Sebuah senyum tipis, damai, terukir di bibirnya. Senyum itu, senyum Kakek Ranu. Rasa haru dan ketakutan bercampur aduk di dada Pak Budi. Ia ingin memeluknya, namun ragu. Apakah ini benar-benar Kakek? Atau hanya ilusi?
Saat Pak Budi hanya berjarak beberapa langkah, pria tua itu akhirnya bergerak. Ia perlahan menoleh, dan matanya menatap langsung ke arah Pak Budi. Matanya bening, penuh kedamaian, dan memancarkan kehangatan yang familiar. Kemudian, pria itu tersenyum, sebuah senyum yang lebih lebar dan jelas, penuh arti. Itu adalah senyum Kakek Ranu, senyum yang sama yang selalu ia lihat ketika sang ayah merasa puas dengan panennya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, pria itu bangkit. Gerakannya sangat perlahan, seolah ia tidak ingin terburu-buru. Ia melangkah pelan ke arah tengah sawah, ke arah petak-petak padi yang baru saja ditanam. Setiap langkahnya tidak menimbulkan suara, seolah kakinya tidak menyentuh tanah. Pak Budi hanya bisa mematung, menyaksikan pemandangan yang tak bisa ia jelaskan.
Pria itu terus berjalan, semakin jauh, semakin masuk ke dalam hamparan padi hijau. Cahaya matahari yang keemasan menyelimuti sosoknya, membuatnya tampak bersinar. Dan kemudian, secara bertahap, perlahan namun pasti, tubuh pria itu mulai memudar. Ia tidak menghilang dengan ledakan cahaya atau suara apapun. Ia hanya larut ke dalam cahaya senja dan hamparan padi, seolah-olah ia kembali menjadi satu dengan alam, satu dengan sawah yang sangat ia cintai. Dalam beberapa detik, ia benar-benar lenyap, hanya menyisakan keheningan dan aroma tanah yang pekat.
Pak Budi berdiri di sana, napasnya tertahan. Ia tidak tahu berapa lama ia mematung. Air mata mengalir di pipinya, air mata kelegaan, rasa damai, dan kesedihan yang baru. Ia tahu, ia baru saja menyaksikan sebuah perpisahan. Sebuah tanda bahwa Kakek Ranu benar-benar telah menemukan ketenangan, dan kini kembali ke tempat yang paling dicintainya. Ia tidak murka lagi. Ia tidak menuntut lagi. Ia hanya datang untuk melihat, untuk tersenyum, dan untuk berpamitan dengan damai.
Sesampainya di rumah, Pak Budi menceritakan apa yang dilihatnya kepada seluruh keluarga. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, ada yang meneteskan air mata, ada yang mengangguk-angguk penuh pengertian. Mereka tidak ragu sedikit pun bahwa itu adalah Kakek Ranu.
"Kakek sudah tenang," bisik Bu Aminah, suaranya lega. "Dia datang untuk memastikan kita baik-baik saja."
Bu Siti menatap sawah dari jendela. "Dan dia datang untuk berterima kasih, karena kita sudah memenuhi janji kita."
Mereka hanya saling menatap, mata mereka berbicara lebih dari seribu kata. Sebuah pemahaman yang mendalam telah tertanam di hati mereka. Beberapa janji memang tidak bisa dilupakan, bahkan oleh arwah. Janji kepada leluhur, kepada tradisi, kepada bumi yang memberi kehidupan. Kakek Ranu telah mengajarkan mereka pelajaran terpenting dalam hidup, meskipun dengan cara yang paling mengerikan.
Sejak hari itu, kehidupan keluarga Kakek Ranu benar-benar damai. Tidak ada lagi teror, tidak ada lagi bayangan. Sawah itu, yang dulunya menjadi saksi bisu penderitaan mereka, kini menjadi tempat kedamaian, tempat mereka mengingat Kakek Ranu dengan senyuman, bukan lagi ketakutan. Mereka terus melanjutkan tradisi sedekah bumi setiap tahun, tak pernah lalai. Bukan lagi karena takut, melainkan karena rasa hormat dan cinta yang tulus kepada leluhur mereka, dan sebagai janji bahwa kenangan Kakek Ranu akan selalu hidup, abadi, di antara hamparan padi di Desa Karanganyar.