Masukan nama pengguna
Masih kuingat tanggal itu. 29 Desember 2022. Mungkin sekitar dua minggu setelah berakhirnya turnamen akbar empat tahun sekali itu. Seorang legenda sepak bola dunia akhirnya menghadap Sang Khalik. Ia mengembuskan napas terakhir di Israelita Albert Einstein Hospital yang berlokasi di kota Sao Paolo. Ia pun menyusul sahabatnya yang sesama legenda sepak bola, yang mendahuluinya dua tahun lalu.
Kutonton ulang film yang bercerita tentang rekam jejak dirinya sebagai seorang pesepakbola. Luar biasa sekali. Pantang menyerah. Sangat spartan. Patut ditiru oleh generasi sekarang. Hampir sebagian karier sepak bolanya dihabiskan di sebuah klub bernama Santos.
Oh, Santos. Riwayatmu kini. Kenapa harus terdegradasi?
Sejak didirikan pada 14 April 1912, klub ini belum pernah terdegradasi ke divisi dua. Banyak prestasi sudah dihasilkan. Pemain-pemain bintang mereka hasilkan. Selain si legendaris, masih ada Robinho, Elano Blumer, Paulo Henrique Ganso, hingga Neymar.
Terdengar lagu itu. Sebuah lagu dari Brasil. "Ai Se Eu Te Pego" yang dulu pernah dinyanyikan Neymar bersama Michel Telo. Seolah-olah sedang menghibur jutaan hati pendukung klub sepak bola Santos yang hatinya patah berkeping-keping. Aku pun merasakan sesak di dada. Tangis ini belum luntur. Belum pernah aku sesedih ini. Apalagi Santos merupakan klub Brasil yang sangat aku favoritkan.
Yang masih terngiang-ngiang pertandingan itu lagi. Santos ditantang wakil Barcelona di Yokohama, Jepang. Pertandingan amat seru. Jelas aku mengunggulkan Santos. Meskipun ada Xavi Hernandez atau Lionel Messi, tak sudi aku mendukung FC Barcelona. Lebih baik aku mendukung klub lamanya Robinho, penyerang favorit aku yang sudah pindah dari Real Madrid menuju Manchester City.
Saat itu, itu suatu pertandingan yang mendebarkan. Barisan pertahanan Santos sanggup meredam agresivitas tim besutan Josep Guardiola. Padahal ada Lionel Messi yang fenomenal. The Messi-ah ditandemkan dengan David Villa, yang baru saja menjuarai Piala Eropa bersama pelatih Luis Aragones. Memang Santos kalah. Akan tetapi, aku selalu menyukai permainan Santos. Permainan ciamik Neymar membuat aku ingin menari-nari Samba dengan diiringi-iringi "Ai Se Eu Te Pego".
"Nossa, nossa, assim vocĂȘ me mata."
Padahal seru juga andai tempo itu Santos yang juara, dan bukannya Barcelona. Bisa saja Neymar akan menari-nari di atas podium. Membayangkan saja, aku sudah tertawa terbahak-bahak.
Kini itu sudah menjadi kenangan. Kenangan yang amat pahit. Sama pahitnya saat mengenang mantan kekasih yang akhirnya melabuhkan hati ke laki-laki lain. Setelah 111 tahun klub sepak bola itu berdiri, jatuh juga ke divisi bawah. Itu pun seperti sedang menasehati kita semua agar jangan takabur. Bola itu bundar. Kadang di atas, kadang di bawah. Hidup pun terkadang begitu. Bak sebuah bola sepak.
Kupandangi foto Edson Arantes dos Nascimento alias Pele. Kataku dalam bahasa Inggris, "Don't cry for it, Pele. As a ball is kicked to anywhere, no wonder Santos could be relegated. Nothing is impossible."
Santos, riwayatmu kini. Semoga kalian cepat kembali ke divisi teratas liga Brasil lagi. Segeralah raih banyak trofi.
* Flash fiction didedikasikan untuk FC Santos yang akhirnya terdegradasi dengan rekor 11-10-17.