Flash
Disukai
0
Dilihat
5,336
Apakah Cinta itu Berpola?
Romantis

Aku tak memulai dulu. Padahal bel sudah berbunyi. Bek yang merupakan pertanda waktu ujian sudah dimulai. Kutaruh dulu pulpen. Yang lainnya sudah mulai mengisi lembar jawaban. Aku hanya...

Mungkinkah ini sebuah keberuntungan?

Perempuan yang aku suka, duduk tak jauh dari aku. Perempuan itu mengenakan kemeja putih berlengan panjang dan rok hitam sebahu. Rambutnya diikat. Ia sungguh tak berubah sejak kali terakhir aku dan dia duduk satu ruangan di sebuah gereja.

Nama perempuan itu Becky. Sampai sekarang aku masih saja mengingat setiap hal tentang dirinya. Jangankan dirinya, aku bahkan agak tahu tentang keluarganya. Adiknya Hanna, yang masih duduk di kelas 9 SMP. Ayahnya sama seperti ayah aku, yang berkacamata, dan tidak merokok. Ibunya terlihat judes, tapi aku tahu, sebetulnya tidak. Yang kuingat dari hasil penyelidikan aku, Becky dulu pernah tinggal di Kanada.

"Ehem!" seorang pengawas berdeham dan menatap ke arah aku. "Sedang apa kamu? Mau mencontek? Kalau iya, gagal ujian masuk kamu, Ibu pastikan!"

Para peserta ujian memperhatikan aku. Termasuk Becky sendiri. Becky terkekeh, dan hatiku serasa melumer. Melumer bagaikan es krim yang terkena paparan sinar matahari.

Tergesa-gesa aku mengambil pulpen, eh, salah, deh, aku langsung mengambil pensil. Segera aku membulatkan bagian-bagian identitas aku dulu. Setelah selesai, aku mulai mengerjakan soal ujian. Namun, sebelumnya aku sekilas memandangi wajah Becky. Dari posisiku ini, teramat mudah untuk memperhatikan wajah Becky dengan cukup leluasa. Becky, kurasa, ia tak akan sadar sedang diperhatikan.

Becky...

Aku menghela nafas seraya menyebutkan nama pujaan hatiku sejak SD--tentu saja dalam hati.

Becky, meski aku teramat menyukai kamu, aku juga bingung, aku selalu saja menyembunyikannya. Yang karena aku penakut pula, hubungan ini saja, sudah bisa kurasakan kebahagiaan. Namun, apa bisa yang seperti ini disebut sebagai hubungan?

Novel-novel yang aku baca. Komik-komik yang menghibur aku di kala senggang. Belum lagi, animasi-animasi Jepang tersebut. Semuanya itu seolah-olah mengajarkan aku bahwa cinta itu harus diucapkan. Jika tidak diucapkan, apalagi jika ditolak, hubungan tidak akan dimulai. Yang kutahu seperti itu.

Ingin sekali kuungkapkan setiap rasa di dalam diri ini. Mengganjal di kerongkongan. Serasa sulit untuk dikeluarkan. Padahal orangnya berada di depan mata, tapi apa daya. Bibirku sekonyong-konyong kelu. Seperti dirantai saja. Tak bisa aku gerakkan lidah ini.

Bersama dengan dirimu, aku laksana berada di tepi pantai. Laut di depan mata dengan warna birunya yang cukup menawan. Belum lagi cakrawala lepas yang mengikutinya. Seolah-olah semuanya itu menceritakan seluruh isi hatiku untuk kamu, Becky. Namun, sekali lagi, apa daya. Satu kalimat sangat sederhana, tapi tidak bisa aku keluarkan dari kerongkongan.

Masih aku ingat dengan penampilan kamu saat itu. Bukan di pantai, melainkan di daerah perbukitan. Aku masih ingat bagaimana kamu berjalan seraya mendorong sepeda. Lalu kamu mengeluarkan suara tawa dengan polosnya.

Topi aneh yang kamu pakai itu. Aku tak tahu jenis topi apakah itu. Lusuh sekali. Padahal kepribadian kamu tidak selusuh itu. Kamu lebih pantas untuk mengenakan topi yang lebih mengembang. Topi yang lebih mengembang, disertai kaus pendek motif bunga-bunga yang agak tertutupi dengan kardigan berwarna merah jambu. Dengan penampilan seperti itu, matahari di atas sana pun pasti ikut tergoda.

Kamu terlihat mempesona saat itu, Becky. Yang memunculkan dua rasa sekaligus. Rasa sayang beserta kesedihan. Satu rasa yang menunjukkan perasaan aku padamu. Rasa lainnya pun masih menunjukkan rasa lainku padamu. Hanya saja rasa yang terakhir itu merupakan bukti aku yang teramat bodoh.

Iya, aku bodoh, Becky. Padahal, dulu itu, sedekat itu dengan dirimu. Kamu duduk berada di samping aku. Hanya terpisahkan oleh satu orang, yang aku amati, dia cukup akrab dengan dirimu. Jika saja seseorang itu aku abaikan begitu saja, mungkin saja sudah keluar. Sayangnya, tentu saja tidak.

Spontan aku menggaruk-garuk rambut aku. Kombinasi antara kesulitan mengerjakan soal dan rasa frustrasi aku yang masih saja penakut untuk mengutarakan perasaan ini.

Becky, apakah kamu percaya bahwa cinta ini memiliki pola tersendiri?

Aku percaya cinta itu memiliki pola. Jika tidak diterima, pastilah ditolak. Atau, menjalani kehidupan yang seperti aku. Putih, hitam, dan abu-abu. Entah mana yang aku harus pilih.

Apakah sebaiknya kuungkapkan saja? Lebih baik kuungkapkan daripada bimbang bertahun-tahun. Namun, apakah aku berani?

Aku tertawa tanpa suara. Tadi saja, yang aku ingat, aku nyaris sama sekali tak menjawab saat kamu coba menyapaku.

Becky, maukah kamu menunggu setelah selesai ujian ini?

Aduh, bodoh betul aku. Diriku dan dirimu tidak terlalu mengenal. Aku tidak mau membuat kamu risih padaku. Bagiku, sosokmu itu teramat penting. Yang saking pentingnya, sulit keluar dari kerongkongan tiga kata keramat tersebut.

Di saat tahun berganti, jika Tuhan menakdirkan kita berdua diterima di universitas ini, di saat itu pula mungkin saja keberanian aku sudah terkumpul. Lewat dari batas waktu cinta pun tak apa-apa. Yang penting, perasaan campur aduk ini--yang terpendam bertahun-tahun--terlampiaskan juga.

Apakah kamu mau menunggu?

Argh, sialan. Bel sudah berbunyi. Untung saja aku masih berkonsentrasi mengerjakan soal ujian di tengah lamunan aku tentang dirimu.

Aku harap cinta tidak mengenal batas waktu. Lewat pun tidak apa-apa. Aku harap juga cinta itu seperti sebuah lautan yang terhampar luas. Saking terhamparnya, sampai-sampai cairan demi cairannya memantulkan cahaya. Asalkan cahaya itu tidak berpola kotak-kotak, yang mengharuskan aku untuk memilih.

Sebab, yang aku inginkan adalah jawaban "Ya".

Hey, Becky, tunggu dulu, ada yang ingin aku tanya. Apakah cinta itu berpola? Memiliki batas waktu, kah, cinta itu?

Catatan Kaki:

Berdasarkan kisah nyata penulisnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)