Masukan nama pengguna
Sebuah lagu dimainkan oleh tiga orang berprofesi sebagai musisi jalanan ini.
Aku yang dulu bukanlah yang sekarang
Dulu ditendang sekarangku disayang
Dulu dulu dulu ku menderita
Sekarang aku bahagia
Aku berikan selembar uang dengan nominal kepada mereka. Untungnya mereka tidak mencak-mencak seperti terdahulunya. Sebelumnya ada pengamen--yang aku jumpai--malah memaki-maki aku karena aku memberikan uang dua ribu rupiah. Padahal suaranya saja seperti... kaleng rombeng saja kalah.
Makanan aku sudah hampir habis. Tadi aku memesan nasi dengan lauk telur dadar dan kuah sayur asam. Hanya Rp 15.000, tapi sudah cukup untuk aku.
Tiga orang pengamen itu, yang aku perhatikan, mereka sudah melipir dari warteg ini. Pengamen pergi, digantikan oleh beberapa orang anak berpakaian putih merah. Eh, untuk hari ini, anak-anak dari SD swasta ini berpakaian bebas. Tidak mengenakan seragam sekolah mereka, yang aku maksudkan. Masing-masing dari mereka membawa kotak yang aku duga, itu berisi makanan. Aku paham sedang terjadi apa.
Sekarang tanggal 11 Desember. Sebentar lagi hari kelahirannya. Aku lalu menghela nafas.
Seseorang dari bocah-bocah ini langsung menyanyikan sebuah lagu. Lagu rohani dan berkaitan ke hari kelahirannya.
Malam kudus, malam sunyi,
alam g'lap dan sepi
Ayah bunda tetap tinggal t'rus,
jaga Anak yang Mahakudus
Eh, seorang perempuan dengan pakaian ala baby-sitter masuk ke dalam warteg. Si baby-sitter ini berseru, "Duh, si Kakak, jangan lari-lari kenapa? Mbak kan jadi capek kejar si Kakak."
Gadis kecil itu terkekeh dan membalas, "Mbak, aku mau beli ini boleh?"
Ternyata gadis kecil itu menunjuk-nunjuk ke arah sederetan makanan yang dijual warteg ini. Ada sayur asam, kerang rebus, tempe orek, telur dadar, tahu rebus, dan... yah, makanan-makanan yang khas dijual di sebuah warteg. Sebagian teman-temannya malah sudah memesan sambil membuka bingkisan masing-masing. Ternyata dugaan aku. Isi kotak itu beberapa jenis kue. Ada bika ambon, lemper, kue mangkok, dan... dilengkapi dengan segelas air mineral beserta sedotannya.
Aku tertawa tanpa suara sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ah, sudahlah. Toh, mereka masih dalam masa pertumbuhan. Almarhum paman aku sering berkata, anak-anak itu harus makan yang banyak, biar cepat tumbuh pertumbuhan badannya.
Seorang perempuan yang berpakaian sedikit necis mendadak masuk ke dalam warteg. Kelihatannya perempuan itu ibu kandung si gadis kecil tersebut.
"Ma, aku boleh, yah, mesen makanan ini?" pinta si gadis kecil yang sepertinya merengek-rengek.
Dari raut si ibu muda ini, tampaknya ia terlihat keberatan. Lihat saja pakaian si ibu muda. Lihat, lihat, lihat tas tangan yang dipegangnya. Pasti barang bermerek. Paling mereknya Louis Vuitton. Atau mungkin Gucci. Pasti dia keberatan anaknya makan dengan kualitas makanannya diragukan seperti yang coba dijual di warteg ini.
"Cuma buat hari ini, loh, Sayang," ujar si ibu muda. "Only today, Darling,"
Si ibu muda membisikkan sesuatu ke telinga si gadis kecil. Tak tahukah dia, suaranya terdengar ke aku dan pengunjung-pengunjung kainnya, terlebih si empunya warteg?
"Bu, jangan sembarangan kalau ngomong!" seru si empunya warteg yang mengenakan sarung di bagian bawahnya. "Biar warteg begini, cuma rumah makan kecil, makanan yang saya jual, ndak bikin anak ibu sakit."
"Lah, kok sewot, Pak?" balas si ibu muda. "Ngapain nguping juga?"
Pengunjung lainnya membela si empunya warteg, "Suara ibu kedengaran jelas, kali, hahaha..."
"Sampeyan mending keluar dari warteg saya," gertak si empunya warteg.
Tampaknya si gadis kecil agak keberatan diseret keluar warteg oleh ibunya. Dia ingin sekali makan makanan yang dijual di warteg.
"Nanti kita makan di all-you-can-eat, Darling," bisik si ibu muda, yang sebetulnya terdengar cukup kencang. " Lebih steril. Lebih bergizi. Nggak seperti di sini."
Terdengar suara sendok jatuh. Sengaja dijatuhkan rupanya. Tergesa-gesa keluarga kecil itu meninggalkan warteg. Sementara teman-teman si gadis kecil itu makan sambil terperangah dengan apa yang mereka lihat. Baru aku sadari, tiga pengamen itu belum benar-benar pergi. Mereka dari tadi nongkrong di depan warteg sambil asyik menyetel gitar masing-masing. Salah satu dari mereka menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini sekonyong-konyong mengingatkan aku dengan masa kanak-kanak aku. Terutama saat Mami masih hidup. Baru aku sadari pula, kejadian tadi agak mirip dengan apa yang aku alami saat kanak-kanak.
Ku telah mati dan tinggalkan
Jalan hidupku yang lama
Semuanya sia-sisa
Dan tak berarti lagi
Hidup ini kuletakkan
Pada mezbahMu ya Tuhan
Dulu pun Mami sempat agak seenaknya berkata di dekat tukang bakso. Aku memang diizinkan untuk membeli bakso. Namun... aku terkekeh. Si Mami malah berkata-kata yang kurang enak tentang dagangan si tukang bakso. Kejadian itu mirip dengan kejadian di warteg ini barusan.
Aku bersiap untuk membayar makanan aku. Selanjutnya, setelah menerima kembalian, aku keluar dari warteg. Kuhampiri tiga pengamen ini. Kuserahkan uang lima ribu rupiah ke mereka. Mereka sangat berterimakasih sekali.
Dalam hati, aku berkata, 'Mi, aku merindukan kamu. Apalagi besok sudah hari ibu. Suasana di rumah, sudah lama berubah sejak kematian kamu sepuluh tahun yang lalu. Natal yang sekarang beda sama Natal sewaktu Mami masih ada.'