Masukan nama pengguna
"Aku hanya memanggilmu, Ayah, di saat aku kehilangan arah. Aku hanya mengingatmu, Ayah, jika aku telah jauh darimu."
Cuaca yang tak biasa di sebuah pemakaman. Tak biasanya turun hujan cukup deras di jam sembilan pagi. Mana turunnya hujan di kala empat orang pria sedang mendatangi makam ayah masing-masing. Empat pria itu tak saling mengenal, tapi sama-sama memiliki tujuan yang sama. Mereka berempat merindukan ayah mereka masing-masing.
Pria pertama datang ke pemakaman tersebut dengan mobil sedannya. Akhirnya setelah beberapa tahun terakhir, ia ke mana-mana selalu mengendarai sepeda motor, ia bisa sukses pula. Jerih payahnya yang mencari nafkah ke sana dan ke mari, terbayarkan. Ia ke makam ayahnya karena ada satu kabar baik yang harus disampaikan.
Si pria pertama meletakkan karangan bunga mawar di atas batu nisan ayahnya yang meninggal empat tahun yang lalu. Ia berkata, "Pa, bentar lagi aku mau nikah. Kemarin-kemarin itu, aku lamar pacar aku dengan karangan bunga mawar juga. Persis yang aku kasih ke makam Papa ini. Do'ain, Pa, agar segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sayang nggak ada Papa waktu hari pernikahan aku nanti."
Selanjutnya, ada pria kedua yang menggunakan taksi untuk menuju pemakaman ini. Pria kedua ini mengenakan kacamata. Pakaiannya rapi sekali. Ia sengaja mengenakan kemeja biru langit dan celana panjang berwarna hitam. Tampaknya ia ingin sedikit memamerkan prestasi yang baru saja ia dapatkan. Ujarnya seraya menaburkan bunga tabur, "Bapak, aku pun di sini, sama seperti cowok di samping aku. Aku rindu Bapak. Pak, akhirnya aku jadi CEO juga, yang di tengah-tengah rasa sakit yang menggerogoti satu-dua organ tubuhku. Benar kata Bapak, uang sedikit bukan halangan, aku bisa sukses juga dengan keterbatasan aku."
Lalu, ada pria keempat, yang untuk kali ini, datang ke makam ayahnya sendiri saja (yang biasanya selalu bersama keluarga abangnya). Ia inilah yang memperdengarkan lagu "Ayah" yang pernah dipopulerkan oleh grup band Seventeen. Di depan makam ayahnya, ia menyanyikan lagu "Ayah" seraya memetik senar-senar gitar.
"Aku hanya memanggilmu, Ayah, di saat aku kehilangan arah. Aku hanya mengingatmu, Ayah, jika aku telah jauh darimu."
"Papi, kalau dulu, waktu aku masih remaja, sering menyusahkan Papi, yah, aku minta maaf, Pi. Malu sekali aku waktu SMA itu. Bikin malu keluarga saja. Padahal abang saja rutin masuk sepuluh besar. Eh, aku malah tinggal kelas. Papi kerepotan cari sekolah buat aku. Yang akhirnya, Papi kirim aku sekolah di Jogja. Merantaulah aku ke Jogja dari Tangerang cuma untuk studi SMA. Untuk waktu itu, aku benar-benar minta maaf. Telah kusia-siakan waktu berharga buat hal-hal yang nggak perlu. Uang sekolah malah aku pakai buat main bilyar dan clubbing. Oh iya, Pi, aku baru saja diterima kerja setelah dua tahun menganggur. Mungkin berkat doa Papi dari atas sana. Gajinya pun lumayan. Aku beberapa hari lalu baru saja beli laptop."
Yanh terakhir, seorang pria berkacamata yang mengenakan ransel. Ia ke pemakaman dengan naik omprengan. Sedari tadi, ia menyimak kata-kata tiga pria tersebut. Mendengar cerita ketiga pria itu, ia malu sendiri. Ia menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahnya. Tak berani berkata-kata.
Bagaimana tidak, hampir tiap bulan ia ke makam ayahnya. Setiap bertengkar dengan salah satu kakaknya, pastilah ia selalu ke makam ayahnya untuk mencurahkan isi hatinya. Tak ada hal yang ia banggakan di depan makam sang ayah, selain keluhan demi keluhan.