Masukan nama pengguna
Matahari cukup terik kali ini. Padahal belum jam 12. Yang aku, baru terasa panas-panasnya ketika sudah di atas jam 12 siang. Sekarang saja baru jam...
...coba kulihat jam di layar ponselku. Ternyata baru pukul 10.23 pagi. Rata-rata orang sering berkata jam 10 itu pagi. Ada juga yang bilang jam 10 itu siang. Sebagian berkata jam 10 itu masa peralihan. Ujung-ujungnya, yah, aku bisa mengerti, kenapa ada istilah brunch.
Brunch yang merupakan akronim dari breakfast dan lunch. Yang katanya, itu merupakan istilah anak gaul di kawasan Jakarta Selatan.
Aku tertawa sendiri. Yang di depan makam Mama. Pada siang hari, jam 10-an, aku memutuskan untuk berziarah ke makam Mama. Persis di hari ulang tahun Mama. Ulang tahun aku di tahun ini jatuh pada hari jumat.
Di hari-hari biasa seperti ini, tempat pemakaman umum ini tidak begitu ramai dikunjungi. Tempat ini hanya ramai didatangi saat hari sabtu dan minggu. Kedua mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata yang berziarah hanya aku seorang diri. Sisanya itu adalah para petugas makam dan anak-anak yang tinggal di perkampungan dekat tempat pemakaman umum ini. Anak-anak itu berlarian ke sana dan ke mari.
Mulai saja aku menebar bunga tabur ke pusara Mama. Kusiram batu nisan Mama dengan air yang tadi aku beli di warung dekat sini. Lalu, pelan-pelan aku membasuh wajah dengan air sebanyak tiga kaki. Konon, harus seperti itu. Jika tidak dilakukan, aura saat kita berkunjung ke makam atau kuburan, akan terbawa hingga ke alam mimpi. Bisa mimpi buruk juga.
Aku tergelak dengan mitos tersebut. Sejenak aku menelan air liur. Bergeming sebentar. Yang lama juga aku bergeming.
...
"Ma, aku kesal sebetulnya sama orang rumah. Kesal sama kecewa juga. Terutama sama Papa. Akhir-akhir ini, kelakuannya agak aneh. Kadang suka jadi lebih sering di dekat aku. Setiap aku lagi nulis gitu, aku bingung juga, kenapa Papa suka kayak ngedeketin aku gitu. Perasaan aku doang atau apa, yah?"
Aku menarik nafas agak panjang. Kuputuskan untuk jongkok. Kuraba-raba batu nisan Mama--yang beserta rumputnya.
"Ada aja yang dilakuin. Bisa nyuci piring, lah. Masak apa, lah. Nyetrika, lah. Dan, itu sering kejadian sewaktu aku lagi nulis, yang biasanya pakai hape. Belum lagi, setiap malam, aku pernah mergokin dia buka pintu pagar malam-malam. Alasannya, kakakku bentar lagi mau pulang. Padahal, kan, bahaya. Bisa masuk maling. Waktu aku mau tutup lagi, malah diomelin. Haaa..."
Aku menarik nafas lebar dan lebih lebar sebelumnya.
"...padahal jarak antara pintu pagar dibuka sama kakakku pulang agak lama. Bisa tiga puluh menitan. Bahkan hampir satu jam. Dan, sebetulnya masih ada banyak, sih."
Sekonyong-konyong terdengar suara sirine. Aku amati lingkungan sekitar baik-baik. Ternyata memang ada sebuah mobil jenazah yang sedang membawa jenazah untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum ini. Yang di tengah-tengah, sayup-sayup aku seperti mendengarkan suara Mama yang berkata lembut.
"Irwan yang sabar, menghadapi perlakuan orang-orang rumah ke kau, yah. Banyak doa saja. Dan, jangan benci terlalu dalam ke Papa. Biar begitu, seaneh-anehnya dia, sejahat-jahatnya dia, dia tetap Papa Irwan juga, Wan. Tetap semangat. Dan, kalau memang sebegitu mengganggu, coba alihkan ke kegiatan-kegiatan lainnya. Sibuk-sibukkan diri sendiri. Jalan-jalan ke sekeliling rumah, meski memang harus tetap hati-hati."
Aku menelan air liur. Sontak kedua mata ini langsung banjir air mata. Tertegun pula aku.
Kataku untuk kali terakhir, "Nggak tahu, yah, Ma. Aku bingung aja. Plus, takut juga. Bahkan, di hari ulang tahun aku, eh, dia malah lagi ada di Medan. Katanya, ada urusan kerjaan."
Catatan Kaki:
Flash Fiction ini bagian dari novel "ME DÉJÀVU" yang terbit di platform Fizzo.