Masukan nama pengguna
"Halo, Ma,"
Begitulah sapaku di depan tempat tinggal mama.
Aku segera meletakkan karangan bunga di atas batu nisan mama. Tak kuasa aku menahan tangis. Aku sujud di depan batu nisan. Kuelus-elus batu nisannya sembari menahan sesenggukan.
Segera kuambil selembar tisu dari dalam ransel. Ujarku tersedu sedan, "Ma, tak terasa Mama sudah delapan tahun pergi ke sana. Aku kangen Mama."
Bayangan demi bayangan. Momen demi momen. Itu membuatku semakin merindu yang menjadi-jadi. Yang kuingat itu saat Mama berada di ruangan 430. Napasnya terengah-engah. Untuk minum pun, beliau kesusahan setengah mati. Tidak boleh sembarangan makan. Pernah aku menbawakan beliau bakpau isi daging sapi. Aku malah diomelin suster yang menjaga.
"Mama kamu, Mas, nggak boleh makan daging-dagingan." begitu ujar si suster berambut kepiting, namun rambut keriting Mama jauh lebih indah.
Aku tertawa sekaligus menangis. Mama, kenapa Tuhan begitu jahat, yang harus mengambil kamu pergi dari hidup aku dan anggota keluarga yang lain?
Mataku terpejam erat-erat. Kupanjatkan doa yang terbaik untuk ketenangan arwah Mama. Dada ini terasa sakit sekali. Apa setiap kehilangan itu harus sesakit ini?
Aku bangkit berdiri. Kudongakkan kepala. Kedua mata masih terpejam. Kuhirup udara di sekitar makam Mama. Terdengar suara pesawat yang melintasi pemakaman ini.
"Ma, apa Mama ke alam sana dengan pesawat itu? Apa aku boleh ikut?" desahku, yang menangis sesenggukan. "Ma, selama delapan tahun ini, banyak sekali yang terjadi dalam hidup aku. Patah hati, penolakan karya, dihujat orang-orang yang tidak aku kenal. Pokoknya, macam-macam, deh, Ma. Frustrasi, iya, aku frustrasi. Sempat down pula. Andai ada Mama. Andai Mama masih hidup."
Kuperhatikan apa yang ada di sekitar aku. Ada beberapa orang petugas makam yang sedang sibuk merapikan makam. Itu seperti menggunting rumput makam. Atau, sedikit merapikan tanah salah satu makam yang tidak rata. Ada pula yang sepertinya diperintahkan untuk menggantikan batu nisan sebuah makam.
"Ma, menjadi orang dewasa itu ternyata tidak enak. Selain kangen Mama, aku mau balik ke masa kanak-kanak. Kangen saat-saat di mana sepulang sekolah, aku bisa menyetel Tom and Jerry. Atau, menunggu Doraemon tayang yang selalu tayang di pas jam delapan. Aku juga merindukan bolu buatanmu. Nastar buatan Mama selalu yang paling enak. Buatan Ibu Ester masih kurang enak daripada buatan ibuku tercinta."
Kuseka bulir-bulir air mata yang membasahi pipi. Aku mendesah sembari memeluk batu nisan ibu kandung yang sudah melahirkan aku tiga puluh lima tahun yang lalu.
"Kangen Mama. Oh iya, sebentar lagi Hari Ibu, kan. Yang aku ingat, di Hari Ibu terakhir kamu, aku malah bikin kamu emosi. Aku minta maaf, Ma."
Aku bangkit berdiri lagi dan bersiap-siap meninggalkan makamnya. Ujarku untuk kali terakhir, "Selamat Hari Ibu. Doakan aku agar selalu kuat dalam menjalani hari-hariku sebagai orang dewasa."