Masukan nama pengguna
"Jangan lari, Nyonya! Nyonya! Nyonya! Jangan lari! Ini kau meninggalkan bayimu?! Nyonya!" teriak seorang samurai muda sekaligus pengembara di tengah hutan prefektur Nara sekitar awal abad ke-20. Pada awal era modern ini, sebenarnya Samurai sudah langka sekali. Akan tetapi, sebenarnya di pelosok area masih ada segelintir. Sejak restorasi Meiji di abad ke-19, sebenarnya keberadaan Samurai sudah diatur oleh pemerintah dan diminta untuk melakukan perjanjian. Bagi yang tidak mau, banyak juga yang kabur ke pedalaman.
Tak sampai seratus meter di depan mata samurai muda ini, seorang wanita kurus dan berkimono lusuh berlari tergopoh-gopoh. Kaki telanjangnya tak dia pedulikan kotor terkena tanah, dedaunan kering, ranting, bahkan kerikil. Pasti sebenarnya sakit sekali, tetapi wanita itu tampak sudah terbiasa.
Rasanya belum sampai satu jam sang pengembara samurai muda ini terlelap di bawah pepohonan rindang. Lalu kemudian, tiba-tiba saja, dia mendengar ocehan bayi yang ternyata sudah tergeletak di sampingnya. Begitu kedua matanya terbuka, bayi itu sedang menggapai-gapai kupu-kupu dengan tangan mungilnya. Tak hanya itu. Dia juga menyunggingkan senyum.
Di balik selimut sang bayi, rupanya ada secarik kertas. Tak ada pilihan, samurai muda itu pun membuka kertas itu. Benar dugaannya! Wanita tadi sepertinya ibunya dan dia menuliskan pesan.
"Ayah anak ini adalah tentara bodoh dan miskin yang baru kemarin tewas dalam tugas, sedangkan aku, ibunya, adalah wanita lemah sakit-sakitan yang mungkin sebentar lagi akan mati. Kutitip anakku kepada seorang pengembara samurai kuat sepertimu, Agar dia tak lemah dan bodoh seperti kedua orang tuanya. Namun, tolong katakan padanya setelah dewasa kelak agar dia tak menyesal dilahirkan dari orang tua seperti kami. Karena, dibalik kebodohan ayahnya dan kelemahan ibunya, setidaknya di dunia yang keras dan keji ini, aku bersumpah dia lahir dari rasa cinta kedua orang tuanya. Hah!" setelah membaca surat dari wanita misterius itu, Yusuke menghela napas penuh kekesalan.
"Ehehehehe, Eaaaaak," mendengar Yusuke menghela napas dengan keras, si bayi malah cengengesan dan histeris menggemaskan. Tangan dan kakinya bergoyang-goyang. Dia pikir, Yusuke mengajaknya bermain.
"Hmm," gumam Yusuke seraya memperhatikan wajah lucu bayi itu, "Apa yang dipikirkan ibumu itu dengan menitipkanmu kepadaku? Aku ini pengembara yang terus berjalan menyusuri hutan, bukit, desa, kota, habis itu bisa hutan lagi," tatapnya seolah si bayi paham perkataannya, "Aku bisa saja tertidur di tempat harimau numpang lewat. Jadi, bagaimana dengan keselamatan kau?"
"Buuuuu, Fuuuuu, ciyaaa," si bayi malah mengoceh-ngoceh sendiri.
"Hey, ibumu pergi. Kau tak menangis?" tanya Yusuke
"......," si bayi menatap balik Yusuke dengan mata teduhnya.
"Kutitipkan saja kau di rekan sesama samuraiku yang sudah tak lagi menjadi pengembara. Bagaimana? Namanya Shitaro Watanabe," tanpa berpikir panjang, akhirnya dia menemukan solusi. "Aku akan mengunjungimu setahun sekali di kaki gunung Nara. Jika suatu hari aku tak datang, berarti aku mati bertarung di tengah perjalanan, ditangkap pemerintah, atau terkena bencana alam," santainya berkata seperti itu, "Tugasku hanya memberimu nama. Kazumi Tsukushi. Bagaimana? Kau ambil saja nama keluargaku."
Pada kenyataannya, sampai bayi bernama Kazumi itu tumbuh remaja, Yusuke Tsukushi tidak mati-mati. Setiap tahun, dia mengunjungi tempat tinggal Shitaro di kaki gunung Nara. Tak lupa, dia memberikan donasi semampunya dan bertarung dengan Kazumi yang sudah dilatih berpedang oleh Shitaro.
Merasa tak ingin ketinggalan berdampak bagi hidup Kazumi seperti Shitaro, Yusuke juga mengajarkan ilmu pedang. Uniknya, kedua aliran Shitaro dan Yusuke berbeda. Maka dari itu, Kazumi memiliki dua pedang untuk bertarung. Jika tangan kanannya mengayunkan pedang, itu berarti jurus dari Shitaro, sedangkan tangan kirinya adalah gerakan pedang cekatan Yusuke.
Ketika usia Kazumi menginjak remaja, bukannya Yusuke yang datang, tetapi bala tentara pemerintah masuk ke pedesaan Nara. Kuda-kuda mereka menuruni bukit, melewati sungai, menghalau semak, dan sebelum menaiki pegunungan, mereka berbelok ke lembah dan kaki gunung tempat Shitaro tinggal.
"Daripada Samurai seperti kalian ditangkap karena pemerintah sudah melarang keberadaan kalian, lebih baik kalian bekerja untuk pemerintah. Kami sedang kekurangan orang untuk menjadi tentara dan mata-mata di wilayah musuh," terang salah satu bala tentara itu. Shitaro berpikir, tentara yang tadi mengetuk pintu rumah kayunya adalah Yusuke yang datang setahun sekali. Tahunya bukan.
Untuk kehidupan yang lebih baik, Shitaro mulai mengambil perjanjian dengan pemerintah. Namun karena sudah tua, pemerintah hanya menginginkan Kazumi yang masuk sebagai tentara. Kepiawaiannya memakai dua pedang membuatnya menarik. Siapa sangka, tak sampai sepuluh tahun kemudian, Batavia yang menjadi wilayah mata-mata pertama baginya.