Masukan nama pengguna
Deretan pepohonan berjalan cepat dibalik jendela seiring kecepatan mobil yang dinaikinya namun mata cokelat mungilnya terpaku takjub melihat pemandangan tersebut sementara anak laki-laki di sebelahnya berusia lebih muda darinya sedang asyik bermain game di ponsel.
“Yah…kalah!” seru anak laki-laki itu,”Kak Drafira tolong kalahin bos ini dong,”pintanya sambil nepuk bahu sang kakak.
Seorang gadis berusia dua tahun lebih tua dari anak itu berpaling lalu merebut ponsel itu dari adiknya,”Lha masa main gini saja kau bisa kalah. Nih lihatin kakak!” kata Drafira dengan semangat langsung memainkan game itu sementara Drana—nama anak laki-laki itu menonton, dia mengeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan kakak perempuannya. Tanpa mereka sadari pasang mata melirik lewat kaca spion mobil kemudian kembali fokus menyetir, pria muda berparas tampan melirik sesaat ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya.
“Kalian bisa nggak berhenti main game! Nilai raport kalian hampir sana turun!” tegur Ayah,”Bu, tolong tegur anak-anak dong, mereka harus banyak baca buku agar nilai mereka tidak sampai jatuh.”
Wanita berhijab plasmana semula memandang lurus ke depan berpaling ke arah suaminya lalu pandangannya pindah ke belakang bangku mobil,”Drana, Drafira mainnya udahan ya, nanti mata kalian bisa sakit kalau lihat layar ponsel terus!” Ibu menegur dengan lemah lembut. Sayangnya dua anak itu tidak menghiraukannya karena fokus main game, Ibu mengehla napas sesaat kemudian kembali berpaling ke arah suaminya,” Ayah sebaiknya kita cari vila buat kita istirahat, Ayah pasti capek!” ujar Ibu memberi saran.
Ayah berpikir sejenak dan kemudian menyetujui, lantas pria itu segera menambah kecepatan dan mulai mencari villa, beberapa menit kemudian mobil yang mereka kendarai melewati gerbang vila saat berhasil menemukannya lalu memakirkan di area parkir khusus pengunjung. Drana dan Drafira yang asyik bermain segera mendongak saat merasakan mobil berhenti dan langsung berpaling ke luar jendela mobil.
“Ayo anak-anak ayo kita turun, kita akan menginap malam ini!” ajak Ibu.
Tentu saja mereka berdua girang bergegas keluar dari dalam mobil lalu berlari kecil mengejar Ayah yang sudah jalan lebih dulu di susul oleh Ibu. Suasana liburan membuat vila itu tampak sangat ramai di tambah melihat anak-anak yang sebaya dengan Drana dan Drafira yang sedang bermain kejar-kejaran di sekitar taman tidak jauh dari bangunan utama, selain itu mereka berdua juga takjub melihat arsitektur bangunan vila yang sangat indah dan elegan dengan warna merah kombinasi biru laut dan hijau kekuningan. Akan tetapi ditengah perasaan itu tubuh Drafira tersentak ketika merasakan semilir angin yang menusuk, tapi ia kembali sadar saat punggungnya di dorong oleh Ibu agar tidak ketinggalan. Saat di dalam Drana berseru takjub lalu memanggil Ayah sambil nunjuk ke arah patung wanita berpakaian kebaya dengan pose menyatukan tangan di tengah dada dan di sahut oleh Ayah, pria itu lantas menyuruh Ibu dan dua anaknya untuk nunggu di kursi tunggu sementara dirinya segera memesan kamar. sepeninggal Ayah Drana tidak henti-hentinya bertanya dan memuji arsitektur lobi sementara Drafira sebaliknya, ia mengedarkan pandangan sesaat ketika merasakan sesuatu namun langsung teralihkan melihat Ayah datang menghampiri lalu mengajak mereka menuju ke kamar yang sudah Ayah pesan. Sepanjang lorong Drafira melihat deretan pintu dengan nomor dipermukaannya, ketika sampai di depan pintu nomor dua puluh tanpa pikir panjang Ayah memasukkan kunci ke dalam lubang pintu lalu memutar sampai terdengar suara dan memutar kenop pintu itu kemudian membukanya lebar-lebar. Drana yang pertama dengan girang masuk ke dalam lalu menjatuhkan diri ke atas ranjang berwarna putih yang kontras dengan warna ruangan berwarna cokelat cream.
“Kak kasur ini sangat empuk! Puji Drana seolah menyuruh Drafira datang untuk merasakannya, sayangnya Drafira tidak berminat untuk melakukannya dan hanya menonton adiknya berguling ke kiri dan kanan. Gadis kecil itu mendongak saat Ayah menyuruhnya untuk istirahat sejenak setelah itu makan malam di kantin vila. Ketika malam tiba Drafira tiba-tiba terbangun dari tidurnya lalu melempar pandangan ke arah ranjang sebelah sementara dirinya tidur bersama Drana, awalnya gadis itu berniat kembali tidur namun tanpa sadar indra pendengarannya mendadak tajam saat mendengar suara di lorong sekitar pintu kamarnya. Mengira itu suara petugas vila dan kembali tidur tapi suara itu berubah menjadi suara bisik-bisik seram membuat Drafira membeku di duduknya hingga suara itu hilang dari pendengarannya, saat suara itu hilang Drafira dengan penasaran tapi takut turun dari atas ranjang lalu menghampiri pintu kamar.
“Lho! Bukannya tadi Ayah sudah menguncinya?” batinya heran saat memutar kenop pintu dan menyadari pintu itu tidak dikunci, gadis itu lantas membuka setengah lalu menyembulkan kepalanya lalu menoleh ke kiri dan kanan lorong, tidak ada siapapun di sekitar lorong tersebut bahkan Drafira bisa merasakan suasana sepi dan hening. Tidak melihat atau mendengar apapun Drafira menarik kepalanya lalu menutup kembali pintu itu dan kembali ke atas ranjang, akan tetapi baru saja gadis kecil itu memejamkan matanya untuk kembali tidur tubuhnya tiba-tiba memberi sinyal bahaya tapi Drafira mengabaikannya dan tidur. Seolah baru tidur sebentar Drafira kembali membuka matanya lalu menoleh ke arah ranjang samping dan terbelalak kaget ketika tidak melihat tubuh Ayah dan Ibu di sana lalu langsung noleh ke sebelah kanannya dan kembali kaget tidak melihat Drana di sampingnya.
“Ayah…Ibu…Drana!” panggil Drafira seraya bangkit lalu berpaling ke arah jendela dan melihat langit malam di luar jendela kamar. segera turun lalu menghampiri pintu dan memutarnya, terkejut gadis itu memutar-mutar kenop itu namun pintu dihadapannya enggan terbuka. Berusaha tenang Drafira segera mencari kunci pintu di laci maupun ranjang Ayah dan Ibu namun sayangnya tidak berhasil ia temukan, perasaan takut segera menyelimutinya Drafira kembali lalu mengedor-gedor pintu itu sembari memanggil. Suara pintu digedor terdengar sangat nyaring ditengah suasana sepi dan hening. Merasa sakit di kedua tangannya gadis itu memutuskan untuk berhenti dan duduk di tepi ranjang miliknya dan Drana dengan perasaan takut, tapi baru saja ia mendaratkan pantatnya sesuatu berhasil membuatnya kembali bangkit ketika merasakan ada benda di dalam selimutnya kemudian menyibak selimut tersebut untuk melihat benda yang tidak sengaja ia duduki. Matanya berbinar melihat kunci dan tanpa pikir panjang diambil kunci itu lalu kembali mendekati pintu dan membukanya, ketika pintu itu berhasil di buka dan keluar Drafira melangkah menelusuri lorong vila yang sepi menuju ruang lobi. Tetapi setibanya disana Drafira dibuat terkejut melihat suasana sepi di lobi serta barang-barang yang berubah posisi, bahkan patung wanita yang semula bergaya tengah menari kini posisi berdiri tegak. Penasaran dihampiri patung tersebut lebih dekat namun Drafira terlonjak kaget dan lari kencang ketika tiba-tiba kepala patung itu bergerak menatapnya dan kemudian bergerak mengejarnya, suara derap langkahnya terdengar nyaring serta napasnya mengambil napas cepat mengisi tenaganya untuk berlari menjauh dari patung itu. Pikirannya hanya tertuju pada kamarnya hingga matanya melihat pintu kamarnya menginap terbuka lebar, ketika berhasil masuk Drafira langsung menutup pintu itu dengan kencang lalu menguncinya. Suara seram meraung keras dibalik pintu membuat Drafira melangkah mundur dengan takut sembari memandang pintu itu, suara itu beberapa saat masih meraung hingga akhirnya suara dan langkah kaki melangkah menjauh dari pintu. Ketika suara itu sudah menghilang Drafira masih terlalu takut untuk membuka pintu itu dan diam menunggu, barulah setengah jam kemudian Drafira melangkah ragu menghampiri pintu itu lalu memutar kunci kemudian membuka sedikit pintu itu untuk mengintip dan setelahnya perlahan membuka lebar lalu menyembulkan kepalanya menoleh ke kiri dan kanan guna memastikan lorong sekitar kamarnya aman, merasa sudah aman gadis kecil itu segera keluar lalu melangkah perlahan menelusuri lorong menuju ruang lobi sembari menajamkan indra pendengarannya. Sesampainya disana Drafira tertegun melihat barang-barang di ruangan itu yang kembali seperti semula, hanya saja patung tadi justru tidak ada di tempatnya. Akan tetapi secara bersamaan Drafira mencium aroma sedap dari arah lorong sebelah membuat perutnya kembali lapar, lantas gadis kecil itu segera pergi ke sumber aroma tersebut, setelah masuk ke lorong sebelah aroma itu tercium makin kuat hingga tiba di kantin vila. Namun mata Drafira justru tertuju pada seorang pria tua yang sedang memasak di dapur serta terdengar suara sesuatu yang di goreng, tetapi sosok pria tua itu langsung berbalik lalu menyuruh Drafira untuk datang ke tempatnya. Awalnya Drafira mengeleng kepala menolak ketika teringat dengan pesan Ibu soal ajakan dari orang asing kemudian berbalik kemudian terlonjak kaget melihat sosok itu kini berada di hadapannya.
“Jangan takut gadis kecil, aku tidak akan menyakitimu!” ucap kakek.
“Benarkah? apa kau bisa dipercaya?” tanya Drafira tidak percaya sembari perlahan melangkah mundur, memberi jarak.
Paham jika anak di hadapannya takut terhadapnya kakek itu menyungging senyum lalu pergi ke dapur,”Tidak apa-apa kalau kau tidak percaya! Kakek di sini hanya ingin membantumu kembali ke keluargamu. Tapi sebelum itu kau harus makan terlebih dahulu sebab vila ini berhasil menyedot tenaga fisikmu sebelum mengambil alih ragamu!” katanya.
Drafira tidak paham apa yang dikatakan kakek itu namun mendengar dia akan membantunya mencari Ayah, Ibu juga Drana lantas gadis kecil itu mengikuti pria itu dan berdiri di depan stan sementara pria tua itu mengambil piring lalu mengambil dua paha ayam serta nasi ke atas piring kemudian memberikannya kepada Drafira, tidak lupa segelas air putih. Setelah mengucap terima kasih Drafira membawa piring dan gelas tersebut ke meja yang tidak jauh dari tempatnya sementara kakek itu keluar dan ikut duduk dihadapan Drafira.
“Bagaimana makanannya? Apakah enak?” tanya kakek itu setelah diam beberapa saat.
Sedang mengunyah makanan Drafira mengangguk cepat lalu menelanya,” Ini ayam dan nasi goreng sangat enak!” pujinya setelah itu kembali melahap makanan tersebut hingga tidak tersisa selain tulang ayam, kakek itu tersenyum lega. Ketika sudah merasa kenyang gadis kecil itu bertanya,” Sebenarnya kakek ini siapa? Lalu kemana semua orang di sini?”
Raut wajah kakek berubah jadi raut serius, dia meletakkan jari telunjuknya ke permukaan meja lalu mengambar pola persegi yang muncul cahaya biru mengikuti jari telunjuk kakek membuat Drafira yang melihatnya langsung terpaku. Ketika gambar pola itu jadi maka terbentuklah sebuah peta di sertai cahaya warna di lokasi yang berbeda.
“Ini…bukankah ini warna kesukaanku dan keluargaku?” tanya Drafira kemudian berpaling ke arah pria itu, kakek meraih pergelangan tangan Drafira lalu mengambar pola yang sama seperti di permukaan meja. Rasa sakit langsung menyerangnya membuat Drafira langsung menarik pergelangan tangannya dan melihat peta di punggung tangannya.
“Kakek sengaja melakukannya karena tempat ini dapat mengurungmu dan keluargamu selamanya jika terus berada di sini! Kau dan keluargamu harus keluar sebelum rabu malam kamis, selain itu yang perlu kau lakukan adalah kau harus menemukan banyak cerita di tempat ini dan harus berhati-hati dengan makhluk yang akan menyerangmu. Bersembuyilah ke kamar yang memiliki cahaya biru keemasan dan kau tidak perlu khawatir sebab peta ini akan membantumu menemukan keluargamu. Kau hanya perlu mengikuti cahaya biru di peta ini!” katanya. “Ah satu hal lagi. Tajamkan telingamu dan jangan bersuara sebab makhluk-makhluk itu akan cepat menuju ke arahmu sebab mereka akan terus mencegahmu keluar dari sini. Jika kau dan keluargamu gagal keluar dari sini maka kau dan keluargamu akan tinggal di sini selamanya!” tambahnya. Drafira yang takut lantas mengangguk mengerti.
“Soal nama kau boleh memanggilku Mbah Dadang. Kau harus pergi, waktumu tidak banyak. Jika kau lapar kau harus kembali ke kantin ini! Selain kamar biru keemasan kantin ini aman untuk berlindung sebab kantin dan kamar yang kakek sebutkan adalah wilayah kakek!”
Drafira kembali mengangguk setelah itu pamit pergi meninggalkan Mbah Dadang menuju tempat dimana keluarganya berada.