Masukan nama pengguna
"Aku masih menunggu semangka darimu!" seruku pada sesosok yang kukagumi di sebuah acara meet and greet. Demi menyampaikan hal ini, aku rela mengantri berjam-jam dan pura-pura meminta tanda tangan. Padahal, aku sudah banyak memilikinya di buku diaryku. Wajahnya pun memenuhi dinding kamar tidurku, bahkan tato temporer di dekat urat nadiku. "Memangnya, aku pernah mengatakan bahwa aku akan memberikan semangka kepadamu?" tanyanya seraya menaikkan alis dengan tampannya. Biasanya aku histeris akan mimik itu. Akan tetapi, di detik kali ini, entah mengapa aku malah ingin menghajarnya. Aku merasa dia mempermainkan aspirasiku. "Tapi, aku sudah setia mengikutimu semenjak dulu," dengan naifnya, kusampaikan hal ini padanya, "Karya-karyamu menyelamatkanku dari depresi akut silamku. Jadi, seharusnya kau peka bahwa aku sedang menginginkan semangka darimu. Bahkan, bukan hanya aku. Banyak orang, pengikutmu, para pengagum dirimu, yang menunggu semangka darimu." Dia menghindari pandangku dengan pura-pura menunduk dan membubuhkan tanda tangan di halaman diaryku, "Aku tak pernah menyuruh mereka untuk setia mengikutiku!" Kutarik saja diaryku dari genggamannya, "Aku kecewa padamu!" "Lagipula, aku ini seniman," ucapnya santai, "Ikuti saja karya seniku, bukan diriku! Seniman akan memperbaiki diri ketika ada yang kecewa pada karyanya, bukan kecewa pada dirinya." "Aku kecewa padamu!" ulangku dengan geram, "Karya seni adalah representatif seorang seniman yang membuatnya!" "Seniman tak pernah berjanji untuk tak mengecewakan!" timpalnya angkuh. "Rupanya seniman tak selalu memakai hatinya!" Rasa kagumku berbalik benci. "Aku pakai hatiku ketika berkarya!" Dia mulai naik pitam. "Maaf! Aku akan berhenti mengikutimu!" Kutunjukkan layar smartphone-ku padanya. Entah mengapa, aku merasa saat ini lebih naif lagi. Atau mungkin beranjak bodoh. Dengan seulas senyum yang biasanya mencairkan hatiku, kini giliran dia yang menunjukkan layar smartphone-nya padaku, "Silakan! Pengikutku masih banyak!"