Cerpen
Disukai
3
Dilihat
13,707
Tuah Kumis Tikus
Drama

Hari ini muncul di koran berita tentang seseorang yang kebal. Bukan, bukan kebal bacok seperti cerita-cerita masa lalu itu. Bukan pula kebal peluru, apalagi kebal lapar, itu semua sudah basi. Kalau hanya kebal yang sudah biasa seperti itu, tentu koran tersebut tidak akan menjadikannya kabar utama. Ini tentang kebal derita.

Kenapa? Tidak menarik? Baiklah, coba baca baik-baik judul beritanya – bayangkan huruf kapital diketik dengan ukuran font 60, baris pertama berwarna merah dan baris kedua (dengan font yang lebih kecil) berwarna kuning. Baris pertama tertulis: JIMAT KUMIS TIKUS HILANG TUAH. Lalu baris keduanya: LELAKI YANG KEBAL DERITA ITUPUN BANGKRUT. Di samping dua tulisan itu, ada foto seorang lelaki setengah baya yang duduk bersandar pada sebuah pagar bercat biru dengan mata sembab. Bagaimana, menarik?

Ya sudah kalau memang tetap tidak menarik, tapi bagiku ini sangat menarik. Apalagi, aku kenal dengan lelaki yang dimaksud. Namanya Dapot. Seperti namanya, dia adalah orang yang memiliki kelebihan. Dia adalah orang yang dijadikan tempat untuk meminta pendapat. Pun, dia memiliki pendapatan di atas rata-rata. Ya, selain banyak ide dia juga banyak harta. Itulah sebab dia menjadi tokoh yang terpandang di kampungku, bahkan sampai masuk ke dalam daftar 50 orang paling berpengaruh di kota. Sebagai tetangganya – rumah kami selang empat rumah – tentu aku bangga bisa kenal dengan dia. Apalagi, kenal yang kumaksud di sini bukan sembarang kenal (sekadar tegur sapa), kami bahkan bisa dikatakan cukup akrab. Setiap dia punya hajatan, pasti aku yang dimintanya untuk baca doa. Istriku pun kebagian jatah, yakni sebagai tukang masak kepercayaannya. Anak-anakku, jangan ditanya. Setiap anak-anaknya sudah bosan dengan mainan yang tersedia di rumah tiga lantai itu, pasti langsung berpindah ke rumahku yang hanya berkamar dua.

Si Dapot ini memang dikenal tidak pelit. Dia ringan tangan. Dia pantang melihat ada yang susah. Empat tiang listrik yang masuk ke gang dekat rumah kami adalah sumbangannya, jika tidak maka perusahaan listrik negara tidak akan mengalirkan arus ke sana. Pun pipa-pipa air, kalau dia tidak turun tangan, rumah-rumah di gang sempit itu pasti tidak akan bisa menikmati air dari perusahaan daerah air minum. Tidak sampai di situ, beberapa anak kampung yang mau jadi pegawai negeri pun berhasil mencapai cita-cita berkat dia. Ya, dia memang dikenal memiliki jalur untuk itu.

Tapi, Dapot bukan pejabat. Aku sendiri tidak paham kerjanya. Kalau dibilang pengusaha, aku tak melihat usaha tetapnya, malah dia tidak punya kantor. Pun, dia bukan pengurus partai atau anggota dewan. Yang kutahu, beberapa kali aku sempat dilibatkan dalam proyeknya melebarkan jalan. Pernah juga aku dimintanya untuk mengawasi proyek drainase. Istriku juga sering dijadikannya tukang masak untuk pesanan yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan sampai ribuan kotak. Mungkin itu sebabnya ada yang mengatakan kalau Dapot itu kontraktor. Orang lain mengatakan dia konsultan. Untuk dua sebutan itu, aku setuju saja.

Tapi ketika ada yang mengatakan dia makelar atau calo suara, aku membantahnya. Pasalnya, makelar atau calo itu kan cenderung nakal, dia akan mengeruk sebanyak-banyaknya tapi memberikan kepada orang lain dengan angka yang berbeda. Dapot tidak. Misalnya ketika pemilihan walikota tempo hari, aku ditugasinya untuk mengumpulkan KTP sebagai syarat dukungan pada seorang calon. Satu KTP dia bayar 300 ribu. Itu angka yang tinggi kan? Kalau calo, pasti hanya memberi paling mahal 100 ribu dan menjualnya pada calon walikota dengan harga per KTP 500 ribu. Dapot tidak seperti itu, dia tetap mengatakan pada calon kalau harga KTP 300 ribu. Dan, aku lihat langsung karena aku yang mengetik nama-nama beserta besaran rupiah yang telah diberikan. Uang yang diterima Dapot pun aku lihat langsung. Malah, ketika pemilihan gubernur tempo hari, Dapot tidak menerima bayaran untuk KTP yang terkumpul. Dia memberikan saja pada calon yang dipilihnya, sementara warga yang memberikan fotokopi KTP tetap dia beri 300 ribu.

Nyatanya, setiap calon yang dia dukung, selalu menang. Tidak hanya walikota dan gubernur, anggota dewan tingkat II, tingkat I, maupun tingkat pusat pun tak luput. Semuanya menang. Sebutannya sebagai konsultan, tepatnya konsultan politik, adalah tepat untuk kasus ini bukan? Nah, ketika setelah itu dia dapat proyek yang bisa menambah pundi-pundinya, bukankah itu wajar. Untuk kasus ini, sebutan sebagai kontraktor juga tidak salah bukan?

Tapi sudahlah, itulah Dapot. Kini dia sedang sengsara. Bukan, bukan karena foto dan berita tentangnya masuk di halaman satu koran kuning itu. Ini soal kemujurannya yang mulai mundur. Dia memang tidak masuk penjara, tapi rumah tiga lantainya telah raib. Mobil-mobilnya telah lenyap. Asetnya berupa rumah toko di beberapa tempat juga hilang. Kata orang-orang, tuahnya sudah hilang – persis dengan berita koran itu.

“Betulnya itu Bang, gara-gara jimat Abang sudah tak ampuh lagi?”

Dapot tak tersenyum mendengar kalimatku yang keluar saat aku bertandang ke rumahnya yang baru: sebuah rumah satu lantai dengan tiga kamar dan satu kamar mandi di gang kecil yang sebelumnya dia bantu tiang listrik dan pipa airnya itu. Dulu, ketika aku sebut soal jimat, dia tertawa bangga. Lalu, dia akan dengan segera mengambil dompetnya. Dengan gaya yang cantik dia keluarkan dua helai kumis dari dompet itu.

“Cuma sama kau kutunjukkan jimat ini. Kenapa? Ya, karena aku percaya sama kau. Ini kumis tikus. Berkat jimat ini aku jadi sekaya sekarang,” katanya dulu.

“Jimat kok kumis tikus ...,” balasku, tentu sambil tertawa.

“Jangan ketawa kau. Ini serius. Ini ampuh. Bertuah. Sudah belasan tahun kupegang. Kau sudah lihat sendiri hasilnya kan? Kau pun sudah menikmatinya.”

“Jimat itu, taring harimau!”

“Taring untuk mereka yang mau berwibawa kayak harimau, aku tidak.”

“Jimat itu, cula badak!”

“Cula untuk mereka yang mau tahan lama kayak badak kawin, aku tidak.”

“Jimat itu gading gajah!”

“Gading itu untuk mereka yang mau sekuat gajah, aku tidak. Aku cuma mau kayak tikus, yang penciumannya tajam melihat makanan dan lincah melarikan diri!”

“Aneh kau Bang, kalau mau jadikan tikus sebagai jimat, kenapa gak ekor atau giginya saja? Kok bisanya kumis, aneh-aneh ....”

“Inilah kau bodohnya, makanya tak kaya-kaya. Kumis ini tak sembarang kumis, dia kuambil saat tikusnya masih hidup dan kubiarkan tetap hidup. Ada yang bisa ambil taring harimau saat dia masih hidup?”

Setelah itu, dia tertawa sambil melihat mukaku yang suntuk. Tapi sekarang, dia tidak seperti itu. Kusampaikan soal berita di koran tentang jimatnya yang sudah tak bertuah lagi pun dia tetap diam. Dia hanya memandang halaman rumahnya yang tak luas sambil berpikir entah.

“Sudah habis karierku. Padahal, mereka yang memakai jimat kumis kucing sudah berhasil kukalahkan. Kucing sudah pada takut dengan tikus kan?” keluar juga suaranya setelah sekian menit.

Aku tak menimpali. Aku lebih memilih untuk mendengarkan kalimat selanjutnya. Pasti aneh-aneh lagi.

“Ular-ular sudah turun ke kampung-kampung, di hutan makanannya semakin berkurang.”

“Aneh-aneh, kayak kebun binatang saja Abang buat.”

“Iya serius ini, aku sudah tak bisa bergerak lagi. Walikota, gubernur, anggota dewan-anggota dewan itu sudah dimakan ular semuanya. Aku sudah gak dapat apa-apa lagi. Malah hartaku yang kandas ....”

“Jadi orang-orang itu pakai jimat ular? Apanya Bang, taringnya? Kulitnya?”

“Inilah kau bodohnya. Mereka gak pakai jimat karena merekalah ularnya! Ya, kayak kaulah untuk level sederhananya!”

“Apalagi Abang ini, mana ada aku pakai jimat ular,” aku tertawa mendengar tuduhannya itu, aneh-aneh saja.

“Ya sudah, pakai jimat babi saja, Bang. Mereka takut sama babi kan?” sambungku.

“Kalau manusia iyalah, kita sebut babi saja sudah kalah mereka. Tapi ini ular, mana takut sama babi! Ya sudah, pulanglah kau. Baca lagi koran itu baik-baik!” kata Dapot sambil masuk ke dalam rumahnya.

Ya sudah, aku pulang. Sepanjang jalan terbayang akan tidak ada lagi tugasku untuk membacakan doa di acara-acara yang dibuat Dapot. Tidak ada juga pekerjaan melebarkan jalan, mengawasi drainase, mengumpulkan KTP, dan sebagainya lagi. Istriku pun tentu tak akan kebagian tugas memasak lagi. Duh, tampaknya aku harus cari uang demi anak-anak karena pasti tak akan ada lagi mainan dari anak-anak Dapot.

Sebuah batu kecil kutendang dengan geram di jalanan menuju rumah, tepatnya ketika sebuah sepeda motor berhenti tepat di depanku. Si pengendara tersenyum. Bahkan, dia sampai turun dari motornya untuk menyalamiku. Dan, aku hapal betul mukanya.

“Terima kasih informasinya ya Bang. Kalau tak dapat info soal jimat si Dapot, berita kami akan biasa-biasa saja,” katanya sembari berlalu.

Aku tak tahu seperti apa warna mukaku. Yang jelas, aku sangat emosi. Persis ketika tempo hari, tepatnya sepekan sebelum Dapot dinyatakan kalah dalam persidangan utang piutang melawan walikota, gubernur, sekaligus anggota dewan. Saat itu aku marah besar di warung kopi. Seorang lelaki menjelek-jelekkan Dapot. Dia katakan Dapot pasti kalah karena bodoh mau mengerjakan proyek pembangunan kota tanpa bukti hitam di atas putih. Terus, Dapot sangat bodoh karena mau meminjamkan uang dengan angka fantastis pada gubernur dan anggota dewan juga tanpa hitam di atas putih.

Saat itulah – saking emosinya – kukatakan pada pria itu, Dapot tidak bodoh. Dapot memiliki perhitungan yang jelas. Dapot itu punya jimat kumis tikus yang ampuh. Sudah belasan tahun jimat bertuah itu terbukti keampuhannya! Dia itu kebal derita! Jadi, meski kalah, dia pasti akan mendapat keuntungan. Fiuh.

Sampai di rumah, kubaca lagi berita tentang Dapot itu, mencari-cari sesuatu yang tak terbaca. Dan benar saja, pada satu paragraf tertulis: soal jimat kumis tikus yang bertuah ini disampaikan langsung oleh orang kepercayaan Dapot berinisial RB dalam sebuah perbincangan yang menyenangkan di sebuah warung kopi belum lama ini.

“Sudah kayak ular kau kan? Berapa kau dibayar untuk bicara sama wartawan!”

Sumpah, itu pesan yang tidak menarik yang masuk ke telepon selulerku. Ya, siapa lagi yang mengirim kalau bukan Dapot. Sialan!

2020


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)