Masukan nama pengguna
“Jadi di rumahmu itu ada ibumu, istrimu, dan satu anak perempuanmu? Waaah! Paling ganteng sendiri di rumah, dong, ya? Hahaha!” seru salah seorang kawan sekolahku yang kebetulan adalah tetangga satu RW-ku. Aku tak sengaja berpapasan dengannya kala kami sedang jogging pagi di sekitar kompleks perumahan.
“Hahaha! Yaa, begitulah!” ungkapku penuh basa-basi. Atau saking seringnya mendapatkan komentar seperti ini, aku menganggap basa-basi ini lama-lama juga basi sendiri. Istilah ‘paling ganteng sendiri di rumah’ tak mendulang suatu kegembiraan bagiku. Akan tetapi, aku juga tak sampai hati menamainya sebagai wujud permasalahan hidupku.
“Kalau istriku cantik sendiri di rumah,” timpalnya sendiri, “Aku dan anakku tiga orang, kami berempat itu laki-laki semua.”
“Waaaah! Cool!” responsku singkat. Aku jadi tal terlalu fokus berbincang karena ingin cepat-cepat pulang. Barusan istriku mengirim chat bahwa ibuku minta dibelikan sarapan. Jadi, sehabis ini tampaknya aku harus mencarikannya bubur ayam.
“Cool?” mimik wajah temanku berubah keheranan, “Apanya yang cool?” dia mengangkat dagu.
“Ah! Ah! Ini…, hmm … apa, ya?” tampaknya, aku jadi ketahuan juga tak seberapa menyimak ceritanya.
“Ya sudahlah!” tepukan kawanku mendarat di atas pundakku. Dia sepertinya sadar jika aku sedang tak ingin berbincang banyak karena hendak melakukan sesuatu.
Aku pun mengangguk dan langsung berbalik untuk mencari bubur ayam.
Semenjak kepergian ayahku untuk selamanya karena komplikasi, aku memutuskan untuk membawa ibuku tinggal di rumah. Beruntungnya istriku yang juga sudah lama mengenal ibuku begitu maklum. Meski kulihat juga dia sering kelelahan karena sesekali harus mengurusi ibu di tengah-tengah kegiatannya mengurusi putri semata wayang kami yang masih berusia 6 tahun.
Dampak dari kegiatan istri yang bertambah setelah ibu tinggal bersama kami tentu saja adalah perencanaan kami untuk program anak kedua. Dia merasa putri semata wayang kami pun belum bisa ditinggal sendiri tanpa ibunya. Bahkan terkadang, bukannya anak kami tidak mau makan, tetapi mau makan jika disuapi ibunya. Belum lagi jika ibu minta diantar arisan, check up ke dokter, mengecek rumahnya, dan lain-lain. Rasanya tak enak juga jika menambah bebannya untuk mengandung, melahirkan, dan nantinya menyusui bayi.
“Biar nanti anak pertamamu, ibu yang urus. Kamu dan istrimu harus program anak kedua,” sepulangku dari jogging pagi dan sarapan bersama ibu serta istriku, ibu kembali membuka topik pembicaraan yang membuat kedua bola mataku refleks melirik kepada istriku, “Kalau ibu tanya ke anakmu, dia mau punya adik secepat mungkin, loh.”
“Yaaa, karena ibu terus membujuknya untuk ingin punya adik,” jawabku negitu spontan, “Ibu sering jalan-jalan sore keliling kompleks bareng anakku dan menghampiri para tetangga yang sering menyuapi anak bayinya sore-sore di taman kompleks. Hampir setiap sore selalu distimulus seperti itu, anakku juga jadi dingin punya adik. Mana dia tahu jika seorang adik itu tak terusan dalam bentuk bayi? Dia akan tumbuh besar.”
Ibu langsung menoleh ke arah istriku, “Kamu ngadu ke suamimu?”
Refleks, aku jadi tertegun. Tanpa disengaja, aku mengulang penjabaran istriku kemarin tentang apa yang disampaikan ibu kepadanya. Cepat atau lambat, aku harus menenangkan keduanya. Karena ocehanku barusan, ibu kini menatap tajam ke istriku, sedangkan istriku hanya menunduk sambil mengaduk-aduk bubur di mangkoknya. Untung saja anakku sudah berangkat sekolah, sehingga dia tak melihat adegan sumbu pendek ini.
Kreeeik!
Derik ujung kursi makan yang menggores lantai adalah tanda jika ibu kini tengah beranjak dari duduknya. Dia belum menghabiskan bubur ayam yang tadi kupesan. Mimik wajahnya yang mengencang adalah bukti konkret jika suasana hatinya saat ini tak begitu bagus.
“Si, apa yang ngadu, sih, Ma?” aku mencoba menenangkan suasana.
“Apa yang kamu sampaikan barusan itu sama persis dengan apa yang ibu ucapkan ke istrimu!” seru ibu dengan kedua mata yang melotot, “Lalu, ibu tak merasa menyampaikannya kepadamu. Jadi, apalagi? Kamu tahu darimana? Sudah pasti dari aduan istrim,u, kan? Dia mengadu, kan?’
“Saya hanya cerita ke Mas, Bu. Saya tidak ada maksud untuk mengadu,” bela istriku, “Bahasa mudahnya, saya berbagi cerita saja tentang ibu, bukan mengadu.”
“Sudahlah! Kembalikan ibu ke rumah ibu saja!” ibu bersiap untuk berbalik dna menuju kamar, “Tidak apa-apa ibu tinggal sendirian tanpa ada ayahmu! Lebih enak hidup tidak menyusahkan dan tak dianggap tukang tuntut!”
“Bukan begitu maksud saya, Bu,” ungkap istriku mencoba menenangkan, “Saya sampaikan kepada, Mas, agar beliau tahu bahwa ibunya menginginkan cucu lagi. Hanya itu, Bu.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, ibu meninggalkan meja makan, memasuki kamar, dan terdengar bunyi pintu terkunci. Aku langsung menghela napas panjang. Apalagi ketika aku melihat semangkok bubur ayam milik ibu masih penuh.
“Mumpung kamu libur kantor hari ini, kamu janji mau jemput anak kita di sekolah, kan?” seolah menutup kasus perihal ibu, istriku melempar pertanyaan mengenai hal lain.
Hal lain yang sama pentingnya bagiku.
KREIIIK!
Tanpa menungguku menjawab, istriku sudah bangkit dari kursi dan membereskan mangkokku dan mangkoknya, sedangkan mangkok ibu yang masih tersisa bubur ayam ditaruhnya di meja kitchen set yang memang biasa dipakai untuk menyimpan makanan sisa dalam keseharian.
Tak lama kemudian, terdengar suara air ledeng mengalir. Istriku pasti sedang mencuci mangkok dan peralatan makan sarapan kami.
Disusul suara dentingan piring kala istriku menatanya di rak cuci piring.
Baru setelah itu, suara plastik diikat yang menyapa. Istriku sedang mengikat kantong sampah dan membuangnya ke tempat sampah besar di depan rumah. Baru setelah itu, terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Karena ingin menjemput sekolah, mobil dipanaskan terlebih dahulu.
“Kalau aku dan kamu jemput ke sekolah, ibu sendirian di rumah?” tanyaku.
Istriku langsung menoleh, “Bayanganmu bagaimana tadinya, Mas? Sampai kamu berani janji mau jemput anak kita sekolah.”
“Yaaa, bayanganku, kita bertiga yang jemput anak kita. Bareng ibu,” ungkapku seraya menoleh ke kamar ibu yang saat ini dalam keadaan terkunci, “Tapi ibu sekarang mengurung diri kayak begitu. Memangnya kamu atau aku bisa membujuk?”
Istriku mengangkat bahu, “Jadi, bagaimana?” ungkapnya yang menunjukkan tak mau banyak berpikir untuk mencari solusi.
“Harus salah satu di antara aku atau kamu yang jemput anak kita,” ucapku, “Tapi berhubung aku yang janji jemput. Jadi, kamu yang di rumah sama ibu. Bagaimana?”
Aku sudah menebak jika istriku pasti menyeringai, “Dalam keadaan kesal setengah mati sama aku begini, kamu membiarkan aku berdua sama ibu kamu?”
“Ini salahku! Seharusnya, aku enggak perlu sampaikan tentang jalan-jalan sore yang kemarin ibu sampaikan ke kamu, Sayang,” ungkapku seraya membelai rambut istriku. Jujur, aku lelah berkonflik dengannya.
“Semoga Mas punya solusi yang lebih baik selain membiarkanku berdua dengan ibu di rumah untuk hari ini saja,” bisik istriku, tak ingin ibu mendengar ungkapannya.
Aku kembali menghela napas. Mengapa libur dinas satu hari ini malah membuat kepalaku lebih ingin pecah dibandingkan dengan keseharianku di kantor? Berhadapan dengan hal macam beginilah yang membuatku tak terlalu bangga jika disebut sebagai sosok yang paling ganteng sendiri di rumah.
Kulirik jam dinding yang sudah hampir mendekati pukul sepuluh. Bubaran sekolah anakku sekitar pukul setengah sebelas siang. Biasanya paling telat, kami berangkat dari rumah pukul sepuluh siang.
Sudah tak ada pilihan lain, rupanya aku refleks menggenggam kedua tangan istriku dan sedikit merunduk untuknya, “Aku mohon, ternyata hanya kamu yang bisa kuandalkan di anggota keluarga ini. Aku memang kepala rumah tangga, tetapi aku tak bisa berpikir jika semua anggotanya punya keinginan dan tuntutan tersendiri kepadaku.”
“Kamu menganggap anak kita yang mau dijemput kamu sekolah satu hari ini saja sebagai tuntutan?” selidik istriku yang kuketahui emosinya sedang tak stabil.
Aku mengecup kedua tangannya yang ber-band aid di bagian telunjuk kanannya. Beberapa hari lalu dia bercerita bahwa tangannya ada yang lecet karena tak sengaja tergores pisau saat memasak. “Aku tidak berani janji, tetapi aku pastikan Ibu tidak akan memarahimu selama kamu berdua dengan beliau. Aku janji, sehabis menjemput anak kita, kami langsung pulang.”
Istriku hendak membuka mulut, tetapi aku langsung menahannya dengan rangkaian kata yang kuharap dapat menenangkannya, “Nanti sore, aku akan coba bicara dengan ibu. Semoga nanti malam, kita bisa makan bersama di luar. Berempat. Ayolah, Sayang! Aku ingin libur satu hariku ini membawa makna. Aku akui, aku yang salah karena tadi salah bicara.”
Dalam waktu sepuluh detik, memang kulihat tak ada senyum apa pun di raut wajah istriku. Akan tetapi, setelah itu, rupanya dia menyunggingkannya dan memelukku.
Aku tidak bohong, tetapi pelukan istriku seolah memberiku banyak energi dan pikiran positif. Tanpa berpikir panjang, aku berbalik memeluknya.
Dalam keadaan masih memelukku, istriku berkata dengan suaranya yang lirih dan halus, “Aku minta maaf jika perkataanku ini dapat dikatakan sebagai tuntutan, tetapi aku mohon karena posisi Mas tak hanya sebagai kepala keluarga atau kepala rumah tangga, tetapi juga sebagai jembatan antar semua anggota,” terangnya, kemudian dia melepas pelukannya dan melanjutkan perkataannya, “Di rumah ini, Mas adalah orang yang paling kenal dengan tiga anggota keluarganya yang tinggal di satu atap ini. Mas yang paling dulu kenal ibu dibanding anggota keluarga lain. Mas juga yang paling lama mengenalku dibanding anggota keluarga lain. Kalau anak kita, Mas yang paling bertanggung jawab karena sebagai ayah dari anak perempuan.”
“Iya, aku mengerti,” kukecup kening istriku. Kuharap, hal ini juga dapat menjadi kekuatannya untuk menjalani biduk rumah tangga ini bersamaku.
Kulirik jam dinding kembali. Karena tak ingin menambah anggota keluarga yang kecewa di hari ini, aku langsung berangkat untuk menjemput anak perempuanku sekolah. Untungnya mobil sudah dipanaskan istriku, sehingga aku dapat langsung menancap gas menuju sekolah anakku.
“Bu, saya berangkat jemput sekolah dulu, ya,” sebelum berangkat, tak lupa aku berpamitan pada ibu.
“Ibu masih lapar. Buburnya tadi sudah dibuang, ya?” tanya ibu yang malah membuka pintu kamarnya ketika aku berpamitan.
“Masih ada, Bu. Aku simpan di meja dapur. Ibu mau makan? Mau aku panasin buburnya?” timpal istriku dengan nada bicara yang melembut.
Aku sempat berbalik melirik ibu. Aku jadi ingin tahu saja reaksinya.
“Boleh. Terima kasih banyak,” respons ibu yang tak kalah melembut, tetapi kurasakan masih ada kekakuan di dalamnya. Tak mengapa. Hatiku sudah cukup lega mendengarnya. Mungkin salah satu kekuatan dari penyelesaian konflik ini adalah dekapan istriku kepadaku dan kecupanku kepada istriku.