Masukan nama pengguna
"DUG! DUG! DUG! DUG! DUG!"
"DUG! DUG! DUG! DUG! DUG!"
Gedoran pintu kayu reot rumah sungguh mengganggu tidur. Kututup kedua telingaku dengan bantal. Rupanya tak terlalu menolong.
"MBOK ASIH! MBOK ASIH! TOLONG, MBOK! SAYA DIKEJAR KUNTILANAK! MBOOOK!" teriak si tamu dengan gedoran pintu yang masih menjajah pendengaran.
Namun, mendengar pengakuan si tamu, bohong rasanya kalau aku tak terhasut untuk membuka kedua mata. Lagi-lagi, Pak Hansip tua itu mengaku kalau dia melihat Kuntilanak di malam hari. Kali ini, ceritanya lebih ekstrim. Menurut teriakannya barusan, dia sampai dikejar.
Sumpah! Sungguh menjadi liburan semester akhir kuliah yang membosankan. Pulang kampung bukannya tenang, malah harus mengurusi halusinasi Pak Hansip yang tiap malam menggedor pintu rumah dan mengaku melihat setan.
Kalau bisa mengulang waktu, lebih baik aku mengikuti langkah teman-temanku di kampus yang tetap di tempat kos dan mengisi liburan dengan magang di perusahaan bonafit. Namanya juga kumpulan anak Fakultas MIPA yang ambisius. Waktu libur tetap dipakai buat mendapatkan ilmu. Pacar satu jurusanku saja sampai cerita kalau dia dapat magang di perusahaan bioteknologi terbesar di Indonesia. Aku sebagai laki-laki jadi merasa ketinggalan langkah. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Sambil menguap, kubangkit dari kasur. Kuselempangkan sarung untuk menangkal hawa dingin. Rumah kedua orang tuaku ini memang sangat sederhana. Baru saja melangkah beberapa kali, sudah sampai pintu rumah.
"MBOK ASIIIIH!" Si Hansip masih teriak-teriak memanggil nama ibuku. Dia juga masih menggedor-gedor pintu.
Ketika kusibak kain yang menjadi sekat kamarku, aku sudah melihat ibu hendak membuka pintu rumah.
"Bangunin orang tidur aja," Ibu menggerutu dan bersiap membuka kunci pintu. Namun, ketika beliau melihat aku sudah berdiri di sampingnya, beliau malah menyuruhku saja yang membukakan pintu, "Eh, Bontot! Kamu aja yang buka pintu, deh. Paling-paling si Hansip minta air doa lagi," ibu langsung melengos pergi.
Air doa yang dimaksud ibu adalah sebotol air kumpulan kembang yang konon dapat menyangkal makhluk halus, penyakit, santet, pelet, dan hal buruk lainnya jika dicipratkan di sekujur tubuh kita. Semua botol itu disimpan di dapur. Ibu sebagai penjualnya, dan dari hasil pengamatanku selama di kampung, Bapak sebagai marketing yang mempromosikannya ke warung nasi, balai desa, dan sawah tempatnya bertani. Satu-satunya orang di kampung ini yang tidak percaya dengan khasiat air itu adalah aku, anaknya sendiri.
"EMBOO....BOOOK!" suara Pak Hansip sudah serak nelangsa.
"Iya, sebentar," aku jadi kasihan pada Pak Hansip yang pasti sudah sangat ketakutan. Tanpa menunggu lama, kubuka kunci pintu.
"Eh, Si Bontot! Hah! Hah! Hah!" begitu kubuka pintu kayu, Pak Hansip langsung menyelonong ingin masuk rumah. Napasnya terengah-engah. Maksud kata bontot di sini adalah aku yang memang anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakak perempuanku sudah menikah muda dan tinggal bersama suami mereka di luar kampung. Memang di antara kami, hanya aku yang mencicipi bangku perguruan tinggi.
"Eh, mau ngapain, Pak?" Sebagai pemilik rumah, tentu saja aku menghalanginya masuk.
"Mana Ibu?" Pak Hansip tak melawan saat aku menghalanginya masuk. "Saya dikejar Kunti, nih. Tolong, saya minta air doa yang kemaren lagi," dia sempat-sempatnya menoleh ke belakang, "Maaf malam ini ngutang lagi,"
Aku jadi tertarik untuk menyapu pandang. Di depan rumah kami yang berpagar jejeran bambu memang terdapat jalan kecil berkelok penuh pepohonan. Cahaya hanya berasal dari teras rumah beberapa warga yang tak terlalu benderang. Bunyi-bunyian yang kudengar juga hanya suara jangkrik dan burung hantu. Suasana yang begitu disukai makhluk halus barangkali.
"Iya, saya ambilin dulu air doanya!" ucapku santai.
"Eh, jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Nanti Kuntinya denger!" bisik Pak Hansip dengan kedua mata yang membelalak. Justru saat ini, aku malah takut memandangi mata merah Si Pak Hansip.
Angin malam yang menyentuh kulit kupikir-pikir cukup membuat bulu kuduk merinding. Bukannya aku percaya makhluk halus, tetapi aku jadi memahami saja rasa takut Pak Hansip. Apalagi dengan kadar intelektual yang tak tinggi.
"Ya udah masuk, Pak,"
"Minta teh ya. Haus, nih," Badan Pak Hansip gemetaran.
"Nih air doanya," baru saja aku ingin mempersilahkan Pak Hansip masuk, ibu sudah menyodorkan dua botol air doa dalam kantong kresek hitam.
"Ah, saya masuk dulu, dong. Minum teh dulu, santai du,dulu," bisik Pak Hansip, "Saya takut banget, nih. Masih untung tadi enggak ngompol di celana,"
"Setan tuh nggak ada, Pak!" ucapku masih santai.
Pukulan keras mendarat di bahuku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ibu? Aku mengerti maksudnya. Sejak aku pulang kampung dan mengatakan bahwa hal mistis itu tak usah dipercaya kepada warga desa, ibu dan Bapak sering mengeluh jumlah pasien yang meminta air doa semakin sedikit. Warga desa jadi lebih percaya dengan kata-kataku.
"Aduh," kuusap-usap bahuku. Sakitnya bukan main pukulan ibu itu, "Ya udah, masuk dulu, deh, Pak," Aku mempersilahkan Pak Hansip untuk masuk.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Pak Hansip menyelonong masuk dan duduk di kursi tamu. Kurasa bukan karena Pak Hansip tak tahu sopan santun. Aku langsung menutup pintu.
"Serem banget! Tadi kuntinya terbang di atas kepala saya. Bukan main bikin jantung mau copot," Pak Hansip menggeleng-gelengkan kepala. Sepiring pisang goreng yang aku taruh di meja tamu langsung habis dilahap si Hansip. Segelas teh tawar dari teko panas juga aku tuangkan untuk dirinya.
Aku duduk di hadapan Pak Hansip, sedangkan ibu di sampingku. Kami berdua bersiap mendengarkan cerita seram Pak Hansip untuk sekian kali.
"Sumpah saya enggak bohong! Serem banget!" Pak Hansip bicara sambil mengunyah pisang goreng. Karena menelan pisang goreng terburu-buru, kerongkongannya mungkin seret dan dia langsung meneguk segelas tehnya, "Itu tadi," dia kembalikan gelas di atas meja, "Pas saya lagi ngeronda sendirian. Pas saya ngerasa kok awan rasanya deket banget sama saya."
"Apa? Awan?" potongku.
"Iya, iya," angguk Pak Hansip berkali-kali, "Saya kira di atas saya ada awan hitam di malam hari. Padahal, langit kan jauh, yak? Pas saya dongak ke atas, dongak ke atas," bola matanya mengarah ke ventilasi rumah, "Hiiiiii, ada cewek terbang di atas saya. Saya denger ketawa-ketawanya, tapi saya liat mulutnya ketutup, " dia langsung menutup wajah sambil gemetaran.
"Ah, Si Bapak!" Aku menggeleng-gelengkan kepala, "Kuntilanak yang Pak Hansip liat tuh enggak ada, Pak. Kalau kita kaitkan dengan hukum kekekalan energi dari Albert Einstein, mereka itu cuma sisa-sisa energi dari jiwa manusia yang sudah mati."
"Yaak! Berarti bener setan dari manusia yang udah mati, kan?" Pak Hansip membalikkan argumenku. Dia keluarkan pula sebatang rokok dan pematik dari kantongnya. Kemudian, dia nyalakan rokok untuk menenangkan dirinya. "Fiuuuh!" dia hembuskan asap rokok ke perokok pasif di hadapannya.
"Bukan," Aku angkat kedua tanganku dan semakin bernyali untuk menjelaskan, "Setiap manusia hidup itu kan punya energi yang terkandung di badannya. Makanya, jantung kita bisa berdetak, kita bisa menghantarkan listrik, kaki kita bisa melangkah, otak kita bisa bekerja mengingat memori, dan lain-lain,"
"Terus?" Pak Hansip tampak tertarik.
"Terus kalau kita meninggal," lanjutku, "Sudah tak ada lagi tempat yang menjadi tempat tinggal si energi-energi dalam diri kita ini. Padahal, sifat energi kan kekal, nggak bisa dihancurkan. Makanya, ketika hilang tempat tinggalnya yaitu badan seorang manusia hidup, energi-energi ini bukannya lenyap dari muka bumi, tapi malah mencar di udara. Nah, sisa energi yang mencar di udara ini sebenarnya lemah. Dia bisa jadi kuat kalau berhasil menyerap energi lain yang lebih lemah di muka bumi ini. Dalam kasus ini, energi yang lebih lemah itu adalah energi dari badannya Pak Hansip yang lagi ketakutan," tunjukku kepada Pak Hansip yang sedang menjatuhkan abu rokok di piring bekas pisang goreng, "Ditambah halusinasi dan imajinasi Pak Hansip yang kebanyakan nonton film horror, makanya sisa energi itu membentuk wujud Kuntilanak. Yaah! semacam proses terjadinya fatamorgana oasis di gurun pasir yang dilihat oleh musafir yang lagi kehausan."
Mendengar penjelasanku, Pak Hansip menggaruk-garuk kepala, "Tapi, Mas," tambah si Hansip, "Di agama kita kan juga dibilang kalau setan itu ada. Mereka terbuat dari api dan kerjaannya menggoda manusia."
"Maksud saya bukan setan yang itu," suaraku agak meninggi, "Kalau setan yang itu saya percaya mereka ada. Buktinya manusia masih banyak yang buat dosa. Itu kan kerjaannya setan. Tapi, setan yang lagi saya bicarakan ini adalah si wujud Kuntilanak yang dilihat Pak Hansip tadi. Percaya, deh! Itu cuma persatuan dari sisa energi mencar di udara yang saya ceritain tadi, lemahnya energi tubuh Pak Hansip yang memang lagi ketakutan, halusinasi, dan imajinatif Pak Hansip yang langganan nonton horror di layar tancep balai desa."
"Walaupun enggak ngerti omongannya Si Bontot, tapi nggak apa-apa, deh. Saya jadi nggak takut," Pak Hansip mematikan rokok di piring bekas pisang goreng, "Saya anggap aja emang bener cuma khayalan saya."
"Tapi, meski Bapak sudah tak takut, Bapak tetep beli air doanya, kan?" Ibu kelihatan panik.
"Tenang aja itu, sih," Pak Hansip meraih kantong kresek hitam berisi air doa yang ditaruh ibu di atas meja, "Saya tetep beli air doa Si Mbok," kemudian, dia siap beranjak dari duduknya, "Ya udah, saya pamitan dulu, deh. Mudah-mudahan nggak ada apa-apa,"
"Baca doa aja juga, Pak," senyumku tampak tak menanggapi ketakutan si Pak Hansip.
"Selalu," Pak Hansip mengangguk dan berjalan menuju pintu. Kubuka pintu dan mengantarnya sampai teras. Dari cara jalannya yang terburu-buru, aku tahu sebenarnya dia masih takut. Namun, biarlah. Berdoa saja malam ini adalah malam terakhirnya menggedor-gedor pintu rumah.
Sepeninggalan Pak Hansip, aku membantu ibu membereskan piring kotor ke dapur.
"Ya udah, sekarang Sakti mau tidur lagi. Hoaaam," ucapku pada ibu seraya menguap, "Tiap malem selalu keganggu tidurnya," kulangkahkan kakiku menuju kamar tidur.
"Sakti, tolong masukin semua botol air doa di dapur ke kamar ibu," Ibu mengelap meja tamu sambil menunjuk ke arah dapur.
Kuambil sekitar tiga buah botol di dapur dan berjalan menuju kamar ibu. Kusibak kain kamar ibu untuk masuk dan ....
"PRANG!"
Botol-botol air doa yang kupegang berjatuhan di lantai.
"Saktiii! Jantung Bapak mau copot! Kenapa, sih, kamu?" Bapak langsung terbangun dari tempat tidur begitu mendengar suara pecahan dan mendapatiku berdiri dengan wajah pucat pasi di hadapannya.
Rupanya, tak hanya Bapak yang protes karena tidurnya diganggu olehku.
Seseorang yang terlelap di samping Bapak pun langsung bangkit dan mengomeliku. Katanya, "Ya ampuuun! Air doa gue berantakaaaan! Bontoot! Ngapain botol-botol doanya ibu pakek kamu bawa ke sini? Kasihin aja langsung sama si Hansip biar dia cepet pulang!"
Sejenak, energi dalam tubuhku menghantarkan rasa dingin. Bulu kudukku sampai bergidik. Aku tak tahu saat ini energi yang terkandung dalam badanku kuat atau lemah.