Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,696
Tak Sekemilau Emas
Slice of Life

"Kamu cantik," puji Diky setelah permintaannya untuk video call kuturuti. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya.

Pujian yang sering dilontarkan manakala mereka melihat penampakan parasku, baik di foto maupun ketika video call. Tentu tak semua teman kuberi kesempatan melihat foto atau wajahku.

Aku cenderung memilih-milih dalam berteman. Apalagi jika dari awal sudah khawatir bahwa chat-nya akan mengganggu atau menjadi masalah. Entah dengan keluargaku, kekasih, suami, dan segudang pernyataan lainnya. Biasanya aku abaikan orang-orang seperti ini karena pikirannya sudah negatif lebih dulu. 

Memangnya mau chat apa? Selama isinya wajar, tentu tak akan menimbulkan masalah apa-apa. Namun, ada sebagian teman di dunia maya yang bersikap semacam itu. Tak apa dengan sikap mereka yang demikian. Namanya manusia, lain otak, lain pemikirannya. Aku hanya menyimpulkan teman yang netral, tulus, dan tidak ada modus, di awal chat tidak akan khawatir apa-apa. 

Termasuk dengan Diky. Obrolan kami via pesan teks mengalir lancar. Tak ada kesan modus dari Diky. Berawal dari interaksi yang intens lama-lama aku menyukainya. Begitu pula dengan Diky, dia malah menyukaiku jauh sebelum kami berteman di media sosial. Dia diam-diam memperhatikan akunku. Entah, bagaimana permulaannya, kami tiba-tiba saja jadi berteman. 

Sejak pertemuan yang pertama via panggilan video, Diky menginginkan kopdar. Salah satu restoran di pinggir pantai menjadi pilihan pemuda itu. Kebetulan, tempat tinggalku tak jauh dari restoran yang dipilih untuk bertemu, aku pun menyanggupinya. 

Kami merencanakan bulan depan akan bertemu di sana. Bertepatan dengan pemandangan sunset sekalian mengabadikan momen indah sebagai perayaan perjumpaan kami nanti. Berbagai persiapan pun kulakukan. Sebab aku tidak mungkin pergi sendiri ke lokasi yang dijadikan tempat kopdar meskipun jaraknya cukup dekat.

Sebenarnya aku agak ragu jika harus berjumpa dengan teman media sosial. Masa lalu yang telah memberikan banyak pelajaran membuatku tertutup pada makhluk yang namanya cowok. Mereka kadang tidak tulus dalam berteman. Hingga rasa muak pun menyusup perlahan-lahan menempati urutan pertama di pikiranku.

Keberanianku untuk bertemu dengan Diky kali ini semata-mata karena pemuda itu tampaknya tulus. Selama berteman di media sosial dia tidak pernah menyakitiku. Bahkan pada suatu kesempatan, dia membelaku ketika ada masalah dengan beberapa teman lain di media sosial. 

Aku yakin, Diky bukan laki-laki biasa. Pasti hatinya sekemilau emas, yang tak akan pernah hilang rasa tulusnya, meskipun misalnya keadaan tidak sesuai yang diharapkan. Aku mencoba meyakini bahwa dia adalah salah satu teman terbaik yang telah aku miliki.

Hari demi hari terasa berbeda. Dari waktu ke waktu aku tak berhenti menepis ragu. Mungkin karena aku terlalu memikirkan suasana pertemuan dengan Diky. Pasti dia akan menerimaku apa adanya, seperti yang ada dalam benakku. Selain kebiasaannya yang suka bercanda, Diky juga lebih pengertian bila dibandingkan dengan teman laki-laki lainnya.


Waktu yang ditentukan pun tiba. Aku ditemani Kakak menuju ke lokasi memakai taksi. Hari Sabtu pagi jam sepuluh tepat, aku sampai di restoran. Diky belum tampak di sana. Meja yang dipesan di tepi pantai masih kosong. Aku segera duduk menghadap ke pantai menunggu Diky. Sedangkan Kakak menunggu di meja lain.

Lima belas menit berlalu. Diky belum kelihatan juga. Aku mengambil ponsel, barangkali dia membatalkan pertemuan. Ternyata tidak ada pesan apa-apa darinya. Saat aku hendak menelepon, suara familiar seseorang terdengar dari samping.

"Wide?"

Aku menoleh, ternyata Diky. Dia tersenyum padaku manis sekali. Mungkin lebih manis daripada es krim rasa cokelat. Pemuda berjaket hitam itu masih menatapku tanpa kedip. Mungkin dikira sedang melihat bidadari di depannya. Selama sekian detik, suasana itu berlangsung. Namun, raut wajah Diky mendadak berubah. 

"Wide, kamu pakai tongkat?"

Aku mengangguk. Tongkat di sebelah kanan kuambil. Lalu aku berdiri dan memakainya untuk membantu berjalan di samping Diky. 

Pemuda itu terlihat terperangah menyaksikan pemandangan yang tidak terduga di depan matanya. Dia mengusap wajah beberapa kali. Mungkinkah dia menyesal telah memuji kecantikanku kala itu? Gadis cantik, tetapi memakai tongkat. Mungkinkah Diky akan menghilang seperti teman laki-laki yang lain?

"Kenapa---?" 

Diky menanyakan perihal tongkat yang kupakai. Tanpa ragu, aku menceritakan kecelakaan tiga bulan lalu. Sepeda motor telah menabrak hingga kakiku patah, dua tulang sekaligus, tulang betis dan tulang kering. Diky hanya diam. Mungkin, dia akan mengurungkan niatnya untuk berteman lebih dekat lagi. 

Diky kembali bertanya perihal kesembuhanku. Aku pun menceritakan padanya, menurut perhitungan dokter ortopedi aku seharusnya bisa berjalan tanpa tongkat tiga bulan setelah operasi. Namun, rasa takut masih menderaku. Hingga aku belum bisa berjalan tanpa tongkat. Secara sambungan tulang di kakiku sudah bagus saat dilihat melalui rontgen. 

Diky duduk di depanku. Entah, apa yang ada di benaknya? Apa yang dipikirkan olehnya? Diky tak banyak bicara. Dia hanya sesekali tersenyum saat menanggapi cerita demi cerita yang meluncur dari mulutku. Senyum yang tampaknya dipaksakan. Entah benar atau tidak yang kurasakan, aku hanya berspekulasi melihat sikap Diky.

Masa pun berulang, sejak pertemuan itu Diky tidak pernah menghubungi aku. Jika aku mengirim pesan, dia tidak pernah membalas. Keadaan itu bisa dipahami, pasti dia kecewa sebab kondisiku tidak sesuai dengan ekspektasinya. 

"Selamat tinggal Diky, kamu ternyata sama dengan yang lain, tidak bisa menerima kekuranganku," bisikku saat melihat pesanku tak pernah dibalas lagi.

Sejak saat itu, aku berlatih berjalan tanpa tongkat. Keterpurukan yang kualami bukanlah akhir dari perjalanan. Justru aku merasa perlu membuktikan bahwa aku juga bisa seperti perempuan tanpa cacat akibat kecelakaan. 

Tak akan kubiarkan para pria itu merendahkan diriku. Mereka harus tahu, kekuranganku bukan penghalang suatu hubungan. Aku yakin, Tuhan sedang menyeleksi pasangan terbaik untukku. Bukan mereka, yang mundur pelan-pelan seolah-olah hidupnya sudah paling sempurna.

Aku membuka galeri ponsel. Satu per satu foto teman pria yang pernah aku simpan dan memutuskan pergi, kuhapus. Mereka tak layak lagi berada di penyimpanan ponselku. Bahkan, di kehidupanku. 

Tuhan, aku tahu rencana yang telah disusun untukku pasti yang terbaik. Aku tahu, Sang Pencipta tak akan membiarkan diriku berlarut-larut dalam kesedihan. Suatu hari, pasti akan datang seseorang yang akan menjadi pemilik hatiku. Seseorang yang tulus menyayangi aku. Menerima aku tanpa syarat.

Jika saat itu tiba, pasti aku akan memberikan cinta terbaik untuknya. Hingga dia pun tak ‘kan pernah berpaling pada yang lain. Cinta terutuh tanpa cedera di sana-sini. Cinta terindah tanpa cela. Cinta termanis tanpa pernah terkikis.

Seperti cahaya mentari yang tak pernah berpaling menyinari bumi sampai masanya usai. Seperti kupu-kupu yang selalu setia menghisap nektar pada bunga-bunga bermekaran. Laksana ombak yang selalu menepi seolah-olah berpulang pada pantai yang selalu menanti. Terus-menerus hingga bumi tak lagi berputar pada porosnya.


Jakarta, 30 November 2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)