Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,284
Basement
Romantis

Basement


Benda pipih dengan layar sentuh masih menemaniku berselancar di media sosial. Banyak akun perempuan yang sangat cantik foto profilnya. Aku yakin foto mereka memakai efek AI, filter, dan editan lainnya. Memang tidak semua perempuan melakukan hal itu. Ada juga yang memasang foto asli meskipun itu foto zaman dulu ketika masih muda. Bagiku, hal ini tak jadi soal karena hak mereka juga jika ingin menjaga privacy


Salah satu kenalanku, Syalia, dia termasuk yang memajang foto masa mudanya. Usianya bisa kuperkirakan ketika berbicara via telepon. Hubunganku dengannya sangat akrab. Bahkan Syalia terang-terangan menyatakan cinta. Amazing! Jika Syalia masih single, pasti aku susul dia ke kotanya. Perempuan ini sudah bersuami. Anaknya tiga. Berani sekali menyatakan cinta pada orang asing yang belum lama dikenalnya di media sosial.


Bagai menemukan  oase di gurun, kehadiran Syalia telah mengisi hari-hariku yang hampa. Sejak bercerai, aku hidup sendiri. Istriku telah meminta pisah sejak tidak mendapat nafkah materi. 


Aku memang pengangguran saat itu dan tidak punya penghasilan sama sekali. Meskipun kini aku sudah bekerja sebagai office boy di salah satu mal terkenal di kota, tetapi hal itu tidak bisa membalikkan keadaan. Syalia yang kini menjadi tujuan hidupku walaupun agak mustahil memilikinya.


“Jemput aku, Mas. Aku rela hidup sama kamu, meski di kolong jembatan,” pinta Syalia suatu hari.


“Yakin, Sya?”


“Iya, Mas. Aku sudah gak tahan sama kelakuan suamiku. Barusan aku dipukuli, sakit, Mas!”


Berbagai pertimbangan kupikirkan. Apa mungkin membawa Syalia pergi? Bagaimana jika suami dan anaknya melapor ke polisi? Hidupku baru saja tertata dua bulan ini sejak menjadi office boy. Mana mungkin aku merusaknya dengan membawa kabur istri orang? Sungguh dilema besar. 


Hari berlalu, Syalia terus merengek ingin hidup bersama. Setiap hari dia menggoda dengan rindu dan cintanya. Sikapnya menghilangkan akal sehatku. 


“Beri aku waktu sekitar sebulan,” pintaku pada Syalia. “Aku janji akan membahagiakanmu.”


Saat yang dinantikan tiba. Syalia izin pada suaminya akan mengunjungi orang tua di kota lain. Kesempatan itu kami gunakan untuk bertemu. Syalia tampak semringah. Begitu pula denganku. Rasanya seperti mimpi.


Aku mengajak Syalia ke basement di bawah mal. Di samping tangga yang sudah tidak dipakai ada kamar yang dijadikan gudang. Syalia kusembunyikan di sana. Tempat yang jarang dikunjungi siapa pun kecuali aku. 


Beberapa hari setelah Syalia kusembunyikan di basement, tersiar kabar di media sosial. Telah hilang wanita paruh baya, pakaian kaos kuning dan rok hitam lipit. Dia meninggalkan rumah sejak seminggu lalu. Dia izin pamit pulang ke rumah orang tuanya, tetapi tidak pernah sampai ke sana. Rupanya keluarga Syalia sudah melaporkan ke pihak berwajib. Kini, wajah Syalia terpampang di media sosial sebagai orang yang hilang. 


Aku memberikan pengawasan ekstra pada Syalia. Jangan sampai ada seorang pun yang tahu tentang keberadaannya. Selain itu, aku tidak ingin berurusan dengan aparat. 


“Sayang, ini makan malammu.”


Mendadak Syalia merangkul leher saat aku hendak meninggalkannya. Perempuan itu masih cantik meskipun tanpa riasan. Dia tersenyum manis sekali. Aku meraih tangannya, lalu menggeleng. Syalia tampaknya kecewa. Entah, dia paham dengan keinginanku atau tidak. 


Perempuan itu malah menangis. Dia merasa telah sia-sia pergi dari rumah. Cinta yang diharapkannya dariku seolah-olah tak berbalas. Syalia mendekap sangat erat. Perasaan dan nalarku saling bertentangan malam itu. 


Aku mendorong Syalia secara refleks. Syalia mengaduh kesakitan. Sepertinya ada yang terluka entah di sebelah mana. Pikiranku kalut. Secepat kilat pintu kamar aku kunci dari luar. 


Malam itu aku tidur di indekos. Udara malam terasa lebih dingin karena hujan turun cukup lebat. Yang ada di pikiranku hanya Syalia. Besok aku akan menyuruhnya pulang agar statusnya lebih jelas. Jika sudah bercerai dari suaminya tentu lebih mudah meminangnya. 


Pagi hari aku bergegas ke basement. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Warga sekitar mengerumuni pusat perbelanjaan tempatku bekerja. Ternyata air hujan semalam menggenangi basement, tempat aku menyembunyikan Syalia. Ya Tuhan, Syalia pasti terendam. 


“Maafkan aku, Sya,” bisikku hampir tak terdengar.


Aku bingung, tidak mungkin memberitahukan kepada orang-orang atau petugas bahwa Syalia ada di kamar itu. Aku kembali ke indekos, lalu mengepak seluruh pakaian. Dengan berkendara bus aku meninggalkan ibu kota, meninggalkan cinta Syalia.


Sore itu ketika aku mengusap layar benda pipih canggih, terpampang nama dan foto di media sosial. Kamar basement tempat Syaila kutinggalkan sudah berpagar police line. Mungkin jasad Syalia sudah ditemukan. Informasiyang kubaca di berita itu Syalia sudah meninggal. Ya Tuhan, apakah itu berarti aku telah menghilangkan nyawanya? Nyawa perempuan cantik yang kucintai. 


Walaupun dia istri orang, tetapi rasa cintaku padanya tak ada duanya. Aku bahkan bersiap menikahinya jika dia sudah bercerai dari suaminya. Sayangnya, Syalia membuat aku kecewa. Apakah sikapnya kemarin hanya ingin menyenangkan aku, atau?


“Ah, Sya, kenapa kamu begitu bernafsu malam itu?” bisikku di kamar sendiri. 


Jika nalarku hilang, pasti aku dan dia sudah melakukan sesuatu yang dilarang. Seburuk-buruknya aku, sejelek-jeleknya aku, iman masih kujaga meskipun tipis. Tak akan pernah kulakukan perbuatan itu meskipun tak seorang pun melihatku, kecuali Syalia sudah sah jadi istriku. 


Beberapa hari telah berlalu. Aku kembali bertani, menanam jagung dan sayuran di desa. Hidup di kota rupanya berdampak tak baik untukku. Walaupun uang cukup banyak, tetapi pergaulan juga jauh dari kebiasaan di desa. 


Ponsel bak pedang bermata dua. Di satu sisi ada kebaikan, di sisi lain ada juga keburukan. Dari perangkat itu aku mendapat kenalan beberapa perempuan, salah satunya Syalia. Hanya dia yang dekat denganku. Awalnya Syalia hanya bercerita perihal hidupnya yang bahagia. Namun, di tengah obrolan via pesan teks dia kadang mengirim emoji menangis.


Belakangan aku tahu, dia mendapat perlakuan tak baik dari suaminya. Rasa iba pun tumbuh untuknya. Lama-kelamaan, Syalia menyatakan cinta kepadaku. Kehadirannya menjadi prioritasku. Siang-malam pesan teks tak henti kami kirimkan bergantian. Hingga aku akhirnya jatuh cinta padanya. 



“Han, Burhan! Liat sini. Ada fotomu di sini!” Udin berteriak sambil menunjukkan gambar di ponselnya.


Aku menghentikan mencabut rumput. Kuhampiri Udin di tepi ladang. 


“Foto apa, Din?” 


“Liat aja, orang itu mirip kamu. Tapi sebelum rambutmu sepanjang ini. 


Aku meraih ponsel Udin. Di layar ponselnya memang ada gambar yang mirip dengan wajahku. Aku melirik Udin sekilas sebelum membaca tulisan di bawahnya. 


DPO, Wijaya, dugaan penculikan dan pembunuhan, pekerjaan office boy.


Ciri-ciri fisik yang ditulis di sana semua ada padaku. Tuhan, apakah aku kini jadi buronan polisi? Aku tidak menculiknya. Aku juga tidak membunuhnya. Hanya tak sengaja menguncinya di kamar. Siapa sangka paginya basement terendam air dari sungai yang meluap akibat hujan semalaman. Takdir selalu menjadi misteri. Tak ada yang tahu kejadian apa yang akan terjadi di masa depan.


Tuhan, aku akan bertaubat! Tak akan lagi memberi hati wanita bersuami. Cukup sekali ini saja. Dan ini yang terakhir aku jatuh cinta pada bini orang. Tolong selamatkan aku dari kejaran polisi. Aku tidak bersalah, Tuhan!


“Oh, dia cuma mirip, Din. Liat penampilan dia. Necis, kelimis. Bandingan sama aku, burik, celana butut, banyak tambalannya.”


Udin memeriksa gambar di ponselnya. Sesekali pemuda itu melirik ke arahku. 


“Ya, mungkin cuma mirip, Han. Lagian kamu alim. Mana mungkin jadi DPO.”


Dalam waktu dekat aku akan pergi dari desa ini. Kasihan jika orang tuaku ikut tersangkut perkara Syalia. Entah, takdir apalagi yang akan kujalani nanti. Biarlah Tuhan memberi yang terbaik. Termasuk tertangkap polisi, akan kujalani jika memang itu yang digariskan untukku. 


Semoga pintu ampunan masih terbuka lebar agar dosa-dosaku terhapus.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)