Masukan nama pengguna
Monic gelisah. Wajahnya berpeluh. Ruangan ber-AC dengan tembok putih ternyata tak mempan menyejukkannya. Sesekali dia memegangi perut buncitnya. Sang suami menggenggam erat tangan Monic, seolah-olah memberi dukungan batin. Momen terhebat dalam hidup Monic tengah berlangsung. Dia sedang berada di pembukaan menuju sepuluh. Tak sabar dan takut, bercampur jadi satu dalam benak perempuan berlesung pipi di kanan itu.
Dia ingin segera memeluk buah hati yang ditunggu-tunggu selama ini. Lima tahun adalah penantian yang cukup panjang baginya. Hari itu, Monic dan Revan tengah harap-harap cemas menantikan kelahiran sang anak.
Waktu terasa berjalan lambat. Detik demi detik seperti penuh siksaan, bagaikan tak mau berpihak pada perempuan usia dua puluhan itu. Monic berusaha dengan sepenuh daya. Demi membahagiakan suami tercinta. Apa pun akan dilakukan agar posisinya tak tergantikan oleh wanita lain.
Sekitar satu jam, janin dari kandungannya keluar. Tangis memecah kesunyian dan kebahagiaan. Revan pun bersukacita menyambut salah satu pewaris keturunan. Anak lelaki yang akan menjadi kebanggaan keluarga telah lahir.
Revan tak menyadari raut wajah Monic. Perempuan itu sesekali memandang suami dan bayinya secara bergantian. Dia ingin memastikan bahwa anak yang di pelukannya adalah benar-benar anak Revan. Dari bentuk mata, warna mata, rambut lebat, bentuk wajah, serta kulit, ingin dia pastikan ada gen dari Revan.
"Yang, kita berdua putih, napa Debay item?"
Monic terlihat gugup kala Revan bertanya seperti itu. Dia pura-pura memejam agar disangka sedang tidur. Monic tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hatinya dia berniatt akan melakukan tes DNA. Apakah bayi yang dilahirkan anaknya dengan Revan? Atau anak mantan pacarnya, Rio.
Monic ingat betul, dia pernah melakukan perbuatan terlarang bersama Rio. Dia seperti terjerat oleh rayuan sang mantan. Revan yang berperangai keras di awal pernikahan, ditambah dengan kehamilannya yang tertunda, membuat hubungan mereka retak. Apalagi Ibu Mertua bermaksud menikahkan Revan dengan wanita lain. Hati Monic serasa buntu. Dia berupaya agar bisa hamil, akan tetapi, kegagalan demi kegagalan saja yang ditemui.
Hingga suatu hari, Monic merasa hilang kendali. Rio menemuinya setelah sekian lama tak berjumpa. Mereka berdua terlanjur rindu. Cinta lama belum kelar rupanya menyambangi keduanya. Asmara pun membara, melenakan dua insan yang tengah di mabuk cinta. Monic bagaikan kehilangan jati diri. Dia tersadar sudah berada di kamar bersama Rio. Meskipun pakaian masih lengkap, tetapi Monic seperti merasakan telah terjadi sesuatu.
Rio hanya tersenyum saat Monic bertanya, apa yang telah terjadi di antara mereka. Monic memukul dada Rio saat melihat pemuda itu tersenyum. Perempuan bersuami itu pun menangis sejadi-jadinya. Dia merasa bodoh. Dia ketakutan jika sampai mengandung anak dari Rio. Namun, di sisi lain hatinya, perempuan beralis lengkung itu berharap bisa hamil. Entah dengan siapa saja, asalkan Revan tak menikah lagi karena belum berhasil punya anak darinya.
Monic terlambat datang bulan usai bertemu dengan Rio. Dia tak terlalu peduli pada awalnya tentang status janin yang di kandung. Melihat Revan begitu bahagia karena kehamilannya, perempuan itu mengabaikan rasa resah di hatinya
Status janin yang masih disangsikan itu pun tumbuh dalam rahimnya. Kian membesar setiap waktu. Monic menjaga perasaannya selama sembilan bulan demi kesehatan diri dan calon anaknya. Dia ingin anaknya terlahir sempurna. Setampan Revan jika lelaki, secantik dirinya bila perempuan. Namun, kegundahan Monic mulai muncul menjelang kelahiran sang bayi. Dia khawatir anaknya tak ada kemiripan dengan sang suami. Di rumah sakit bersalin, kegelisahannya belum selesai begitu bayinya lahir.
Sejak Monic melahirkan, Revan sangat bahagia. Apalagi anak laki-laki dambaannya sudah datang. Pria bertubuh atletis itu tak menghiraukan warna kulit yang mirip kopi susu ketika Revan dan anaknya berdekatan. Revan hanya peduli pada anak yang telah lama dinantikannya itu.
"Sayang, lihat. Bibirnya seperti milikmu. Matanya juga mirip denganmu, cuma kulitnya kontras. Sama sekali ga mirip kita berdua," ucap Revan seraya membelai Sonix di pangkuan ibunya. "Makasih, ya, Sayang. Aku makin sayang sama kamu."
Mata Monic berbinar kala suaminya yakin bahwa Sonix adalah anaknya. Tak dipungkiri, gejolak batin Monic belum pupus. Dia masih berniat melakukan tes DNA. Namun, dia ingin mencari Rio terlebih dulu untuk memastikan perbuatan mereka kala itu.
Monic pun mencari kesempatan keluar rumah. Dia menitipkan Sonix pada tantenya. Tanpa sepengetahuan Revan, dia pergi ke rumah Rio.
"Katakan apa yang terjadi siang itu," pinta Monic setelah sampai di teras rumah Rio.
"Masuk, ga enak diliat tetangga."
Monic melangkah mengikuti Rio. Ruangan berhias ornamen ukiran di rumah itu terletak di kanan bangunan. Sepi. Hanya ada mereka berdua.
"Ada apa Nic, sampe kamu kemari?" tanya Rio.
Mereka duduk berhadapan dengan meja bundar di tengahnya. Perempuan mantan kekasih Rio itu menghela napas. Dia tampak berat untuk mengulang pertanyaannya. Dunia pasti terasa terbalik bila kekhawatirannya terbukti. Dia begitu ketakutan kalau Sonix adalah anak Rio. Anak yang sangat didambakan, anak yang sangat disayangi Revan. Apa kata dunia?
"Hem … malah diem?"
Rio mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. Tembakau berbalut kertas putih itu pun dihisap dalam-dalam sebelum diembuskannya. Wajahnya menelisik perempuan ayu yang masih dicintainya. Beberapa kali dia mengisap rokoknya sambil menunggu Monic bersuara.
"Nic …. Yah, malah nangis," keluh Rio.
Rio mengusap wajahnya yang tak mengkilat. Wajah manis itu, meski kehitaman, terlihat bersih. Hidung mancung dengan garis rahang jelas, makin menambah elok. Sisi ketampanannya begitu nyata. Sebelas-dua belas bila dibandingkan dengan Revan. Bedanya, Rio berkulit gelap, sedangkan Revan putih.
"Kamu pikir, aku sejahat itu?"
Rio balik bertanya pada Monic yang masih kesenggukan. Butir bening berhasil lolos di pipinya berkali-kali. Dia sadar, cintanya pada sang mantan masih ada meskipun lebih memilih Revan. Monic dulu juga sangat mencintai Rio. Hanya saja, lelaki itu tak bisa menuruti permintaan Monic agar berhenti balapan motor. Monic pun pergi meninggalkan Rio dan menikah dengan Revan.
"Katakan, Rio …."
Monic mengulang ucapannya. Jemarinya terus menyeka air bening di sudut mata.
"Dengar, aku masih cinta kamu. Sampai saat ini, belum ada wanita lain di hatiku. Apa kamu pikir, aku bakal merusak cintaku padamu?"
"Jadi?"
"Aku memang memberimu obat tidur. Kupikir, itu satu-satunya jalan, agar aku bisa bersamamu. Meski sesaat."
Rio mengembuskan napas. Asap putih kembali keluar dari hidungnya. Sepertinya pemuda itu sedang berusaha mengendalikan diri. Dia tak ingin menyakiti wanita pujaan hatinya karena ego pribadi.
"Saat itu, kamu pingsan. Aku ingin menciummu. Tapi kamu menyebut nama Revan berulang kali. Aku mundur. Aku mengutuk diri sendiri. Apa benar cintaku padamu? Jika nyatanya aku hampir merusakmu."
"Jadi?"
"Aku tak menyentuhmu. Anakmu bukan anakku."
Monic berhenti menangis. Dia melonjak kegirangan seperti anak kecil. Rio bahkan hampir dipeluknya. Pemuda itu tersenyum melihat bidadari di hatinya kembali ceria.
"Pulanglah, jaga suami dan anakmu," pinta Rio, lalu, dia mengisap rokoknya kembali.
"Makasih, Rio. Makasih juga atas cintanya. Aku pulang."
Monic pamit diiringi anggukan Rio.
Tamat