Cerpen
Disukai
4
Dilihat
2,819
Setangkup Rindu
Romantis

“Jika kata-kata seperti benang yang menjahit kerinduan, maka pilihan yang tepat adalah diam.”

~ Dewi Fortuna


Ruang tunggu di stasiun masih lengang. Aku memang kepagian dari rumah, hingga saat tiba suasana masih cukup sepi. Hanya satu-dua calon penumpang yang menunggu kereta datang. Yang banyak terlihat di sana-sini para porter. Mereka siap menghampiri para calon penumpang untuk membawakan barangnya sampai duduk di kereta. Kecuali jika bawaan tidak terlalu banyak, porter tidak menawarkan jasanya, seperti aku, cuma membawa ransel dan tas selempang kecil.

Segera kucetak tiket di mesin yang tersedia di beberapa tempat. Mesin otomatis yang terkoneksi untuk pemesanan tiket secara online

Zaman memang sudah berkembang. Jika dulu antrean calon penumpang sering menumpuk di stasiun, menurut berita media online yang kubaca, terutama menjelang hari raya keagamaan, sekarang pemesanan tiket cukup dari aplikasi dan ponsel pintar, tak perlu mengantre di stasiun.

Kusimpan tiket di tas selempang. Sebenarnya, juga bisa cek in memakai barcode yang ada di ponsel karena setiap memesan tiket ada email masuk yang berisi konfirmasi kode booking tempat duduk di kereta. Namun, aku lebih suka mencetak tiketnya agar tidak ribet dan bisa dipamerkan di akun media sosial untuk status bahwa Dewi sedang melancong, meskipun hanya sebagai wisatawan domestik. 

Entah, kapan akan jadi wisatawan mancanegara. Mungkin nanti, menunggu sang pangeran pujaan hati datang. Pangeran Kuda Putih yang bisa membawaku melanglang buana ke sana kemari menjelajahi berbagai negeri. Mimpi di siang bolong ini, mimpi orang yang kurang tidur. 

Meskipun kurang tidur, tetapi aku punya banyak mimpi. Ah, mimpi. Semoga awan di angkasa masih muat untuk menampung gelembung mimpi yang kuterbangkan ke angkasa setiap hari. Mimpi seorang penulis yang berharap bisa memerankan tokoh cerita apa pun yang diciptakannya.


Dua jam kemudian, kereta Bangunkarta yang akan kunaiki sudah memasuki stasiun. Panggilan merdu untuk para calon penumpang kereta terdengar dari speaker. Petugas yang berbicara di depan mikrofon memang bagus gaya bicaranya. 

Salah satu teman ada yang bertugas di sana. Aku sering menyaksikannya saat dia melakukan siaran langsung di aplikasi media sosial. Sandi, dari dulu memang bagus gaya bicaranya. Pantaslah jika guru-guru sering memuji saat dia membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 ketika upacara bendera. 

Bahkan, tak sedikit teman yang naksir Sandi saat dia unjuk kebolehan menyanyi di panggung sekolah. Aku lupa, acara apa waktu itu? Yang masih teringat, tiba-tiba saja Sandi menarik tanganku dan mengajak menyanyi di panggung. Parah! Secara aku tidak pandai menyanyi. 


Mendoan terakhir yang kubeli di warung sebelah rumah sebelum ke stasiun, kubungkus lagi. Biarlah menikmatinya di atas kereta nanti. Kuteguk air mineral sedikit untuk melancarkan metabolisme tubuh sebelum beranjak dari ruang tunggu.


Dua menit sejak penumpang kereta Bangunkarta jurusan Yogyakarta diizinkan memasuki gerbong, aku mengikuti orang-orang menuju pintu masuk stasiun. Satu per satu penumpang diperiksa tiket dan KTP-nya di hadapan petugas. Pelayanan ini sangat bagus karena hanya calon penumpang dan porter yang boleh masuk ke area stasiun bagian dalam. Sedangkan pengantar, pedagang asongan, dan orang-orang yang tidak memiliki tiket perjalanan dilarang masuk. Penumpang pun terjaga keamanannya dari orang-orang yang berniat buruk.

Gerbong kedua, tempat dudukku dari depan terletak di sisi kanan. Aku memasukinya setelah memastikan gerbong dengan benar. Kereta ini memiliki dua fasilitas, yaitu kelas eksekutif dan kelas ekonomi. Jam keberangkatan dan kedatangan di stasiun tujuan sama. Yang berbeda fasilitas di dalam gerbongnya. 

Ransel kusimpan di bagasi, di atas tempat duduk, lalu menyetel kursi sesuai keinginan, pijakan kaki, mengatur pendingin ruangan ke arah samping. Aku tak mau diterpa embusan hawa dinginnya sepanjang perjalanan. Gorden di samping jendela tak luput kurapikan, agar pemandangan di luar kereta bisa terlihat tanpa terhalang saat menikmatinya. Pemandangan yang bervariasi dari detik ke detik. Terkadang hamparan sawah nan hijau, pegunungan, kawasan hunian penduduk, sungai, dan stasiun kereta yang dilewati sepanjang perjalanan. Penampakan dunia yang lengkap seperti alur hidup manusia. 

Pemilihan tempat duduk saat memesan tiket juga sudah disesuaikan dengan arah sinar matahari. Berhubung aku menuju arah timur, maka kursi yang aman dari terpaan sinar mentari di bagian kanan, atau sisi selatan dari arah mata angin. Mengingat saat itu, matahari sedang berada di belahan bumi bagian utara—mengikuti gerak semu matahari yang seolah-olah berpindah dari utara melewati daerah khatulistiwa, lalu ke arah selatan dengan siklus waktu tertentu, biasanya tiap tiga bulan. 

Ketika aku hendak mengambil ponsel di tas selempang, seseorang datang dan menempati kursi di sebelah. Dia meletakkan tas juga di bagasi atas. Detik berikutnya, dia juga melakukan hal serupa seperti yang baru saja kukerjakan, mengatur setelan kursi, pijakan kaki, lubang pendingin ruangan, dan diakhiri dengan mengambil ponsel. 

Sambil tersenyum aku membatin, mengapa mirip? Apakah dia pangeran yang kutunggu? Ah, jangan-jangan mimpi lagi. Duh.

Kuabaikan seseorang di samping, lalu fokus membuat caption untuk tiket kereta yang sudah dilipat dua kali secara simetri dan kufoto dengan background jendela kereta. Tentu saja itu sebagai sensor. Jangan sampai data diri terpapar ke media sosial. Walaupun status masih jomlo, tak harus juga memberi tahu khalayak ramai  bahwa aku sedang berupaya mencari pendamping hidup. Apa kata dunia? Bisa-bisa aku dicap wanita murahan, ogahlah. 

Setelah selesai memposting status aku berencana tidur sebentar. Ponsel kumasukkan ke tas selempang. Aku mulai duduk rileks, dan memejam. 

Sebelum terlelap, ponsel bergetar. Di feed instagram, ada friend list yang memberi reaksi. Hm, rupanya dia Sandi, teman SMA yang kini bekerja di PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Mungkin, dia sedang tidak bertugas, berlibur, atau sedang senggang. 

Selang beberapa detik, Sandi menulis komentar. Aku terkejut dengan komentarnya, sampai kubaca dua kali. Sandi menulis bahwa dia berada di kereta Bagunkarta juga. Ah, ini pasti mimpi. Mana mungkin ada kebetulan yang mirip skenario sinetron. 

Aku membalas dia, tentu saja via jalur pribadi. Aku menanyakan jam keberangkatan, jurusan, dan data lain untuk memastikan apakah mimpiku pagi itu hanya gelembung-gelembung yang akan pecah tanpa ada kenyataan.

Oh, Tuhan! Data yang diberikan Sandi sama persis dengan tiket perjalananku. Sandi pun meyakinkan akan merekam suasana kereta yang ditumpanginya. Ini benar-benar amazing, bukan mimpi, Guys! Aku bersorak kegirangan dalam hati. Asyik! Ada teman seperjalanan. Jika memungkinkan aku atau Sandi akan pindah gerbong agar bisa temu kangen. 

Video yang baru saja direkam oleh Sandi pun dikirimkan. Aku melihat dengan cermat rekaman itu. Rupanya Sandi merekam sambil berdiri, hingga hanya bagian bagasi yang terlihat. Mungkin, dia menjaga privasi para penumpang lain. Baguslah, paham etika. 

Aku melihat rekaman Sandi lagi karena ada sesuatu yang menarik perhatian. Astaga! Di rekaman paling akhir mengapa ada ransel yang mirip dengan milikku? Sembilan puluh persen kemiripannya karena ada gantungan kunci burung hantu warna ungu. Gantungan kunci bawaan yang kudapat saat membeli tas ransel itu. 

Aku berdiri seketika. Ya, Tuhan! Aku mengucek mata. Pesan Sandi yang masuk via jalur pribadi kuabaikan sejenak, lalu mengamati orang yang duduk di samping. 

Ketika pesan Sandi masuk lagi, yang menanyakan pakaianku, karena kami akan saling mencari di sepanjang gerbong. Aku membaca pesannya, lalu, aku membalas dengan ucapan, bukan ketikan teks. 

“Aku pakai jaket biru tua.”

Pria yang duduk di sebelahku menoleh. Kacamata hitamnya dilepas. Pria itu membulat matanya, mungkin dia merasai melihat bidadari tercantik di jagad raya. 

“Dewi!” teriak Sandi. Aku dipeluknya seketika. 

Ah, ini mimpi atau bukan? Aku bergeming, membiarkan Sandi memeluk erat-erat. Apa memang begini jika sahabat yang telah lama terpisah bertemu kembali? Ada aksi pelukan, gitu? Hm, entahlah. Yang pasti aku suka dengan pertemuan itu meskipun pelan-pelan menarik diri, melepaskan dekapannya.

“Gak nyangka gue bisa ketemu lu, Wi!”

“Yah, kaya sinetron. Kebetulan yang terlalu kebetulan.” 

Aku dan Sandi mengobrol santai. Ternyata Sandi juga akan berlibur ke Yogyakarta. Dia bahkan sudah memesan penginapan. Sedangkan aku berencana menginap di salah satu rumah teman kuliah. Sandi menawarkan padaku agar menginap di area sama. Dia pun menghubungi pengelola home stay. 

“Rezeki lu, Wi! Masih ada satu kamar kosong. Maren penuh pas gue mesen. Gimana? Booking? Biar kita bisa barengan.”

Aku setuju saja dengan ajakan Sandi. Selain melepas rindu pada lelaki yang pernah ada di hati—meskipun dia mungkin tak pernah tahu—aku tidak punya tujuan wisata yang akan didatangi nanti. Yang terpikir hanya jalan-jalan di Malioboro, mencicipi gudeg, belanja batik, dan belanja souvenir untuk oleh-oleh teman. Agenda travelling apa shopping, entahlah. Yang penting jalan-jalan melepas penat. Mumpung ada hari libur bersama. 

“Wi, liat sini!” 

Sandi mengarahkan ponsel ke samping. Wajahku dan wajahnya tertangkap kamera depan. Dia tersenyum manis sekali. Aku turut tersenyum mengimbanginya. Sekali sentuh, foto kami tercipta. Sandi lantas mengirimkannya padaku. 

Sepanjang perjalanan kami asyik mengobrol berdua. Sandi ternyata agak berbeda. Dia lebih sering bercanda daripada saat di sekolah dulu. Mungkin pengalaman hidup telah mengubahnya. Atau tuntutan tugas di stasiun yang menjadikannya lebih friendly, kini. Aku sampai terlewat tak banyak membaca istigfar selama perjalanan karena terlalu sering tertawa. Apakah dia sebenarnya sedang menyenangkan hatiku? Mungkinkah Sandi ingin melihat aku bergembira kala bersamanya. 

Waktu sekitar lima jam di kereta tak terasa lama. Kami sampai di Stasiun Tugu. Sandi memesan kendaraan online untuk menuju penginapan. Sementara itu, aku mengabari teman karena batal menginap di rumahnya. 

Esoknya, aku dan Sandi jalan-jalan di Malioboro sekalian mencari sarapan. Liburan kali ini rasanya sangat berkesan. Tak disangka aku bisa jalan dengan orang yang kusukai. Sepertinya Sandi juga masih sendiri. 

Alhamdulillah, kenyang,” ucap Sandi setelah nasi gudegnya habis. 

“Nambah, Wi?” 

Aku meliriknya. Dia tersenyum nakal. Nasi yang kumakan saja belum habis, malah ditawarin nambah. Kutahan tawa. Dasar Sandi! 

“Kebanyakan pun, ini,” jawabku usai menelan makanan di mulut, “ada-ada aja, loh.” 

“Yowes, sini tak bantuin.”

Sandi mengambil sendok makannya. Dia menarik piring rotan sedikit ke arahnya. Nasi gudeg di atas potongan daun pisang mulai disendok dan dimasukkan ke mulutnya. Dia menatapku sambil mengunyah makanan. Aku malah bengong, tak percaya dengan adegan yang terjadi. 

Sandi kemudian menyendok sedikit nasi, gudeg dan tahu bacem, lantas disodorkan ke mulutku. Alamak! Dia mau menyuapi aku! Nggak salah, nih? Ekspresi mata Sandi meyakinkan perilakunya. Dia serius, akan menyuapi. Namun, aku malah tersenyum, lalu tertawa kecil. 

“Ayo, Ak! Buka mulutnya, Wi.” 

Sambil menahan berbagai rasa yang bergejolak di hati, aku menerima suapan Sandi. Kututup mata memakai tangan kiri. Entah, apa yang sedang terjadi. Sandi aneh-aneh saja. Dia tersenyum manis melihatku salah tingkah. Sandi kembali menyendok makanan di piring. Kami makan sepiring berdua akhirnya. 

Berbagai tempat wisata kami kunjungi usai itu. Swafoto kami ambil di beberapa spot ter-esthetic. Sebagian foto sudah kupajang di media sosial. Tak hanya museum, keraton, pantai juga tak luput dari kunjungan kami berdua. Meskipun lelah, aku dan Sandi seolah-olah tak pernah merasakannya. Selama tiga hari aku dan dia menjelajah Yogyakarta hingga ke sudut-sudut kotanya. 


Malam itu, ketika aku dan dia baru saja pulang dari pantai, kami berbincang di home stay, di kamar yang kusewa. Kami membahas beberapa foto yang baru saja diambil. Aku dan Sandi duduk berdekatan di tempat tidur, sangat-sangat dekat hingga lengan kami bersentuhan. 

Mungkin kami lupa, bahwa di antara kami hanya sebatas teman, sebatas sahabat, yang tak punya ikatan apa-apa. Aku dan Sandi mungkin juga tak ingat pada akal dan pikiran yang kami punya. Kondisi kala itu cukup memercikkan letupan-letupan asmara tipis yang dulu pernah bersemi kala SMA. Hingga pagi, aku dan Sandi baru tersadar, pakaian kami sudah tak rapi lagi.

Aku menangis. Tak seharusnya kami melakukan perbuatan sejauh itu. Meskipun keperawananku tak disentuh olehnya, tetapi rasanya jiwa-ragaku telah ternoda. 

“Wi, maafin gue. Gue khilaf. Harusnya gue jaga lu sampe pelaminan nanti. Gue cinta sama lu, Wi! Maafin, gue terlalu sensitif.”

Sandi menyeka air mata yang menetes di pipiku, lalu memeluk. Namun, aku menepisnya.

“Kau pikir, aku wanita macam apa, hah? Meksi aku suka kamu, ga kayak gini caranya!” Aku protes keras, “please, jangan rendahin perempuan!” 

Sandi kembali meminta maaf. Dia bergegas menyakinkan, sepulang dari travelling akan segera meminangku. Namun, aku terlalu emosi. Tak seharusnya Sandi sejauh itu. Apa pun alasannya, aku tetap tidak bisa terima. 

Dalam hitungan menit aku berkemas, lalu meninggalkan Sandi di kamar. Aku pergi ke stasiun sendirian dengan mobil online. Travelling yang membawa luka. Oleh-oleh untuk rekan pun lupa kubeli.

Sandi mengejarku hingga depan home stay. Dia masih meminta maaf. Dia juga menahan kepergianku. Sandi menawarkan akan menemani pulang ke Jakarta. Namun, aku tetap berlalu. 


Lelaki ternyata sama saja. Selalu mencari kesempatan. Bukan cinta namanya jika perhatian yang kuberikan disalahartikan. Apa yang Sandi pikir? 

Apa status jomlo yang masih kusandang membuatku mengemis-ngemis? Oh, big no! Tak seharusnya Sandi melakukan itu padaku! 

Tuhan, salahkah jika aku emosi? Marah? Aku memang sayang padanya sejak dulu, tapi bukan seperti itu yang kuinginkan. Tolong berikan takdir terbaik untuk kami, Tuhan!


Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam. Menyesali kejadian di kamar bersama Sandi. Ya Tuhan, ampuni dosa kami. Sedahsyat inikah cinta? Hingga yang dilanda asmara terlupa pada tatanan, tak ingat pada aturan, dan menghilangkan nalar. 

Ataukah kami sebenarnya saling merindu? Rindu membara ketika bertemu. Rindu yang mengganas begitu kami kehilangan kendali diri? Mungkinkah sejatinya ada benih cinta yang belum sempat tersemai secara utuh di hatiku dan Sandi? 

Saat gerimis rindu memercik, benih pun berkecambah, bertunas, dan langsung rimbun daunnya. Lalu, berbunga akibat hormon giberelin dan florigen yang tiba-tiba memuncak.

Daun-daun yang berhimpitan, bergesekan oleh sapuan sang bayu. Saling menghangatkan di malam dingin nan sunyi. Saling melepaskan hasrat yang selama ini terpendam di alam bawah sadar. Saling mengeksploitasi seluruh bagian tubuh hingga saraf pun berdesir, nadi menghangat, gemetar di sekujur tubuh, dan degub jantung kian cepat mengikuti napas yang memburu tak teratur. Ah, malam yang memuaskan setangkup rindu. 

Aku dan Sandi memang tak dapat menebak, apa yang akan terjadi di masa depan. Kami hanya tahu, malam itu saling menikmati renjana yang ada. Menjadikan ruang rindu itu milik bersama.


Malam hari, sepulang dari travelling, aku merasa telah kehilangan sesuatu yang terjaga selama ini. Apa bedanya aku dengan teman-teman di SMA yang pacaran? Yang tersentuh laki-laki, diobral murahan, dan merendahkan harga diri. Aku sama saja dengan mereka, hanya waktu yang tertunda. 

Dalam nestapa, aku hanya mampu menuliskan keresahan, kegalauan, dan kebodohan di buku diari. Aku tak berani mengungkap pada seorang pun. Hanya Tuhan yang tahu betapa remuk-redamnya hatiku saat itu. Hanya Tuhan yang tahu, betapa rindu dan cinta bergemuruh memporak-porandakan perasaan jika teringat momen bersama Sandi kala itu.

Setangkup Rindu

Aku tak tahu ini nyanyian sedih atau duka

Kunyanyikan di tengah malam kala rintik hujan

Mengharap engkau hadir

membawa pintalan rindu.

Rindu tercipta oleh percikan cinta

Tak dapat menolak ketika rasa itu mendera

Jika senja selalu hadir menjelang malam

Maka rinduku pun selalu menantimu di sudut tanpa ruang

Dalam mimpiku mengapa engkau enggan datang

Dalam laguku engkau enggan nampak

Namun, namamu selalu aku sebut

memenuhi catatan tersepiku.

Meski mimpi tak menghadirkanku

Paras manisku dapat kau gambar sebelum terlelap

Memenuhi ruang batinmu

Membuncahkan semangatmu

Mewarnai hari-harimu

Meramaikan ruang sepimu

Dalam perjalanan malam, angin apa gerangan,

yang mengubah ruang rindu ini menjadi milik bersama?

Ketika gerimis menyejukkan bumi

Aku menggigil sambil menyebut namamu

Nikmatilah rasa yang tercipta

Kita hanya manusia

Yang tak bisa menebak masa

Pertemuan ini tentu bukan kebetulan

Mungkin hadirku bagaikan angin yang menyegarkan

Atau bulan yang menanti pelukan

Yogyakarta-Jakarta, 20 Desember 2024


Aku bersyukur, Sandi tak ingkar janji. Dia benar-benar datang ke rumah sebulan kemudian bersama kedua orang tuanya. 


Sejak saat itu, aku tak perlu lagi menonton aksinya saat live di media sosial saat dia bertugas sebab senyumnya telah melekat di ingatanku dengan setia. Aku pun tak perlu mencuri pandang pesona matanya dari layar ponsel lagi karena tatapannya telah menghujam tepat di jantung setiap malam. 


Jakarta, 9 Juni 2025

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)