Cerpen
Disukai
3
Dilihat
3,370
Blaming The Victim
Slice of Life


Blaming The Victim

Terinspirasi kisah nyata di suatu sekolah


"Allah gak tidur, Nak," bisik Ibu ketika melihatku berlinang air mata sore itu. Saat kalah di persidangan intern. 

Pak Udin ditetapkan tidak bersalah. Beliau masih menjadi staf pengajar di sekolah. Dua pilihan diberikan kepadaku, yaitu tetap menjadi siswi di sekolah menengah pertama (SMP) dan melupakan kejadian asusila yang dilakukan Pak Udin atau keluar secara baik-baik dan pindah ke sekolah lain. 

Tuhan, inikah keadilan yang harus kuterima? Aku tidak sanggup menegakkan kepala di depan teman-teman walaupun sejatinya aku korban pelecehan seksual. Rasanya terlalu berat. Mengapa harus terjadi? Apa tidak salah takdir ini?

Aku memang tidak punya bukti untuk menyeret Pak Udin ke meja hijau. Melihatnya bebas tanpa sanksi itu sungguh tragis. Sebagai tenaga pendidik, tidak seharusnya dia berperilaku tidak senonoh pada siswinya.

Sidang atasnya memang telah digelar, tetapi hanya kalangan orang dalam yang menyaksikan. Sepertinya ada konflik kepentingan, menutup mata sebagian pemangku jabatan dengan membela pelaku tindak keasusilaan. 

Sebagai pelajar, aku tidak punya daya. Barangkali, kehilangan satu siswi tidak jadi soal daripada kehilangan satu pengajar. Ditimbang-timbang lebih besar kerugian kehilangan satu pengajar daripada kehilangan satu siswi. Mungkin itu yang mereka pikir. Jika dibawa ke pengadilan pun orang tuaku tidak punya uang untuk menyewa pengacara.

Sementara itu, Ayah dan Ibu tidak menginginkan pendidikanku terputus. Mereka tidak rela dengan perilaku Pak Udin. Mereka juga tidak mau aku pindah sekolah karena sekolah lain jaraknya sangat jauh. Selain transportasi sulit, untuk menjangkaunya harus menyeberangi sungai akibat jembatan yang rusak belum dibangun kembali. Hanya sekolah ini yang terdekat dari rumah. Sungguh, pilihan yang membingungkan. Beban mental harus kutanggung sejak saat itu, terutama dari teman-teman yang satu per satu mulai menjauh.

Apa yang mereka pikir? Aku memfitnah Pak Udin? Benar-benar keterlaluan! Siapa siswi yang rela dicolak-colek gurunya? Tidak ada! Mereka tidak mengalami sepertiku, tentu tidak akan pernah bisa merasakan betapa sakitnya! Betapa hinanya!

Ternyata, seperti ini rasanya terkena fitnah, lebih kejam daripada pembunuhan! Karakterku terbunuh pelan-pelan. Entah, sampai kapan aku dapat bertahan, mendapat cibiran, cacian, makian, ejekan, yang sangat merendahkan martabat. Bukankah martabat perempuan harusnya dijunjung tinggi, dihormati, dilindungi, dan dimuliakan? Tega sekali mereka padaku.


"Jangan munafik, Liz! Pak Udin emang menarik. Selain ganteng, beliau juga tajir. Lu suka ama dia, 'kan? Ngaku aja!" 

Bahkan Rohima, sahabat dekatku pun melakukan hal sama. Dia lebih percaya pada rumor yang nyata-nyata menutupi dan melindungi Pak Udin. Lalu, apa arti kejujuranku? Apakah kesaksian remaja seusiaku tidak bisa dipercaya?

"Jujur aja, Liz. Pasti lu mau pedekate, numpang tenar, atau biar bisa dapetin nilai tinggi. Otak lu, kan, di bawah rata-rata, kere, gembel pula." Ucapan Azizah diiyakan oleh teman-teman satu gengnya.

"Liat, seragam lu aja butut, belel banget. Gak mungkin Pak Udin suka sama lu. Pasti lu yang ngejar-ngerjar dia. Jangan muna, deh!" 

"Bener-bener!" sahut teman-teman lainnya. 

Aku diam dan berlari ke arah kelas. Mereka tertawa-tawa. Mungkin mereka merasa menang karena aku tidak melawan. Tunggu saja, besok akan kubalas.

"Mau lagi, Liz?" tanya Pak Udin ketika kami berpapasan di dekat ruang kelas. Teman-teman tertawa saat mendengar ucapan Pak Udin. 

Respect-ku sebagai murid kepada guru hilang, merosot tajam di titik paling rendah. Jika tidak ingat pesan Ibu, lelaki mesum itu sudah kutendang. Tawa Pak Udin samar-samar terdengar saat aku berlari menjauhinya. Mungkin dia merasa puas dan menang, atau berada di atas angin. 

Ketenaran Pak Udin di sekolah, membuatnya kebal hukum. Seolah-olah hukum berada di genggaman tangannya. Yang dapat dicari celahnya demi keuntungan pribadi. Hukum yang dapat dipermainkan sesuka hati. Pak Udin lupa, dia sama-sama manusia yang kelak akan dihisab bila waktunya tiba.

Hari-hari kulalui bagai penderitaan panjang. Aku sering menyendiri. Tidak ada teman satu pun yang mau berkawan. Walaupun mereka ada, tidak ada interaksi lagi. Mungkin seperti ini bila mati, tanpa teman.

Satu tahun aku mati-matian bertahan di tempat yang mirip neraka. Kendatipun kejadian asusila Pak Udin tempo hari berusaha aku lupakan, tetapi teman-teman justru mengingatkan. 

Parahnya, yang dipahami mereka salah. Jika tahu kebenarannya, pasti mereka akan membelaku. Fakta yang terjadi diputarbalikkan. Seakan-akan aku "kegatelan" menggoda Pak Udin. Siapa yang tega memfitnah sekeji itu? Fitnah berjamaah. 

Memang tidak semua teman mengejek. Hanya beberapa yang memojokkanku. Sisanya memilih diam dan menghindar. Mungkin mereka khawatir bakal dijauhi oleh teman lainnya, atau takut tidak punya teman, tersingkir, dan tidak punya circle pertemanan jika dekat-dekat denganku.


"Lagaknya aja sok alim. Nyatanya? Huuu … menyedihkan!" ucap Azizah siang itu saat jam istirahat. 

Anak salah satu guru di sekolah itu tidak bosan-bosannya menghujat. Jika melawan, pasti aku yang akan dipojokkan. Dia tidak mungkin bisa kalah. Ujung-ujungnya, orang tuaku dipanggil untuk mempertanggungjawabkan ulahku, meskipun hanya membela diri. 

"Cukup! Hentikan hinaan ini, atau—."

Aku mencoba menahan amarah. Telapak tanganku serta-merta mengepal keras. Mata kupejamkan demi meredakan emosi yang mendidih.

"Atau apa?"

Azizah malah nenantang. Suara teman-teman yang bersamanya turut menimpali. Ucapan mereka makin terasa panas di kupingku. Haruskah kutusuk pisau ke leher mereka? Semua kejadian ini menguras habis kesabaranku. Kepala rasanya mau pecah. Tuhan, tak adakah pembelaan sedikit pun? Aniaya ini sungguh bertubi-tubi. 

"Diam! Diam semua!" Aku bicara lantang seraya menunjuk ke arah Azizah dan teman-teman lainnya. "Selama ini aku diam. Kalian nggak tau apa-apa! Apa perlu kalian dilecehkan dulu biar bisa ngerasain gimana sakit dan malunya? Jawab!"

Azizah dan teman-teman lain saling menatap. Beberapa di antaranya berbisik-bisik tidak jelas. Aku terlanjur kalap. Emosi dan amarahku memuncak. Gara-gara mereka ketenangan yang kubangun rusak, porak-poranda.

Aku tertawa sambil berjalan mengelilingi mereka. Menunjuk satu per satu wajah-wajah mereka dengan potongan ranting kering yang kutemukan di halaman sekolah. Apa mereka pikir selama ini aku pecundang, yang hanya bisa diam saat dihina? 

"Ayo bicara! Sekali lagi kalian menghinaku, robek mulut kalian sampe pipi!"

Teman-teman yang bersama Azizah kabur. Tinggal Azizah seorang. Saat kuhardik, gadis itu lari tunggang-langgang. Hem, puas rasanya. Itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan pelecehan yang dilakukan Pak Udin padaku. 

Suasana di sekitarku mendadak ramai. Mungkin mereka mengira ada tontonan gratis. Aku tidak bermaksud membuat kekacauan ini. Merekalah penyebabnya, Azizah, dan kawan-kawannya.


"Lizna! Apa yang kau lakukan?"

Suara Pak Faruq menghentikan langkahku saat akan ke kelas. Aku berbalik, menatapnya. Beliau turut berpihak pada Pak Udin saat persidangan tempo hari. Apakah yang ada di kepalanya sama dengan Pak Udin? Mesum. 

"Saya hanya membela diri, Pak. Menghardik teman-teman yang menghina dan memfitnah saya. Bapak sendiri? Apa yang Bapak lakukan?"

Tiba-tiba aku berani menantang guruku. Di mataku sekarang semua guru sama. Hanya mencari aman, tidak mau menjadi pembela, penyelamat, ketika salah satu siswi di sekolah mendapat perlakuan tidak senonoh dari salah satu guru laki-laki. Pak Faruq membuang muka. Mungkin beliau salah tingkah karena tidak menduga dengan pertanyaanku.

"Kamu, ke ruang BK! Sekarang!"

"BK? Ruang apa itu, Pak? Ruang yang berakhir dengan pemanggilan orang tua saya? Pak, saya ini korban. Bukan pesakitan! Yang perlu diberi bimbingan itu Pak Udin, bukan saya atau orang tua saya!"

"Lizna!"

Pak Faruq memanggil lagi. Aku berlalu menjauhinya. Awas saja jika beliau berani memanggil Ayah atau ibuku. Tidak akan kubiarkan mereka diberi ceramah macam-macam. Harusnya Pak Udin yang dibimbing agar menjadi guru yang benar. 

Sepintas terlihat beberapa anak bergerombol menyaksikan adegan yang baru saja terjadi. Aku berharap, mereka bisa mengerti kejadian yang sebenarnya dan tidak membully aku lagi. Itu sudah cukup, tidak perlu empati. Tidak perlu pula memviralkan ke media sosial. Sebab aku hanya ingin keadilan dan hukuman setimpal untuk Pak Udin. 

Pengajar lainnya menyusul berdatangan. Mereka mengatakan hal serupa dengan Pak Faruq. Aku tidak menggubris. Toh, selama ini siapa yang peduli padaku? Tidak ada! Harusnya, ranting ini bersarang di perut Pak Udin, sebagai hukuman atas perbuatannya. Guru macam apa dia, dicontoh dan ditiru? Bullshit

Suasana kian ramai. Setiap ada guru yang mendekat, aku bentak agar menjauh. Aku terus mengawasi sekitar. Jangan sampai ada seorang pun menyentuhku lagi. Suara-suara bujukan dan rayuan masih terdengar, saling bersahutan. Mereka pikir mudah meluluhkan emosi remaja yang terlanjur kalap?


"Lizna, sini, Nak. Kita ngobrol, yuk, berdua aja."

Suara lembut Bu Naima terdengar. Cuma beliau guru yang masih perhatian. Beberapa kali Bu Naima menanyakan kabar, dan selalu saja kujawab, "saya baik-baik saja." Aslinya, aku kesal, benci, dan marah pada semua orang, terutama Pak Udin.

Kubiarkan lengannya menyentuh pundak. Dia membimbingku ke kelas. Teman-teman yang berkerumun menyaksikan, memberi jalan. Ranting masih kupegang.

"Lizna, kamu kenapa?" tanya Bu Naima dengan mimik wajah cemas.

"Saya sudah mati sebelum terbunuh, Bu. Masa depan saya sudah hancur!"

Bu Naima terdiam. Pintu kelas ditutupnya. Hanya ada aku dan Bu Naima. Pak Faruq beserta staf pengajar yang lain melihat kami dari balik jendela. Ekspresi cemas tampak di wajah para pengajar, kecuali Pak Udin. Dia tidak ada di tempat. Dasar pengecut!

Bu Naima mengatakan, jika kasusku dibawa keluar, maka yang akan malu aku sendiri. Sebab biasanya beban korban akan bertambah. Bukan hanya menjadi penderita pelecehan seksual, melainkan stigma buruk lain juga akan menimpaku. 

"Tolong saya, Bu! Berikan keadilan."

Bu Naima memandang ke arah jendela sejenak. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tahu, beliau staf pengajar biasa, tidak punya jabatan apa-apa di sekolah. Asaku tak berlebihan padanya. 

"Baiklah, Ibu akan bantu kamu. Tapi ada syaratnya," ucap Bu Naima, lalu berbisik. 


"Apa, Bu? Saya harus jadi—?" ucapanku terhenti karena banyak mata dan telinga yang mengawasi kami dari balik jendela kaca. 

Ide Bu Naima keterlaluan. Aku disuruh pura-pura gila. Dengan menjadi pasien di rumah sakit jiwa minimal aku bisa terbebas dari hinaan teman-teman. Bu Naima berjanji akan datang menjenguk dan memberikan materi pelajaran seperti di sekolah. 

Mengapa solusinya lebih buruk dari keadaan sekarang? Tuhan, apakah ini keadilan yang ditakdirkan untukku? 

Aku tidak paham dengan solusi yang diberikan oleh Bu Naima. Yang aku tahu, jika menjadi gila, masa depanku lebih runyam. Sebutan mantan orang gila akan melekat seumur hidup. Lalu, apa untungnya?

Mendadak aku tertawa sendiri. Ranting yang di tangan kuarahkan ke wajah Bu Naima. Sekali tusuk, darah menetes dari pipinya. Bu Naima menjerit-jerit. Sebelum beliau keluar ruangan aku tertawa-tawa lagi dan berteriak berulang kali. 

"Saya setuju, Bu! Saya setuju! Hahaha! Saya setuju usulan Ibu!"


Sekian 

Jakarta, 12 Desember 2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)