Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,334
Kamulah Orangnya
Romantis

Jika takut dilimbur pasang, jangan berumah di tepi, kalau takut mendapat kesusahan, jangan mengerjakan hal-hal yang berbahaya.


Kupandangi lalu-lalang orang yang bergerak dari satu titik ke titik lain. Sebagian ada yang pelan, sisanya melaju kencang. Bahkan ada yang menyalip sesamanya. Aroma asap karbon dioksida terhidu tajam. 


Berada di bawah atap langit dekat plang bergambar bus sungguh membosankan jika tidak ada paras menarik bergaun batik di ujung sana. 


Setiap hari yang kucari hanya dia ketika penantian armada belum usai. Demi menghilangkan rasa jemu yang mendera kalbu. Meskipun rasa di hatiku padanya masih ambigu. Namun, perhatianku terpusat pada perempuan cantik penumpang bus listrik di ibu kota itu. 


Menjumpainya bagaikan candu. Setiap hari aku selalu berusaha menyamai waktunya dan menumpang moda transportasi Jakarta yang sama. Jika beruntung, aku bisa duduk di kursi deretan belakang bersisihan dengannya. Meskipun ada tempat duduk khusus wanita di bagian depan, entah mengapa dia tidak memilih berada di sana. 


Meskipun sering bersama di bus yang sama, aku kesulitan mendekatinya. Sekali, aku menandai di mana dia turun. Yang kedua, aku ikut turun di halte yang sama dengannya. Rupaya dia masuk ke rumah sakit ternama di Jakarta. Jadi, apa dia ini tenaga medis? Atau hanya staf saja? 


Perjumpaan berulang dengannya tetap tak menjadikan kami dekat. Halte bus pengumpan tempat kami menunggu bus jurusan sama tidak memberikan kontribusi apa-apa. Perempuan berambut panjang ikal itu sangat dingin sikapnya. Serupa dengan tipeku, kulkas. 


Pagi itu, langit kelabu. Mendung berarak mendekati langit di atas halte. Prediksiku, hujan akan segera turun. Aku melirik jam tangan, bus belum datang. Perempuan cantik tampaknya resah. Berulang kali dia menyentuh layar ponsel. Mungkin dia berharap bus segera tiba. 


Namun, hujan mendadak turun meskipun tidak deras. Sementara bus yang dinanti masih beberapa meter lagi sampainya. Secepat kilat aku melepas jaket, lalu memayungkan padanya. Dia menoleh dan menatap tanpa suara. Aku hanya berkata, “Biar gak terlalu basah.”


Jujur, baru kali ini aku melakukan tindakan berlebihan. Memayungi orang asing yang belum kenal sama sekali. Namun, demi bisa berkenalan dengannya, apa pun akan kulakukan. 


“Makasih,” ucapnya setelah kami berhasil duduk di bus listrik Transjakarta di bangku belakang.


“Brian,” ucapku seraya mengulurkan tangan.


Gadis itu membalas uluran tanganku sambil menyebutkan namanya. Hm, nama yang indah. Seindah pemiliknya. Jika diibaratkan bunga, dia sedang mekar-mekarnya, wangi, pasti menarik kupu-kupu dan kumbang untuk mendekat. Seperti aku, salah satu kumbangnya. Kumbang berkaki, tanpa sayap, dan berambut ikal. 


Perkenalanku dengannya sangat sukses. Awal yang bagus. Tahap berikutnya harus lebih keren lagi agar bisa mendekatinya. Entah upaya apa yang akan kulakukan nanti. Meskipun harus bertaruh nyawa, aku tidak akan gentar melakukannya. Gadis ini sangat menarik di antara yang lain. Aku harus mendapatkannya.


***


Hari itu, aku sudah menyiapkan satu adegan. Memang agak beresiko, tetapi hanya cara ini yang kupikirkan. 


Aku yakin, gadis itu akan membantu mengatasi situasi yang terjadi. Tak menunggu lama, ketika kami bersisihan kembali di bus listrik, aku mulai beraksi. Hasil puasa tanpa makan dan minum akan membuat tubuh dehidrasi. Secara perlahan aku merobohkan badan ke arah penumpang pria di sebelah kanan. Jangan sampai gadis itu malu jika tubuhku roboh ke arahnya. 


Sebagai mahasiswa kedokteran, mengelabuhi orang-orang dengan berpura-pura pingsan bukanlah hal yang sulit. Saat itu mataku terpejam. Seluruh anggota badan aku lemaskan agar tidak ada yang curiga. 


“Bang! Bang! Kenapa dia?” Suara pria yang kusandari tubuhku terdengar panik. 


“Coba baringkan di kursi. Pak, tolong berdiri dulu semua,” ucap gadis itu. 


Sementara itu, bus listrik masih melaju karena belum sampai di halte tempat pemberhentiannya.


“Kenapa dia? Pingsan?” tanya seseorang yang ada di dalam bus listrik. 


“Biar saya periksa. Saya dokter.” Gadis itu berbicara seolah-olah meyakinkan para penumpang lain.


Ketika dia hendak memeriksa dengan stetoskopnya yang sudah disentuhkan di dada, aku membuka mata perlahan. Kepala kupegang. Selang beberapa menit aku duduk sambil menunduk. 


Melihatku sadar, gadis itu mengambilkan air mineral miliknya yang belum dibuka. Pria yang tadi duduk di samping kanan membantu membuka tutup botol kemasan, lalu menyodorkan botol kepadaku. 


“Sebaiknya kamu periksa ke rumah sakit terdekat. Nanti turun bareng saya saja.” Gadis itu memberi saran. Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku bersorak gembira. Aktingku berhasil!



“Napa kamu lakuin?” tanya gadis itu saat aku sampai di rumah sakit. 


“Hem, maksudnya?”


“Abang mau nipu dokter? Pingsan pura-pura.”


Alamak! Dia rupanya tahu aku bohong. Aduh, mau ditaruh di mana mukaku? Aku kira berhasil akting, ah, jadi malu. 


“Maklum, masih calon dokter. Hehee. Mahasiswa kedokteran lebih tepatnya,” ucapku mencairkan suasana,“ilmunya masih cetek, gak sedalem Dokter Jania.” 


Kepalang basah, mandi sekalian. Kuharap gadis itu tak berkeberatan berteman denganku.


“Maaf, ya. Kalau tindakan tadi, hem … jadi malu, saya.” Aku grogi, tak tahu lagi harus berkata apa untuk kabur darinya.


“Akting Abang cukup bagus. Cuma ada satu yang terlewat.”


“Apa?” sahutku cepat.


“Saat pingsan, orang gak bisa ngendaliin anggota badannya. Tadi lengan Abang bergerak sedikit pas aku mau periksa pakai stetoskop.”


“Hem, dokter pintar! Hahaha!” Tawaku tergelak. Dokter Jania tersenyum sambil geleng-geleng kepala. 


Padahal aku sudah latihan berpura-pura pingsan. Meskipun agak malu, aku sangat bahagia karena hari itu berhasil kenalan dengan Dokter Jania. Perempuan menarik yang sangat mengusik pikirku sejak pertama bertemu. 


Setelah basa-basi aku pamit akan kuliah ke kampus ternama di ibu kota. Dokter Jania berpesan belajar lagi agar aktingnya sukses. Ahaai! Dikira aku aktor yang akan main film sebagai dokter? Jika aku aktor, aku pasti pilih peran sebagai suami Dokter Jania. Bukan peran lainnya. 


Sambil menuju halte bus Transjakarta aku mendendangkan lirik lagu sesuai suasana hatiku kala itu.


Ternyata aku tak bisa

Sembunyikan bahagia

Dan bila ada orang bertanya-tanya

Siapakah dia yang membuatku bahagia?

Kamulah orangnya


Ya, Jania orangnya. Cintaku mungkin masih setengah matang. Namun, rasa yang tumbuh tak diragukan. Rindu yang menjalar, tak perlu disanksikan, utuh seperti bulatnya bulan purnama, sempurna, paripurna. 



Hari-hariku kini berwarna. Aku dan Jania lebih sering menaiki bus Transjakarta yang sama. Tak pernah kami berselisihan waktu. Setiap hari selalu saling kontak ketika hendak berangkat. Jania ke tempat kerjanya, sedangkan aku, ke kampus tercinta. 


Suatu hari, aku memberanikan diri mengajak Jania jalan. Awalnya dia menolak dengan alasan dia sedang banyak kegiatan. Namun, aku terus mendesak dan mencari peluang. Hingga akhirnya, Jania menyanggupi jalan denganku.


Segalanya kupersiapkan. Kali ini aku akan menembak dia. Aku akan menjadikannya makmum dalam hidupku walaupun aku masih berstatus sebagai mahasiswa, belum wisuda. Selain cantik, Jania juga ramah. Berdekatan dengannya begitu nyaman. Tiada bandingan yang dapat mengibaratkan sejauh apa nyamannya.  


Pakaian terbaik kupersiapkan. Parfum berulang kali aku semprotkan. Rambut pun kusisir sebagus mungkin. Kupastikan, tak ada detail satu pun yang terlewat. Termasuk setangkai mawar merah sebagai sarana utama untuk menyatakan cinta.  


Kalimat puitis kukarang seindah mungkin. Berkali-kali aku berlatih di depan cermin demi kelancaran ucapanku di depan Jania. Sebab ini momen pertama kali buatku. Seumur-umur, baru kali ini aku merasa sangat dekat dengan seseorang. Tak peduli usia kami berjarak sekian tahun. Selama Jania masih single, usia hanyalah soal angka. Yang penting rasa yang tercipta sama. 


Dedub jantung kurasakan mulai tak berirama. Kadang normal, kadang berdetak cepat, kadang sangat cepat, menggetarkan seluruh saraf. Raga pun gemetar. Makin dekat dengan detik-detik pertemuan, makin tak tertata gejolak yang bergelora. Tuhan, inikah cinta? Aku, Brian, mahasiswa kedokteran tingkat akhir tak berhasil mengelola dentuman demi dentuman kala percikan api cinta mulai cetar membahana. 


Meskipun perasaan tak karuan, aku tetap berusaha tenang. Dengan moda transportasi Transjakarta, tepat jam empat sore, aku sudah sampai di lokasi pertemuan. Jania yang memilih lokasi ini sebagai tempat kencan pertama. Ah, kencan, mungkin terlalu berlebihan. Jadian saja belum. Kafe Florina akan menjadi tempat bersejarah bagiku. 


Detik berlalu dengan selang waktu konstan. Berpindah dari masa ke masa secara teratur. Namun, bagiku terasa tak terukur. Rasanya, waktu berjalan sangat lambat sore itu. Aku hanya tiga puluh menit datang lebih awal. Yang terasa, waktu menunggu terlalu lama. 


“Kak, ini mawarnya,” ucap seseorang hampir mengejutkanku. 


Rupanya pelayan kafe datang membawakan bunga di nampan yang kutitipkan padanya. Aku mempersilakannya menunggu kode karena Jania belum datang. Pelayan kafe pun akhirnya paham saat kujelaskan lebih detail kapan mawar diantarkan kepada Jania. 


Selang lima belas menit sejak aku duduk di meja yang telah dipesan, Jania datang. Perempuan cantik itu memakai dress hitam panjang dengan lengan pendek. Anggun sekali. Tubuhnya tampak berisi, sangat menarik dipandang mata. 


“Hai, maaf telat,” sapa Jania saat dia sampai di hadapanku. 


Sapaan yang sangat menggoyahkan iman. Sebagai laki-laki normal, kuatkah aku menatapnya lama-lama? Baru duduk berhadapan seperti ini saja detak jantungku berisik meminta perhatian untuk ditata. Tuhan, kuatkan aku! Biarkan momen ini berlalu dengan ending ter-epic seperti yang kuharapkan. 


“Cantiknya, dokter idaman,” ucapku hampir berbisik. 


Jania menatap sekilas. Uuh, tepat menembus retita. Nadiku bergemuruh hebat, tak mampu kukendalikan. Tuhan, jika ini benar cinta, kukuhkan hatiku padanya. Begitu pula kuatkan rasa di hatinya hanya padaku.


“Brian,” panggil Jania. Aku salah tingkah mendengar suaranya. Kali ini, terasa begitu dahsyat di telinga, entah mengapa? 


“Hem, ya, Nia. Hem, aku mau sampaiin. Hem, ada sesuatu ….” Suaraku membata. Rasanya tak sanggup menyelesaikan hingga akhir kalimat. Diksi puitis yang telah kupersiapkan selama beberapa hari lenyap dari ingatan. Huwah, begini rupanya saat cinta telah melanda. Dahsyatnya! Baru juga bertatap mata. 


“Brian, aku ….” Ucapan Jania terjeda. Pelayan kafe datang membawakan minuman yang kami pesan setelah Jania datang. 


“Hem, Nia. Aku … aah. Kamu taulah, aku mau bilang apa?”


Senyum Jania terulas sekian detik. Aauw! Manis sekali. Ingin rasanya aku, ah. Jantungku rasanya mau lepas. Tuhan, tolong aku! Aku hanya mau bilang “I love you” padanya. Kenapa sesulit ini? 


“Brian, kamu ada perlu apa? Bilang saja,” pinta Jania, “aku ada janji dengan seseorang juga di kafe ini. Sebentar lagi dia akan datang.”


What? Jania ada dua meet up? Dengan siapa yang satunya? Apakah dengan rekan sejawat? Atau dengan …. Ah, tidak mungkin! Aku menyangkal dan menolak keras selintas pikir di kepala. 


“Brian, aku menunggu,” tegas Jania seraya melihat layar ponsel. 


Sejurus kemudian dia melayangkan pandangan ke arah kanan seperti sedang memeriksa sesuatu. Jika keadaannya semacam ini, aku jadi hilang konsentrasi. Rencana yang kususun seakan-akan mati suri. Terhempas keras laksana ombak membentur karang. Terjatuh bagaikan benda yang tertarik gravitasi bumi. 


Namun, itu hak dia menemui seseorang. Tak ada hak pula bagiku melarangnya. Jikalau perkiraanku benar, Brian, sang mahasiswa kedokteran harus mundur pelan-pelan. Ah, nelangsanya.


“Nia, kalau kamu mau ketemuan sama yang lain, aku besok-besok aja.”


“Oke, Brian. See you next time.”


Jania beranjak dari depanku. Dia menuju ke meja yang terletak di sudut ruangan. Saat aku mengambil ponsel dan hendak memberi tahu pelayan kafe perihal setangkai mawar yang telah kupersiapkan, diam-diam aku menangkap bayangan Jania tengah berpelukan dengan lelaki. 


Rasanya remuk redam di dada. Harapanku pupus seketika. Betapa bodohnya aku. Harusnya aku sadar, dokter secantik dia tentu banyak penggemar. Betapa naifnya aku, mengira Jania masih single, tak punya kekasih. Memang aku yang terlalu tinggi berekspektasi.


Sejak gagal menembak Jania, aku lebih sering berkendara menggunakan motor balap. Ayah membelikan aku motor baru sebagai hadiah karena nilai indeks prestasi kumulatif bagus. Motor yang sudah lama kuimpikan sebenarnya. 


Pertemuan dengan Jania pun jarang terjadi. Bahkan, bisa dibilang tidak pernah bertemu lagi. Bayangan Jania saat berpelukan dengan pria lain masih jelas terekam di ingatan. Selain patah, aku tidak berani menjumpainya lagi. Aku takut, jika sering bertemu dengan Jania maka kian sulit untuk melupakannya.


Hingga acara wisuda, aku tidak ada interaksi lagi dengan Jania. Selama menjauhinya, gejolak cintaku hanya terpajang di dalam diksi puisi yang tertata rapi di salah satu file dokumen. Puisi cinta, tentang harapan, keinginan, dan momen menahan rindu yang menumpuk dan terpendam. 


Hari bahagia, momen wisuda yang hanya sekali terjadi dalam sejarah terpaksa tak lengkap oleh kehadiran seseorang yang tercinta. Ah, mungkin ini hanya cinta terlarang. Rindu terlarang. Jania mungkin sudah menjadi milik orang.


Suasana wisuda yang penuh euforia kegembiraan kupaksakan terasa di jiwa. Senyum sana-sini, bak seorang aktor tebar pesona kala jepretan kamera mengarah kepadaku. Tak hanya satu-dua teman yang ingin mengabadikan momen bersejarah itu denganku. Seluruh keluarga yang turut hadir memaksa pipiku pegal karena terlalu sering berfoto. 


Sampai suatu ketika, sebuah tangan bergelayut di lengan kananku. Entah, siapa dia, mungkin salah satu saudara atau teman kampus. Atau penggemar? Sebab hanya dia yang menggamit lenganku ketika berfoto.


“Brian, selamat!” ucap seseorang di sampingku, “akhirnya kamu berhasil jadi dokter.” 


Refleks aku menoleh ke sumber suara karena terdengar familiar.


“Jania! Hem …. Apa kabar?”


Seketika rinduku menemukan penawar rindu. Jania, wanita tercantik di mataku. Wanita menarik dalam hidupku. Wanita pujaan sekian waktu. Mengapa dia ada di acara wisudaku? Apakah dia hanya tak sengaja hadir. Mungkin kekasihnya juga seorang wisudawan sepertiku?


“Selamat, ya, Brian!” Jania kembali mengucap selamat, “akhirnya kau jadi dokter.” 


Jania mengulurkan tangan. Aku menyambutnya. Kami berjabat tangan. Hem, untuk pertama kali tangannya kugenggam. Hangat. Jania juga mencium punggung tanganku. Uuuw! Pertanda apa ini? Dadaku mendadak berdebar-debar tak karuan. Serasa dia sudah menjadi istri sah saja.


Usai berfoto, kedua orang tuaku mengajak makan di restoran. Jania turut serta dalam rombongan. Siapa sebenarnya dia? Mengapa aku tidak pernah tahu tentang dia selama ini? Ingin rasanya aku menanyakan kepada Ayah atau Ibu, tetapi aku bimbang. 


“Ibu senang, kalian sudah saling kenal,” ucap Ibu ketika kami sudah memilih meja makan di restoran, “Ayah dan Ibu, gak perlu lagi kenalin Jania sama kamu, Brian.”


“Jania ini …?” tanyaku agak ragu.


Ibu melirik Jania sekilas. Lalu, beliau menjelaskan bahwa Jania adalah calon istriku. Jantungku rasanya hampir lepas mendengar fakta yang disampaikan Ibu. Secepat kilat, aku hendak memeluknya. Meski debar di dada makin berdegub kian tak tertata. 


“Eeeh! Nanti, Brian! Nikah dulu!” larang Ibu. 


Jodoh, semudah inikah? Jika Allah telah berkehendak, tiada yang tidak mungkin. Semua bisa terjadi atas izin-Nya. 

Sebulan setelah aku bertugas di salah satu rumah sakit, aku meminang Jania. Dokter idamanku. Jika saja aku tahu sejak awal, pria yang ditemui Jania adalah kakaknya, pasti cintaku yang mulai bersemi tak sempat mati suri. Atau, memang Tuhan sudah menggariskan begini? Apa pun skenarionya, takdir terbaik telah diputuskan untukku. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)