Masukan nama pengguna
Cinta tak membutuhkan kesempurnaan untuk bersemi. Ia bisa jatuh pada siapa saja yang ditemui. Seperti jatuhnya dedaunan kering ke bumi.
"Besok cari yang lebih segar, ya, Sayang."
Aku tersenyum. Zaida menatap tajam. Bibirnya makin merah usai menikmati minuman yang kubawa. Demi dia, sang pujaan hati, akan kulakukan semuanya. Bahkan, nyawa taruhannya pun.
Kutinggalkan gadis berambut keriting di indekosnya. Biasanya dia akan tertidur pulas sampai esok hari. Lalu, bangun dengan wajah polos tanpa dosa. Dia akan bermanja-manja padaku hingga fase itu datang lagi bulan depan.
Mungkin menstruasi bagi setiap perempuan hal yang wajar. Namun, tidak untuk Zaida. Dia akan meminta dibelikan minuman. Dulu, Zaida mencari sendiri sebelum bertemu denganku. Kini, aku bagaikan budak cintanya. Aku yang mencari minuman itu untuknya.
Jika ada yang menjual, pasti dengan mudah kudapatkan. Akan tetapi, yang dibutuhkan Zaida tidak pernah dijual oleh seorang pun. Bagi orang lain, mungkin melihatnya saja ingin muntah. Namun, gadis itu dengan lahap menikmatinya.
Zaida, dia ini sebenarnya manusia atau bukan? Kadang aku amati dua gigi taring miliknya. Ukurannya sama dengan gigiku. Tak ada yang berbeda. Dia juga tampak seperti gadis normal lainnya. Kecuali, suatu petang saat kutemukan dia di tepi danau
Zaida kala itu tengah jongkok sambil memegangi seekor ayam. Bukan ayam matang, melainkan ayam hidup. Ketika kutegur, dia tak segan-segan menggigit lehernya. Aku terkejut bukan main. Tak menyangka sama sekali dengan tindakannya. Darah segar yang keluar pun diminumnya.
Tak hanya sekali aku melihat kelakuan Zaida. Saat aku akan meminjam buku mata kuliah Ekonomi Mikro, dia sedang mengusap mulutnya dengan punggung tangan. Di dekatnya ada anak itik tergeletak lemas.
Anehnya, aku jatuh cinta padanya. Mungkin ini gila, tetapi nyatanya aku menyukainya. Aku ingin melihat dan melihat lagi gadis itu meminum darah binatang. Sepertinya rasa darah segar itu sangat nikmat.
Sejak saat itu, aku menjadi kekasihnya. Setiap datang bulan, aku membawakan darah segar. Dia bisa meminum darah binatang apa saja. Kadang ayam, itik, angsa, bahkan darah tupai pun diminumnya. Hanya darah tikus yang tak disukainya. Termasuk darah manusia juga dia suka.
"Za, napa ga periksa ke dokter?"
"Ah, dokter tak bisa mengobatiku. Dulu Ayah dan Ibu pernah membawaku ke dokter. Tapi, dia angkat tangan. Aku butuh asupan darah segar tiap kali menstruasi. Kapsul penambah darah yang dijual bebas di apotik tak mempan untuk menghilangkan rasa hausku."
Zaida memaparkan kelainannya sambil berkaca-kaca. Kuraih pundaknya ke dadaku. Gadis itu memang tak ada niat membunuh binatang. Hanya saja, dia akan lemas bagaikan benang tercelup air jika tak meminum darah segar setiap bulan.
Entah sampai kapan kelainannya itu dapat dihilangkan. Sudah sembilan purnama aku membantunya mencari darah segar. Sesekali, aku bahkan mencicipi rasanya. Memang segar. Tak salah jika Zaida menyukainya.
Sejak aku mencicipi darah karena penasaran dengan rasanya, Zaida menghilang entah ke mana. Dia tidak pernah berada di kosnya lagi. Menurut teman satu kos, Zaida belum pindah, hanya saja dia jarang terlihat di kos. Aku mencari jejaknya ke mana-mana. Termasuk ke beberapa lokasi yang dijadikan ajang mencari mangsa binatang. Namun, hasilnya nihil.
Hingga suatu hari, pandanganku tertuju pada sosok yang mirip Zaida.
"Za! Tunggu!"
Aku berlari kecil ke arahnya. Zaida menoleh dan menghentikan langkah. Seulas senyum tampak di wajahnya. Matanya berbinar ketika aku makin mendekat.
"Akhirnya," ucapku setelah sampai di depannya.
"Apa kabar, Sayang?" tanya Zaida.
"No, no, harusnya aku yang tanya kamu," tukasku sambil memperhatikan seragam yang dia kenakan. Ada logo palang merah di dadanya.
"Jangan bilang—"
"Ya, kamu benar," jawab Zaida seolah-olah tahu dengan dengan pertanyaanku.
Rupanya ini jawaban Zaida menghilang selama beberapa minggu. Pantas saja dia tidak memintaku lagi mencarikan minuman kesukaannya. Kuamati, wajahnya lebih tirus. Apakah Zaida bekerja keras hingga menurunkan berat badannya?
"Za, kamu ga pernah makan? Badanmu lebih kurus. Bukannya sekarang kamu lebih mudah mendapatkan minuman itu?"
Zaida mengajakku ke taman dekat kantornya. Kami duduk bersisian. Pandangan matanya mengarah ke tanaman melati yang berjajar memagari area.
"Za, kamu belum jawab."
"Ah, iya. Kamu ingat, saat jarimu tergores pisau? Lalu, aku menjilat sedikit darahmu yang menetes. Rasanya, luar biasa. Aku ingin menghisap darahmu, Wil. Tapi, itu pasti akan membunuhmu pelan-pelan. Akhirnya aku melamar jadi sukarelawan di situ. Berharap bisa mencicipi darah segar setiap ada acara donor darah."
"Tapi, bukannya kamu justru tersiksa melihat kantong darah segar di sana?"
"Ya, aku sangat tersiksa. Kutahan sekuat tenaga sampai aku pusing. Mungkin itu yang membuat tubuhku jadi kurus."
Zaida masih melanjutkan ceritanya. Tak kusangka, dia bersusah payah menahan keinginan menikmati minuman kesukaannya, darah segar. Dia melakukan semua itu semata-mata demi aku. Zaida bilang, dia tidak ingin mencelakaiku.
"Wil, jika suatu hari kita berjodoh, nikah, aku tak ingin menghisap darahmu. Aku janji. Ketika aku berhasil menahan diri, kamu bisa melamarku. Untuk sementara waktu, biarkan aku menghindar darimu dulu. Pergilah, Wil. Sebelum rasa hausku meningkat."
"Napa aku harus pergi, Za?"
"Pergi, Wil! Atau—"
Kuperhatikan mata Zaida memerah. Sebelumnya, matanya tidak merah begitu. Apakah dia benar-benar Zaida-ku? Atau hanya jelmaan atau sosok lain yang mirip Zaida?
Zaida mendadak mengambil botol dari tasnya. Cairan warna merah ada di dalamnya. Dia membuka dan meneguk sekali, lalu menutupnya.
Zaida memintaku pergi. Namun, aku tak ingin beranjak ke mana-mana. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Yang aku tahu, cintaku pada Zaida makin menyatu.
Gadis pujaan hatiku lantas pergi karena aku tidak mau meninggalkannya. Dia meminta waktu beberapa bulan lagi hingga lulus kuliah. Setelah itu, Zaida memintaku melamarnya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Keputusannya sudah final. Mungkin, aku harus lebih bersabar dan menahan rindu padanya. Kutinggalkan taman di dekat gedung yang bertuliskan palang merah Indonesia (PMI).
Baru sebulan rasanya aku sudah tak tahan. Begini rupanya menanggung rindu. Entah pelet atau mantra apa yang dipakai Zaida, hingga aku begitu terpikat padanya. Gadis lain yang mencoba mendekat tak pernah kuhiraukan. Hanya ada Zaida di hatiku.
Malam itu, keringat dingin membasahi kaos singletku. Tak biasanya peluhku berlebih. Apakah cuaca di luar sana terlalu lembab sampai-sampai mengembuskan hawa panas? Kuamati biasa saja. Awan masih hitam, udara dingin seperti hari kemarin. Bulan tipis pun hanya beranjak sekian senti dari posisi kemarin dilihat dari bumi.
Ah, pikirku tak lepas dari senyum Zaida. Mengapa rasanya aku sangat tersiksa. Apakah rinduku pada gadis itu terlalu melampaui batas? Hingga tiap detik yang ada hanya resah dan gelisah.
Meskipun malam merayap teramat pelan dan mata enggan terpejam, aku berusaha tidur di ranjang. Aku berharap segera terlelap agar esok hari tidak kesiangan.
Desau dedaunan di luar jendela sayup terdengar. Udara malam semilir menyusup ventilasi di kamar. Menggerakkan gorden jendela pelan-pelan. Pandangan mataku mendadak terfokus pada gorden yang berkibar ke arah luar jendela. Secara jendela itu harusnya sudah terkunci. Namun, mengapa salah satu daun jendelanya tampak terbuka?
Perlahan, aku beranjak mendekati jendela. Embusan angin kian menarik gorden keluar kamar. Mungkinkah angin bertiup sangat kencang, hingga mampu membuka jendela kamar.
Dalam sekejap, saat aku hendak menutup jendela, sebuah tangan mencegahku. Aku tersentak.
“Za!”
Zaida ada di luar jendela. Wajahnya tampak pucat. Dia mendorong lenganku. Gadis itu memaksa masuk ke kamar. Aku tak kuasa menghentikan. Dorongan tangan Zaida ke tubuhku terlalu kuat. Aku terpental ke ranjang. Dalam sekejap gadis itu sudah duduk di atas badanku.
“Za, tunggu, Za!”
Mendadak jendela tertutup sendiri. Zaida membelai rambutku, menyentuh alis, hidung, pipi, dan meraba jakun. Aku merinding. Tubuhku gemetar. Apa yang akan dilakukan oleh Zaida?
“Wil, aku gak tahan. Aku rindu, Wil,” bisiknya sembari merebahkan diri di dada bidangku. Napasku naik-turun tak beraturan. Detak jantung pun tak berirama, berdegup hebat menahan gejolak yang menghangat di pembuluh nadi.
“Za! Kita belum nikah,” ucapku agak ragu. Aku tak ingin menyakiti perasaannya. Meskipun aku benar-benar jatuh cinta padanya, aku ingin Zaida tetap perawan hingga nanti di pelaminan.
“Wil, aku hanya rindu. Sangat-sangat rindu.”
“Ya, Za. Aku tahu. Aku juga rindu. Lebih rindu dari dirimu.”
“Wil, ah, Wil. Boleh, ya, aku cicipi sedikit? Hm, pasti nikmat, Wil.”
“Tentu, Sayang,” jawabku tak berkutik.
Zaida kembali memainkan rambutku, menyentuh lagi, hingga ke titik tertentu. Aku menelan ludah berkali-kali ketika Zaida memulai melakukan aksi. Cinta memang memabukkan. Tak ada yang sanggup melawan jika rasa sudah bergolak hebat.
“Wil, ah, nikmatnya ….!”
“Za, kubebaskan malam ini buatmu. Nikmatilah. Puaskanlah!”
Meskipun aku pasrah dalam rengkuhnya, dalam dekapnya, dalam gigitannya, Zaida tetap menepati janji. dia hanya menyesap setetes darah dari leherku setelah menciumnya berulang kali.
Malam itu, aku melihat rembulan tersipu di balik awan. Angin malam telah memeluknya erat-erat. Membelai jiwa-raganya begitu hebat. Melepaskan hormon cinta. Hormon kebahagiaan yang akan dirindukan pada malam-malam berikutnya.
Aku membuka mata. Tak ada Zaida di kamar. Sepi seperti biasa. Apakah aku semalam hanya bermimpi? Buru-buru aku bercermin. Kuraba leher sebelah kiri, ada dua titik hitam di sana. Zaida …. Ingatanku tertuju padanya seketika.
Jakarta, 5 Januari 2025