Masukan nama pengguna
“Iss .... tri, saya, hanyalah seorang sinden yang diundang di aca .... ra ulang tahun par .… tai itu di balai desa. Istri saya hanya se …. niman, dan saya mengantarnya berkesenian. Di hari itu, ibu saya sakit. Jadi, kami berdua langsung pulang sehabis pentas seni rakyat itu. Ka .... mi tak dengar bagian orasi inti acara. Kami bu .…kan anggo .… tanya,” ucap pemuda desa itu. Jakun pengantin baru itu naik turun, berkali-kali menelan ludah seraya memandangi sepatu lars orang-orang berseragam yang malam ini tiba-tiba menggedor pintu rumah. Di belakangnya, istrinya yang sinden gemetaran.
Malam hari ini, tiba-tiba truk-truk datang menamatkan keheningan desa. Setiap rumah didatangi dua orang berseragam. Karena rumah penduduk desa banyak, orang-orang berseragam yang turun dari truk itu tak terhitung.
“Ah!” seru si istri teringat sesuatu, “Saya pernah mengisi acara di pernikahan anak perempuan atasan anda. Seharusnya, kita tidak berkonflik seperti ini.”
Peluh terus membasahi pelipis pasangan suami istri ini. Mereka tak pernah menyangka akan bersinggungan dengan hal semacam ini. Saling melindungi sudah pasti, tetapi pertanyaanya, berhasil atau tidak dilakukan.
“Ada bukti?!” gertak orang-orang berseragam itu. Mereka berharap bukti itu tak pernah ada. Agar semata-mata, langsung tembak saja.
“A .… da!” teriak si istri seraya menelan ludah, “Sa … ya punya tanda matanya!” dia langsung masuk rumah. Harapan baru seolah siap dia tangkap.
Ditinggal istrinya sendirian di depan teras, si suami jadi ketakutan, gemetaran, dan ingin sekali buang air kecil. Masalahnya, sorot mata otang-orang berseragam itu memang menakutkan, tetapi jika diperhatikan lagi, ada secerca kesedihan di pelupuk mata mereka. Tak semua dari mereka memang.
Si suami semakin kebelet buang air kecil. Sungguh tak lucu jika dia buang air kecil di sini. Dia berkali-kali menelan ludah tiap melihat moncong senjata yang mengarah padanya. Untungnya, si istri tak lama mengambil tanda mata itu.
“I .… ni,” ucap si istri seraya menyerahkan sesuatu kepada para tentara itu. Si suami pun langsung memeluk istrinya.
Di balik mimik ketakutan si istri, kelihatannya masih tersirat kebanggaan diri kala menunjukkan plakat ucapan terima kasih. Di plakat sana memang tertera nama salah satu atasan orang-orang berseragam itu.
“Ya sudah!” seru orang-orang berseragam itu seraya menerima pemberian dari si istri. “Lain kali, jadilah seniman cerdas! Jangan langsung menerima undangan tanpa cari tahu mereka siapa dan acaranya apa! Untung saja ibu anda sakit! Jadi, anda dan suami anda waktu itu langsung pulang! Langkah anda terbatas saat ini!” mereka berbalik dan melengos pergi. Tak ada satu pun kata yang dilontarkan mereka.
“MAS!” refleks, si sinden memeluk suaminya. Jantung seolah jatuh ke mata kaki.
Sampai tiba-tiba,
“MBAAK SINDEN! TOLONG!” terdengar seseorang berteriak dari luar rumah.
Si istri menoleh. Dilihatnya segerombol orang hendak dinaikkan ke truk.
“MBAK SINDEN!" jerit seseorang, "TOLONG KATAKAN KEPADA MEREKA! KAMI DATANG HANYA UNTUK MENDENGAR SUARA EMAS ANDA!"
Rupanya kata-kata itu berasal dari para tetangga sekaligus penggemar si sinden.
Para penggemar yang hanya ingin mendengar suara emas si sinden di acara partai beberapa saat lalu ini.
Padahal, mereka sendiri tak mengerti partai.
Jantung si Sinden yang seolah berada di mata kaki, sepertinya naik ke atas kepala dan siap meledak bersama otak. Tetangga-tetangga yang akan dimasukkan ke truk adalah para penggemarnya. Dia yakin sekali jika mereka hadir di acara partai itu awalnya lantaran ingin menyaksikan aksi panggung suara emasnya. Sayangnya, seingat si sinden, tetangga-tetangganya ini mengira si sinden juga bergabung dalam partai, sehingga mereka pun bersedia ketika diminta mendaftar.
“A?!” suara si sinden tercekat kala menyaksikan para penggemarnya didorong masuk truk. Air mata berlinang di mata lentiknya. Rasa bersalah seolah menguasai raga, lalu menusuk-nusukkan pita suara emasnya.
GREP!
Ketika hendak mendekat ke arah truk, si sinden merasa tangannya ditarik oleh suaminya.
“Jangan! Ibuku yang kini terbaring di dalam rumah sudah menolong kita. Kita jadi langsung pulang sehabis kau mengisi acara partai itu. Tanda mata dari atasan orang-orang itu sudah mengeluarkan kita dari ancaman kematian. Apa kau mau menyia-nyiakan semua keberuntungan itu? Masa depan yang baru kita bangun adalah taruhannya!”
“Mas! Mereka yang sekarang sedang ditangkap itu adalah pendengar-pendengar suaraku!” ucap si sinden berusaha membela penggemarnya, “Ke mana pun aku menyinden, orang-orang itu selalu ikut menyaksikan! Mereka tak bersalah! Salahku yang mengisi acara itu tanpa tahu apa-apa!”
Saking geregetannya dengan perilaku istrinya, si suami membentak. “HABIS INI, MENYINDENLAH KE MANA PUN! CARI PENGGEMAR-PENGGEMAR BARU DI ACARA-ACARA BARU YANG KITA LEBIH MEMAHAMI ISINYA!"
“….,” Si sinden terpaku dengan perkataan si suami.
"A ....ku akan tetap mengantarmu seperti biasa," bisik si suami seraya menggenggam tangan istrinya, "Ke manapun."
Dalam hening, air mata si Sinden mengalir perlahan, membasahi pipi dan terjatuh dari dagu ke tanah. Berkali-kali dia menelan ludah, tetap saja tenggorokannya terasa kering. Dia merasa sia-sia memiliki suara emas, tetapi tak dapat menyuarakan kebenaran akan penggemar-penggemarnya.
"TOLONG KAMI MBAK SINDEEEN! TOLONG KAMIII!" jerit tangis para penggemar si Sinden menghantui pendengaran.
Namun, si Sinden harus mengakui bahwa dirinya memang tak dapat melakukan apa-apa.
Tak hanya tak dapat melakukan apa-apa, tetapi juga sebetulnya membunuh semua penggemarnya.
Sungguh!
Seniman macam apa ini?
Bukannya menghibur, malah membunuh?
****
Dua puluhan tahun kemudian,
Kedua tangan si sinden seketika menjambak rambutnya sendiri. “AAAKGH!” dia berteriak sekencangnya menghadap langit yang baru saja berkilat. Apa yang dilakukannya ini seolah menentang Tuhan agar menghilangkan anugerah suara emasnya. Dia mendadak merasa tak butuh dengan suaranya. Dia merasa menjadi seniman bodoh. Dia merasa menjebloskan para penggemarnya. Para penggemarnya memang punya telinga untuk menikmati suaranya, tetapi seharusnya mereka juga punya otak untuk memilih.
Air sungai yang jernih tampak memerah di pandangan Si Sinden yang kini tak lagi menyinden. Air mata sudah kering.
Meski peristiwa kedatangan truk ke desa itu sudah lama sekali terjadi, ingatan si Sinden masih jelas akan itu.
Malam sampai pagi hari kala itu adalah neraka untuknya.
Sejak malam itulah, si Sinden lupa bagaimana caranya menyinden.
Sejak malam itulah, pekerjaannya hampir setiap pagi adalah duduk di tepi sungai.
“Hmm…. permisi, ini Mbak Sinden?” lamunan si Sinden terputus lantaran seseorang menghampirinya. Dia segera tergerak untuk mendongak, penasaran dengan sosok seseorang yang memanggilnya seperti itu.
“Mbak Sin .... den?” Si Sinden mengernyitkan dahi ketika mendapati seorang wanita yang kelihatannya lebih tua darinya berdiri di sampingnya, "Hmm…. Maaf, tetapi, anda ini siapa, ya?”
“Saya penggemar anda,” ucap wanita tua seraya menjinjing tas berbranded. Sepertinya, dia bukan warga desa dan sekitarnya.
“Penggemar saya?!” Si Sinden heran, “Tidak mungkin! Semua penggemar saya sudah tewas di sungai ini, dan sejak itu, saya tak pernah menyinden. Jadi, sudah tak ada penggemar."
“Tapi, saya betul-betul penggemar anda,” tatap wanita itu, "Jika saya menawari anda untuk menyinden di pernikahan perak putri saya, apakah anda bersedia kembali?”
“Per …. ni .… kahan perak?” tanya Si Sinden dengan bibir kering. Memorinya mulai merangkai potongan-potongan masa lalu yang sengaja telah dia acak. Entah mengapa, ketika kini, kuat sekali dorongannya untuk menyusun.
“A..?” sampai akhirnya, seulas senyum mulai mengembang di raut si Sinden, ditemani dengan kedua mata yang membelalak.
"Bagaimana? Anda bisa mengisi acara anak dan menantu saya lagi?" tanya wanita tua berkelas itu.
“YA TUHAAAN! IBUUU! TERIMA KASIH! TERIMA KASIH UNTUK TANDA MATANYA! SUNGGUH TERIMA KASIH! SAYA HUTANG NYAWA PADA ANDAAA!” refleks, Si Sinden bersimpuh di hadapan wanita itu. Tangisnya meledak.
Bagaikan gunung meletus.
Lalu, lahar merahnya turut mengalir bersama air sungai.
Air sungai pun tak dapat menolak kehadirannya. Sudi saja warnanya kian memerah. Sudi saja berharap air hujan akan membantu mengubah warnanya lagi.