Masukan nama pengguna
Entah sejak kapan Budi Siahaan berubah nama menjadi Bagedok. Tak ada yang tahu asal usul nama tersebut, termasuk teman-teman sepermainannya yang dekat dengan dia. Tahun lalu, saya pernah menulis tentang si Budi dalam sebuah kisah fiksi walau sebenarnya adalah kisah nyata.
Saya mengenal Budi dengan baik ketika saya satu kelas dengannya di kelas 5 sekolah dasar. Budi bukanlah anak yang cerdas. Dia belum bisa membaca walau sudah di kelas 5.
Anehnya, Budi bisa juga naik kelas meski belum bisa baca. Apakah gurunya kasihan karena Budi sudah dua kali tak naik kelas, atau karena faktor lain. Karena dua kali tak naik kelas itu, si Budi pun akhirnya jadi teman saya setelah tadinya menjadi teman seangkatan abang saya.
Budi suka bermain-main, tak ada pelajaran yang diminatinya kecuali olahraga. Tak heran kalau si Budi dua kali tinggal kelas. Orang tuanya pun seakan tak peduli. Maklumlah, orang tua si Budi tak bisa memberi perhatian berlebih padanya. Konsentrasi orang tuanya pecah ke selusin anak-anaknya, belum lagi kalau mereka harus berdagang di pasar, meningggalkan anak-anaknya.
Budi pun tumbuh menjadi anak liar dan suka buat onar. Setiap hari ada saja teman berkelahinya atau teman yang diganggunya. Saya pun tak luput dari gangguannya, meski terkadang dia tak berani karena abang saya pernah menjadi teman satu kelasnya.
Saat remaja, Budi pun tumbuh menjadi remaja tampan. Sayangnya, dia tak melanjutkan sekolah lagi setelah gagal Ebtanas. Tingkat pendidikan Budi pun hanya sampai SD, dan dia tak bisa membaca. Setiap kalimat yang dibaca akan selalu dia eja. Bahkan si Ambia, teman kami yang lain, "suka ngerjain" si Budi saat disuruh membaca dalam pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 tempo dulu.
Selepas saya lulus SMA, saya dengar si Budi pergi merantau ke Jakarta, menyusul abangnya yang terlebih dahulu sudah berangkat. Entah apa yang dikerjakan si Budi selama berada di ibukota tersebut.
Saya pikir si Budi akan mengadu nasibnya menjadi foto model, coverboy, peragawan hingga bintang sinetron dan iklan. Ternyata tidak, dia bekerja serabutan, seringnya menjadi kondektur Metromini, jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang atau Manggarai. Saya pikir, selama di Jakarta, si Budi akan sibuk mengejar karirnya, dan akan terkenal karena tampang kerennya.
Di penghujung tahun 90-an, saya pun menyusul ke Jakarta, mengadu nasib walau tadinya tak sengaja. Saya pun berharap bisa bertemu si Budi setelah saya bekerja di Jakarta kelak.
Sayangnya, niat itu tak kesampaian. Beberapa tahun kemudian, di awal tahuan 2000-an, tanpa sengaja, saya dapat bertemu dengan si Budi, di sebuah pertigaan jalan raya menuju rumah saya yang di Medan. Si Budi menari-nari tanpa berpakaian. Setelah itu dia marah-marah tak tentu juntrungannya. Semua orang yang ditemui dan menertawakannya pasti tak luput dari kemarahannya. Setelah puas marah-marah, si Budi pun melanjutkan nyanyinya sambil joget-joget dangdut.
Pertemuan tak terduga memang, dan mengejutkan pula, namun sukses buat hati miris. Budi tak lagi seperti dulu, otaknya sudah miring karena berhalusinasi. Kata orang si Budi itu jadi gila. Jawaban atas pertanyaan saya "Kenapa si Budi gila?" baru terjawab setelah dapat sekilas info dari emak dan si Ambia.
Selama di Jakarta, Budi terperangkap dalam pergaulan tak benar dan menjadi pemakai setia narkoba hingga menjadi seorang pecandu. Saya tak tahu persis jenis narkoba apa yang dikonsumsi Budi hingga menyebabkan dia menjadi gila. Apakah Budi mengonsumsi sabu-sabu, yang memberinya efek kerusakan fungsi otak hingga menjadi gila, atau karena ganja, kokain, ekstasi, atau obat terlarang lainnya, entahlah. Kenyataannya, si Budi menjadi gila akibat konsumsi obat-obatan terlarang, yang membuatnya tak ingin keluar dari dunia halusinasi untuk selamanya.
*****