Masukan nama pengguna
Kemarin sore Anna dan aku kembali bertemu, di perempatan jalan, tempat banyak penjual menggelar makanan berbuka. Anna selalu tersenyum ketika berpapasan denganku. Senyumnya mengingatkanku pada Luna Maya. Bagiku, senyuman itu sangat indah. Bukan berarti aku terobsesi pada Luna Maya, sama sekali bukan. Luna Maya kujadikan sebagai simbol kekagumanku pada senyuman Anna yang sangat sulit kuungkapkan.
Anna dan aku memang belum lama kenal, baru sekitar tiga bulan ini. Aku kost tak jauh dari rumah Anna. Anna adalah anak seorang Kyai yang sangat disegani di daerah itu. Banyak pemuda yang mengagumi Anna. Jujur, aku pun demikian.
Namun, aku harus tahu diri, pengetahuan agamaku sangat minim pasti Pak Kyai tak akan sudi menjadikanku menantunya. Dengar-dengar, Anna sudah punya calon suami, seorang pria jebolan Al-Azhar Cairo. Pria itu punya pesantren, peninggalan ayahnya, seorang ulama di Jawa Timur. Tak apalah kalau aku cuma menjadi pengagum gelap si Anna, seperti pemuda-pemuda lainnya.
Pertemuan sore itu, entah untuk yang ke berapa kali, sudah membuatku berbunga-bunga, seperti taman tulip di negeri Belanda. Sayangnya, aku tak berani menyentuhnya walau jarakku dengan Anna begitu dekat dan begitu nyata seperti motto sebuah jaringan selular. Lagian, laki-laki mana yang berani menyentuh Anna, anak seorang Kyai yang disegani. Sebenarnya, sudah berkali-kali aku ingin ajak Anna berbincang. Kalau bisa, mengajaknya juga pergi, pergi ke tempat-tempat romantis seperti Cibodas.
Aku pikir, sore menjelang berbuka itu adalah kesempatanku. Namun, seperti sore-sore sebelumnya, kesempatan itu tak pernah ada. Anna seperti tak ingin berbincang lama-lama. Padahal aku tahu, mata Anna menyimpan sesuatu, sesuatu yang membara seperti mataku. Esoknya ... sore menjelang berbuka .... Kusengaja menunggu Anna di perempatan jalan, tempat biasa banyak penjual menggelar makanan berbuka.
Lamaku menanti Anna, dia tak muncul-muncul. "Sakitkah dia", batinku berkali-kali. Kepalaku berputar-putar membayangkan Anna sambil membunuh waktu.
Dalam bayanganku, Anna duduk bersanding denganku, dan Pak Kyai tersenyum menatapku seperti mengatakan, "Kau suami anakku, yang pantas". Aku tersenyum-senyum sendiri. Menjelang saat berbuka, Anna tak juga muncul, bayangan Anna dalam khayalku sudah habis 100 episode. Anna yang kutunggu, tak juga menampakkan diri. Hingga azan Magrib berkumandang, dan para penjual bergegas menutup dagangannya, Anna tak juga muncul. Aku masih terus menunggu dan berharap Anna menyongsongku, berlari mendekapku, memelukku tanpa lepas. Ah, ternyata cuma khayalku saja.
Esoknya ... sore menjelang berbuka .... Kuberharap Anna akan datang, mewujudkan mimpiku, penungguanku tetap di tempat seperti kemarin, posisi tempat kuberdiri pun tak kuubah. Anna pasti akan lewat di tempatku menunggu, seperti terakhir bertemu. Aku sudah kangen dengan senyuman Luna Maya-nya. Kalau nyaliku kuat, aku bisa saja langsung ke rumahnya, bertemu Anna, bertemu Pak Kyai, dan melamarnya. Tapi, nyaliku suka ciut sebelum langkah pertamaku beranjak. Tak ada keberanian yang menjadi sahabatku. Sahabatku cuma ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan.
Esoknya ... sore menjelang berbuka .... Penantianku sepertinya sia-sia, Anna tak kunjung datang. Pertemuan terakhirku telah berlalu sepuluh tahun yang lalu. Dan kini, aku tak hanya bersahabat dengan ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan, tapi juga kekecewaan. Merekalah sahabat-sahabat setiaku hingga kukehilangan Anna.
*****