Masukan nama pengguna
Halo, namaku Tima, entah kenapa aku diberi nama demikian. Apa karena orang tuaku malas mencari nama yang lebih manis dan lebih indah lagi, apa karena nama itu mudah diingat. Kalau alasan terakhir yang menjadi penyebabnya, aku sangat memakluminya. Usiaku baru enam tahun.
Namaku selalu diledek teman-teman, mereka selalu menyebut namaku berulang-ulang, "Tima-tiMa-tima-ti". Namaku jadi Mati, bukan Tima. Sudahlah, aku rela disebut demikian. Aku biarkan teman-temanku bahagia dan bergembira. Mereka selalu tertawa kegirangan kalau menyebut namaku seperti itu.
Mereka juga suka menarik-narik rambutku. Rambutku panjang terurai dan hitam legam. Ibu selalu mengepangnya jadi dua bagian.
"Kamu kelihatan jadi lebih manis dan cantik", kata ibu.
Aku juga mirip dengan ibu. Ibu memang cantik, kulitnya putih, ada lesung pipitnya juga. Kalau tersenyum, ibu sangat mirip dengan Aishwarya Rai, bintang bollywood itu.
Namun, kecantikan ibu telah memudar. Bukan karena usianya yang tua, ibuku baru seperempat abad. Ada satu penyakit yang buat ibu makin lemah dan kurus, hingga buat rambutnya rontok. Aku tak tahu nama penyakitnya apa. Cuma orang-orang mengatakan kalau ibu kena ha-i-pe.
Aku tak mengenal bapakku. Kata ibu, bapakku pergi berlayar jauh ke negeri seberang. Kalau ditanya tentang bapak, ibu selalu mengatakan kalau bapak berlayar. Jawaban itu tak pernah berubah. Meski demikian, sebelum sakit, ibu tak pernah kesepian.
Setiap malam ibu selalu ditemani oleh banyak lelaki. Lelaki-lelaki itu hilir mudik memasuki kamar ibu. Setiap laki-laki yang datang itu pasti selalu memberi uang. Aku tak tahu kenapa mereka beri uang pada ibu.
Kalau sudah begitu, ibu akan tersenyum senang, dan berkata padaku, "Tima, kamu besok ibu belikan Barbie ya".
Aku cuma menjawabnya dengan senyuman sambil memeluknya. Pernah suatu kali kulihat mata ibu lebam-lebam, pipinya merah. Pas kutanya kenapa, ibu cuma menangis. Yang kuingat, pada malam itu ada seorang laki-laki, teman ibu. Badannya kekar, hitam, dan orangnya kasar, kumisnya juga melintang kayak Pak Raden. Dia datang ke rumah ibu dengan truknya.
Melihat laki-laki itu, ibu ketakutan. Tapi ibu cuma pasrah. Laki-laki itu memang sering datang. Setiap dia datang dan selesai menemani ibu di kamar, mata ibu selalu sembab seperti habis menangis, kadang dia menggigit bibirnya sendiri seperti menahan sakit. Tapi aku tak mengerti sebabnya apa.
Malam itu, laki-laki tersebut memaksa ibu masuk kamar. Ibu menurutinya tanpa menolak. Setelah itu, kulihatlah mata dan pipi ibu lebam dan merah. Aku cuma bisa memeluknya. Pelukan itu adalah pelukanku yang terakhir.
Besoknya, aku ditemukan tak bernyawa di hutan kecil dekat rumahku. Saat ditemukan aku tak mengenakan apapun. Ada luka dalam di kepalaku akibat satu pukulan. Ibuku meraung meratapi jasadku. Aku menyaksikan sendiri adegan itu.
Anehnya, tubuhku jadi ringan sekali, bisa terbang lagi. Beberapa kali aku mengitari ibu, kamarku, dan rumahku, kemudian kembali lagi ke samping ibu yang meraung-raung. Tapi aku tak bisa menyentuhnya. Berkali-kali aku panggil dia, sekuat tenaga aku keluarkan suaraku hingga berteriak dan bergema. Tapi ibu tetap tak mendengar.
Aku tak mengingat apa yang terjadi dengan diriku, yang sempat kuingat, saat ibu selesai melayani laki-laki bejat itu, laki-laki itu memberiku sebutir permen tanpa sepengetahuan ibu. Sebutir permen coklat dengan bungkus yang menarik dan mengkilap. Aku ragu menerima pemberian laki-laki itu, tapi dia terus membujukku. Katanya, "Tak baik menolak kebaikan orang lain, apalagi dari teman ibumu."
Akhirnya, aku menerima permen coklat itu. Permen itu terasa manis dan lezat, aku belum pernah memakannya. Ibu tidak pernah memberiku permen, kata ibu permen bisa merusak gigi. Gara-gara itu juga aku jadi makin penasaran dengan rasa permen itu. Nasihat ibu pun aku lupakan.
Belum habis permen itu di mulutku, tiba-tiba kepalaku pusing, sekelilingku seperti berputar, tubuhku lemas. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. Aku baru terbangun di hutan kecil itu. Aku tak tahu bagaimana aku bisa sampai di hutan kecil itu. Siapa yang membawaku, aku pun tak tahu. Aku tak ingat apa-apa lagi, kecuali wajah penderitaan ibu.
Belum habis mereka-reka, aku terkejut, kenapa aku bisa melihat ragaku. Berkali-kali aku beralih pandangan, ke ragaku, kembali ke tubuhku yang seringan kapas, begitu seterusnya, hingga kuberlari menjauhi tempat itu. Tapi, aku bukan berlari tapi melayang tanpa menjejak ke bumi. Ah, aku sudah tak peduli, aku ingin secepatnya ketemu ibu. Aku ingin menceritakan semua kejadian itu.
Sampai di depan pintu rumah, aku coba mengetuk memanggil ibu, tapi aku tak bisa menyentuh daun pintu di hadapanku, lengkungan tanganku saat mengetuk pintu malah menembus daun pintu itu, aku tak memahami kenapa bisa begitu. Ya sudahlah, aku tak bisa memikirkan hal-hal aneh itu, yang penting aku harus segera ketemu ibu. Kutembus daun pintu itu langsung menuju kamar ibu.
Di kamar ibu, kulihat ibu baru selesai dandan, memar di wajahnya sudah ditutupi dengan bedak Viva nomor 5, bedak warung yang harganya cuma gocapan. Ibu bersenandung pelan, tapi wajah penuh kekhawatiran masih jelas terlihat.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Tante Marni teman ibu memberi kabar, Tima belum pulang sejak sore tadi. Ibu hanya bergumam, dan berkata pelan, "Tima mungkin bermain bersama temannya. Biasanya, Tima suka begitu, suka bermain sampai lupa waktu. Dia sering kujemput ke rumah temannya itu. Nanti aku yang cari Tima".
Walau ibu berkata demikian, tapi kekhawatiran ibu tetap tak bisa dia sembunyikan. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Tapi ibu harus melayani seorang tamunya lagi walau dalam keadaan sakit. Kecantikannya yang memudar karena penyakit, dia poles dengan bedak berkali-kali hingga terlihat cerah.
Aku teriak pada Ibu, aku ada di depannya. Tapi ibu dan Tante Marni tak mendengarnya. Aku membanting pintu kamar ibu sekuat tenaga, ibu dan Tante Marni terkejut dengan daun pintu yang bisa tertutup sendiri dengan kerasnya. Mereka kaget bukan kepalang, saling berpandangan, dan akhirnya kabur meninggalkan kamar. Aku mengejar ibu, aku teriak-teriak memanggil ibu, tapi ibu tetap tak bisa mendengar.
Aku terus mengikuti ibu, hingga tamu yang ditunggu ibu datang, seorang pria muda yang tampan. Ibu memeluk dan menciumnya seperti sepasang kekasih. Aku tak tahan melihat mereka berdua. Aku malu melihat adegan mereka itu, aku pun beranjak keluar kamar, terbang seperti kapas, menembus dinding kamar, hingga berhenti di depan rumah.
Selesai melayani tamunya, kulihat ibu beranjak keluar rumah, sepertinya ibu akan menjemputku di rumah temanku, Fatma. Aku memang sering bermain di rumah Fatma. Aku terus mengikuti ibu hingga tiba di rumah Fatma. Saat Fatma ditanya ibu, Fatma hanya menggelang tanda tidak tahu keberadaanku. Ibu mulai panik, ibu terus mencariku ke beberapa temanku yang lain, tapi hasilnya nihil.
Ibu pun panik. Ibu menghubungi semua kenalannya, tetangga, kerabat, teman-temannya, tapi semua tak ada yang tahu di mana aku berada. Padahal aku sudah berada di sampingnya terus. Akhirnya ibu melapor kehilanganku ke polisi. Polisi baru menemukan jasadku esok paginya setelah menelususri setiap wilayah, hingga ke hutan kecil itu. Jasadku pun ditemukan. Dan tak ada yang tahu siapa yang membunuh dan menyetubuhiku.
Ibu menangis histeris memandangi jasadku yang kaku dan sudah diselimuti.
Sejak itu, aku selalu menemani ibu kemanapun ia pergi dan berada. Di kamar, di toilet, di kamar mandi, dan dimanapun, aku tak mau ibu kesepian. Ibu juga tak tahu kalau aku berada di dekatnya. Setiap kali ada lelaki yang mendekati ibu, aku selalu menampakkan diri ke mereka, tanpa sepengetahuan ibu tentunya.
Para lelaki itupun berteriak, "Hantuuuuuu ....".
Gara-gara perbuatanku itu, tak ada satupun laki-laki yang mau mendekati ibu lagi. Lima tahun sudah berlalu. Ibu masih memikirkan peristiwa tragis yang menimpaku sambil menangis penuh kesedihan.
Kini, kulihat ibu masih berbaring di tempat tidurnya. Badan ibu sudah habis, cuma kulit pembalut tulang yang tersisa. Tubuhnya pun makin lemah, mengangkat cangkir buat minum pun sudah tak mampu. Kecantikannya sudah pupus.
Tiba-tiba ibu memandangku, dan memanggilku pelan, "Timaa". Dia bangkit perlahan meninggalkan tubuhnya untuk memelukku.