Cerpen
Disukai
1
Dilihat
7,377
Ada Pocong di Kamarku
Horor

Pocong selalu hadir di kamarku. Aku tak paham kenapa Pocong begitu betah berada di kamarku, berlama-lama. Dia akan keluar kamar kalau subuh menjelang, tepatnya sebelum azan subuh berkumandang memanggil setiap orang yang terlelap. Setiap kali pocong datang pasti punggung dan bokongku sakit, gara-gara tubuh berat si pocong terus menindihku sepanjang malam. Yang aku heran, si pocong pasti hadir di kala ibuku tidak di rumah.

Aku masih ingat saat pertama kali si Pocong mendatangi kamarku.

Waktu itu usiaku masih 10 tahun. Entah karena aku pernah nonton film Pocong dari DVD bersama bapak tiriku, atau karena melihat peti jenazah ayah kandungku saat beliau disemayamkan di ruang tengah rumah kami. Semuanya serba kemungkinan, karena keadaan itulah yang kuingat. Si Pocong mengendap-ngendap masuk ke kamarku. Tapi, kok si Pocong mengendap-ngendap ya, seharusnya kan dia melompat-lompat karena kakinya masih ketutupan kain kafan yang diikat dengan sehelai kain putih.

Pertama kali didatangi, aku begitu ketakutannya, hingga tak berani berteriak. Bukan tak berani, suaraku seperti tersekat di kerongkongan, tak mau keluar meski dipaksa. Mata pun kupejam sangat rapat. Aku tak berani membalik badanku kala si pocong mulai menindihku dari belakang. Kalau sudah begitu, keringat dingin pun membanjiri tubuhku hingga membasahi sepraiku yang bergambar Spiderman yang sedang mengeluarkan jaring laba-labanya.

Aku tahu yang datang itu si Pocong, karena ekor mataku sempat melirik ke arah pintu kamar yang membuka. Dia mengendap seperti takut jejak langkahnya terdengar. Kain yang menutupi tubuh si Pocong sudah kelihatan kumal, demikian bayangku, walau tak begitu melihat karena tersamar oleh buramnya lampu kamarku. Cuma dari baunya yang apek yang membuatku membayangkan kalau kain yang dipakai si Pocong itu sudah kumal. Bau tubuhnya pun seperti rokok kemenyan yang suka dihisap bapak tiriku

Kututupi wajahku dengan guling, serapat mungkin, dan berharap itu semua cuma mimpi buruk, seperti si Freddy Krueger di serial "A Nightmare on Elm Street" yang mendatangi anak-anak di alam mimpinya. Aku berusaha membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk menepis rasa takutku yang mendalam, dan berharap pagi segera menjelang.

Namun, usahaku tak berhasil. Si Pocong terus mendekati tubuhku yang terbaring. "I'm gonna die", pikirku sambil menangis ketakutan. Suara tangisku pun nyaris tak terdengar. Aku takut si Pocong makin marah dengar suara tangisku. Pasrah cuma itu yang terpikir sebagai penyelamat.

Benar saja, si Pocong mendekatiku, sedekat mungkin. Dia berbaring di sampingku. Ini kurasakan saat tubuhnya naik ke atas tempat tidurku, tepat di sebelahku. Napas si Pocong menghembus di telinga kiriku, begitu dekatnya hingga aroma rokok menyan dari mulutnya terasa di hidungku. Guling makin kutekan ke wajah sambil menahan takut dan tangis. Si Pocong cuma mendesah menyebut namaku, "Andiiiiih".

Demikian berulang, menyebut namaku. Lidah si pocong pun kurasakan menjulur menjilati kuping kananku, terasa hangat dan basah. Aku cuma diam ketakutan hingga air kencingku keluar tanpa diperintah, membasahi tempat tidurku. Puas dengan kuping kiriku, si Pocong mulai meraba punggungku, hingga bokongku. Kemudian rabaan itu berpindah di antara dua pahaku hingga akhirnya selangkanganku. Selanjutnya, aku tak tahu lagi apa yang terjadi kemudian, tiba-tiba aku tak sadarkan diri karena ketakutan yang amat sangat. Mungkin aku pingsan entah berapa lama. Pagi-pagi yang kurasakan cuma perih di sekitar selangkanganku. Waktu itu aku yakin, itu cuma mimpi, meski sering terjadi berulang-ulang hampir setiap malam ketika ibu tak berada di rumah.

Paginya, aku bercerita pada bapak tiriku yang baik hati. Semua kuceritakan padanya. Kukatakan, "Ada pocong di kamarku". Bapak tiriku cuma tertawa mendengar kisahku. Dia cuma berkata menghibur, "Kamu pasti bermimpi, mana ada Pocong. Kamu sih terlalu banyak nonton film Pocong". Aku cuma manggut-manggut, berusaha mempercayainya. 

Lalu, aku pun bercerita pada Mang Dirman, supir keluargaku yang setia dan sedikit budek. Setengah teriak aku bercerita padanya. Mang Dirman pun sependapat dengan Bapak Tiriku. Demikian pula dengan si Iyem, pembantu di rumah kami. Dia cuma tertawa dan menganggapku berhalusinasi. "Dasar anak-anak, bisanya menghayal", katanya sambil ngeloyor pergi. Andai aku punya abang, kakak, atau adik, pasti aku cerita juga ke mereka.

Saat ibu pulang dari seminar pun, aku cerita hal yang sama. Ibu cuma berkata, "Kamu pasti lupa berdoa saat mau tidur". Aku cuma menggelengkan kepala. Lagian, manalah si ibu mau percaya. Ibu selalu tak berada di rumah, sibuk seminar dan ngurusin bisnis MLM-nya. Demikianlah seterusnya, kejadian itu kembali berulang, terus berulang, hingga usiaku menginjak 13 tahun.

Perih dan nyeri di punggung dan sekitar selangkanganku hampir tak terasa lagi, malah berubah menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Rasa takut pun menjadi temanku di setiap malam. Tapi, ini tak bisa kubiarkan terus. Aku harus mengakhirinya. Bertahun-tahun tidurku tak selalu pulas setiap malam, dan selalu was-was. Si Pocong harus diberi pelajaran.

Suatu malam, saat ibu pergi ke Macau, menikmati hadiah wisata dari perusahaan MLM-nya, si Pocong kembali datang. Saat itu, sudah kupersiapkan sebilah pisau yang kuambil dari dapur. Kusembunyikan pisau itu di bawah bantalku sambil tidur memeluk guling kesayanganku. Tubuh kuhadapkan ke arah jendela kamar, membelakangi pintu kamar, menanti kedatangan sang pocong.

Tepat tengah malam, si Pocong mengendap, dan segera berada di sampingku. Semua perlakuannya kembali terulang seperti saat pertama kali dia melakukannya. Sebelum jauh dan lepas kendali, pisau dapur yang sudah kaumbil dari bawah bantal, dan sudah kugenggam segera kuhujani ke perut si Pocong. Aku harap dia mampus dua kali.

Tanpa berhenti, pisau itu terus kuhujani ke tubuh si Pocong. Si Pocong tak lagi mendesah, cuma suara kesakitan yang kudengar. Makin lama makin lemah, hingga tak terdengar lagi. Malam itu pun kembali senyap. Kulihat dalam keremangan kamar, si Pocong tak lagi bergerak. Pisau pun aku lempar begitu saja, dan kembali tidur ke posisi semula.

Aku berharap, pagi besok si Pocong sudah menghilang, dan tak berani kembali lagi, kapok. Dalam hati aku juga meyakinkan diriku, "Si pocong pasti langsung hilang, namanya juga dia hantu". Aku pun kembali tidur, memeluk gulingku, tanganku yang basah dengan darah si pocong, aku usap di seprai tempat tidurku. Dan terlelap hingga pagi esok harinya.

Pagi hari sudah tiba, cahaya matahari sudah mengetuk daun jendela kamarku, dia menyambutku dengan senyumnya. Cahayanya menyelimuti hampir seluruh kamarku, terang sekali jadinya. Aku pun duduk dan merenggangkan tangan dan tubuhku. Ada perasaan lega dan penuh kemenangan. Si pocong pasti sudah menghilang, lenyap, dan tak bakal pernah kembali. Aku akan kembali menikmati malamku seperti sebelum si pocong datang. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama.

Saat menoleh ke samping kanan tempat tidurku, aku kaget setengah mati, tubuhku membeku, kulihat sosok bapak tiriku yang sudah bersimbah darah, tubuhnya masih ditutupi oleh kain pocong yang sudah berubah menjadi warna merah.

*****


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)