Masukan nama pengguna
Aku adalah Perempuan tanpa V, nama ini mirip dengan judul novel yang pernah kubaca, "Pria tanpa P", sebuah kisah nyata tentang seorang pria yang hidup tanpa alat kelaminnya, Penis. Kejadiannya terjadi di kota Winnipeg, Canada.
Pria itu bernama Bruce. Dia punya saudara kembar, Brian. Dua anak kembar itu terlahir normal dan sehat. Saat usia 6 bulan, keduanya divonis terkena penyakit phimosis (alat kelamin mengalami penyempitan). Penyakit ini biasa terjadi pada anak-anak. Akhirnya demi kesehatan, keduanya pun diputuskan disunat.
Sialnya, terjadi kelalaian dari pihak dokter. Bruce dikhitan dengan menggunakan alat pemotong yang dialiri listrik, Ini memang cara yang tidak biasa. Akibatnya penis Bruce pun terbakar, retak, dan akhirnya patah. Sejak itu bruce tak memiliki penis, hingga dia dijuluki "Pria tanpa P". Sedangkan aku dijuluki "Perempuan tanpa V". Apakah ini sebuah kisah yang sama? Inilah ceritaku ....
tweet 1 - usia 7
Orang memanggilku Icha, nama yang manis kata mereka. Sebenarnya namaku bukan itu, namaku Aisya Wulandari. Nama ini lebih bagus menurutku. Namun entah kenapa, lidah mereka keseleo hingga memanggilku jadi Icha. Suatu kali, aku bertanya pada Ibu tentang asal nama Icha itu. Kata ibu, waktu kecil aku sering menyebut namaku dengan Aicha. Jadilah orang-orang itu memanggilku Icha. Gara-gara mulut cadelku di waktu kecil, aku terus dipanggil Icha hingga saat ini. Dan Icha menjadi nama panggilanku sehari-hari. Aku pun tak terlalu memikirkan nama itu, "Apalah arti sebuah nama", kata Socrates. Dengan nama Icha itu, aku lebih mudah dikenal, orang-orang yang sudah lama kenal denganku pasti memanggilku "Icha". Nama Aisya hanya dipakai oleh orang-orang yang baru kukenal.
Menurut cerita ibu, aku itu anak yang centil dan lincah, dulunya aku mirip Yoan Tanamal, penyanyi cilik favorit ibu di masa kecilnya. Rambutku pun sama dengan si Yoan itu, keriting-keriting kecil, kriwil-kriwil menggemaskan.
Saat Yoan menjadi idola cilik, usianya sama denganku, 7 tahun. Jadi kelihatan lebih mirip kalau foto kami disandingkan berdua. Tadinya aku tak tahu tampangnya si Yoan seperti apa, karena Ibu memperlihatkan piringan hitam album "Si Kodok" penyanyi cilik favoritnya itu, aku pun jadi tahu tampangnya. Ibu juga pernah memperlihatkan surat balasan si Yoan bersama foto yang sudah ditandatanganinya. Mengingat itu, aku selalu tertawa sambil senyum-senyum sendiri. Ibuku ternyata punya idola.
Sebelum tidur, ibu selalu mendendangkan lagu-lagu Yoan agar ku bisa tertidur. Lagu-lagu Yoan itu diaransir ulang oleh ibu agar bisa menjadi lagu pengantar tidur. Lagu-lagu itu memang manjur, aku pun bisa tertidur tak lama kemudian. Suara Ibu memang merdu. Dan itu terus berlangsung saat usiaku menginjak 13. Hmmm, angka sial kah? Semoga tidak, cuma tahyul.
tweet 2 - usia 13
Hari ini hari pertamaku masuk sekolah menengah pertama. Senangnya menjadi anak remaja, kata orang-orang tua aku ini "anak ABG", Anak Baru Gede. Hmmm, ada benarnya juga pendapat itu. Saat itulah aku pertama kali jatuh cinta sama Lusy. Aneh bukan, kok aku cintanya sama Lusy, cewek favorit di sekolahku, bendahara OSIS. Bukannya sama Fedro, ketua OSIS yang banyak digilai teman-teman cewekku yang lain. Mereka berdua, Lusy dan Fedro kakak kelasku, setahun lagi mereka selesai SMP. Aku pun heran, getaran cintaku kok jatuhnya ke Lusy, bukan Fedro yang dikenal flamboyan dan romantis. Aku sendiri tak tahu apa itu flamboyan dan romantis.
Di usia 13 ini aku belum mengalami perubahan tubuh atau tanda-tanda kewanitaan lainnya, teman-teman cewekku yang lain sudah mengalami menstruasi, datang bulan. Kadang menstruasi itu buat mereka jadi uring-uringan, jutek, dan selalu meringis menahan perut mereka yang mules. Mungkin belum waktunya aku mengalami hal seperti itu. Namun hal itu makin aneh, saat usiaku menginjak 17, aku pun belum kedatangan tanda-tanda kewanitaan, malah jakunku makin kelihatan, dan rambut di sekitar dagu dan bawah hidungku pun muncul tanpa diundang.
tweet 3 - usia 17
Di usia 17 ini aku tak mau punya kumis dan jenggot, bukankah aku seorang perempuan. Sungguh aneh andai aku punya bulu-bulu semacam itu. Aku tanya ibu berkali-kali, begitu pula dengan bapak. Mereka berdua cuma manggut-manggut mencari jawaban.
Sejak kapan perempuan jadi laki-laki setelah dewasa. Sejak kapan perempuan punya jakun, punya kumis, dan punya jenggot. Dan aku pun makin tertarik pada Lusy, kakak kelasku yang kini tetap menjadi temanku.
Anehnya lagi, suaraku berubah dari sopran menjadi bas, seperti suara Ozzy Osborne jadinya. Sejak itu, aku tak berani ke sekolah, aku tak berani kemana-mana, lebih banyak berdiam diri di rumah. Gara-gara itu, aku pun dikeluarkan dari sekolah.
Aku menjadi minder setengah mati, keluargaku pun demikian, mereka menyembunyikanku dalam sebuah kamar. Mereka malu setengah mati punya anak perempuan sepertiku. Wujudku makin hari makin seperti laki-laki, dadaku rata, tak seperti perempuan yang berdada aduhai. Impianku menjadi seorang Barbie pun kandas sudah.
Aku tak punya teman, satu-satunya temanku hanya sebuah notebook yang dibelikan Bapak buat mengusir sepiku. Berkat dia aku bisa terhubung ke dunia luar, berteman dengan Om Google, berteman dengan Om Facebook, dan berkicau bersama Om Twitter.
Untung ada mereka, Om Facebook punya jutaan teman, begitu pula dengan Om Twitter, jutaan temannya tak pernah berhenti berkicau. Kalau aku ingin bertanya, aku selalu bertanya pada Om Google. Namun aku masih malu bertanya tentang keanehan diriku pada Om Google.
Menjelang usia 25, aku sudah enggan mencukur kumis dan jenggotku, aku biarkan mereka tumbuh subur menutupi wajahku. Untungnya, V-ku masih ada meski mulai terlihat aneh, di tengahnya mulai muncul seonggok daging, yang mulai memanjang.
tweet 4 - usia 25
Di usia 25 ini aku mulai putus asa, V-ku sudah hampir tak kelihatan, makin aneh diriku. Aku pun malu memandang cermin, sehingga memecahkan mereka agar tak menertawakanku. Pada teman-teman Om Facebook dan Om Twitter, aku selalu berkata pada mereka,
"Aku seorang perempuan yang manis dan anggun". Kutunjukkan pada mereka foto-foto seorang wanita Uzbekistan. Foto itu diberi Om Google padaku. Aku mengaku sebagai wanita itu. Banyak yang percaya dengan kebohonganku itu. Tapi sudahlah, aku tak memikirkannya.
Suatu hari aku memberanikan diri bertanya pada Om Google, "Apa yang terjadi dengan diriku, apakah ini sebuah kutukan?". "Apakah ini seperti kutukan Putri Tidur?". Tak lama dia pun memberikan jawabannya, "Sindroma Klinefelter". Apa itu? Pencarian tak kuteruskan, aku berhenti bertanya pada Om Google. It's finish.
tweet 5 - usia 30
Aku sudah kehilangan V-ku, aku perempuan tanpa V, with or without V, aku tetap perempuan. Persetan dengan semua itu.
tweet 6 - end
Kutemukan seutas tali. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Yang kutahu, jiwaku melihat ragaku tergantung di atas tangga menuju kamarku.
****