Masukan nama pengguna
Ini kisah teman saya, namanya Budi Siahaan. Oleh teman-teman di sekolah, si Budi sering dipanggil dengan nama Bagedok. Entah darimana asal muasal nama itu, saya pun tak tahu historisnya seperti apa. Tidak seperti kisah si Baroar, yang menceritakan tentang asal-usul marga Nasution. Kisah historis nama Budi menjadi Bagedok tak saya ketahui dengan pasti.
Meski demikian, saya pun tak tinggal diam, bagai Sherlock Holmes, saya pun mencari tahu tentang asal usul nama Bagedok itu. Saya tanya teman-teman sepermainan saya dan teman-teman sekolah saya, tak seorang pun yang tahu, termasuk kakak-kakak kelas saya. Rasa ingin tahu itu tetap tak terbayar hingga kini. Setelah lebih seperempat abad meninggalkan bangku sekolah dasar, saya tak pernah menemukan jawabannya.
Waktu itu, ketika kelas 5 sekolah dasar, saya dan Budi duduk di kelas yang sama. Sebenarnya si Budi itu teman sekelas abang saya. Tapi sudah dua kali dia tinggal kelas. Seharusnya dia sudah duduk di kelas 1 SMP. Apa daya, Budi bukanlah anak yang cerdas. Membaca dan berhitung saja dia belum mampu, tak heran kalau kebodohannya itu sering jadi bahan olok-olok teman-teman saya yang lain, terutama di kelas.
Si Budi akan sangat gugup ketika Bu Manik, guru saya, menyuruh kami membaca sebuah cerita dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Manik suka menyuruh kami membaca secara bersambungan, setiap anak mendapat jatah satu alinea.
Kalau sudah tiba giliran si Budi, anak-anak lain pasti akan tertawa. Si Budi banyak melakukan kesalahan meski setiap kalimat sudah dia eja satu per satu. Kalau sudah begitu, biasanya, si Budi minta bantuan teman saya si Ucok untuk membantunya membaca. Dasar si Ucok juga usil dan jahil, dia suka mempelesetkan beberapa kalimat untuk si Budi. Si Budi yang tak bisa membaca ini pun tanpa pikir panjang lagi langsung percaya begitu saja pada bisikan si Ucok.
Si Budi pun mengikut saja apa yang dibisikkan si Ucok walau salah-salah. Bu Manik pun langsung berang dan menghukum si Budi. Demikian pula saat pelajaran berhitung, si Budi tetap bergantung pada si Ucok meski selalu diusilin.
Sayangnya, Budi tak pernah mau belajar untuk mengatasi kebodohannya. Dia lebih suka bermain-main dan mengusilin teman-teman yang lain. Selain bodoh, Budi juga dikenal sebagai anak nakal dan pemalas. Banyak teman-teman saya yang tak suka padanya. Kalau dilihat dari latar belakang keluarganya, saya pun jadi maklum kenapa si Budi tak bisa berubah jadi anak pandai.
Budi bukanlah berasal dari keluarga yang kaya dan harmonis. Bapaknya hanya seorang supir bemo di Pajak Simpang Limun. "Pajak" adalah sebutan untuk "pasar" di Kota Medan. Ibunya si Budi hanyalah seorang ibu rumah tangga yang juga seorang pedagang sayur di Pajak Simpang Limun. Sepulang dari pajak, dia pun harus mengurus anak-anaknya yang banyak. Adik-adik Budi memang banyak, dia juga punya dua orang kakak. Mereka semua berjumlah delapan orang, dan akan menjadi sembilan orang jika bayi yang sedang dikandung ibunya lahir. Tak heran kalau ibu si Budi mendapat julukan "Si Doyan Bunting".
Di kampung saya di Medan, keluarga si Budi pun dikenal sebagai keluarga besar dan miskin. Tetangga-tetangga saya mengenal keluarga si Budi, termasuk ibu-bapak saya. Akibat kemiskinan keluarga itu, rumah si Budi pun tak layak untuk ditempati oleh keluarga besarnya. Bahkan mereka pun harus berbagi tempat dengan anjing-anjing peliharaan mereka juga.
Oleh karena suatu urusan, saya dan ibu pernah berkunjung ke rumah si Budi, dan itu membuat saya tak mau lagi berkunjung ke rumahnya, kapok. Selain banyak anjing yang dipelihara, rumahnya pun jorok dan bau. Itulah yang membuat saya tak betah. Sangat terlihat kalau Budi tak pernah mendapat perhatian penuh dari ibu-bapaknya. Sungguh tak heran jadinya kalau si Budi tumbuh menjadi anak yang labil, liar, dan mudah terpengaruh.
Selepas sekolah dasar, saya dan Budi pun tak pernah lagi berhubungan. Saya kehilangan informasi dan kontak tentang dia. Sesekali pernah bertemu di pajak. Dia suka berkeliaran di sana.
Saya tak tahu apakah dia melanjutkan pendidikannya atau tidak. Saya benar-benar kehilangan kontak dengan Budi ketika duduk di bangku SMA. Saya dengar dari teman saya yang lain, si Budi merantau ke Jakarta mengikuti abangnya yang sudah lebih dahulu berada di ibukota tersebut. Saat kuliah hingga bekerja di Jakarta, saya benar-benar tak pernah tahu informasi dan keberadaan si Budi.
Di suatu siang, sepuluh tahun lalu, saat pulang ke Medan, saya menemukan Budi sedang menari-nari di pinggir jalan. Dia tak hanya menari tapi juga selalu berkata-kata dan marah-marah pada setiap orang, terutama pada orang-orang yang menertawakannya. Habis marah-marah, dia kembali menari-nari dengan asyiknya sambil tertawa-tawa. Dia tak pernah pakai baju, dadanya dia biarkan diterpa teriknya matahari. Kulitnya pun hitam dan kumuh. Saya hampir tak mengenali Budi, namun raut mukanya tak pernah berubah. Percuma kalau saya tegur, pasti dia tak bakal mengenal saya dan orang-orang sekelilingnya.
Saya bertanya pada ibu saya, kenapa si Budi jadi seperti itu. Kata ibu, "Budi menjadi gila di Jakarta gara-gara obat-obatan, dia bergaul dengan orang-orang tak benar. Tantenya tak sanggup lagi mengurusnya di Jakarta dan memulangkannya ke Medan", demikian kata ibu. Sejak hari itu, saya tak pernah lagi mendengar kabar berita tentang si Budi. Apakah dia masih menjadi gila atau sudah tiada. Semuanya masih tanda tanya.
*****