Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,496
September di Kota Kembang
Sejarah

~Suatu malam di sebuah kedai es krim Jalan Braga, Bandung~

~September 1965~

"Kang Wiraaaa! Akhirna teh, aya nu nampung tulisan-tulisan Neng!" seru seorang gadis geulis yang bercita-cita menjadi penulis bernama Atin kepada kekasihnya, Wira.

"Nu bener Neng Atin?"

"Sumuhun, Kang!" Neng Atin menganggukan kepala.

"Alhamdulillah hirobil alamin!" Kang mengusap wajah kasepnya, "Engke Neng pasihkeun ka rerencangan saangkatan Akang di ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat)!"

"Nuhun, Kang!" Kedua mata Atin begitu berbinar. Entah berbinar karena dirinya akhirnya menjadi seorang penulis, atau karena dirinya sedang berbincang kepada sang kekasih hati.

"Akang teh senang sekali mendengarna!" Kedua mata Wira pun berbinar. "Neng bisa wujudkeun cita-cita Neng untuk jadi penulis! Akang bisa pastikeun, Almarhum Abah Neng akan bangga di surga sana!"

"Nuhun Kang Wira!"

"Tapi teh ngomong-ngomong, apa nama perkumpulan ato organisasina, Neng?"

"Organisasi seniman yang di bawah partai itu, Kang!"

"DEG!" Jantung calon perwira angkatan darat bernama Wira itu seolah-olah terakhir kali berdetak.

"Naon, Kang?" Atin memiringkan kepala. Dia merasa ekspresi wajah Kang Wira berubah menyeramkan. Firasatnya jadi betul-betul tak enak.

Detak jantung Wira mendadak kacau. Berharap salah dengar pun rasanya tak mungkin. Barusan saja, Neng Atin memang menyebutkan nama organisasi seniman yang bagi Wira cukup sentimentil. Dia sendiri tak tahu mengapa, tetapi prasangkanya benar-benar tak enak saat ini.

Sampai akhirnya, apa yang ditakutkan oleh Wira pada akhirnya menjadi kenyataan.

Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa beberapa saat ke depan nanti, takdir menggiring Wira untuk ....

.... memuntahkan timah panas ke bilik jantung si geulis yang begitu dicintainya.

****

~Suatu malam di sebuah kedai es krim Jalan Braga, Bandung~

~September 1965~

"ORGANISASI ITU?!" Wira tersadar bahwa detakan jantungnya belum berhenti. Rupanya hanya kacau, tidak sampai berhenti. Baguslah kalau begitu. Meski entah dia sendiri tak tahu apakah dirinya harus bersyukur atau tidak.

Atin mengangguk. Dia tampak antusias sekali menceritakan sepak terjangnya saat ini. Dia yakin pula bahwa Wira juga akan bangga pada apa yang telah dia lakukan saat ini.

"Neng, keluar dari keanggotaan organisasi seniman itu! Akang dengar dari senior, organisasi itu bagian dari sesuatu yang terlarang!"

"Sesuatu yang terlarang bagaimana atuh, Kang?" Atin tentu saja tak mengerti.

"Pa, partai terlarang!" tegas Wira.

"Kang! Kata senior Neng di organisasi itu, justru tentara yang sudah terpengaruh kapitalis," terang Atin yang mulai berhipotesis, "Kalau nanti lulus dan menjadi birokrat, Akang teh jangan jadi kaum kapitalis yang suka keliling dunia dan main golf!"

"Jangan Neng dengarkeun senior Neng! Fitnah!" Wira menggeleng-gelengkan kepala. "Lagipula, memangnya kenapa atuh kalau main golf? Itu kan olahraga. Selama mampu, laksanakan saja, atuh,"

"Akang tak mendukung impian Neng untuk jadi penulis!" Atin malah salah tangkap dengan sikap Wira.

"Akang teh tak mempermasalahkeun cita-cita menulis Neng, tapi organisasina!" Wira berusaha menerangkan maksud dari apa yang dikatakan kepada Atin.

"Memangnya kenapa atuh dengan organisasina?" Atin benar-benar keras kepala.

"Terlarang!" Kedua mata Wira sampai melotot.

"Terlarang apa? Akang yang sudah termakan doktrin dari senior Akang!"

"Justru kamu yang sudah terhipnotis oleh senior-seniormu yang merupakan seniman-seniman nyeleneh! Kamu harus hati-hati!"

"Sudahlah!" Atin beranjak dari kursi. "Jauh-jauh teh Neng berangkat dari Jakarta ke Bandung untuk ketemu Akang di sekolah ATEKAD! Malah kena marah!"

Wajah geulis Atin memerah. Tentu saja dia menahan amarah, kesedihan, dan kekecewaan yang sudah bersatu padu di dalam hati dan jiwanya yang belum stabil. Air mata pun siap berlinang. Dia menyesali kata yang barusan terlontar dari mulutnya. Namun, entah mengapa menurutnya pantas dialamatkan kepada Wira. Dia memang menyesal mengunjungi Wira sampai Bandung.

"Akang teh berubah! Sejak memakai pakaian seperti ini, Neng tak kenal Akang!" Ditariknya kerah seragam taruna Wira.

"Saha yang berubah, Neng? Akang sama saja seperti yang dulu! Akang teh cuma tidak mau Neng terkena arus! Justru, Neng yang nanti bisa berubah kalau bergabung di organisasi seniman itu!"

"Kalau Akang berpikir Neng berubah dan Neng berpikir Akang berubah," Atinmeraih tas jinjingnya, "mungkin memang Akang dan Neng sudah menjadi orang yang berbeda dan tak saling mengenal. Jadi, kalau sudah begitu, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja." Dia terkesan hendak hengkang dari tempat ini.

"Jangan bicara yang tidak-tidak atuh, Neng! Duduk dan berbincang lagi," Wira merendahkan volume suaranya.

Tahu apa jawaban Neng Atin?

"Maap. Saya teh sungkan duduk berbincang lama dengan orang yang tak saya kenal,"

Derap langkah Neng Atin menegaskan akhir dari sebuah kisah.

Anehnya, kaki Wira yang bersepatu lars juga tak berinisiatif mengejar. Di balik wajah geulis nan lembut seorang Neng Atin, ada sisi hitam yang enggan diketahui Wira. Dia merasa pula tak perlu memperjuangkan seorang gadis macam itu.

Bukannya tak bernyali.

***

~Suatu Malam di Hutan Pinus, Bandung 1965~

"Kaang Wira! Jangan diam atuh, Kang! Tembak Neng sekarang juga! Tembak!"

".........."

"Biar Neng mati di tangan Akang saja! Daripada di tangan mereka, Neng pasti sebelum mati bisa disiksa terlebih dahulu! Neng tidak mau! Neng inginnya mati di tangan Kang Wira! Neng sudah percaya pada Akang!"

"Mana bisaa atuuuh Akang tembak Neeeng!" Air mata Wira akhirnya meleleh. Didekapnya Atin begitu erat. Isak tangis pecah. "Neng kan tahu sedalam apa cinta Akang sama Neng!"

"Kalau Akang cinta sama Neng, Akang tembak Neng sekarang juga!" Dalam pelukan, air mata Atin membasahi seragam perwira yang dikenakan Wira.

"Aaaah! Neng sih tak dengar perkataan Akang waktu itu! Neng harus keluar dari organisasi seniman itu!" Wira melepas pelukan. "Akang teh sudah bilang jauh-jauh hari untuk tak ada urusan dengan organisasi itu!"

Tiba-tiba.....

"DOR!"

Cipratan cairan merah sekejap membasahi wajah Wira.

"NENG ATIIIN!" Teriak Wira histeris. Raga Atin di hadapannya lunglai dan menubruk raga Wira.

Tanpa ada kata pamit, gadis geulis bernama Atin itu berpulang.

"NEENG!" Diguncang-guncangkannya tubuh Atin.

Percuma.

"Siapa yang menembak? Siapaaa?" Gema suara Wira begitu membahana.

"Saya yang menembak! Mengapa memangnya?" Seseorang bersepatu lars sudah berada di hadapan Wira.

Bukan main terkejutnya Wira.

"Saya teh yang seharusnya menembak diaaaa!" Wira histeris, "Itu permintaan terakhirnya!"

"DOR!" Ditembaknya satu peluru ke langit oleh Wira.

"Negara dalam keadaan genting!" seru senior Tentara itu menanggapi Wira dengan masih santai, seolah lupa barusan menembak sesuatu, "Kita tak punya banyak waktu untuk bernegosiasi dengan hati yang rapuh!" sindirnya kepada Wira seraya berbalik meninggalkannya.

"Neeeng? Kunaon akhirna jadi kieu?" Wira masih memeluk Atin.

Nasi telah menjadi bubur.

Berteriak seribu kali pun, Neng Atin tak akan mendengar.

Jika bisa mengulang waktu, ingin rasanya Wira berada di masa-masa lampau bersama Atin.

Masa dimana pekerjaan Atin hanya menunggu Wira menempuh pendidikan di ATEKAD setiap harinya.

Sampai suatu hari nanti, Wira melamar dan mereka menikah.

Sampai suatu hari.

Suatu hari yang tidak akan pernah terjadi selamanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi